Anda di halaman 1dari 15

AYAT DAN HADIST SEWA DAN GADAI

DIAJUKAN SEBAGAI TUGAS TERSTRUKTUR KELOMPOK PADA

MATA KULIAH AYAT DAN HADIST EKONOMI

Dosen Pengampu :
Romi Suradi,S.EI., M.E.

Disusun Oleh :
Nur Anisa Tania B1061191051
Tiara Anandia B1061191065
Al - Husna B1061191085

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji dan syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmatnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Ayat dan Hadist Sewa dan Gadai ”.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan, tidak lupa sholawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala
keteladannya. Dan tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Romi Suradi, S.EI.,
M.E. sebagai dosen mata kuliah Studi Ayat dan Hadist Ekonomi, dan orang tua yang selalu
mendukung kelancaran tugas kami, serta pada anggota tim yang konsisten dalam menyelesaikan
tugas ini.
kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan kami
berharap ,semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat juga besar keinginan kami, dapat
menginspirasi pembaca juga pada makalah ini.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah
satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman, hukum
Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai
ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada debitur
sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.
Gadai-menggadai dan sewa-menyewa sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala
dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai dan sewa sendiri telah ada sejak zaman
Rasulullah Saw. dan Rasulullah sendiri pun telah mempraktikkannya.
Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai maupun sewa juga masih berlaku
hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam
gadai dan sewa itu sendiri, seperti Perbankan Syariah dan Pegadaian Syariah.
Di dalam Islam, pegadaian dan sewa-menyewa itu tidak dilarang, namun harus sesuai dengan
syariat islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik yang dijalankan. Selanjutnya, dalam
makalah ini akan dijelaskan gadai dan sewa menurut pandangan islam.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gadai ?
2.     Bagaimana dasar hukum gadai menurutAl-Qur’an dan Hadits ?
3.     Apakah rukun dan syarat gadai ?
4.     Bagaimana pengertian ijarah dan dasar hukumnya ?
5.     Apa Rukun dan Syarat Ijarah ?
6.     Apa Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik ?

C.    Tujuan Penulisan
1 Mengetahui tentang definisi dan pengertian gadai menurut syariah
2.     Mengetahui dasar hukum gadai menurut Al-Qur’an dan Hadits
3.     Mengetahui hukum memanfaatkan barang yang digadaikan
4.     Untuk mengetahui pengertian ijarah dan dasar hukumnya
5.     Untuk mengetahui Rukun dan Syarat Ijarah
6.     Untuk mengetahui Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut bahasa, gadai berarti al-tsubut dan al-habs yaitu tetap. Sedangkan gadai menurut
syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya dapat
diambil alih ketika sulit untuk menebusnya. Menurut ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan
suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam
membayar utang.
Sedangkan menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang dijadikan jaminan utang
sebagai pembayar harga (nilai) ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar
utangnya kepada pemberi jaminan.

Dalam buku lain dijelaskan pula bahwa gadai adalah :


1.       Suatu barang yang bernilai menurut syara’, sebagai jaminan atas piutang, yang memungkinkan
terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.
2.       Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah “rahn”, yaitu suatu perjanjian untuk
menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi
berarti “tetap”.
3.       Menjadikan barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan atas hutang yang dibebankan
sampai terbayarnya hutang tersebut.

B. Landasan Hukum Gadai


Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh
dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam Alqur’an dan Hadist:

1.       Al-Qur’an
Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Baqarah ayat
283, diantaranya adalah :

‫ َو‬ ‫ِإ َذا‬ ‫ ُك ْنتُم‬ ‫ع َٰلى‬ ‫ َسفَ ٍر‬ ‫ َو‬ ‫لَ ْم‬ ‫تَ ِج ُدوْ ا‬ ‫ َكاتِبًا‬ ‫فَ ِر ٰه ٌن‬ ٌ‫ضة‬
َ ْ‫َّم ْقبُو‬
“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
(QS. Al-Baqarah : 283)

Firman Allah : (‫ َو‬ ‫ِإ َذا‬ ‫ ُك ْنتُم‬ ‫ع َٰلى‬ ‫“ ) َسفَ ٍر‬Jika kamu dalam perjalanan”. Yakni, sedang melakukan
perjalanan dan terjadi hutang piutang sampai batas waktu tertentu, (‫لَ ْم َو‬ ‫تَ ِج ُدوْ ا‬ ‫) َكاتِبًا‬ “sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis.” Yaitu seorang penulis yang menuliskan transaksi untukmu.
Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan seorang penulis, tetapi tidak mendapatkan
kertas, tinta atau pena, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi
pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi
pinjaman.
َ ْ‫“ ) َّم ْقبُو‬Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
” Firman Allah Ta’ala: (‫ضةٌفَ ِر ٰه ٌن‬
(oleh yang berpiutang).”
Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu
yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat imam syafi’i dan jumhur ulama. Dan
ulama lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada
ditangan orang yang memberikan gadai. Menurut ayat yang tertera diatas, bahwasannya Al-
Qur’an memperbolehkan adanya hukum akad gadai, dengan mengecualikan jika adanya unsur
riba yang terdapat didalamnya.

2.        Hadits
Yang menjadi landasan hukum atau dasar daripada akad Gadai (Rahn) selain Al-Qur’an
ialah beberapa hadits yang menjelaskan tentang akad Gadai sebagai berikut:

a.       Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:


‫ي طَ َعا ًما َو َرهَنَهُ ِدرْ عًا ِم ْن َح ِدي ٍد‬ ٍّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِم ْن يَهُو ِد‬
َ ِ ‫ت ا ْشتَ َرى َرسُو ُل هَّللا‬ ْ َ‫ع َْن عَاِئ َشةَ قَال‬
 “Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan
pembayarannya, lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan”. (shahih muslim)
b.      Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW bersabda :
ُ‫ َو َعلَ ْي ِه ُغرْ ُمهُ ) َر َواه‬,ُ‫ لَهُ ُغ ْن ُمه‬,ُ‫احبِ ِه اَلَّ ِذي َرهَنَه‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ق اَل َّرهْنُ ِم ْن‬ ُ َ‫ ( اَل يَ ْغل‬:‫صلَّى هَّللَا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬-
َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللَا‬:‫َو َع ْنهُ قَا َل‬
‫ ِإاَّل َأ َّن اَ ْل َمحْ فُوظَ ِع ْن َد َأبِي دَا ُو َد َو َغي ِْر ِه ِإرْ َسال‬.‫ات‬ ْ ُ‫اَل َّدا َرق‬
ٌ َ‫ َو ِر َجالهُ ثِق‬,‫ َو ْال َحا ِك ُم‬,‫طنِ ُّي‬
 “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh
manfaat dan menanggung resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).
c.       Nabi bersabda :
‫ َولَبَنُ ال َّد ِّر يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا‬,‫الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا‬    ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ‫ َرسُو ِل هَّللا‬    ‫قَا َل‬    َ‫َأبِي هُ َري َْرة‬    ‫عن‬
ُ‫ َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ النَّفَقَة‬,‫َكانَ َمرْ هُونًا‬
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan
binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi
yang menggunakan kendaraan  dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan”. (shahih muslim)
d.      Nabi bersabda :
‫ قالت يا رسول هللا ! ان فالنا قدم له بز من الشام فلو بعثت اليه فاخذت منه ثوبين بنسيئة الي‬-‫عن عائشة – رضي هللا عنها‬
‫ والبيهقي ورجاله ثقات‬,‫ اخرجه الحاكم‬. ‫ميسرة ؟ فارسل اليه فامتنع‬
Dari Aisyah, iya berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang
pakaian telah datang pada si Fulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang
kepadanya, maka baginda akan mendapatkan dua potong pakaian dengan pembayaran tunda
hingga mampu membayarnya.” Lalu Rasulullah mengutus seseorang kepadanya, namun
pemiliknya menolak.(dikeluarkan oleh Al-Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat
dipercaya.

3.       Ijma’
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan
mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa
disyari’atkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada
perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas.

C.    Rukun dan Syarat Rahn


Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun dan syarat yang
harus dipenuhi yaitu:

1.      Ijab Qabul (sighat)


Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Sebab, gadai merupakan
perjanjian yang melibatkan harta sehingga perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan
tersebut seprti halnya jual beli, karena gadai sendiri itu tak jauh berbeda dengan akad jual-beli.
Seperti yang telah ditetapkan dalam kaidah fiqh:
‫وكل ما جاز بيعه جاز رهنه‬
“Setiap  sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual maka boleh digadaikan.”
Jika ditarik kesimpulan dari kaidah diatas, maka secara tidak langsung ditemukan kesamaan
hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-sama menggunakan wazan
sighat, yakni Ijab dan Qabul antara Rahin dan Murtahin.

2.      Orang yang bertransaksi (Aqid)


Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu
Rahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat,
dan atas keinginan sendiri.

3.      Adanya barang yang digadaikan (Marhun)


Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin (pemberi
gadai) adalah dapat diserah terimakan, bermanfaat, milik Rahin  secara sah, jelas, tidak bersatu
dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin.

4.      Hutang (Marhun Bih)


Menurut ulama Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijadikan alas hak atas gadai adalah
berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada waktu akad,
hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin dan Murtahin.
Sedangkan menurut aturan dasar pegadaian di Indonesia, barang-barang yang dapat digadaikan 
di lembaga itu hanyalah berupa barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata hanyalah
berbentuk barang-barang bergerak), tentunya dengan beberapa pengecualian. Pengecualian disini
artinya barang yang tidak dapat digadaikan. Barang-barang tersebut antara lain:
1.      Barang milik Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor.
2.      Hewan yang hidup dan tanaman.
3.      Segala makanan dan benda yang mudah busuk.
4.      Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan dalam gadaian.
5.      Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat memberikan keterengan-
keterangan tentang barang yang digadaikan.
D.    Memanfaatkan Barang yang Digadaikan

Dalam memanfaatkan barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha
berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut,
sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.Sebagaimana yang telah disabdakan oleh
Nabi SAW:
‫ رواه الحارث ابن اسامة‬.‫ صلى هللا عليه وسلم – كل قرض جر منفعة فهو ربا‬-‫قال رسول هللا‬:‫و عن علي قال‬

Dari Ali, ia mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap


hutang(Pinjaman) yang menghasilkan manfaat adalah riba.”
  Hadis riwayat Harits bin Abu Usamah. 

Akan tetapi ada beberapa pendapat Ulama tentang boleh tidaknya memanfaatkan barang gadai,
yaitu :
1). Pendapat Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah
pemberi gadai (rahin), walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan murtahin. Hal ini
berdasarkan hadis Rasululllah saw. berikut ini :

ُ
a.                   ) ُ‫غرْ ُمه‬ ‫ َو َعلَ ْي ِه‬,ُ‫ لَهُ ُغ ْن ُمه‬,ُ‫صا ِحبِ ِه اَلَّ ِذي َرهَنَه‬
َ ‫ق اَل َّرهْنُ ِم ْن‬ ُ َ‫ ( اَل يَ ْغل‬:‫صلَّى هَّللَا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ - ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللَا‬
َ َ‫ ق‬:‫َو َع ْنهُ قَا َل‬
‫َأ‬ ْ ‫َأ‬
‫ ِإاَّل َّن اَل َمحْ فُوظَ ِع ْن َد بِي دَا ُو َد َو َغي ِْر ِه ِإرْ َسال‬.‫ات‬ ْ ْ
ٌ َ‫ َو ِر َجالهُ ثِق‬,‫ َوال َحا ِك ُم‬,‫ارقُطنِ ُّي‬ َ ‫َر َواهُ اَل َّد‬
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda: “Gadai itu tidak menutup yang punya dari
manfaat  barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggung jawabkan
segalanya”. (HR. Al-Hakim dan Daruqutny).

b.    Dari
Umar bahwasannya Rasulullah Saw Bersabda:“Hewan sesorang tidak boleh diperah
tanpa seizin pemiliknya.”(HR. Bukhary).
Berdasarkan hadis di atas, menurut ulama Syafi’iyah bahwa barang gadai (marhun) hanya
sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai (murtahin), sedangkan kepemilikan tetap
ada pada pemberi gadai (rahin).

Dengan demikian, manfaat atau dari hasil barang yang digadaikan adalah milik rahin.
Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin
pemilik barang gadai.

2). Pendapat Malikiyah
Murtahin dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang dengan beberapa syarat,
yaitu :
1.  Hutang disebabkan jual beli, bukan karena menghutangkan.
2.   Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun untuknya.
3.   Jangka waktumengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak
ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal.
Pendapat Malikiyah ini berdasar kepada hadis Nabi Muhammad saw. yaitu:

‫ َولَبَنُ ال َّد ِّر يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا‬,‫الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا‬    ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ َرسُو ِل هَّللا‬    ‫قَا َل‬    َ‫َأبِي هُ َري َْرة‬    ‫عن‬
ُ‫ َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ النَّفَقَة‬,‫َكانَ َمرْ هُونًا‬
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan
binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi
yang menggunakan kendaraan  dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan”.

3).  Pendapat Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi marhun menjadi dua katagori yaitu hewan dan bukan
hewan.Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi
maka boleh menjadikannya sebagai khadam.Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah
kebun dan sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya.
Adapun yang menjadi landasan adalah:
Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai yang dapat ditunggangi adalah
hadis Rasulullah saw. :
‫ َولَبَنُ ال َّد ِّر يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا‬,‫الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا‬    ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ َرسُو ِل هَّللا‬    ‫قَا َل‬    َ‫َأبِي هُ َري َْرة‬    ‫عن‬
ُ‫ َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ النَّفَقَة‬,‫َكانَ َمرْ هُونًا‬
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya
dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya.
Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan
dan pemeliharaan”.
Boleh murtahin memanfaatkan barang gadai atas sizin pihak rahin dan nilai manfaatnya
harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk marhun didasarkan atas hadis
diatas.

E.     Kegunaan Gadai
Kegunaan gadai ialah memberi kewenangan kepada penggadai melakukan penjualan barang
gadaian ketika diperlukan untuk pelunasan wajib hutang pegadai. Apabila pegadai menolak
melakukannya, yakni tuntutan penggadai untuk menjual barang gadaian, hakim segera
menetapkan keputusan membayar hutang atau menjual barang gadaian.

F.     Ikatan Gadai, Pembatalan, dan Berakhirnya Gadai


1.      Ikatan Gadai
Gadai adalah akad yang mengandung unsur ibadah sunnah yang memerlukan qabul sehingga
akad gadai tidak akan mengikat, kecuali diadakannya serah terima sama seperti hibah dan akad
pinjam meminjam utang. Oleh karena itu, pegadai berhak membatalkan akad gadai sebelum
serah terima barang gadaian dilakukan, sedangkan pascaserah terima barang akad gadai menjadi
mengikat (wajib ditepati).
      Bagi penggadai sendiri, akad gadai tidak mengikat haknya dalam situasi apapun. Dia berhak
membatalkan akad gadai kapan pun dia menghendaki, karena kebaikan gadai bagi dirinya
terletak didalam serah terima barang gadaian. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Daruquthni
dan Hakim, dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda:

( ُ‫ َو َعلَ ْي ِه ُغرْ ُمه‬,ُ‫ لَهُ ُغ ْن ُمه‬,ُ‫صا ِحبِ ِه اَلَّ ِذي َرهَنَه‬ ُ َ‫ ِإاَّل َأ َّن اَ ْل َمحْ فُوظَ ِع ْن َد ) اَل يَ ْغل‬.‫ات‬
َ ‫ق اَل َّرهْنُ ِم ْن‬ ْ ُ‫َر َواهُ اَل َّدا َرق‬
ٌ َ‫ َو ِر َجالهُ ثِق‬,‫ َو ْال َحا ِك ُم‬,‫طنِ ُّي‬
‫َأبِي دَا ُو َد َو َغي ِْر ِه ِإرْ َسال‬

 “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh
manfaat dan menanggung resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).

2.      Tindak Lanjut Terhadap Barang Gadaian


Ketika akad gadai telah mengikat yang ditandai dengan serah terimahnya barang gadaian,
barang gadaian yang bergerak berpindah tangan kepada pegadai untuk memastikan adanya
jaminan. Kekuasaan penggadai terhadap barang gadaian tidak akan pernah hilang, kecuali
memberi kewenangan pegadai untuk memanfaatkan barang yang digadaikan tersebut.

3.      Berakhirnya Ikatan Akad Gadai


Ikatan  akad gadai dalam pandangan syara’ berakhir atau habis masanya dengan berbagai hal
sebagai berikut :
a.       Pembatalan akad gadai dari pihak penggadai walaupun tanpa adanya restu dari
pihak pegadai, dikarenakan hak gadai adalah milik penggadai, sedangkan gadai dari jalur
penggadai bersifat tidak mengikat.
b.      Adanya pelunasan semua hutang. Menurut ijma’ ulama, apabila hutang masih tersisa meski
sedikit, akad gadai belum berakhir. Hal ini sama seperti hak penahanan barang yang diperjual
belikan karena gadai merupakan jaminan semua bagian terkecil dari hutang.
c.       Binasa atau rusaknya barang gadaian karena akad gadai akan berakhir karena hilangnya
objek akad atau tersia-sianya barang gadaian.
d.      Barang gadaian berubah menjadi barang yang tidak lagi berharga, yakni sesuatu yang tidak
mubah untuk diambil kemanfaatannya. Sebagaimana contoh barang gadaian berupa perasan
anggur, yang berubah menjadi arak ketika sebelum jatuh tempo pelunasan, maka akad gadai
menjadi batal seketika bersamaan dengan berubahnya barang gadaian itu.

G.    Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan
syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu
melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun(barang yang digadaikan)
menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada
kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang
harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan
ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus
dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi
syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah
menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang
umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah
sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah
hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang
dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.

H.    Pengertian Ijarah Dan Dasar Hukumnya

Pengertian Sewa-Menyewa (Ijarah) :


Sewa menyewa atau dalam bahasa Arab berasal dari kata:   ,‫أجر‬yang sinonimnya:
a.     ‫أكري‬Yang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimat:  ‫( أجر الشئ‬menyewakan sesuatu)
b.    ‫أعطاه أجرا‬  yang artinya: ia memberinya upah, seperti dalam kalimat: ‫أجر فالنا على كذا‬  (ia
memberikan kepada si fulan upah sekian).
c.    ‫ أثابه‬yang artinya: memberinya pahala, seperti dalam kalimat: ‫أجر هللا عبده‬  (Allah memberikan
pahala kepada hamba-Nya).
Al Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: ‫الكراة أو بيع المنفعة‬   yang artinya: sewa-
menyewa atau jual beli manfaat

Dalam pengertian istlilah, terhadap perbedaan pendapat dikalangan ulama :


1)    Menurut Hanafiah
‫اإلجارةعقد على المنفعة بعوض هومال‬
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
2)    Menurut malikiyah
‫ عةد يفيد تمليكا منافع شئ مباح مدمة معلومة بعوض غير ناشئ عن المنفعة‬.... ‫اإلجارة‬
Ijarah adalah akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk
masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
3)    Menurut syafi’iyah
‫وحد عقد اإلجارة عقد على منعة مقصودة معلومة قابلة للبذل وإلباحة بعوض معلوم‬
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa
diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.

Dasar Hukum Ijarah


Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali
beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-
Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah
jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan.
Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan
sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjual belikan.  Akan tetapi, pendapat
tersebut disanggah oleh ibn Rush, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi
pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan
syara’.
Alasan Jumhur Ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah,
a.     QS. Ath-thalaq (65) ayat 6:
‫ض ۡعنَ َحمۡ لَه ۚ َُّن فَِإ ۡن‬
َ َ‫وا َعلَ ۡي ِه َّن َحتَّ ٰى ي‬ ِ َ‫وا َعلَ ۡي ِه ۚ َّن وَِإن ُك َّن ُأوْ ٰل‬
ْ ُ‫ت َحمۡ ٖل فََأنفِق‬ ْ ُ‫ضيِّق‬ ُ ‫َأ ۡس ِكنُوه َُّن ِم ۡن َح ۡي‬
َ ُ‫ث َس َكنتُم ِّمن ُو ۡج ِد ُكمۡ َواَل ت‬
َ ُ‫ضٓارُّ وه َُّن لِت‬
ٰ ۡ ‫ُأ‬ َ ۡ ُ َ ُ ۡ ۖ ۡ ُ ۡ ْ ۡ ‫ُأ‬ ُ َ َٔ ُ َ ۡ ۡ ‫َأ‬
٦ ‫ض ُع ل ٓۥهُ خ َرى‬ ِ ‫ُوف َوِإن تَ َعا َسرتمۡ ف َستر‬ ٖ ‫ضعنَ لكمۡ ‍فاتوه َُّن جُو َره َُّن َوأتَ ِمرُوا بَينَكم بِ َمعر‬ َ ‫ر‬

Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.

b.     QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27:


‫ي ٰهَت َۡي ِن َعلَ ٰ ٓى َأن ت َۡأج َُرنِي‬ َ ‫ قَا َل ِإنِّ ٓي ُأ ِري ُد َأ ۡن ُأن ِك َح‬٢٦ ُ‫ٱس ۡ‍ٔتَ َج ۡرتَ ۡٱلقَ ِويُّ ٱَأۡل ِمين‬
َّ َ‫ك ِإ ۡحدَى ۡٱبنَت‬ ۡ ‫ٱس ۡ‍ٔتَ ِج ۡر ۖهُ ِإ َّن‬
ۡ ‫خَي َر َم ِن‬ ۡ ‫ت‬ِ َ‫قَالَ ۡت ِإ ۡح َد ٰىهُ َما ٰيََٓأب‬
٢٧ َ‫صلِ ِحين‬ ٰ ‫هَّلل‬ ۚ
َّ ‫ق َعلَ ۡيكَ َستَ ِج ُدنِ ٓي ِإن َشٓا َء ٱ ُ ِمنَ ٱل‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬ ‫ُأ‬
َّ ‫ك َو َمٓا ِري ُد ۡن ُش‬ ۖ ۡ ۡ ‫َأ‬
َ ‫ثَ ٰ َمنِ َي ِح َج ۖ ٖج فَِإ ۡن ت َممۡ تَ عَش ٗرا فَ ِم ۡن ِعن ِد‬

Aritnya : (26). Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (27). Berkatalah dia (Syu
´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku
ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan
kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"

I.    Rukun dan Syarat Ijarah


I. Rukun Ijarah
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan Qabul, antara lain dengan menggunakan
kalimat :  al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’ dan al-ikra. Adapun menurut Jumhur Ulama , rukun
ijarah ada 4 yaitu:
1.   ‘Aqid ( orang yang akad).
2.    Shigat akad.
3.    Ujrah (upah).
4.    Manfaat
5.    Syarat Ijarah

II. Syarat ijarah


a)    Syarat Terjadinya Akad
Syarat Al-inqad ( terjadinya akad) berkaitan dengan akid, zat akad dan tempat akad.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual beli, menurut Ulama Hanafiyah, ‘Aqid ( orang yang
melakukan akad  disyaratkan harus berakal dan mumayyiz ( minimal 7 tahun), serta tidak
disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijrah anak
mumayyiz, dipandang sah bila diijinkan walinya.
b)    Syarat Pelaksanaan ( an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, brang harus dimiliki oleh ‘aqid (orang yang akad) atau ia yang memiliki
kekuasaan penuh untuk akad  (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan
oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak dapat
menjadikan adanya ijarah.

 Syarat Sah Ijarah


Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid  (orang yang akad),  ma’qud alaih (barang
menjadi objek akad),  ujrah (upah) dan zat akad (nafs al-aqad), yaitu:
a.    Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan pada firman Allah SWT QS. An-Nisa:29
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan
yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang yang dilakukan suka sama suka.”
(Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini
berkaitan dengan ‘aqid)
b.    Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid.
Diantara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih adalah dengan menjelaskan manfaatnya,
pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa
seseorang.
c.    Ma’qud alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk untuk berbicara dengan anaknya , sebab hal itu
sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seseorang perempuan yang sedang haid
untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
d.    Kemanfaatan benda dibolehkan menurut Syara’

J. Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik


Al Ijarah Al Muntahiya bit Tamlikatau Akad sewa menyewa yang berakhir dengan
kepemilikan.
Definisinya : Istilah ini tersusun dari dua kata : At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik
(kepemilikan). Definisi dua kata tersebut secara keseluruhan :
1) at-ta’jiir menurut bahasa : diambil dari kata al-ajr, yaitu imbalan atas sebuah pekerjaan, dan
juga dimaksudkan dengan pahala
2) Adapun al-ijaaroh : nama untuk upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap
pekerjaan. Jadi dapat disimpulkan bahwa al-ijaaroh atau akad sewa terbagi menjadi dua yaitu
sewa barang, dan sewa pekerjaan.

K. Landasan Hukum Ijarah Muntahia Bittamlik


Sebagai suatu transaksi yang bersifat tolong menolong, ijarah mempunyai landasan yang kuat
dalam Al-Quran dan Hadist. Landasan ijarah disebut secara terang dalam Al-Qur’an
Surah Al Baqarah Ayat 233 :
ِ َ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا َأ َّن ٱهَّلل َ بِ َما ت َۡع َملُونَ ب‬
ٞ ‫ص‬
‫ير‬ ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬ ِ ۗ ‫ضع ُٓو ْا َأ ۡو ٰلَ َد ُكمۡ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُكمۡ ِإ َذا َسلَّمۡ تُم َّمٓا َءات َۡيتُم بِ ۡٱل َم ۡعر‬
ْ ُ‫ُوف َوٱتَّق‬ ِ ‫وَِإ ۡن َأ َردتُّمۡ َأن ت َۡست َۡر‬
٢٣٣
Artinya: ”dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa tidak berdosa jika ingin mengupahkan sesuatu kepada orang
lain dengan syarat harus membayar upah terhadap pekerjaan tersebut, dalam ayat ini dijelaskan
bahwa jika ingin anak-anak disusui oleh orang lain, maka pekerjaan seperti ini tidak berdosa
asalkan kita membayar upah. Jika dipahami lebih dalam ayat ini mengisyaratkan kebolehan
untuk menyewa jasa orang lain dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang kita butuhkan.
Fatwa MUI tentang Ijarah Muntahia Bittamlik :
a. Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah
terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya
dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
b.  Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (‫)الوعد‬, yang
hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
BAB III

A.    Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa gadai atau rahn adalah perjanjian
atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai jaminan
atau tanggungan utang.
Dalam islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-qur’an
surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits yang telah dipaparkan, dan ijma’. Adapun rukun dalam
gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan pemberi gadai),
adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang.Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang
menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal
dan baligh (dewasa).
Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan barang yang digadaikan. Para
imam madzhab selain imam hanbali melarang barag yang digadaikan digunakan oleh penerima
gadai meskipun mendapat izin dari rahin. Namun demikian ada sebagian ulama yang
memperbolehkan barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut
berupa kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan biaya
perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang tersebut dan disesuaikan
dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada padanya.
Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian,
objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang). Dari segi imbalannya,
ijarah ini mirip dengan jual beli, tetapi kedunya berbeda, karena dalam jual beli obyeknya benda,
sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfaat dari benda. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda, bukan manfaat.
Demikian pula tidak diperbolehkan menyewa sapi untuk diperah susunya karena susu bukan
manfaat, melainkan benda.

B.     Saran
Dari pembahasan yag telah kami sajikan diatas, kami berharap mudah-mudahan setelah kita
mempelajari pelajaran mengenai gadai dan sewa ini, bisa kita jadikan sebagai rujukan dalam
melakukan kegiatan perekonomian sehari-hari, Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA

Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan


Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73-84.

Ustman bin Muhammad Syattha, hasiyyat I’anat At-thalibien ‘ala Hall Alfadz Fath al-
Mu’in, (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2007, Cet.2, Vol.3) hal.94

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li Ahkam al-Qur’an jilid
3  ( Dar Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985) hal.412.or.879) hal.149

Anda mungkin juga menyukai