Dosen Pengampu :
Romi Suradi,S.EI., M.E.
Disusun Oleh :
Nur Anisa Tania B1061191051
Tiara Anandia B1061191065
Al - Husna B1061191085
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gadai ?
2. Bagaimana dasar hukum gadai menurutAl-Qur’an dan Hadits ?
3. Apakah rukun dan syarat gadai ?
4. Bagaimana pengertian ijarah dan dasar hukumnya ?
5. Apa Rukun dan Syarat Ijarah ?
6. Apa Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik ?
C. Tujuan Penulisan
1 Mengetahui tentang definisi dan pengertian gadai menurut syariah
2. Mengetahui dasar hukum gadai menurut Al-Qur’an dan Hadits
3. Mengetahui hukum memanfaatkan barang yang digadaikan
4. Untuk mengetahui pengertian ijarah dan dasar hukumnya
5. Untuk mengetahui Rukun dan Syarat Ijarah
6. Untuk mengetahui Pengertian al-Ijarah al-Muntahia Bittamlik
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut bahasa, gadai berarti al-tsubut dan al-habs yaitu tetap. Sedangkan gadai menurut
syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya dapat
diambil alih ketika sulit untuk menebusnya. Menurut ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan
suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam
membayar utang.
Sedangkan menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang dijadikan jaminan utang
sebagai pembayar harga (nilai) ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar
utangnya kepada pemberi jaminan.
1. Al-Qur’an
Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Baqarah ayat
283, diantaranya adalah :
َو ِإ َذا ُك ْنتُم ع َٰلى َسفَ ٍر َو لَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن ٌضة
َ َّْم ْقبُو
“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
(QS. Al-Baqarah : 283)
Firman Allah : ( َو ِإ َذا ُك ْنتُم ع َٰلى “ ) َسفَ ٍرJika kamu dalam perjalanan”. Yakni, sedang melakukan
perjalanan dan terjadi hutang piutang sampai batas waktu tertentu, (لَ ْم َو تَ ِج ُدوْ ا ) َكاتِبًا “sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis.” Yaitu seorang penulis yang menuliskan transaksi untukmu.
Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan seorang penulis, tetapi tidak mendapatkan
kertas, tinta atau pena, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi
pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi
pinjaman.
َ ْ“ ) َّم ْقبُوMaka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
” Firman Allah Ta’ala: (ضةٌفَ ِر ٰه ٌن
(oleh yang berpiutang).”
Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu
yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat imam syafi’i dan jumhur ulama. Dan
ulama lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada
ditangan orang yang memberikan gadai. Menurut ayat yang tertera diatas, bahwasannya Al-
Qur’an memperbolehkan adanya hukum akad gadai, dengan mengecualikan jika adanya unsur
riba yang terdapat didalamnya.
2. Hadits
Yang menjadi landasan hukum atau dasar daripada akad Gadai (Rahn) selain Al-Qur’an
ialah beberapa hadits yang menjelaskan tentang akad Gadai sebagai berikut:
3. Ijma’
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan
mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa
disyari’atkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada
perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas.
Dalam memanfaatkan barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha
berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut,
sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik
manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba.Sebagaimana yang telah disabdakan oleh
Nabi SAW:
رواه الحارث ابن اسامة. صلى هللا عليه وسلم – كل قرض جر منفعة فهو ربا-قال رسول هللا:و عن علي قال
Akan tetapi ada beberapa pendapat Ulama tentang boleh tidaknya memanfaatkan barang gadai,
yaitu :
1). Pendapat Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah
pemberi gadai (rahin), walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan murtahin. Hal ini
berdasarkan hadis Rasululllah saw. berikut ini :
ُ
a. ) ُغرْ ُمه َو َعلَ ْي ِه,ُ لَهُ ُغ ْن ُمه,ُصا ِحبِ ِه اَلَّ ِذي َرهَنَه
َ ق اَل َّرهْنُ ِم ْن ُ َ ( اَل يَ ْغل:صلَّى هَّللَا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ - ِ ال َرسُو ُل هَّللَا
َ َ ق:َو َع ْنهُ قَا َل
َأ ْ َأ
ِإاَّل َّن اَل َمحْ فُوظَ ِع ْن َد بِي دَا ُو َد َو َغي ِْر ِه ِإرْ َسال.ات ْ ْ
ٌ َ َو ِر َجالهُ ثِق, َوال َحا ِك ُم,ارقُطنِ ُّي َ َر َواهُ اَل َّد
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda: “Gadai itu tidak menutup yang punya dari
manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggung jawabkan
segalanya”. (HR. Al-Hakim dan Daruqutny).
b. Dari
Umar bahwasannya Rasulullah Saw Bersabda:“Hewan sesorang tidak boleh diperah
tanpa seizin pemiliknya.”(HR. Bukhary).
Berdasarkan hadis di atas, menurut ulama Syafi’iyah bahwa barang gadai (marhun) hanya
sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai (murtahin), sedangkan kepemilikan tetap
ada pada pemberi gadai (rahin).
Dengan demikian, manfaat atau dari hasil barang yang digadaikan adalah milik rahin.
Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin
pemilik barang gadai.
2). Pendapat Malikiyah
Murtahin dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang dengan beberapa syarat,
yaitu :
1. Hutang disebabkan jual beli, bukan karena menghutangkan.
2. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun untuknya.
3. Jangka waktumengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak
ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal.
Pendapat Malikiyah ini berdasar kepada hadis Nabi Muhammad saw. yaitu:
َولَبَنُ ال َّد ِّر يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا,الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ ِ َرسُو ِل هَّللا قَا َل ََأبِي هُ َري َْرة عن
ُ َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ النَّفَقَة,َكانَ َمرْ هُونًا
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan
binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi
yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan
pemeliharaan”.
3). Pendapat Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi marhun menjadi dua katagori yaitu hewan dan bukan
hewan.Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi
maka boleh menjadikannya sebagai khadam.Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah
kebun dan sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya.
Adapun yang menjadi landasan adalah:
Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai yang dapat ditunggangi adalah
hadis Rasulullah saw. :
َولَبَنُ ال َّد ِّر يُ ْش َربُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا,الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ ِ َرسُو ِل هَّللا قَا َل ََأبِي هُ َري َْرة عن
ُ َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ النَّفَقَة,َكانَ َمرْ هُونًا
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya
dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya.
Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan
dan pemeliharaan”.
Boleh murtahin memanfaatkan barang gadai atas sizin pihak rahin dan nilai manfaatnya
harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk marhun didasarkan atas hadis
diatas.
E. Kegunaan Gadai
Kegunaan gadai ialah memberi kewenangan kepada penggadai melakukan penjualan barang
gadaian ketika diperlukan untuk pelunasan wajib hutang pegadai. Apabila pegadai menolak
melakukannya, yakni tuntutan penggadai untuk menjual barang gadaian, hakim segera
menetapkan keputusan membayar hutang atau menjual barang gadaian.
( ُ َو َعلَ ْي ِه ُغرْ ُمه,ُ لَهُ ُغ ْن ُمه,ُصا ِحبِ ِه اَلَّ ِذي َرهَنَه ُ َ ِإاَّل َأ َّن اَ ْل َمحْ فُوظَ ِع ْن َد ) اَل يَ ْغل.ات
َ ق اَل َّرهْنُ ِم ْن ْ َُر َواهُ اَل َّدا َرق
ٌ َ َو ِر َجالهُ ثِق, َو ْال َحا ِك ُم,طنِ ُّي
َأبِي دَا ُو َد َو َغي ِْر ِه ِإرْ َسال
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh
manfaat dan menanggung resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).
G. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan
syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu
melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun(barang yang digadaikan)
menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada
kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang
harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan
ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus
dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi
syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah
menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang
umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah
sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah
hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang
dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.
Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
Aritnya : (26). Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil
untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (27). Berkatalah dia (Syu
´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku
ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan
kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
A. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa gadai atau rahn adalah perjanjian
atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai jaminan
atau tanggungan utang.
Dalam islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-qur’an
surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits yang telah dipaparkan, dan ijma’. Adapun rukun dalam
gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan pemberi gadai),
adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang.Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang
menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal
dan baligh (dewasa).
Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan barang yang digadaikan. Para
imam madzhab selain imam hanbali melarang barag yang digadaikan digunakan oleh penerima
gadai meskipun mendapat izin dari rahin. Namun demikian ada sebagian ulama yang
memperbolehkan barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut
berupa kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan biaya
perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang tersebut dan disesuaikan
dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada padanya.
Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian,
objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang). Dari segi imbalannya,
ijarah ini mirip dengan jual beli, tetapi kedunya berbeda, karena dalam jual beli obyeknya benda,
sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfaat dari benda. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda, bukan manfaat.
Demikian pula tidak diperbolehkan menyewa sapi untuk diperah susunya karena susu bukan
manfaat, melainkan benda.
B. Saran
Dari pembahasan yag telah kami sajikan diatas, kami berharap mudah-mudahan setelah kita
mempelajari pelajaran mengenai gadai dan sewa ini, bisa kita jadikan sebagai rujukan dalam
melakukan kegiatan perekonomian sehari-hari, Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Ustman bin Muhammad Syattha, hasiyyat I’anat At-thalibien ‘ala Hall Alfadz Fath al-
Mu’in, (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2007, Cet.2, Vol.3) hal.94
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li Ahkam al-Qur’an jilid
3 ( Dar Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985) hal.412.or.879) hal.149