Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FIKIH MU’AMALAH

RAHN ATAU GADAI

Dosen Pengampu:

Nugroho Noto Diharjo, M.E.

Kelompok 8:

Nowal Rodhotul Jannah (103220061)

Nuryah Muna Salma (103220064)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah terkait Asas-asas
Hukum Pidana Islam. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas Dosen Khairil Umami, M.S.I. pada mata kuliah Fikih Jinayah.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Khairil Umami, M.S.I. selaku
dosen mata kuliah Fikih Jinayah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan.

Saya menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Ponorogo, 10 Maret 2023

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muamalah merupakan salah satu bagian dari uraian hukum Islam, yaitu hal
yang mengatur hubungan antara manusia dalam masyarakat berkenaan dengan
persoalan kebendaan, hak dan kewajiban. Masalah-masalah muamalah inilah
kemudian di dalam syari’at Islam diatur dalam fiqih muamalah. Salah satu bentuk
perilaku manusia dalam menjalin hubungan dengan sesamanya, yang kemudian
diatur di dalam fiqih muamalah adalah masalah gadai (rahn).
Gadai (rahn) merupakan salah satu praktek perilaku yang dilakukan manusia
dalam sebagai pola hubungan antar sesama, juga sebagai cara manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Gadai (rahn) dalam etimologinya adalah tetap
dan lestari. Gadai (rahn) dikatakan juga al-hasbu, artinya penahanan, misalnya
ungkapan ni’matun rahimah (karunia tetap dan lestari). Secara terminologisnya,
ulama fikih mendefinisikan rahn dengan makna, menjadikan sebuah barang
sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar apabila tidak bisa
membayar utang.
Praktek gadai (rahn) memiliki ketentuan hukum tersendiri yang meliputi
syarat dan rukun serta hal-hal lain yang telah ditentukan oleh syari’at dan ada
kaitannya dengan gadai (rahn) sehingga apabila syarat-syarat dan rukun-rukunnya
tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, dasar hukum, syarat, dan rukun dari rahn?
2. Apa saja hal-hal yang terkait dengan rahn dan pengambilan manfaatnya?
3. Bagaimana resiko terjadinta kerusakan, penyelesaian, konsep, dan mekanisme
rahn?

1
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, dan rukun dari rahn
2. Mengetahui hal-hal yang terkait dengan rahn dan pengambilan manfaatnya
3. Mengetahui resiko terjadinta kerusakan, penyelesaian, konsep, dan
mekanisme rahn

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Rahn (Gadai)


Gadai atau al-rahn secara Bahasa dapat diartikan al-subutu yang bermakna
tetap, dan Sebagian mengartikan al-habsu (tahan). Allah berfirman dalam surah
al-Mudatsir ayat 38:
ٌ‫ت ر ِهْينَ ۙة‬ ‫ُك ُّل َن ْف ۢ ٍ مِب‬
َ ْ َ‫س َا َك َسب‬
Yang artinya: “tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah
diperbuatnya”.
Menurut terminologi, ulama memberikan pengertian rahn dengan
terminologinya masing-masing. Diantaranya:
1. Menurut Madzhab Hanafiyah

‫جعل الشيء ُمبوسا حبق ميكن استيفاؤه من الرىن كالديوف‬


“Menjadikan sesuatu (barang) tertahan dengan hak (utang piutang) yang
dapat digunakan untuk melunasi hak tersebut seperti utang piutang”.1
Pengertian “hak” disini adalah digunakan sebagai keterangan pengikat,
barang dapat ditahan karena adanya Tindakan ghasab. Barang yang
digadaikan bertujuan untuk memenuhi hak seseorang atas yang lain.
2. Menurut Madzhab Syafi’iyyah:

‫يستوف منها عند تعذر وفائو‬


َ ‫جعل ْعي وثيقة بدين‬

1
Abu Muhammad Mahmud bin Hussain Al-Ghaitany Al-Hanafi, Al-Binayah Syarh Al-Hidayah, jilid
12 (Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2000), cet 1,465.

3
“Gadai (rahn) adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang,
yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak
bisa membayar utangnya itu”.2
3. Wahbah Zuhaily menerangkan bahwa rahn adalah:

‫حبس شيء حبق ميكن استيفاؤه منو‬


“Menahan sesuatu dengan hak (secara legal/karena utang) yang dapat
melunasinya (utang) dengan barang tersebut.”
Beberapa pengertian rahn (gadai) yang dikemukakan oleh beberapa
ulama diatas, dapat disimpulkan bahwa rahn (gadai) adalah menahan barang
jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas
barang yang dipinjamnya. Barang yang diterima juga harus bernilai ekonomi
sehingga ihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk
mengambil kembali seluruh atau sebagian hutangnya dari barang gadai bila
pihak yang berhutang tidak dapat membayar hutang pada waktu yang telah
ditentukan.
Sifat rahn secara umum dikategorikan sebagai akad yang bersifat
tabarru’ (derma). Hal ini dikarenakan apa yang diberikan penggadai (rahin)
kepada penerima gadai (murtahin) bukan sebagai alat ukur, tetapi sebagai
jaminan atas hutang yang diberikan murtahin kepada rahin. Objek yang
digadaikan bukan sebagai penukar atas apa yang telah dihutang rahin. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan gadai adalah suatu kegiatan hutang
piutang antara kedua belah pihak, dengan menjadikan suatu barang berharga
sebagai jaminan.
Barang yang dapat digadaikan, yaitu semua barang yang bergerak, seperti
perhiasan, elektronik, peralatan rumah tangga, mesin, tekstil, dan lain-lain.
Adapun barang yang tidak dapat digadaikan adalah barang milik

2
Zakaria bin Muhammad Al-Anshari, Fathul Al-Wahab Bi Syarh Minhaj Al-Tullab, Jilid 1 (Beirut:
Dar Fikr, 1994), 226.

4
pemerintahan, surat berharga, hewan dan tanaman, bahan makanan dan
benda yang mudah busuk, benda kotor, barang yang tidak tetap harganya.3
B. Dasar Hukum Gadai
Menurut fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014,
boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, sunnah,
dan ijtihad.
1. Firman Allah Swt.
a. QS. Al-Baqarah: 283
ِ ِ ِ
َ ‫َوا ْن ُكْنتُ ْم َع ٰلى َس َف ٍر َّومَلْ جَت ُد ْوا َكاتبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقُب ْو‬
‫ضة‬
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.”
b. QS. Al-Muddatsir: 38
ٌ‫ت ر ِهْينَ ۙة‬ ‫ُك ُّل نَ ْف ۢ ٍ مِب‬
َ ْ َ‫س َا َك َسب‬
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.”
2. Hadist
a. Hadist Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'A'isyah r.a.

‫َأج ٍل َو َر َهنَهُ ِد ْر ًعا ِم ْن‬


َ ‫ي ىَل‬
ِ ‫َأن النَّيِب صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم ا ْشترى طَعاما ِمن يه‬
‫ود ٍّ ِإ‬ ُ َ ْ ً َ ََ َ َ َ ْ َ ُ َ َّ َّ
ٍ ‫ح ِد‬
‫يد‬ َ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari
seorang Yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan
baju besinya.”

b. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari


3
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2020), 67.

5
‫ب بَِن َف َقتِ ِه ِإذَا َكا َن َم ْر ُهونًا َو َعلَى‬ ِّ ‫ب بَِن َف َقتِ ِه ِإذَا َكا َن َم ْر ُهونًا َولَنَبُ الد‬
ُ ‫َّر يُ ْشَر‬ ُ ‫الر ْه ُن يُْر َك‬
َّ

ُ‫الن َف َقة‬
َّ ‫ب‬ ِ َّ
ُ ‫ب َويَ ْشَر‬
ُ ‫الذي َيْر َك‬
“Ar-rahn (gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila
digadaikan. Dan susu hewan menyusui, diminum, dengan sebab nafkah,
apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya
(memberi) nafkah.”
C. Syarat-Syarat Gadai
Rahn dianggap sah dengan beberapa syarat, diantaranya adalah:
1. Pemberi (Rahin) dan penerima (murtahin) gadai, keduanya harus baligh dan
berakal.
2. Sighat, diantaranya ialah:
a. Sighat tidak boleh terikat dengan syarat-syarat tertentu.
b. Pemberian hutang. Misalnya: hal ini dapat disamakan dengan akad
jual beli.
c. Marhun bih (hutang), tidak boleh bertambah atau yang mempunyai
bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang
berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang
mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan
dengan ketentuan syari’at Islam.
Berdasarkan consensus ulama fiqh menjelaskan syarat-syarat ar-rahn
disesuaikan dengan rukun ar-rahn. Syarat-syarat ar-rahn diantaranya, ialah:
1. Pemberi (Rahin) dan penerima (murtahin) gadai baligh dan berakal, anak
kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad rahn.
2. Syarat marhun bih (utang): wajib dikembalikan oleh penerima (murtahin)
kepada pemberi (Rahin), hutang itu dapat dilunasi dengan Kredit tersebut,
dan hutang itu harus jelas dan tertentu (spesifik).

6
3. Syarat marhun harus bisa dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya
hutang, barang pegadaian harus bernilai dan dapat dimanfaatkan sesuai
ketentuan hukum islam.4
4. Menurut pendapat Hanafiah menjelaskan akad sah jika penerima (murtahin)
mensyaratkan tenggang waktu hutang telah habis dan hutang belum dibayar,
maka ar-rahnI itu diperpanjang satu bulan. Atau pemberi (rahin)
mensyaratkan harta benda pegadaian itu boleh dimanfaatkan.
5. Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah: syarat yang mendukung
kelancaran akad itu, maka diperbolehkan, tetapi jika syarat itu bertolak
belakang dengan sifat akad ar-rahn maka syaratnya batal.
6. Berdasarkan pendapat Idris Ahmad, terkait dengan syarat gadai menggadai,
diantaraya ialah:
a. Ijab Kabul yakni: “kamilus menggadaikan barangnya leptop misalnya
harga Rp 1.000,000, dijawabnya aku terima gadai kamu seharga Rp.
1.000,000 untuk itu cukuplah dilakukan dengan cara surat menyurat
saja.
b. Tidak merugikan dan menyusahkan kepada orang yang penerima
(murtahin), misalnya: orang yang menggadai tidak dibolehkan menjual
barang yang digadaikan itu sesudah habis masanya, sedangkan uang
bagi yang penerima (murtahin), gadai sangat diperlukan.
c. Tidak merugikan pemberi (Rahin) dan penerima (murtahin), misalnya
memberi syarat: barang yang digadaikan itu boleh dipakai dan diambil
keuntungannya oleh penerima (murtahin).
d. Ada Rahin (yang menggadai) dan murtahin (orang yang menerima
gadai). Harus dengan barangnya sendiri, tidaklah boleh wali
menggadaikan harta anak kecil, misalnya kepunyaan temannya, anak
panti asuhan dan lain-lain.

4
Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Safiria Insania, Press.
2009), 109.

7
e. Barang yang digadaikan berupa denda, hukumnya menjadi batal jika
menggadaikan hutang, misalnya: Rahin (yang menggadai) berkata:
“berilah saya uang dulu Rp. 1000 dan saya gadaikan piutang saya
kepadamu Rp. 1.500 yang sekarang ada ditangan teman saya”. Hal ini
belum tentu dapat diserahkan pada waktu yang sudah ditentukan.5
D. Rukun-Rukun Gadai
Rukun akad rahn terdiri atas rahin (orang yang menyerahkan barang),
murtahin (penerima barang), marhun atau rahn (barang yang diadakan) dan
marhun bih (hutang) serta ijab qabul, Adapun rukun merupakan tindak lanjut
dari ijab dan qabul.6 Gadai atau pinjaman dengan jaminan benda memiliki
beberapa rukun, diantaranya, ialah:
1. Orang yang berakad (Aqid) ada 2 macam, diantaranya ialah:
a. Orang yang menggadai (Rahin)
b. Orang yang menerima gadai (Murtahin)
2. Ma’qud ‘alaih (yang diakadkan), yakni meliputi 2 hal:
a. Barang pegadaian atau yang digadaikan (Marhun)
b. Hutang yang karenanya diadakan gadai (Dain Marhun Biih)
3. Akad gadai (Sighat).
E. Hal-Hal Terkait Dangan Rahn
Beberapa hal yang berkaitan dengan rahn, antara lain:
1. Jaminan harus utuh
Ulama Hanafiyah berpendapay bahwa jaminan harus utuh, dikarenakan
rahn harus tetap berada di tangan orang yang telah memberikan hutang dan
itu hanya terpenuhi dengan kebutuhan barang. Namun, jumhur ulama
memperbolehkan jaminan dengan barang yang tidak utuh atau sebagiannya
asalkan sah diperjualbelikan.7
5
Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’I, (Jakarta: Wijaya,1996), 38.
6
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) cet 1, 263.
7
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Juz 2, (Beirut: Dar Al-Kitab
Al-‘Ulumiyah, 1988), 269.

8
2. Jaminan yang berkaitan dengan benda yang lainnya
Ulama Hanafiyah berpendapat, tidak sah jika jaminan berkaitan dengan
benda lain. Seperti jaminan buah yang masih di pohon, sedangkan pohonnya
tidak dijadikan jaminan. Namun, jumhur ulama memperbolehkan selagi dapat
diserahkan, sedangkan barang yang ada di rumah tidak termasuk jaminan,
kecuali ada pernyataan yang jelas.8
3. Gadai utang
Para ulama selain Malikiyah berpendapat bahwa utang tidak boleh
dijadikan jaminan karena tidak termasuk harta yang telihat. Sedangkan
menurut ulama Malikiyah, utang boleh dijadikan jaminan sebab utang
termasuk sesuatu yang dapat dijual.9
4. Gadai barang yang didagangkan atau dipinjam
Para imam ulama madzhab sepakat bahwa barang yang didagangkan atau
sedang dipinjam boleh dijadikan pinjaman.10
5. Menggadaikan barang pinjaman
Pada dasarnya barang yang digadaikan haruslah milik rahin. Namun, para
imam madzhab memperbolehkan untuk menggadaikan barang pinjaman atas
seizin miliknya.
6. Gadai tirkah (barang oeninggalan jenazah)
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabiyah memperbolehkan gadai
dengan tirkah jika jenazah telah terbebas dari hutang. Sedangkan ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa, tidak boleh menggadaikan sebagian dari harta
tirkah.11
7. Gadai barang yang cepat rusak

8
Al-Kasani, Kitab Bada’i Al Sana’i, (Beirut: Dar al Fikr, 1996), 138.
9
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Juz 2, (Beirut: Dar Al-Kitab
Al-‘Ulumiyah, 1988), 122.
10
Ibid,. 269
11
Muhammad Asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, (Beirut: Dar al Fikr, 1994), 144.

9
Ulama Hanabiyah berpendapat bahwa menggadaikan barang yang cepat
rusak diperbolehkan jika jaminan tersebut dimungkinkan akan kuat.
8. Menggadaikan kitab
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah memperbolehkan untuk
menggadaikan Al-Qur’an dan kitab-kitab hadist atau tafsir. Sebaliknya,
ulama Hanabiyah berpendapat bahwa menggadaikan Al-Qur’an tidak sah
karena Al-Qur’an tidak boleh diperjualbelikan. Akan tetapi, mereka
memperbolehkan menggadaikan kitab hadist atau tafsir kepada seorang kafir
sekalipun apabila kitab-kitab tersebut dipegang oleh orang muslim yang
adil.12
F. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan para ulama
berbeda pendapat, diantaranya jumhur Fukaha dan Ahmad. Jumhur Fukaha
berpendapat, bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-
barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini
termasuk
kepada utang yang dapat menarik manffat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk
riba. Rasulullah bersabda:

‫ض َجَّر َمْن َف َعةً َف ُه َو ِربًا‬


ٍ ‫ُك ُّل َق ْر‬

“Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba.” (Riwayat Harits bin
Abi Usmah)

Menurut imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadaian berupa
kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapt diambil
susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua barang
gadai tersebut dan disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya
selama kendaraan atau Binatang ternak itu padanya. Rasulullah bersabda:

12
Ibnu Qudamah, Al Mughni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 343.

10
‫َكب ُ ِإذَا َكان َ َم ْر ُهونًا َو لَنَب ُ الدَّر ّ ِ يُ ْشَر ب ُ ِإذَا َكان َ َم ْر ُهونًا‬

‫َو َعلَى الَّ ِذي َيْر َكب ُ َو يَ ْشَر ب ُ َن َف َقت‬

“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaan apabila


digadaikan, Binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaan
bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib
memberikan biaya.”

Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan kepada


biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang memegang barang
gadai seperti di atas, punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai
berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus
memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan.
Membersihkan dengan baik dan memperbaikinya jika diperlukan, bila pemegang
barang gadaian berupa rumah. Jadi, yang dibolehkan disini adalah upaya
pemeliharaan terhadap brang gadaian pada dirinya.

Akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dan menjamin utang,


bukan mencari keuntungan dan hasil. Selama hal itu keadaannya demikian, maka
orang yang memegang gadai (murtahin) dapat memanfaatkan barang yang
digadaikan, sekalipun diizinkan oleh orang yang menggadaikan (rahin). Menurut
Sayyid Sabiq, Tindakan memanfaatkan barang gadaian tidak tak ubahnya qiradh
yang mengalirkan manfaatnya, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan
mafaat adalah riba.13

G. Resiko Kerusakan Barang Gadai (Marhun)


Bila marhun hilang dibawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak
wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian

13
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), 141.

11
murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan
api, lalu terbakar berang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang
itu hilang dicuri orang. Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya,
bila tidak demikian, Ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, maka
menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko
kerusakan marhun atau kehilangan marhun yang dipegangnya, baik karena
kelalaian maupun dengan sendirinya. Sedangkan menurut Syafi’iyah, murtahin
menanggung resiko kehilangan atau kerusakan marhun hilang karena disia-
siakan maupun dengan sendirinya, dan murtahin menanggung resiko kehilangan
atau kerusakan marhun bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan
murtahin.
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai
produk adalah sebagai berikut.
1. Resiko tidak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi)
2. Resiko penurunan nilai aset yang ditahan atau dirusak.14
H. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak
boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan “Apabila
rahin tidak mampu melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka
marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran hutang”, sebab ada
kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar
utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar
yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga
harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar
jumlahnya daripada hutang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan
pihak rahin.

14
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), 185.

12
Apabila syarat seperti diatas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai
itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada
waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar hutangnya,
maka hak murtahin adalah menjual marhun pembelinya (boleh murtahin sendiri
atau yang lain), tetapi pada harga yang umum berlaku pada waktu itu dari
penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan
akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutangnya, maka
sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun
kurang dari jumlah hutang, maka rahin masih menaggung pembayaran
kekurangannya.15
I. Konsep Gadai dan Mekanismenya
Mekanisme operasional gadai syariah sangat penting untuk diperhatikan,
karena jangan sampai operasi gadai syariah tidak efektif dan efisien. Mekanisme
operasional gadai Syariah haruslah tidak menyulitkan calon nasabah yang akan
meminjam uang atau akan melakukan akad utang-piutang. Akad yang dijalankan
termasuk jasa dan produk yang dijual juga harus berlandaskan syariah (Al-
Qur`an, Al-Hadist, dan Ijma Ulama), dengan tidak melakukan kegiatan usaha
yang mengandung unsur riba`, maisir, dan gharar. Oleh karena itu,
pengawasannya harus melekat, baik internal internal terutama keberadaan Dewan
Pengawas Syariah (DPS) sebagai penanggung jawab yang berhubungan dengan
aturan syariahnya dan eksternal maupun eksternal pegadaian syariah, yaitu
masyarakat Muslim utamanya, serta yang tidak kalah pentingnya adanya
perasaan selalu mendapatkan pengawasan dari yang membuat aturan syariah itu
sendiri, yaitu Allah Swt.
Pedoman Operasional Gadai Syariah (POGS) perum pegadaian, pada
dasarnya dapat melayani produk dan jasa sebagai berikut:

15
Ru’fah Abdulah, Diklat Fikih Muamalat, (Serang: IAIN SMH Banten, 2008), 146.

13
1. Pemberian pinjaman/pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah, Pemberian
pinjaman atas dasar hukum gadai syariah berarti mensyaratkan pemberian
pinjaman atas dasar penyerahan barang bergerak oleh rahin.
2. Penaksiran Nilai Barang, Pegadaian syariah dapat memberikan jasa
penaksiran atas nilai suatu barang. Barang yang akan ditaksir pada dasarnya,
meliputi semua barang bergerak dan tidak bergerak yang dapat digadaikan.
3. Penitipan Barang (Ijarah), Gadai syariah dapat menyelenggarakan jasa
penitipan barang (ijarah), karena perusahaan ini mempunyai tempat
penyimpanan barang bergerak, yang cukup syariah, terutama digunakan
menyimpan barang yang digadaikan. Jasa titipan/penyimpanan, sebagai
fasilitas pelayanan barang berharga dan lain-lain agar lebih aman, seperti:
barang/surat berharga (sertifikat motor, tanah, ijasah, dll)
4. Gould Counter Gerai Emas, yaitu tempat penjualan emas yang menawarkan
keunggulan kualitas dan keunggulan. Gerai ini mirip dengan gerai emas
Galeri 24 yang ada di pegadaian konvensional. Emas yang di jual di gerai ini
dilengkapi dengan sertifikat jaminan, sehingga dapat memikat warga
masyarakat kalangan menengah keatas.
Ketentuan-ketentuan yang terkait dengan sistem dengan prosedur pemberian
pimjaman, pelunasan pimjaman antara lain adalah:
1. Syarat-syarat pemberian pimjaman
a. Marhun milik sendiri.
b. Foto copi tanda pengenal.
c. Marhun memenuhi syarat pengenal
d. Surat kuasa dari pemilik barang, jika dikuasakan dengan disertai materai
dan KTP asli pemilik barang.
e. Mengisi dan menandatangani Formulir Permintaan Pinjaman (FPP).
f. Menandatangani akad Rahn dan Ijarah dalam Surat Bukti Rahn (SBR).
2. Kategori dan jenis Marhun yang dapat diterima sebagai jaminan
a. Barang-barang perhiasan emas atau berlian.

14
b. Kendaraan bermotor, seperti mobil sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c. Barang-barang elektronik seperti televisi, radio, tape, mesin cuci, kulkas,
dan lain-lain.
3. Penggolongan Marhun
a. Golongan A dilaksanakan oleh Penaksir Yunior.
b. Golongan B dan C Oleh Penaksir Madya.
c. Golongan D dan E oleh Penaksir Senior/Manajemen cabang.
4. Pemeliharaan Marhun
Menurut Basyir, Ulama berbeda pendapat dalam hal ini, Ulama
Syafi`iyah dan Hanabillah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan marhun
menjadi tanggungan rahin, dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari
rahin dan tetap menjadi miliknya. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat
dalam kedudukan keselamatan marhun menjadi tanggungan murtahin dalam
kedudukannya sebagai orang yang menerima amanah.16

16
Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Inventasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah,
(Jakarta: Sinar Grafikah, 2011), 157.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang
yang bersangkutan boleh mengambil utang. Rahn itu hukumnya jaiz (boleh)
berdasarkan Al-Quran surat Al Baqarah ayat 283 dan As Sunnah Rasululloh saw.
Aspek hukum keperdataan Islam (fiqih muamalah) selalu mempersyaratkan
rukun dan syarat sah dalam setiap transaksi, salah satunya dalam transaksi gadai
syariah serta hak dan kewajibannya.
Rahn memilki rukun, yakni:
1. Rahin (pemilik harta atau barang)
2. Murtahin (penerima jaminan harta rahin)
3. Marhun (harta atau barang yang dijaminkan)
4. Shigat (ijab qabul).
Rahn memiliki unsur, yakni:
1. Barang itu sah milik rahin dan berkuasa atas barang tersebut
2. Marhun tersebut harus jelas ukuran, sifat, jumlah, dan nilainya
3. Nilai marhun ditentukan berdasarkan nilai riil pasar (fair value)
4. Marhun bisa dipegang atau dikuasai langsung secara hukum positif
5. Pemilik boleh menggunakan atau memanfaatkan marhun namun
penggunaannya tidak mengurangi nilai atau harta
6. Apabila marhun mengalami kerusakan atau cacat ketika digunakan, maka
rahin wajib memperbaikinya atau menggantinya.
Di Pegadaian Syariah rahn diaplikasikan berdampingan dengan akad ijarah.
Sedangkan rahn layak untuk dijadikan akad jaminan bagi akad pembiayaan di
bank syariah. Rahn dapat diterapkan sebagai salah satu lembaga jaminan dengan
berpegangan pada prinsip syariah.

16
B. Saran
Demikian lah makalah yang kami buat sedemikian rupa ini, mudah-mudahan
bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kritikan dan saran yang membangun
sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Ru’fah. 2008. Diklat Fikih Muamalat. Serang: IAIN SMH Banten.
Ahmad, Idris. 1996. Fiqh Menurut Madzhab Syafi’I. Jakarta: Wijaya.

Al- Anshari, Zakaria bin Muhammad. 1994. Fathul Al-Wahab Bi Syarh Minhaj Al-
Tullab. Beirut: Dar Fikr.
Al-Hanafi, Abu Muhammad Mahmud bin Hussain Al-Ghaitany. 2000. Al-Binayah
Syarh Al-Hidayah. Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah.
Al-Kasani. 1996. Kitab Bada’i Al Sana’i. Beirut: Dar al Fikr.

Antonio, Muhammad Syafi'i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani Press.
Asy-Syarbini, Muhammad. 1994. Mugni al-Muhtaj. Beirut: Dar al Fikr.
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Muttaqien, Dadan. 2009. Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah. Yogyakarta:


Safiria Insania.

Qudamah, Ibnu. 2007. Al Mughni. Jakarta: Pustaka Azzam.


Rusyd, Ibnu. 1988. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Juz 2. Beirut: Dar
Al-Kitab Al-‘Ulumiyah.

Sabiq, Sayyid. 1996. Fikih Sunnah. Bandung: PT. Al-Ma’arif.


Sutedi, Adrian. 2011. Pasar Modal Syariah: Sarana Inventasi Keuangan
Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta: Sinar Grafikah.
Syafe’i, Rachmat. 2020. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

18

Anda mungkin juga menyukai