Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HUKUMAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Jinayah

Dosen Pengampu:

Khairil Umami, S.H.I, M.S.I.

Kelompok 5:

Nowal Rodhotul Jannah (103220061)

Nur Uswatul Latifah (103220063)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Fikih Jinayah,
dengan judul “Hukuman”.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami juga menyadari bahwa sepenuhnya makalah ini masih jauh dari
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
baik kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Ponorogo, 20 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
hukuman adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan
kepada orang yang melanggar undang-undang2 dan lain
sebagainya (yang bersifat mengikat dan memaksa)
.Secara istilah, dalam hukum pidana Islam disebutkan,
hukuman adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qodir
Audah “Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk
memlihara kepentingan masyarakat, karena adanya
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.
Dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya:
Surat Shad ayat 26 “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah dimuka bumi ini, maka
berikanlah keputusan (hukuman) di antara manusia dengan
adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan siksa
yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan.”
(Q.S. Shad, 38:26).

B. Rumusan Masalah
1. Apa perngertian dan dasar hukuman?
2. Apa tujuan dan macam-macam hukuman?
3. Apa syubhat dan hal-hal yang dapat mempengaruhi hukuman?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui perngertian dan dasar hukuman
2. Mengetahui tujuan dan macam-macam hukuman
3. Mengetahui syubhat dan hal-hal yang dapat mempengaruhi
hukuman
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukuman
Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula
dikatakan balasan atas suatu kejahatan/pelanggaran, yang dalam
bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafadz ‘uqubah menurut bahasa
berasal dari kata ‘aqoba, yang memiliki sinonim; ‘aqobahu
bidzanbihi au ‘ala dzanbihi, yang mengandung arti menghukum,
atau dalam sinonim lain; akhodzahu bidzanbihi, yang artinya
menghukum atas kesalahannya.1
Sementara dalam bahasa Indonesia hukuman berarti siksaan
atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hukuman adalah siksa
dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar
undang-undang2 dan lain sebagainya (yang bersifat mengikat dan
memaksa).2
Secara istilah, dalam hukum pidana Islam disebutkan,
hukuman adalah seperti didefinisikan oleh Abdul Qodir Audah
“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memlihara
kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan syara’.”3
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat
diambil intisari bahwa hukuman atau pidana adalah suatu
penderitaan atau nestapa, atau akibat akibat lain yang tidak
menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang
berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang

1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Cet IVX, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997). 952.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke- 3, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), 411.
3
Abdul Qodir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Araby, tt),
609.
telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana dengan tujuan
untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masryarakat,
sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
B. Dasar Hukuman
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya
menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat
dari kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan
kejahatan. Islam berusaha mengamankan masyarakat dengan
berbagai ketentuan, baik berdasarkan Al-Qur’an, Hadis Nabi,
maupun berbagai ketentuan dari ulil amri atau lembaga legislatif
yang mempunyai wewenang menetapkan hukuman bagi kasus-
kasus ta’zir. Semua itu pada hakikatnya dalam upaya
menyelamatkan manusia dari ancaman kejahatan.4
Dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya:
1. Surat Shad ayat 26
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
dimuka bumi ini, maka berikanlah keputusan (hukuman) di
antara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan
mendapatkan siksa yang berat karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (Q.S. Shad, 38:26).5
2. Surat An-Nisa ayat 135
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah baik terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dari
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
mengetahui kemaslahatannya. Maka janganlah kamu

4
Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, Intisari Hukum Pidana, cet ke- 1, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), 47.
5
Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya,bcet ke-XII,
(Bandung: Diponegoro, 2011), 454.
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Janganlah kamu memutarbalikkan kata-kata atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nisa,
4:135).6
3. Sabda Rasulullah SAW
“Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, sesungguhnya Rasulullah
SAW. bersabda “Qadhi-qadhi (hakim-hakim) itu ada tiga
golongan, dua golongan di neraka dan satu golongan di
surga. Seorang hakim yang memutus dengan curang (tidak
benar) sedangkan dia mengetahui kebenaranya, maka dia di
neraka. Dan seorang memutus dengan kebodohan dan
merusak hak orang lain, dia juga di neraka. Dan seorang
hakim yang memutus dengan jujur (benar) maka dia di surga”
(H.R. At-Turmudzi).7
C. Tujuan Hukuman
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah
menurut Islam adalah pencegahan serta balasan dan perbaikan
serta pengajaran. Dengan tujuan tersebut tersebut, pelaku jarimah
(terpidana) tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu,
juga merupakan Tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak
melakukan hal yang sama.
Selain mencegah dan menakut-nakuti, syari’at Islam tidak
lupa memberikan perhatian terhadap pelaku jarimah (terpidana).
Karena
hukuman (sanksi) juga bertujuan mengusahakan kebaikan dan
pengajaran bagi pelaku jarimah. Selain itu diharapkan juga
dengan adanya hukuman ini dapat membentuk masyarakat yang

6
Departemen Agama Republik Indonesia, Al- Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, cet ke-XII,
(Bandung: Diponegoro, 2011), 100.
7
Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Al-Jami’u Al-Shohih Wahuwa Sunan Al- Turmudzi, Juz
III, (Beirut: Dar Al-Kutb Al-‘Alamiyah, t.t), 613.
baik dan yang dikuasai oleh rasa saling menghormati dan
mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-
batas hak dan kewajiban masing-masing. Hukuman dapat
dijabarkan menjadi beberapa tujuan, sebagai berikut:8
1. Untuk memelihara masyarakat (prevensi umum).
Menyelamatkan masyarakat dari perbuatannya. Pelaku sendiri
sebenarnya bagian dari masyarakat, tetapi demi kebaikan
masyarakat yang banyak, maka kepentingan perseorangan
dapat dikorbankan.
2. Sebagai upaya pencegahan atau preventif khusus bagi pelaku.
Apabila seseorang melakukan tindak pidana, dia akan
menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya. Yang
harapannya pelaku menjadi jera karena rasa sakit dan
penderitaan lainnya, sehingga ia tidak akan mengulangi
perbuatan yang sama di masa datang.
3. Sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan
tahdzib). Hukuman bagi pelaku pada dasarnya juga sebagai
upaya mendidiknya agar menjadi orang baik dan anggota
masyarakat yang baik pula.
4. Hukuman sebagai balasan atas perbuatan. Pelaku jarimah
(terpidana) akan mendapatkan balasan atas perbuatan yang
dilakukannya.

Kalau tujuan-tujuan hukuman di atas tidak dapat tercapai,


upaya terakhir dalam hukum positif adalah menyingkirkan
penjahat. Artinya pelaku kejahatan tertentu yang sudah sangat
sulit diperbaiki, dia harus disingkirkan dengan pidana seumur
hidup atau hukuman mati. Dalam hal ini hukum Islam juga
berpendirian sama, yaitu kalau dengan cara ta’dib (pendidikan)
tidak menjerakan si pelaku jarimah dan malah menjadi sangat

8
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 63-64.
membahayakan masyarakat, hukuman ta’zir bisa diberikan dalam
bentuk hukuman mati atau penjara tidak terbatas.

Hukuman ta’zir berlaku atas semua orang yang melaukan


kejahatan. Syaratnya adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan,
baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak,
atau kafir maupun muslim. Setiap oarang yang melakukan
kemunkaran atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang
tidak dibenarkan, baik itu dengan perbuatan, ucapan atau isyarat,
perlu diberikan sanksi ta’zir agar tidak mengulangi
perbuatannya.9

D. Macam Hukuman
Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada
beberapa bagian, dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam
hal ini ada lima penggolongan.
1. Hukuman di tinjau dari segi pertalian antara satu hukuman
dengan hukuman yang lainnya, hukuman dapat dibagi kepada
empat bagian, yaitu sebagai berikut:24
a. Hukuman pokok (‘Uqubah Ashliyah), yaitu hukuman yang
ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai
hukuman asli, seperti hukuman qisaa untuk jarimah
pembunuhan, hukuman dera (cambuk) seratus kali untuk
jarimah zina, atau hukuman potong tangan untuk jarimah
pencurian.
b. Hukuman pengganti (‘Uqubah Badaliayah), yaitu
hukuman yang mengantikan hukuman pokok, apabila
hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan dengan alasan
yang sah, seperti hukuman diat (denda) sebagai pengganti
hukuman qisas, atau hukuman ta’zir sebagai pengganti

9
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), 143.
hukuman had atau hukuman qishash yang tidak bisa
dilaksanakan.
c. Hukuman tambahan (‘Uqubah Taba’iyah), yaitu hukuman
yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan
keputusan secara tersendiri, seperti larangan menerima
warisan bagi orang yang membunuh yang akan
diwarisinya, sebagai tambahan untuk hukuman qishash
atau diat, atau hukuman pencabutan hak menjadi saksi
bagi orang yang melakukan jarimah qadzaf (menuduh
orang lain berbuat zina), di samping hukuman pokoknya
yaitu jilid (dera) delapan puluh kali.
d. Hukuman pelengkap (‘Uqubah Takmiliyah), yaitu
hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat
harus ada keputusan tersendiri dari hakim dan syarat inilah
yang membedakannya dengan hukuman tambahan.
2. Hukuman ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam
menentukan berat ringannya hukuman, maka hukuman dapat
dapat dibagi menjadi dua bagian:
a. Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada
batas tertinggi atau batas terendah. Dalam hukuman jenis
ini, hakim tidak berwenang untuk menambah atau
mengurangi hukuman tersebut, karena hukuman itu hanya
satu macam.
b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas
tertinggi dan batas terendah. Dalam hal ini hakim diberi
kewenangan dan kebebasan untuk memilih hukuman yang
sesuai antara kedua batas tersebut, seperti hukuman
penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.
3. Hukuman ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan
dengan hukuman tersebut, hukuman dapat dibagi kepada dua
bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman yang sudah ditentukan (‘Uqubah Muqaddarah),
yaitu hukuman-hukuman yang jenis dan kadarnya telah
ditentukan oleh syara’ dan hakim berkewajiban untuk
memutuskannya tanpa mengurangi, menambah, atau
menggantinya dengan hukuman yang lain. Hukuman ini
disebut hukuman keharusan (‘Uqubah Lazimah).
Dinamakan demikian, karena ulil amri tidak berhak untuk
menggugurkannya atau memaafkannya.
b. Hukuman yang belum ditentukan (‘Uqubah Ghairu
Muqaddarah), yaitu hukuman yang diserhkan kepada
hakim untuk memilih jenisnya dari sekumpulan hukuman-
hukuman yang ditetapkan oleh syara’ dan menentukan
jumlahnya untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku
dan perbuatannya. Hukuman ini juga disebut hukuman
pilihan (‘Uqubah Mukhoyyaroh), karena hakim
dibolehkan untuk memilih di antara hukuman-hukuman
tersebut.
4. Hukuman ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman,
maka hukuman dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai
berikut:
a. Hukuman badan (‘Uqubah Badaniyah), yaitu hukuman
yang dikenakan atas badan manusia, seperti hukuman
mati, jilid (dera) dan penjara.
b. Hukuman jiwa (‘Uqubah Nafsiyah), yaitu hukuman yang
dikenakan kepada jiwa manusia, bukan badannya, seperti
ancaman, peringatan, atau teguran.
c. Hukuman harta (‘Uqubah Maliyah), yaitu hukuman yang
dikenakan terhadap seseorang, seperti diat, denda, dan
perampasan harta.
5. Hukuman ditinjau dari segi macamnya jarimah yang
diancamkan hukuman, hukuman dibagi kepada empat bagian,
yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman hudud,
b. Hukuman qishash dan diyat,
c. Hukuman kafarat,
d. Hukuman ta’zir.10
E. Syubhat
Syubhat ialah segala sesuatu yang hukumnya tidak jelas,
kabur, dekat dengan haram, atau mempunyai dua kemungkinan
sehingga perlu ditinggalkan dan dicegah.11 Nabi bersabda: “Dari
Al-Husain bin Ali r.a ia berkata: Saya selalu ingat pada sabda
Rasulullah Saw, yaitu: Tinggalkanlah sesuatu yang
meragukanmu dan kerjakanlah sesuatu yang tidak
meragukanmu.” (Riwayat Tirmidzi).12
Hal-hal yang dapat ditempatkan sebagai syubhat yang dapat
meniadakan hukuman tersebut menurut pendapat ulama yang
berkembang adalah sebagai berikut:
1. Syubhat dalam berbuat yaitu hubungan kelamin yang
berlangsung antara pasangan yang meyakini sebagai suami
istri, tetapi ternyata kemudian bahwa dia bersetubuh dengan
orang lain.
2. Syubhat dalam hukum yaitu hubungan kelamin yang
berlangsung antara laki-laki dan perempuan yang oleh satu
pendapat dinyatakan sebagai tidak sah, sedangkan menurut
pendapat lain adalah sah. Umpamanya pernikahan yang tidak
memakai wali yang oleh golongan Syafi'iyah dinyatakan tidak
sah, sedangkan menurut golongan Hanafiyah adalah sah.

10
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 67-68.
11
Hasbi Indra, Halal Haram Dalam Makanan, (Jakarta: Permadani, 2004). 32.
12
Imam Nawawi, Terjemahan Riyadus Shalihin Jilid I, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), 561.
3. Hubungan kelamin antara pasangan yang meyakini sebagai
pasangan yang sah tetapi ternyata kemudian tidak sah
Umpamanya suami istri yang kemudian ketahuan di antara
keduanya adalah bersaudara.
4. Hubungan kelamin secara terpaksa. Hal ini hanya berlaku
terhadap pihak perempuan yang mungkin berada dalam
keadaan terpaksa dan tidak pada laki-laki yang tidak mungkin
melangsungkan hubungan kelamin sambil dipaksa.
5. Pengakuan dari pihak yang melakukan hubungan kelamin
bahwa mereka adalah suami istri. Dapatnya dibuktikan bahwa
si perempuan masih dalam keadaan perawan.

Hakim dalam menjatuhkan hukuman harus berpegang pada


keyakinan. Menurut Sayyid Sabiq, mazhab Hanafi dan mazhab
Syafi'i menjelaskan beberapa macam keraguan dalam
menentukan sanksi hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Penganut Mazhab Syafi'i Kalangan penganut mazhab Syafi'i


membagi syubhat (keraguan) menjadi tiga bagian:
a. Keraguan yang berkenaan dengan sasaran perbuatan,
seperti menyetubuhi istri yang sedang haid atau berpuasa
dan menyetubuhinya dari belakang. Kedua pintu masuk
(faraj dan dubur) itu menjadi hak suami. Akan tetapi,
pemilikan dan penguasaan sang suami atas dua pintu itu
merupakan kesyubhatan yang memungkinkan
pelakunya menolak hukuman, tanpa terkait pada
pendapatnya tentang haram atau tidaknya melakukan
perbuatan melalui jalan tersebut.
b. Keraguan yang berkenaan dengan pelaku. Contohnya
suami yang menyetubuhi seorang wanita yang dikira
istrinya, tetapi ternyata bukan. Dalam contoh ini, yang
menjadi dasar syubhat adalah keyakinan pelaku yang telah
berbuat karena dia yakin hal itu bukan pekerjaan yang
diharamkan, yakni dia yakin sasarannya itu adalah
istrinya. Menurut mereka, kesyubhatan jenis kedua ini
juga memungkinkan seseorang menolak hukuman.
c. Keraguan yang berasal dari kebingungan menentukan
sikap terhadap ketentuan hukum atas perbuatan tertentu.
Misalnya seseorang yang bingung untuk memilih satu
pendapat mengenai hukum disebabkan banyaknya
pendapat para ahli tentang hal itu. Keraguan dalam bentuk
ketiga ini bisa dijadikan alasan untuk menolong suatu
hukuman. Misalnya, Imam Abu Hanifah menghalalkan
nikah tanpa wali. Imam Malik menganggap sah
pernikahan tanpa saksi, sementara jumhur ulama
berpendapat bahwa nikah tanpa wali dan/atau tanpa saksi
tidak sah. Dengan demikian, setiap penganut pendapat itu
akan saling menuduh suami istri yang nikah menurut
paham aliran tertentu sebagai berbuat zina. Pengikut
pendapat Imam Malik tentu menganggap zina
persetubuhan suami istri yang dinikahkan secara
Hanafiah. Sementara itu, orang yang menganut pendapat
jumhur akan menganggap zina persetubuhan suami istri
yang dinikahkan menurut paham Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik. Hal ini memungkinkan ditolaknya hukuman
oleh orang yang dituduh berzina, jika tuduhan itu diajukan
oleh hakim yang berbeda mazhab, sekalipun dia merasa
bahwa persetubuhan dengan istrinya yang dinikahi
menurut mazhab itu masih belum bisa dinyatakan sah. Hal
ini karena perasaan atau perkiraannya tidak berpengaruh
apa pun terhadap ketetapan hukum yang diperselisihkan
oleh para ahli hukum.13

13
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), 279.
F. Hal-Hal Yang Dapat Mempengaruhi Hukuman
Pada dasarnya, sebab-sebab terhapusnya hukuman berkaitan
dengan keadaan diri pembuat, sedangkan sebab kebolehan adalah
sesuatu yang berkaitan dengan keadaan perbuatan itu. Adapun
penyebab terhapusnya hukuman adalah sebagai berikut:

1. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para
fuqaha tentang paksaan. Pertama, paksaan adalah perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain. Oleh
karena itu, hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi
pilihannya. Kedua, paksaan adalah perbuatan yang keluar
dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang
yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk
melakukan perbuatan yang diperintahkan. Ketiga, paksaan
merupakan ancaman atas seorang dengan sesuatu yang tidak
disenangi untuk mengerjakaannya. Keempat, paksaan adalah
sesuatu yang diperintahkan seseorang kepada orang lain yang
membahayakan dan menyakitinya.
2. Mabuk
Syariat Islam melarang minuman khamar, baik
mengakibatkan mabuk maupun tidak. Minum khamar
termasuk farimah hudud dan pelakunya dihukum dengan
delapan puluh jilid sebagai hukuman pokok. Mengenai
pertanggungjawaban pidana bagi orang yang mabuk menurut
pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqh adalah
tidak dijatuhi hukuman atas jarimah yang diperbuatnya, jika
ia dipaksa atau secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri,
tetapi tidak mengetahui bahwa yang diminumnya itu bisa
mengakibatkan mabuk.
3. Gila (majnun)
Seseorang dipandang sebagai mukalaf oleh syariat Islam,
artinya dibebani pertanggungjawaban pidana apabila ia
mempunyai kekuatan berpikir dan kekuatan memilih (idrak
dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara itu tidak
ada, terhapuslah pertanggungjawaban tersebut. Oleh karena
itu, orang gila tidak dikenakan hukum jarimah karena tidak
mempunyai kekuatan berpikir dan memilih.
4. Di bawah umur
Anak di bawah umur dipandang belum dibebani hukum
atau tidak termasuk mukalaf. Oleh karena itu, tidak ada
kewajiban hukum atasnya dan tidak ada pertanggung jawaban
atas perbuatannya sehingga ia mencapai dewasa.

Dengan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam


hukum pidana Islam dikenal empat macam jarimah apabila
ditinjau dari berat-ringannya hukuman yang diancamkan, yaitu
sebagai berikut:

1. Jarimah qisas, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman


qisas. Qisas adalah hukuman yang sama dengan jarimah yang
dilakukan. Pembunuhan dan penganiayaan dengan sengaja
yang mengakibatkan terpotong atau terlukanya anggota
badan termasuk dalam jarimah ini.
2. Jarimah diyat, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman
diyat. Diyat adalah hukuman ganti rugi atas penderitaan yang
dialami korban atau keluarganya. Pembunuhan tidak
disengaja termasuk dalam jarimah diyat yang mengakibatkan
terpotongnya atau terlukanya anggota badan.
3. Jarimah hudud, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman
had. Had adalah hukuman yang telah ditentukan dalam nash
Al-Quran atau Sunnah Rasul dan telah pasti macamnya serta
menjadi hak Allah, tidak dapat diganti dengan hukuman lain
atau dibatalkan oleh manusia. Pencurian (as-sariqah),
perampokan (al-hirabah), pemberontakan (al-bughat), zina
(al-zina), menuduh zina (al-qadaf), minum-minuman keras
(as-sakr), dan murtad (ar- riddah) termasuk dalam jarimah
hudud.
4. Jarimah ta'zir, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman
taʼzir Jarimah taʼzir adalah hukuman yang tidak dipastikan
ketentuannya dalam nash Al-Quran dan Sunnah Rasul. Ada
jarimah taʼzir yang disebutkan dalam nash, tetapi jenis
hukumannya diserahkan kepada penguasa untuk
menentukannya, dan ada pula jarimah yang macam ataupun
hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.14

14
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo
Bandung, 2012), 45.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula
dikatakan balasan atas suatu kejahatan/pelanggaran, yang dalam
bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafadz ‘uqubah menurut bahasa
berasal dari kata ‘aqoba, yang memiliki sinonim; ‘aqobahu
bidzanbihi au ‘ala dzanbihi, yang mengandung arti menghukum,
atau dalam sinonim lain; akhodzahu bidzanbihi, yang artinya
menghukum atas kesalahannya.
Dasar-dasar penjatuhan hukuman:
1. Surat Shad ayat 26
2. Surat An-Nisa ayat 135
3. Sabda Rasulullah SAW

Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut


Islam adalah pencegahan serta balasan dan perbaikan serta pengajaran.
Dengan tujuan tersebut tersebut, pelaku jarimah (terpidana) tidak
mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu, juga merupakan
Tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.

Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada beberapa


bagian, dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini ada lima
penggolongan. Syubhat ialah segala sesuatu yang hukumnya tidak jelas,
kabur, dekat dengan haram, atau mempunyai dua kemungkinan sehingga
perlu ditinggalkan dan dicegah. Pada dasarnya, sebab-sebab terhapusnya
hukuman berkaitan dengan keadaan diri pembuat, sedangkan sebab
kebolehan adalah sesuatu yang berkaitan dengan keadaan perbuatan itu.
B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan
yang perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya
pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke
depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan karya tulis
yang bermanfaat bagi banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mustafa. 1983. Intisari Hukum Pidana, cet ke- 1. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Audah, Abdul Qodir. At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamy, Juz 1. Beirut: Dar Al-Kitab
Al-‘Araby.

Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Indonesia, Departemen Agama Republik. 2011. Al- Hikmah Al-Qur’an dan


Terjemahannya, cet ke-XII. Bandung: Diponegoro.

Indra, Hasbi. 2004. Halal Haram Dalam Makanan. Jakarta: Permadani.

Irfan, M. Nurul. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah.

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Cet


IVX. Surabaya: Pustaka Progressif.

Nasional, Departemen Pendidikan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi


ke- 3. Jakarta: Balai Pustaka.

Nawawi, Imam Nawawi. 1999. Terjemahan Riyadus Shalihin Jilid I. Jakarta:


Pustaka Amani.

Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam). Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algensindo Bandung.

Saurah, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah. Al-Jami’u Al-Shohih Wahuwa
Sunan Al- Turmudzi, Juz III. Beirut: Dar Al-Kutb Al-‘Alamiyah.

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai