Anda di halaman 1dari 15

Tugas Fiqih Jinayah

Hukuman Pelaku Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam

Disusun Oleh:
1. Agus Supriadi

14050260

2. Alim Hidayatullah W.

15050397

3. Amin Hidayatullah W.

15050398

4. Bobby

14050019

5. Khoirul Rozikin

13050700

6. Maran Hoven

140500541

7. Sri Wahyuni

14050020

Program Studi Ilmu Hukum


Universitas Islam Attahiriyah
Jakarta
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya Makalah Hukuman
Pelaku Tindak Pidana Dalam Hukum Islam. Makalah ini dimulai dengan mengumpulkan
tulisan, menyortir serta menyunting dan pada akhirnya menyusun makalah ini secara
teratur sehingga dapat digunakan untuk kepentingan ilmiah serta bagi pihak akademisi
dalam pengembangan dan pelaksanaan penelitian.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian makalah ini, masih terdapat
ketidaksempurnaan atau kesalahan sehingga kedepannya masih perlu melakukan
penyempurnaan berkaitan dengan layout dan teknis penulisan.
Masih banyak kekurangan di makalah ini karena pengalaman yang dimiliki masih sangat
jauh dari ilmu para pembaca. Oleh karena itu sangat diharapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaannya.
Terima Kasih, semoga bermanfaat.

Jakarta, 2 Desember 2016


Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................ii
Daftar Isi.............................................................................................................................. iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................................1
Bab II Hukuman Pelaku Jinayah
2.1 Pengertian Hukuman.......................................................................................................2
2.2 Tujuan Hukuman.............................................................................................................2
2.3 Syarat-syarat Hukuman...................................................................................................3
2.4 Macam-macam Hukuman...............................................................................................4
2.5 Hukuman Pada Hukum Positif........................................................................................6
2.6 Pengulangan Tindak Pidana............................................................................................6
2.7 Gabungan Hukuman.......................................................................................................8
2.8 Pelaksanaan Hukuman..................................................................................................10
2.9 Gugurnya Hukuman......................................................................................................10
Bab III Penutup
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................11
3.2 Saran..............................................................................................................................11
Daftar Pustaka......................................................................................................................12

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara terminologi kata jinayah mempunyai pengertian, seperti yang diungkapkan
Imam Al-Mawardi :


"Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara yang diancam oleh
Allah dengan hukuman hadd atau tazir." Dalam istilah lain jarimah disebut juga
dengan jinayah.
Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut :

,
"Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh Syara, baik perbuatan
tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya."
Hukum Pidana Islam dalam pengertian fiqh dapat disamakan dengan istilah jarimah
yang diartikan sebagai larangan Syara yang dijatuhi sanksi oleh pembuat Syariat
(Allah) dengan hukuman hadd atau tazir.

Di makalah ini kami akan mencoba

membahas macam-macam hukuman apabila melakukan jinayah sehingga kita dapat


saling mengingatkan ataupun mencegah antar sesama dari berbuat kerusakan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan perumusan masalah yang
akan dibahas adalah bagaimana hukuman yang akan dikenakan pada pelaku jinayah.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk memberikan sebuah pemaparan mengenai hukuman
pelaku jinayah dan sebagai tugas pada matakuliah Jinayah.

1.4
1

BAB II
HUKUMAN PELAKU JINAYAH

2.1. Pengertian Hukuman


Menurut Hukum Pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefenisikan oleh Abdul
Qadir Audah :
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan
masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan syara.
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan
yang diberikan oleh syara sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar
ketentuan syara, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan
masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
Pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia
dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena islam itu sebagai rahmatan
lilalamin,

untuk

memberi

petunjuk

dan

pelajaran

kepada

manusia.

Hukuman itu harus mempunyai dasar, baik dari Al Quran, hadis, atau lembaga
legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus tazir.
Selain itu hukuman itu harus bersifat pribadi, artinya hanya dijatuhkan kepada yang
melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa: Seseorang tidak
menanggung dosanya orang lain. Terakhir, hukuman itu harus bersifat umum,
maksudnya berlaku bagi semua orang, karena semua manusia sama di hadapan
hukum.
2.2. Tujuan Hukuman
Hukuman memiliki tujuan yaitu:
a. Pencegahan (Ar Radu wa Zajru)
Pengertian pencegahan adalah menahan orang berbuat jarimah agar ia tidak
mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus menerus melakukan
jarimah tersebut. Disamping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandug arti
mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah,
sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan
dikenakan kepada orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan
2

demikian, kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang


berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain
untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Tujuan yang pertama ini, berefek kepada masyarakat, sebab dengan tercegahnya
pelaku dari perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman, tenteram dan
damai. Dan juga efeknya terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya
jarimah maka pelaku akan selamat dan terhindar dari penderitaan akibat dari
hukuman itu.
b. Perbaikan dan Pendidikan (Al Ishlah wa Tahdzib)
Perbaikan dan Pendidikan adalah agar bisa mendidik pelaku jarimah agar ia
menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Dengan adanya hukuman
ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi
jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan
kebencian terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha Allah.
Disamping kebaikan pribadi pelaku, syariat islam dalam menjatuhkan hukuman
juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling
menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batasbatas hak dan kewajibannya.
2.3. Syarat-Syarat Hukuman
Berlakunya hukuman harus memiliki beberapa syarat yaitu:
1)

Hukuman Harus ada Dasarnya dari Syara, hukum dianggap mempunyai dasar
(syariyah) apabila ia didasarkan kepada sumber-sumber syara seperti: AlQuran, As-Sunnah, Ijma, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga
yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman tazir. Dalam hal hukuman
ditetapkan oleh ulil amri maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syara. Apabila bertentangan maka ketentuan hukuman
tersebut menjadi batal.

2)

Perbuatan dianggap salah jika ditentukan oleh nas. Prinsip ini yang dalam bahasa
hukum disebut dengan istilah asas legalitas. Hukum pidana Islam mengenal asas
ini secara substansial sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
Surat Al-Isra ayat 15:
3


dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul.
Surat Al-Baqarah ayat 286:

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Berikut ini kaidah yang dirumuskan oleh para ahli hukum yang diambil dari
substansi ayat-ayat tersebut:


Tidak ada tindak pidana dan tidak ada hukuman kecuali adanya nas.
3)

Hukuman Harus Bersifat Pribadi (Perorangan)


Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang
melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah.
Syarat ini merupakan salah satu dasar dan prinsip yang ditegakkan oleh syariat
Islam dan ini telah dibicarakan berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban.

4)

Hukuman

Harus

Bersifat

Universal

Dan

Berlaku

Umum

Ini berarti hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi,
baik pangkat, jabatan, status, atau kedudukannya. Di dalam hukum pidana Islam,
persamaan yang sempurna itu hanya terdapat dalam jarimah dan hukuman had
atau qishash, karena keduanya merupakan hukuman yang telah ditentukan oleh
syara. Setiap orang yang melakukan jarimah hudud akan dihukum dengan
hukuman yang sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Sedangkan persamaan
yang dituntut dari hukuman tazir adalah persamaan dalam aspek dampak
hukuman terhadap pelaku, yaitu mencegah, mendidik, dan memperbaikinya.
Sebagian pelaku mungkin cukup dengan hukuman peringatan, sebagian lagi perlu
dipenjara, dan sebagian lagi mungkin harus didera atau bahkan ada pula yang
harus dikenakan hukuman mati.
2.4. Macam-Macam Hukuman
Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada beberapa bagian, dengan
meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini ada lima penggolongan.
1) Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya,
hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai berikut.
4

a. Hukuman pokok (uqubah ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk


jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli, seperti hukuman
qishash untuk jarimah pembunuhan.
b. Hukuman pengganti (uqubah badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan
hukuman poko, apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena
alasan yang sah, seperti hukuman diat (denda) sebagai pengganti hukuman
qishash, atau hukuman tazir sebagai pengganti hukuman had atau hukuman
qishash yang tidak bisa dilaksanakan.
c. Hukuman tambahan (uqubah tabaiyah) yaitu hukuman yang mengikuti
hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri.
d. Hukuman pelengkap (uqubah takmiliyah) yaitu hukuman yang mengikuti
hukuman pokok dengan syarat harus ada keputusan tersendiri dari hakim dan
syarat inilah yang membedakannya dengan hukuman tambahan.
2) Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman
maka dapat dibagi menjadi dua bagian.
a. Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau
batas terendah.
b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi atau batas terendah.
3) Ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan hukuman tersebut,
hukuman dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman yang sudah ditentukan (uqubah muqaddarah) yaitu hukumanhukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh syara dan hakim
berkewajiban untuk memutuskannya tanpa mengurangi, menambah atau
menggantinya dengan hukuman yang lain.
b. Hukuman yang belum ditentukan (uqubah ghair muqaddarah) yaitu hukuman
yang diserahkan kepada hakim untuk memilih jenisnya dari sekumpulan
hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara dan menentukan jumlahnya
untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku danperbuatannya.
4) Ditinjau dari segi tempat dilakukanya hukuman maka hukuman dapat dibagi
kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
a. Hukuman badan (uqubah badaniyah) yaitu hukuman yang dikenakan atas
badan manusia, seperti hukuman mati.
b. Hukuman jiwa (uqubah nafsiyah) yaitu hukuman yang dikenakan atas jiwa
manusia, bukan badannya seperti ancaman, peringatan.
5

c. Hukuman harta (uqubah maliyah) yaitu hukuman yang dikenakan terhadap


harta seorang seperti diat.
5) Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman. Hukuman dapat
dibagi kepada empat bagian, yaitu:
a. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah hudud.
b. Hukuman qishash dan diat, hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah
qishash dan diat.
c. Hukuman kufarat, hukuman yang ditetapkan untuk jarimah qishash dan diat dan
beberapa jarimah tazir.
d. Hukuman tazir hukuman yang ditetapkan atas jarimah-jarimah tazir.
Pembagian hukuman yang kelima ini merupakan pembagian yang sangat
penting, karena sebenarnya inilah subtansi dari hukuman dalam hukum pidana
Islam.
2.5. Hukuman Pada Hukum Positif
Dimaksudkan untuk menguatkan apa yang telah dilarang atau yang diperintahkan oleh
ketentuan hukum. Terhadap orang yang melanggar ketentuan hukum, diambil tindakan
sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang bersangkutan.
Jenis-jenis hukuman/pidana tersebut adalah:
a. Hukuman Pokok:
1) Hukuman mati,
2) Hukuman penjara,
3) Hukuman kurungan,
4) Hukuman denda,
5) Hukuman tutupan,
b. Hukuman Tambahan:
1) Pencabutan beberapa hak yang tertentu,
2) Perampasan beberapa barang yang tertentu,
3) Pengumuman putusan hakim.
2.6. Pengulangan Tindak Pidana menurut Hukum Pidana Islam
Pengulangan Tindak Pidana atau pengulangan jarimah (al-audu) adalah dikerjakannya
suatu jarimah oleh seseorang sesudah ia melakukan jarimah lain yang telah mendapat
keputusan terakhir. Dengan perkataan pengulangan jarimah harus timbul dalam
6

berulang-ulangnya jarimah dari seseorang tertentu sesudah mendapat keputusan


terakhir atas dirinya pada salah satu atau pada sebagiannya. Pengulangan jarimah oleh
seseorang sesudah ia mendapat keputusan akhir, menunjukkan sifat membandelnya
untuk jarimah dan tidak mempannya hukuman yang pertama.
Hukum pidana Mesir, menggunakan sepenuhnya syarat-syarat tersebut, dalam pasal 49
KUHP Mesir, sebagian dikutip oleh Ahmad Hanafi disebutkan bahwa dianggap
sebagai pengulangan jarimah adalah orang-orang sebagai berikut :
a. Orang yang telah dijatuhi hukuman jarimah jinayah, kemudian ia melakukan
jinayah atau janhah;
b. Orang yang telah dijatuhi hukuman penjara 1 tahun atau lebih dan ternyata ia
melakukan suatu janhah, sebelum lewat 5 tahun dari masa berakhirnya hukuman
tersebut atau dari masa hapusnya hukuman karena daluarsa;
c. Orang yang dijatuhi hukuman karena jinayah atau janhah dengan hukuman penjara
kurang dari 1 tahun atau dengan hukuman denda, dan ternyata ia melakukan janhah
yang sama dengan jarimah yang pertama sebelum lewat 5 tahun dari masa
dijatuhkanya hukuman tersebut, seperti mencuri, penipuan, dan penggelapan barang
yang dianggap janhah-janhah yang sama.
Pemberatan hukuman terhadap pengulangan tindak pidana dapat ditemukan dalam
hadits, yaitu apabila terjadi pencurian yang ke -5 kalinya. Hadits tersebut adalah
sebagai berikut:
Diceritakan dari mushab bin Tsabit bin Abdillah bin Zubair,diceritakan dari
muhammad bin al-munkadiri Dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata, Rasulullah
pernah didatangkan seorang pencuri, beliau lantas berkata, Bunuhlah ia!
Orang-orang berkata, wahai Rasulullah, ia hanya mencuri. Rasulullah bersabda,
potonglah tangannya.Maka dipotonglah tangan pencuri itu. Lalu beliau didatangkan
dengan pencuri yang sama untuk kedua kalinya, beliau lantas berkata, Bunuhlah ia!
Orang-orang berkata, wahai Rasulullah, dia hanya mencuri. Rasulullah bersabda,
potonglah tangannya. Maka dipotonglah tangan pencuri itu. Pencuri itu kembali
didatangkan untuk ketiga kalinya, beliau lantas berkata, Bunuhlah ia!.
Orang-orang berkata, wahai Rasulullah, dia hanya mencuri. Rasulullah bersabda,
Potonglah ia (tangannya). Kemudian didatangkan kembali kepada beliau untuk yang
keempat kalinya pencuri yang sama, beliau lantas berkata, Bunuhlah ia!

Orang-orang berkata, wahai Rasulullah, dia hanya mencuri. Rasulullah bersabda,


potonglah ia. Dan ketika didatangkan untuk kelima kalinya, beliau lantas berkata,
Bunuhlah ia!.
Maka kami segera membunuhnya, kemudian kami menyeretnya pelan-pelan dan
melempar mayatnya kedalam sumur (lubang), lalu kami melemparinya dengan
bebatuan.
Meskipun hukuman untuk pengulangan tersebut sudah dijelaskan dalam hadist diatas,
namun tidak ada keterangan yang menjelaskan tentang persyaratan dan lain-lainya.
Demikian juga para fuqoha tidak membahas mengenai persyaratan ini. Mereka
mungkin menganggap hal tersebut sebagai siyasah syariyah atau kebijakan penguasa
yang rinciannya harus diatur dan ditetapkan oleh penguasa negara atau ulul amri.
2.7. Gabungan Hukuman
Gabungan hukum dapat terjadi manakala terdapat gabungan tindakan kejahatan.
Gabungan tindak kejahatan dapat pula terjadi ketika seseorang melakukan beberapa
macam tindak pidana yang masing-masing belum dapat putusan hakim. Gabungan
tindak pidana adakalanya abstrak (lahiriyah) dan ada kalanya hakiki (nyata) gabungan
tindak pidana yang lahiriyah adalah apabila seseorang melakukan tindak pidana yang
dapat diancam dengan beberapa macam hukuman. Seperti pengniaya petugas
keamanan, ancaman hukuamannya bisa karena melawan petugas dan juga kerena
menganiaya. Gabungan tindak pidana yang hakiki adalah jika terjadi beberapa macam
tindak pidana yang hakiki adalah apabila terjadi beberapa macam tindak pidana yang
masing masingnya pidana yang berdiri sendiri. Seperti penganiayaan dan membunuh.
Mengenai hukum yang akan yang akan dijatuhkan pada perbuatan pidana yang
berganda tersebut, dikalangan fukaha mengemukakan jalan fikirannya tetang teori
penggabungan hukum ini dengan dua cara yaitu :
1)

Teori al-tadakhul (saling melengkapi)

Menurut teori ini, ketika terjadi gabungan perbuatan tindak pidana, hukumannya
hanya dijatukan satu macam hukuman saja. Hal ini didasakan pada dua pertimbangan :
a. Melakuan perbuatan pidananya dilakukan secara berganda, tetapi bentuk
pidananya hanya satu macam yang dilakukan secara berulang ulang, maka sudah
sepantasnya hukuman hanya dijatuhkan secara satu macam pula, selama belum ada
keputusan hakim pada perbuatan perbuatan yang sebelumnya.
8

b. Meskipun perbuatan pidana dilakukan berganda dan berbeda beda macamnya,


namun hukumannya bisa saling melengkapinya dan cukup hanya dijatuhkan satu
hukuman untuk melindungi kepentingan atau tujuan yang sam. Misalnya apabila
seseorang melakukan pencabulan, juga melakukan pemerkosaan, maka atas kedua
perbuatan yang dilakukannya hanya dijatuhkan satu hukuman, karena hukuman
yang dijatuhi itu adalah untuk memelihara kepentingan yang sama yang
memelihara kehormatan.
2)

Teori al-jubb (penyerapan)

Maksud teori penyerapan adalah menjatukan suatu hukuman dimana hukuman


hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan, disebabkan sudah diserap oleh hukuman
yang lebih berat. Hukuman yang lebih berat itu adalah hukuman mati menyerap
hukuman

hukuman

lainnya.

Dikalangan

fuqaha

tidak

ada

kesepakatan

tentang penerapan toeri al-jubb ini. Imam malik, abu hanifah dan ahmad dari teori
teori penerapan hukum yang mereka kemukakan, nampaknya memakai teori al-jubb,
tetapi mereka berbeda pendapat tentang jangkauan pemakaian teori ini. Sedang imam
syafi tidak memakai teori al jubb karena itu setiap perbuatan pidana, masing masing
harus dijatuhi hukuman.
Menurut imam malik, apabila hukuman hadd berkumpul dengan hukuman mati yang
merupakan hak Allah, maka hukuman hadd tersebut telah diserap oleh hukuman mati,
kerena itu hukuman hadd tidak dapat dijalankan, kecuali hadd qazaf, tidak bisa diserap
oleh hukuman mati. Menurut imam ahmad, apabila terjadi dua tinda pidana hudud,
maka hukuman mati saja yang dijalankan dan hukuman hukuman lain diserap oleh
hukuman mati seperti hukuman hukuman potong tangan karena pencuri diserap oleh
hukuman rajam kalau hukum hudud berkumpul dengan hukuman yang merupakan hak
hak manusia yang salah satunya diancam dengan hukuman hukuman mati, maka hak
hak manusia dilaksanakan terlebih dahulu dan hukuman yang merupakan hak Allah
diserap oleh hukuman mati baik hukuman mati baik hukuman mati itu karena ataupun
sebagai hukuman qisas. Menurut abu hanifah, pada prinsifnya apabila terdapat
gabungan hukuma yang merupakan hak manusia dengan hukum yang merukan hak
Allah, maka hukum yang merupakan hak manusialah yang didahulukan, karena
biasanya manusia ingin secepatnya mendapatkan haknya.

2.8. Pelaksanaan Hukuman


Yang melaksanakan hukuman adalah petugas yang ditunjuk imam untuk
melaksanakan hal itu. Adapun alat untuk melaksanakan hukuman mati, menurut Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad harus menggunakan pedang. Sedangkan menurut
Imam Malik dan Imam Syafii dan sebagian ulama hanabilah, alat untuk
melaksanakan hukuman haruslah sama dengan alat yang digunakan untuk membunuh
korban.
Para ulama islam dewasa ini membolehkan penggunaan alat selain pedang. Asal lebih
cepat mematikan dan lebih meringankan penderitaan terhukum. Misalnya hukuman
tembak.
2.9. Gugurnya Hukuman
Pada dasarnya yang dimaksud dengan gugurnya hukuman disini adalah tidak dapat
dilaksanakannya hukuman hukuman yang telah ditetapkan atau diputuskan hakim,
berhubung tempat badan atau bagiannya untuk melaksanakan hukuman yang sudah
tidak ada lagi atau waktu untuk melaksanakannya terlambat.
Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman ialah:
1. Pelaku meninggal dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat dan
perampasan harta.
2. Hilangnya anggota badan yang harus dikenai hukuman, maka hukumannya
berpindah kepada diyat dalam kasus jarimah qishash.
3. Tobat dalam kasus jarimah hirabah, meskipun ulil amri dapat menjatuhkan
hukuman tazir bila kemaslahatan umum menghendakinya.
4. Perdamaian dalam kasus jarimah qishash dan diyat.
5. Pemaafan dalam kasus qishash dan diyat serta dalam kasus jarimah tazir yang
berkaitan dengan hak adami.
6. Diwarisinya qishash. Dalam hal ini ulil amri dapat menjatuhkan hukuman tazir
seperti ayah membunuh anaknya.
7. Kadaluarsa. Menurut Imam Malik, Syafii, dan Ahmad, di dalam hudud itu ada
masa kadaluarsanya.
Demikian sebab sebab gugurnya hukuman.

10

BAB III
PENUTUP

3.1.

Kesimpulan
Hukuman memiliki tujuan untuk menjauhkan manusia dari perbuatan yang dilarang
oleh agama maupun peraturan yang berlaku di masyarakat agar ketentraman dapat
terjaga. Kita dapat mengambil pembelajaran dari akibat melakukan perbuatan jinayah
di lingkungan sekitar kita.

3.2.

Saran
Untuk mencegah perbuatan jinayah dan terhindar dari hukumannya, kita harus saling
mengingatkan dan saling menasehati antar sesama umat manusia.

11

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman [diakses pada 14/11/2016]


http://klungsur-senjamagrib.blogspot.co.id/2011/01/tujuan-hukuman-dan-terapisosial.html[diakses [diakses pada 14/11/2016]
http://marwajunia.blogspot.co.id/2013/05/gabungan-hukuman-jinayah.html [diakses pada
14/11/2016]
Thohir,Muhammad. 2012. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberian Remisi
Kepada Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Analisis Keppres RI No
174Tahun1999TentangRemisi).
http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-muhamadtho-6752 [diakses pada 14/11/2016]

12

Anda mungkin juga menyukai