Anda di halaman 1dari 13

HAKIKAT, AKIBAT DAN MANFAAT HUKUM PIDANA

Oleh: Fahrel Iqwa Aziz


NIM: 11190430000060

LATAR BELAKANG
Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam masyarakat yang dengan hukum itulah
terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya
keharmonisandalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang
mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merukan
suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, perbuatan
pidana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.
Tindak pidana, dalam Kamus Besar Indonesia, diberi batasan sebagai berikut:
“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-
undang tindak pidana”.1 Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum pidana latar belakang
orang melakukan tindak pidana dapat dipengaruhi dari dalam diri pelaku yang disebut
indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut determinisme.
Hukum pidana merukan bagian dari ranah hukum publik. Hukum pidana secara
umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan
penjajahan Belanda. KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di
Indonesia, dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana
yang diatur di luar KUHP. Secara yuridis formal memerlakukan hukum pidana Belanda di
Indonesia didasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana yang
mana merupakan penegasan negara Indonesia untuk memerlakukan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 sebagai hukum pidana yang
berlaku di Indonesia.
KHUP atau dalam bahasa Belanda disebut Wetboek van starfrect merupakan bagian
hukum politik yang berlaku di Indonesia dan terbagi menjadi dua bagian, yakni hukum
pidana materil dan hukum pidana formil. Semua hal yang bersangkutan dengan hukum
pidana materil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi),
sedangkan hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum
pidana materil. Menurut Kansil, KHUP merupakan segala peraturan-peraturan tentang
pelanggaran (overtredingen), kejahatan (misdrijven), dan sebagainya, diatur oleh Hukum
Pidana (Starfrecht) dan dimuat dalam satu Kitab Undang-undang.2
Upaya untuk menekan kejahatan secara garis besar dapat dilalui dengan 2 (dua) cara
yaitu, upaya penal (hukum pidana) dan non penal (di luar hukum pidana). Penanggulangan
kejahatan melalui jalur penal, lebih menitik beratkan pada sifat represif (merupakan tindakan
yang diambil setelah kejahatan pribadi terjadi). Pada upaya non penal menitik beratkan pada
sifat preventif (menciptakan kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana).3

11
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
22
CST . Kansil, 1976, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
(selanjutnya disebut CST . Kansil) hal. 257.
Apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka akan muncul ancaman
sanksi pidana sebagai suatu penanggungjawaban atas perbuatannya tersebut. Jenis-jenis
sanksi tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP, dimana pidana terdiri atas
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim.
Namun pada kenyataannya, di sisi lain sanksi pidana juga menimbulkan suatu dilema,
dikarenakan sejak dahulu sampai saat ini sfektivitas dari sanksi pidana semakin diragukan,
terutama sanksi pidana penjara. Berdasarkan penelitian Djisman Samosir di Lembaga
Permasyarakatan Cipinang pada tahun 1990 menentukan bahwa 85 (delapan puluh lima)
orang dari 100 (seratus) narapidana yang diteliti menyatakan, bahwa pidana penjara bukan
suatu yang menentukan, karena sebelum melakukan tindak pidana sudah mengetahui tentang
resiko dari perbuatannya yaitu dijatuhi pidana penjara.4
Melihat peristiwa yang terjadi saat ini, sanksi pidana sudah tidak ditakuti lagi
keberadaanya oleh para pelaku tindak pidana. Seperti di dalam Lembaga Pemasyarakatan
(LAPAS) bahkan oleh sebagian pelaku tindak pidana diubah menjadi ruangan pribadi yang
mewah dilengkapi dengan segala faselitas yang membuat pelaku seolah-olah tidak berada di
dalam ruangan LAPAS, karena pelaku dapat melakukan segala aktifitas yang seharusnya
tidak didapatkan di dalm rungan LAPAS. Seperti yang terjadi pada Artalita Suryani, setelah
ditelusuri keberadaan sel tahanannya yang telah disulap menjadi kamar yang mewah dan dari
sel tahanannya itu pula dengan segala aktifitas yang canggih dia dapat mengendalikan
pekerjaannya dari dalam sel. Oleh karena itu, pidana penjara semakin banyak mendapat
sorotan tajam dari para ahli penologi dan selain itu sangat diperlukan peranan hakim agar
lebih seliktif dalam penjatuhan pidana penjara.
Shain, Seorang direktur penelitian dari Judicial Council of California mengemukakan
bahwa perlu adanya pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan pidana penjara agar
lebih selektif. Terdakwa yang memenuhi persyaratan berikut tidak layak dijatuhi
pidana penjar, (a) Terdakwa tidak termasuk penjahat professional, dan tidak
mempumyai riwayat kejahatan yang buruk; (b) Banyak ancaman faktor subjektif yang
meringankan terdakwa; (c) Terdakwa tidak melakukan kejahatan maupun
menyebabkan penderitaan atau kerugian yang serius terhadap korban; (d) Ada bukti
bahwa terdakwa melakukan tindak pidana karena provokasi dari pihak korban; (e)
Terdakwa bersedia memberikan ganti kerugian atas kerugian material maupun
nonmaterial yang di derita korban; (f) Tidak terdapat cukup alasan yang
menunjukkan, bahwa terdakwa akan melakukan tindak pidana lagi, atau tidak terdapat
cukup indiksi bahwa sifat-sifat jahat terdakwa akan muncul lagi.5

3
Barda Nawawi, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, hal. 1-2.
4
Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina Cipta,
Bandung, hal. 56.
5
Eddy Junaedi Karnasudirdja, 1993, Beberapa Pedoman Pemidnaan dan Pengamatan Narapidana,
Tanpa Penerbit, hal. 92.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas serta alasan-alasan yang ada, maka
penulisan karya tulis ilmiah ini mengambil judul “HAKIKAT, AKIBAT DAN MANFAAT
HUKUM PIDANA”.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa hakikat hukum pidana?
2. Apa hakikat norma?
3. Bagaimana sanksi pelanggar hukum pidana dalam penegakkan hukum?
4. Apa tujuan hukum pidana?
PEMBAHASAN
1. Hukum Pidana
Ida Bagus Surya Darma Jaya dalam bukunya ”Hukum Pidana Materil &
Formil” mengatakan dalam literatur telah banyak dijelaskan pengertian dan makna
hukum pidana sebagai salah satu bidang dalam ilmu hukum. Pendefinisian Hukum
pidana harus dimaknai sesuai dengan sudut pandang yang menjadi acuannya. Pada
prinsipnya secara umum ada dua pengertian tentang hukum pidana, yaitu disebut
dengan ius poenale dan ius puniend. Ius poenale merupakan pengertian hukum pidana
objektif. hukum pidana ini dalam pengertian menurut Mezger adalah "aturan-aturan
hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan tertentu yang memenuhi syarat-syarat
tertentu suatu akibat yang berupa pidana." 6 Pada bagian lain Simons merumuskan
hukum pidana objektif sebagai “Semua tindakan-tindakan keharusan (gebod) dan
larangan (verbod) yang dibuat oleh negara atau penguasa umum lainnya, yang kepada
pelanggar ketentuan tersebut diancam derita khusus, yaitu pidana, demikian juga
peraturan-peraturan yang menentukan syarat bagi akibat hukum itu. 7 Selain itu Pompe
merumuskan hukum pidana objektif sebagai semua aturan hukum yang menentukan
terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya
yang bersesuainya.8
Sebagai hakikat perlu kiranya dikemukakan pandangan pakar hukum pidana
Indonesia tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana (objektif). Moeljatno
memberikan makna hukum pidana sebagai bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk :9
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.

6
Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H dan Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H, Hukum Pidana (Makassar:
Pustaka Pena Pers, 2016), hal. 2.
7
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1986,
hal. 13.
8
S.R. Sianturi, Ibid., hal. 14.
9
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 1.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Perumusan Moeljatno mengindikasikan bahwa hukum pidana merupakan
seperangkat aturan yang mengatur tentang 3 unsur yakni aturan tentang tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana dan proses verbal penegakan hukum jika terjadi tindak
pidana. Unsur ini menunjukkan keterkaitan antara hukum pidana materil dan hukum
pidana formil, yang bermakna bahwa pelanggaran terhadap hukum pidana materil
tidak akan ada artinya tanpa ditegakkannya hokum pidana formil (hukum acara
pidana). Demikian pula sebaliknya hukum pidana formil tidak dapat berfungsi tanpa
ada pelanggaran norma hukum pidana materil (tindak pidana).
Andi Zainal Abidin Farid mengemukakan istilah hukum pidana bermakna
jamak yang meliputi :10
a. Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah
ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang
berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh
setiap orang.
b. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat
diadakan reaksi terhadap pelanggaran-peraturan-peraturan itu; dengan kata
lain hukum penitensier atau hukum sanksi.
c. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya
peraturanperaturan itu pada waktu dan wilayah negara tertentu.
Sementara itu ius puniendi, atau pengertian hukum pidana subjektif menurut
Sudarto memiliki dua pengertian yaitu :11
a. Pengertian luas, yaitu hubungan dengan hak negara / alat-alat
perlengkapannya untuk mengenakan atau menentukan ancaman pidana terhadap suatu
perbuatan.
b. Pengertian sempit, yaitu hak negara untuk menuntut perkara-perkara pidana,
menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan tindak
pidana. Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut di atas merupakan kewenangan dari
lembaga legislatif untuk merumuskan perbuatan pidana sekaligus ancaman pidananya,
untuk selanjutnya tugas dan fungsi memeriksa dan menurut suatu perkara pidana ada
dalam kewenangan lembaga yudikatif.
Berdasarkan pengertian tersebut maka secara umum hukum pidana dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materiil sepanjang menyangkut ketentuan tentang perbuatan yang
tidak boleh dilakukan, dilarang yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang
melakukan, sedangkan hukum pidana formil berkaitan dengan dalam hal apa kepada
mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan
cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.

10
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 1.
11
Ida Bagus Surya Dharma Jaya, op.cit, hal. 4.
Menurut penulis, hukum pidana didefinisikan sebagai bagian aturan hukum
dari suatu negara yang berdaulat, berisi perbuatan yang dilarang, disertai dengan
sanksi pidana bagi yang melanggar, kapan, dan dalam hal apa sanksi pidana itu
dijatuhkan dan bagaimana pemberlakuan pelaksanaan pidana tersebut dipaksakan oleh
negara. Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Moeljatno maupun penulis,
pengertian hukum pidana yang dimaksud adalah hukum pidana dalam arti luas yang
meliputi hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Dalam percakapan
sehari-hari, terminologi „hukum pidana‟ lebih mengacu kepada hukum pidana
materiil. Sementara itu, hukum pidana formil biasanya disebut dengan hukum acara
pidana.
Dapatlah dikatakan bahwa pengertian hukum pidana dalam arti sempit hanya
meliputi hukum pidana materiil, sementara pengertian hukum pidana dalam arti luas
meliputi, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Hukum pidana
materiil biasanya merujuk kepada Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP),
sedangkan hukum pidana formil mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana atau KUHAP.12
2. Norma
Beda halnya dengan norma dengan berbagai penamaan lainnya ugeran
menurut Djojodigoeno merupakan patokan atau pedoman bagaimana seharusnya
orang bersikap tindak. Artinya norma memberikan harapan-harapan tentang
bagaimana seharusnya atau seyogyanya orang bersikap tindak. 13 Norma dengan
demikian merupakan anggapan-anggapan yang dianggap baik.
Sebagai patokan atau pedoman, norma senantiasa berisi keharusankeharusan,
berupa perintah dan larangan di samping berisi kebolehan-kebolehan. Sebagai
suruhan, norma berisi perintah karena itu bersifat imperatif dalam pengertian bahwa
dalam keadaan apapun orang harus berperilaku sesuai yang diharapkan oleh norma,
perintah untuk memenuhi janji, melaksanakan prestasi atau larangan-larangan seperti
melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian, larangan merugian
orang lain. juga norma yang berisi kebolehan yang bersifat fakultatif. Di sini norma
memberikan kebebasan kepada subjek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan
termasuk menambah ketentuan hukum (aanvullend) misalnya siapa yang harus
menanggung resiko dalam suatu transaksi hukum. meskipun hukum telah meletakkan
kewajiban pada satu fihak, akan tetapi fihak lain dapat menyimpangi ketentuan
tersebut.
Dalam perjanjian jual beli misalnya, norma berkaitan dengan resiko
menyatakan bahwa, segala resiko terhadap barang yang menjadi objek perjanjian
beralih kepada pembeli ketika barang telah dibayar. Di sini berarti penjual tidak dapat
lagi dituntut dalam hal terjadi sesuatu atas objek perjanjian. Namun para fihak dapat
menjanjikan lain, misalnya penjual tetap bertanggung jawab atas resiko yang
ditimbulkan sebelum barang sampai ataua diserahkan kepada pembeli (levering).
12
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, “Modul Definisi Hukum Pidana, Pembagian Hukum
Pidana & Definisi, Objek, dan Tujuan Ilmu Hukum Pidana”. Modul 1, hal. 13.
13
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbatjaraka, Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Penerbit Alumni,
1982, hal. 14.
Mereka juga dapat mengalihkan resiko tersebut kepada fihak ketiga misalnya dengan
menutup perjanjian asuransi begitu seterusnya. Perjanjian perkawinan merupakan
salah satu contoh norma hukum yang berisi kebolehan itu. norma berupa kebolehan
bersifat fakultatif artinya para pihak dapat melakukan perjanjian atau aturan lain
sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan kesusilaan. Bidang-
bidang hukum perdata maupun hukum administrasi merupakan bidang hukum yang
sangat erat menunjukkan hubungan fungsional antara norma dan sanksi ini.
Manusia sebagai mahluk sosial membutuhkan norma dalam memenuhi
kepentingan masing-masing. Hal ini disebabkan karena kepentingan satu orang
dengan orang lain terdapat hubungan ketidaksesuaian. Kepentingan seorang pembeli
yang menghendaki suatu barang atau jasa berhadapan dengan kepentingan seorang
penjual yang berhak menerima pembayaran. Kepentingan keduanya berada dalam
hubungan yang saling bertegangan. Untuk menghilangkan ketegangan itu dibutuhkan
norma. Utrecht menyatakan norma adalah himpunan petunjuk hidup. Menurut
Utrecht, untuk memelihara kepentingan anggota masyarakat, dibuat petunjuk hidup,
agar terciptanya ketertiban.14
Dalam masyarakat terdapat berbagai petunjuk hidup, baik yang berasal dari
agama, kebiasaan atau hukum. perbedaannya terletak kepada sumber dan tujuan
masing-masing. Norma agama berasal dari Tuhan agar manusia menjadi insan kamil
(manusia yang sempurna). Begitu juga dengan norma kebiasaan agar tercipta tata
pergaulan kemasyarakatan yang baik. Kedua norma diterima bergitu saja oleh warga
masyarakat. Kalau hendak menjadi manusia begini, maka begini normanya. Begitulah
karakteristik norma agama/ketuhanan dan kebiasaan.
Berbeda dengan norma hukum, keberadaannya justru dikehendaki oleh
manusia bahkan manusia itu sendiri yang menciptakannya. Akibatnya dalam norma
hukum terdapat hubungan yang saling bertegangan (samen spannungverhaltis) antara
dunia ideal dengan kenyataan. Untuk mempertanggung jawabkan hukum dari sudut
filosofis maka hukum harus memasukkan nlai-nilai ideologis, sebaliknya untuk
memenuhi tuntutan efektivitas, hukum harus memasukkan unsur realitas. Hubungan
demikian itu tidak terdapat dalam kedua norma sebelumnya. Norma hukum terkadang
menerima kebiasaan sebagai normanya, namun ada kalanya juga menolaknya. Di
situlah letak hubungan ketegangan dalam norma hukum. norma hukum merupakan
petunjuk hidup yang lahir dari kehendak manusia.15
Sebagai gejala sosial, norma hukum berfungsi untuk melakukan tugas tertentu,
terutama memberikan jaminan bagi seseorang bahwa kepentingannya diperhatikan
oleh setiap orang lain. kepentingan-kepentingan hukum tersebut dalam keadaan
tertentu membutuhkan perlindungan agar dapat terjalin hubungan yang serasi/harmoni
di antara sesamanya. Dalam kehidupan masyarakat, konflik antar berbagai
kepentingan tidak dapat dihindarkan16. Menurut Soedikno, manusia berkepentingan
bahwa ia merasa aman. Aman berarti bahwa kepentingankepentingannya tidak
diganggu, bahwa ia dapat memenuhi kepentingankepentingannya dengan tenang.
14
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983, hal. 3.
15
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bhakti, 2006, hal. 16.
16
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2003, hal.
13.
Oleh karena itu ia mengharapkan kepentingan-kepentingannya dilindungi terhadap
konflik, gangguan-gangguan dan bahaya yanng mengancam serta menyerang
kepentingan dirinya dan kehidupan bersama.
Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan pedoman atau peraturan hidup
yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat agar
tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Hukum dapat dilihat sebagai
perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteratura. Oleh karena
itu manusia bekerja dengan memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan oleh
karena itu pula ia berupa norma dan merupakan suatu gejala sosial yang berarti bahwa
tiada masyarakat yang tidak mengenal hukum.17.
3. Sanksi
Sanksi pidana merupakan yang bersifat noodrecht atau hukum darurat.
Dengan demikian sanksi pidana dipandang sebagai ultimum remidium, yakni sanksi
yang hanya dipergunakan apabila diduga sanksi bidang hukum lain tidak efektif untuk
menanggulangi kejahatan. sifat ultimum remidium merupakan karakteristik hukum
pidana yang berlaku hingga saat ini. Sanksi pidana secara tegas telah ditentukan
dalam Pasal 10 KUHP berupa A. Pidana Pokok yang terdiri atas, a) pidana mati, b)
pidana penjara, c) pidana kurungan, d) pidana denda. B. Pidana tambahan yakni 1)
pencabutan hak-hak tertentu, 2) perampasan barang-barang tertentu, 3) pengumuman
keputusan hakim.18 Pidana pokok merupakan hoofstraf sedangkan hukuman tambahan
merupakan pelengkap dari hukuman pokok artinya bahwa hukuman pokok dapat
dijatuhi dengan atau tanpa hukuman tambahan; sedangkan hukuman tambahan harus
mengikuti hukuman pokok. Dengan perkataan lain, tidak mungkin menjatuhkan
hukuman tambahan tanpa adanya hukuman pokok; sebaliknya hukuman pokok tidak
selalu diikuti dengan hukuman tambahan. Hakim berwenang untuk menentukan jenis
hukuman yang akan dijatuhkan. Hukuman pokok yang tidak diikuti dengan hukuman
tambahan merupakan kelaziman, akan tetapi jika ada hukuman tambahan yang tidak
disertai dengan hukuman pokok, dengan sendirinya hukuman tersebut menjadi batal
demi hukum dan dapat dijadikan dasar untuk mengajukan peninjauan kembali (PK).
Membicarakan sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari teori-teori pidana
yang melatar belakanginya. Teori pidana memberi penjelasan atas pertanyaan apakah
tujuan dijatuhkannya pidana itu? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan
demikian, teori pidana berkembang mulai dari teori absolut, teori relatif dan teori
gabungan.19
a. Teori absolut
Teori absolut atau lazim juga disebut dengan teori pembalasan. Bagi
teori ini tujuan dijatuhkannya pidana kepada pelaku semata-mata untuk tujuan
pembalasan. Tujuan pidana tidak mempertimbangkan faktor lain, kecuali
karena dalam kejahatan itu telah tersimpul unsur pembalasan. Teori tidak
memandang manfaat lain dari hukuman kecuali membalas kepada pelaku
Chainur Arrasjid, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004, hal. 2.
17

Moelyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 2001, hal. 5.
18

19
AZ Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Penerbit Yasrif
Watampone, 2010, hal. 45.
berupa hukuman. Oleh Leo Polak, sifat pembalasan dalam teori ini diperlunak
karena:
 Teori pertahanan kekuasaan hukum dan pertahanan kekuasaan
pemerintah negara.
 Teori kompensasi keuntungan.
 Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan.
 Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum.
 Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan
berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan.
 teori mengobjektifkan.

b. Teori Relatif
Teori Relatif atau disebut juga teori tujuan. Menurut teori ini, sanksi
pidana ditujukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Dalam
mencapai tujuan itu dikenal teori pencegahan umum (general prevention).
Menurut Vos, cara ini digunakan untuk mencegah orang lain melakukkan
kejahatan di mana pidana itu dijatuhkan di depan umum. cara ini merupakan
cara kuno. Teori ini diilhami oleh Anselm von Feuerbach dengan teori
psychologische zwang. Dengan hukuman yang dijatuhkan, seseorang akan
mengerti bahwa perbuatan dimaksud terlarang untuk dilakukan. Meskipun
demikian ada kemungkinan orang melakukan kejahatan karena memang
memiliki watak yang jahat sehingga hukuman tidak mempengaruhi jiwanya.
Oleh karena itu penjatuhan sanksi yang tegas di muka umum merupakan
keharusan. Sejalan dengan itu adalah teori pencegahan khusus, menurut van
Hamel teori ini bertujuan selain untuk menjaga ketertiban masyarakat juga
untuk tujuan menakutkan (anschrikking), memperbaiki (verbetering), dan
untuk kejahatan tertentu bertujuan untuk membinasakan
(onschadelijkmaking).
Di samping dua teori di atas, masih dikenal teori memperbaiki si
pembuat (verbetering van de dader), menyingkirkan penjahat (onschadelijk
maken van de misdadiger) dan herstel van geleden maatschappelijk nadeel.20
c. Teori Gabungan
Teori ini timbul dengan memperhatikan kekurangan dalam teori
sebelumnya. Menurut Grotius, teori ini mendasarkan pandangannya kepada
keadilan absolut, yang berwujud kepada pembalasan terhadap apa yang
berfaedah bagi masyarakat. Rossi juga menyatakan bahwa untuk keadilan
absolut, hanya dapat diwujudkan dalam batas-batas keperluan justice sociale.
Ketiga teori pidana di atas dapat dikembalikan kepada aliran atau mazhab
dalam hukum pidana yakni :

20
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1983, hal. 30.
1. Aliran klasik yakni Hukum Pidana yang berorientasi pada Perbuatan
(Daad-Strafrecht) yang mengedepankan aspek perbuatan, aliran ini
merupakan pandangan yang mengobjektifkan Hukum Pidana, aspek ini lebih
menonjolkan perlindungan terhadap masyarakat; akibatnya terhadap
pelakunya harus dijatuhi pidana yang berat (“hutang nyawa dibalas nyawa”).
2. Aliran Modern yakni Hukum Pidana yang berorientasi pada Pembuat
(Dader-Strafrecht) yang mengedepankan kepentingan pelaku kejahatan
(offenders oriented) karena diakui bahwa pelaku melakukan perbuatan karena
pengaruh dari lingkungan. Oleh karena itu perlakuan terhadap pelanggar
hukum harus mempertimbangkan keadaan patologi sekitar perbuatan dan
masyarakat di mana kejahatan terjadi.
3. Aliran Neo Klasik di mana Hukum Pidana selain berorientasi pada
Pembuat-juga pada Pperbuatan (Daad-Dader Strafrecht), dengan mengakui
perlindungan yang seimbang antara offenders dan society. Selain pidana yang
dijatuhkan setimpal dengan perbuatan juga harus memberikan perlindungan
kepada masyarakat (social defence) aliran ini merupakan perpaduan antara
aliran klasik dan aliran modern.21
Bagi kita di Indonesia, fungsi hukum pidana adalah melindungi sekaligus
menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan masyarakat, kepentingan si
pelaku tindak pidana dan kepentingan korban. Dan dalam hal-hal tertentu yang
dibutuhkan adalah jangan sampai sistem peradilan yang tidak dapat menghindarkan
diri dari sifatnya yang punitive dan represif tersebut justru menjadi kriminogeen.22
Berdasarkan hal di atas menurut penulis pembangunan teori pidana Indonesia bisa
berangkat dari temuan-temuan ilmiah dan praktik yang telah dikembangkan di negara
maju. Teori pidana Indonesia harus dibangun berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan
(humanitarian), nilai-nilai ketuhanan (teologis) maupun nilai-nilai sosial pada
umumnya. Teori humanitarian menghendaki agar kepada pelaku/pelanggar hukum
ditujukan guna meminimalisasi dampak negatif pemidanaan. Ruppert Cross
menyatakan bahwa suatu pembaharuan hukum pidana dapat disebut sebagai usaha
usaha pembaharuan apabila secara langsung atau tidak langsung salah satunya
ditujukan kepada usaha perbaikan terhadap pelanggar (rehabilitation of offenders).23
4. Tujuan Hukum Pidana
Tentunya hukum pidana dibuat dengan tujuan tertentu, sebsgaimana 3 Tujuan
Hukum Pidana secara umum.
a. Melindungi Kepentingan Individu  atau Perseorangan (Hak Asasi
Manusia)
Menurut aliran klasik hukum pidana bertujuan untuk melindungi
individu dari kekuasaan negara atau kekuasaan penguasa. Sedangkan menurut
21
Bandingkan dengan Mompang L Panggabean, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta:
Penerbit UKI Pers, 2005, hal. 229.
22
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995, hal. 129.
23
Ruppert Cross, Punisment, Prison and the Public, An Assesment of Penal Reform in Tweentieth
Century England and by American Penologist, London: Penerbit Steven & Son, 1971, hal. 46.
aliran modern hukum pidana bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan, sehingga hukum pidana harus memperhatikan kejahatan yang
dilakukan dan keadaan penjahat. Menurut aliran modern hukum pidana
dipengaruhi oleh perkembangan kriminologi. Dalam hal ini hukum pidana
bertujuan  untuk melindungi kepentingan suatu masyarakat dan negara dengan
suatu perimbangan yang serasi dari suatu tindakan yang tercela/kejahatan di
satu pihak dari tindak-tindakan perbuatan yang melanggar yang merugikan
dilain pihak.
Jika berbicara mengenai Hak Azasi Manusia atau (HAM) tentunya
terdapat hak hak yang melekat pada setiap individu. Hak hak tersebut tentu
menjadi hak dasar yang melekat kepada satiap diri manusia yang tak boleh
dilanggar. Keberadaan hukum pidana diharapkan dapat memberikan
perlindungan kepada setiap individu dalam upaya mempertahankan hak asasi
nya. Apalagi saat ini kerap kali kita dengar bagaimana individu dengan
mudahnya melakukan pelanggaran terhadap HAM sebagaimana dalam contoh
hukuman disiplin ringan.

Dari sinilah maka kita akan bisa melihat bagaimana seandaianya jika
tidak ada hukum pidana. Maka setiap orang akan dengan mudah melakukan
tindakan pelanggaran hukum. Dengan demikian maka tentu hukum pidana
memiliki peranan penting sebagai upaya untuk menjaga kemanan dan
ketertiban serta juga memberikan situasi yang koindusif dalam sebuah
wilayah. Terlebih lagi saat ini kemanan dan ketertiban menjadi jaminan
bagaimana satiap individu akan bisa salaing menjaga dan menghormatik Hak
Asasi Manusia yang masing masing melekat kepada mereka.

b. Membuat Pelaku Tindak Kejahatan Takut dan Jera

Hukum pidana diharapkan dapat memberikan efek jera dan takut


terhadap pelaku yang pernah melakukan pelanggaran hukum. Tidak hanya itu
juga, hukum pidana juga diharapkan memebrikan rasa takut bagi mereka yang
ingin melakukan pelanggaran terhadap hukum. Sehingga tentunya dapat
memberikan batasan kepada setiap orang agar dapat membatasi diri dengan
tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum . Efek takut dan jera ini
dihrapkan dapat menekan angka kriminalitas yang akhir akhir ini terus
meningkat sebagaimana dalam contoh hukum kebiasaan.

Inilah mengapa salah satu tujuan penting dari adanya hukum pidana
adalah memberikan dampak secara psikologis. Perasaan takur akan bisa
menjadi rem bagi seseorang untuk dapat berbuat semau dan sesuka hatinya.
Sebab perasaan takut ini akan memberikan kesadaran kepada mereka bahwa
melanggar hukum akan memberikan konsekunsi berupa hukuman yang
nantinya akan dijatuhkan kepada mereka.

Bukan hanya hal ini, hukuman yang akan diterima juga akan
menyebabkan kerugian baik individu. Selain tidak akan mendapatkan surat
keterangan kelakukan baik dari kepolisisn yang amat diperlukan untuk
mencari pekerjaan. Tentunya hal ini juga akan berpengaruh terhadap
kehidupan sosial dan lingkungan dimasyarakat. Kebanyakan mereka yang
notabene mantan narapidana tidk akan bisa diterima dengan baik di dalam
masyarakat sebagai bagian dari contoh hukum positif.

c. Mendidik Seseorang  

Memberikan pendidikan bagi setiap orang agar yang pernah 


melakukan perbuatan yang melanggar agar tidak melakukan lagi, dan agar
diterima kembali dilingkungan masyarakat. Hal ini akan mencegah terjadinya
gejala-gejala sosial yang tidak sehat atau yang melakukan perbuatan yang
dilanggar, dan  hukuman untuk orang yang sudah terlanjur berbuat tidak baik.
Tentunya jika tidak ada hukum pidanan maka setiap orang akan merasa bebas
dalam melakukan pelanggaran hukum. Sehingga perbuatan yang sama akan
dilakukan secara berulang ulang. Sehingga setiap orang tidak akan merasa
mendapatkan pembelajaran dari hukum yang diterima.

Untuk meminimalisir hal yang demikian maka tentu hukum pidana ada
dan dibuat. Sehingga diharapkan akn dapat memberikan pembelajaran dan
pendidikan terutama bagi para pelaku yang telah melakukan tindak kejahatan
sebelumnya. Hukum pidana akan memberikan hukuman sesuai dengan
kejahatan yang dilakukan tanpa memandang staus sosial, ekonomi atau
pendidikan. Sehingga tentunya setiap orang akan memiliki kedudukan yang
sama rata didepan hukum sebagimana macam-macam hukum publik. Dengan
demikian maka hukum pidana akan dapat memberikan pendidikan yang baik
bagi semua masyarakat sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang aman
dan terteran dalam lingkup berbangsa dan bernegara.

Selain tujuan diatas dapat disimpulkan secara umum bahwa hukum


pidana memiliki tujuan antara lain :

 Melindungi Negara.
 Melindungi Penguasa Negara.
 Melindungi Masyarakat Umum.
 Melindungi Individu.
 Melindungi Harta Benda Individu.
 Melindungi Binatang ternak termasuk tanaman.

Dalam banyak literatur hukum pidana, disebutkan bahwa tujuan


hukum pidana adalah antara lain untuk :

 Menakut-nakuti setiap orang agar jangan sampai melakukan


perbuatan yang tidak baik (aliran klasik).
 Mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik
menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan
lingkungan masyarakatnya.24

24
Puput Purwanti, “3 Tujuan Hukum Pidana Secara Umum” (https://hukamnas.com/tujuan-hukum-
pidana#:~:text=Menurut%20aliran%20klasik%20hukum%20pidana,yang%20dilakukan%20dan%20keadaan
%20penjahat, Diakses pada tanggal 24 September 2020, 02:13).
PENUTUP

Kesimpulan

Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merukan


suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, perbuatan
pidana dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu
hukum pidana latar belakang orang melakukan tindak pidana dapat dipengaruhi dari dalam
diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut
determinisme. Hukum pidana merukan bagian dari ranah hokum publik.

Hukum pidana secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana , yang


merupakan peninggalan penjajahan Belanda. KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan
hukum pidana di Indonesia, dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua
ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP. Menurut Kansil, KHUP merupakan segala
peraturan-peraturan tentang pelanggaran , kejahatan , dan sebagainya, diatur oleh Hukum
Pidana dan dimuat dalam satu Kitab Undang-undang. Apabila seseorang melakukan suatu
tindak pidana, maka akan muncul ancaman sanksi pidana sebagai suatu penanggungjawaban
atas perbuatannya tersebut.

Jenis-jenis sanksi tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP, dimana


pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana
mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan, sedangkan pidana
tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim. Namun pada kenyataannya, di sisi lain sanksi pidana juga
menimbulkan suatu dilema, dikarenakan sejak dahulu sampai saat ini sfektivitas dari sanksi
pidana semakin diragukan, terutama sanksi pidana penjara. Berdasarkan penelitian Djisman
Samosir di Lembaga Permasyarakatan Cipinang pada tahun 1990 menentukan bahwa 85
orang dari 100 narapidana yang diteliti menyatakan, bahwa pidana penjara bukan suatu yang
menentukan, karena sebelum melakukan tindak pidana sudah mengetahui tentang resiko dari
perbuatannya yaitu dijatuhi pidana penjara.

Melihat peristiwa yang terjadi saat ini, sanksi pidana sudah tidak ditakuti lagi
keberadaanya oleh para pelaku tindak pidana. Seperti di dalam Lembaga Pemasyarakatan
bahkan oleh sebagian pelaku tindak pidana diubah menjadi ruangan pribadi yang mewah
dilengkapi dengan segala faselitas yang membuat pelaku seolah-olah tidak berada di dalam
ruangan LAPAS, karena pelaku dapat melakukan segala aktifitas yang seharusnya tidak
didapatkan di dalm rungan LAPAS. Oleh karena itu, pidana penjara semakin banyak
mendapat sorotan tajam dari para ahli penologi dan selain itu sangat diperlukan peranan
hakim agar lebih seliktif dalam penjatuhan pidana penjara. Shain, Seorang direktur penelitian
dari Judicial Council of California mengemukakan bahwa perlu adanya pedoman bagi hakim
untuk menjatuhkan pidana penjara agar lebih selektif.

DAFTAR PUSTAKA

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).


CST . Kansil, 1976, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, (selanjutnya disebut CST . Kansil)
Barda Nawawi, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan,
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia, Bina Cipta, Bandung.
Eddy Junaedi Karnasudirdja, 1993, Beberapa Pedoman Pemidnaan dan Pengamatan
Narapidana, Tanpa Penerbit.
Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H dan Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H, Hukum Pidana
(Makassar: Pustaka Pena Pers, 2016).
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem-
Petehaem, Jakarta, 1986.
S.R. Sianturi, Ibid.
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1995.
Ida Bagus Surya Dharma Jaya.
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum, “Modul Definisi Hukum Pidana,
Pembagian Hukum Pidana & Definisi, Objek, dan Tujuan Ilmu Hukum Pidana”. Modul 1.
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbatjaraka, Perihal Kaedah Hukum, Bandung:
Penerbit Alumni, 1982.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bhakti, 2006.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 2003.
Chainur Arrasjid, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2004.
Moelyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Bina Aksara,
2001.
AZ Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:
Penerbit Yasrif Watampone, 2010.
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia,
1983.
Bandingkan dengan Mompang L Panggabean, Pokok-Pokok Hukum Penitensier
Indonesia, Jakarta: Penerbit UKI Pers, 2005.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995.
Ruppert Cross, Punisment, Prison and the Public, An Assesment of Penal Reform in
Tweentieth Century England and by American Penologist, London: Penerbit Steven & Son,
1971.
Puput Purwanti, “3 Tujuan Hukum Pidana Secara Umum”
(https://hukamnas.com/tujuan-hukum-pidana#:~:text=Menurut%20aliran%20klasik
%20hukum%20pidana,yang%20dilakukan%20dan%20keadaan%20penjahat, Diakses pada
tanggal 24 September 2020, 02:13).

Anda mungkin juga menyukai