Anda di halaman 1dari 27

BAB II

HUKUM PIDANA DAN TINDAK PIDANA

A. Hukum Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana atau hukum publik merupakan norma-norma serta

kaidah-kaidah yang berlaku di suatu negara yang mengatur perbuatan-

perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena merugikan kepentingan umum.

Jika aturan-aturan tersebut dilanggar maka akan mendapatkan sanksi pidana,

seperti sanksi pidana penjara dan denda sesuai undang-undang yang berlaku.

Berikut ini beberapa definisi tentang hukum pidana yang dikemukakan

oleh para ahli hukum, yaitu:

1. Menurut Pompe, hukum pidana adalah:

“Keseluruhan aturan-aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan

yang dapat dihukum dan aturan pidananya”.1

2. Van Apeldoorn menyatakan bahwa:

“Hukum pidana dibedakan dan diberikan arti hukum pidana


materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan oleh sebab
perbuatan itu dapat dipidanakan, dimana perbuatan pidana itu
mempunyai dua, yaitu:

1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, DIY: Cahaya Atma Pustaka, 2014. hal. 9

15
16

a. Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang


bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat
melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan
ancaman pidana atas pelanggarnya.
b. Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada
pelaku untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum. Hukum
pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum pidana
materil ditegakkan”.2

3. Menurut Vos, hukum pidana diberikan dalam arti yaitu sebagai:

a. Peraturan hukum objektif (ius poenale) yang dibagi menjadi


hukum pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat
siapa dan bagaimana suatu dapat dipidana, dan hukum pidana
formal yaitu hukum acara pidana.
b. Hukum subjektif (ius punaenandi), yaitu meliputi hukum yang
memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana,
menetapkan putusan dan melaksanakan pidana yang hanya
dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk
itu.
c. Hukum pidana umum (algemene strafrechts), yaitu hukum
pidana yang berlaku bagi semua orang.
d. Hukum pidana khusus (byzondere strafrechts), yaitu dalam
bentuknya sebagai ius speciale seperti hukum pidana militer,
dan sebagai ius singular seperti hukum fiscal.3

4. Menurut Algra Janssen, hukum pidana adalah:

“Alat yang dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk


memperingati mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang
tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali
sebagian ada perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh
terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaan seandainya
telah tidak melakukan suatu tindak pidana”.4

5. Moeljatno mengatakan bahwa:

2
Ibid, hal. 16-17
3
Ibid, hal. 26-42
4
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 18
17

“Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang


berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan
untuk:
1. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tetentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Serta menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancam.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut”.5

6. Menurut Soedarto mengenai hukum pidana yaitu:

“Hukum pidana adalah sistem sanksi yang negatif diterapkan jika


saran lain sudah tidak memadai maka hukum pidana dikatakan
mempunyai fungsi yang subside. Pidana termasuk juga tindakan
(matregelen), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan
suatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh
karena itu hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk
memberikan alasan pembenaran (justification) pidana itu.”6

7. Martiman Prodjohamidjojo mengatakan bahwa:

“Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang


berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi
tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2. Serta menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka
yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancam.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar
ketentuan tersebut”.7

5
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1997, hal. 21-23
6
Ibid, hal. 25-27
7
Ibid, hal. 21-24
18

Setiap perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat dirasakan sebagai

perbuatan yang tidak boleh dilakukan sehingga perlu adanya penekanan pada

perasaan hukum masyarakat, oleh karena itu suatu perbuatan pidana berarti

perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan tercapainya tatanan

dalam pergaulan yang dicita-citakan masyarakat. Sehingga isi pokok dari

definisi hukum pidana itu dapat disimpulkan sebagai hukum pidana sebagai

hukum positif dan substansi hukum pidana adalah hukum yang menentukan

tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan bagi pelakunya.8

Selanjutnya Bambang Poernomo mengatakan bahwa:

“Hukum pidana adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan


berdasarkan ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan
hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak
membedakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan
hukum yang lain dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan
ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana secara tradisional.
Definisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana
berkembang dengan pesat”.9

2. Asas-Asas Hukum Pidana

Hukum pidana mengenal berbagai asas yang berlaku untuk

keseluruhan perundang-undangan pidana yang ada, kecuali hal-hal yang

diatur secara khusus di dalam undang-undang tertentu (lex spesialis).10 Seperti

yang disebutkan pada Pasal 103 KUHP yang berbunyi:

8
Ibid, hal. 26-27
9
Ibid. 21-27
10
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 26
19

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VII buku ini juga

berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan

yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan

lain”.11

Pada dasarnya terdapat beberapa asas hukum pidana yang diatur di

dalam KUHP yaitu:

a. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu

Asas legalitas (Nullum Delictum Nulla poena Sine Praevia Lege

Poenale) yaitu tiada delik, tidak seorangpun dapat dipidanakan tanpa

undang-undang yang mengancam pidana terlebih dahulu. Asas ini

termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum

pidana yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Tiada suatu perbuatan dapat dipidanakan kecuali atas kekuatan aturan

pidana dalam perundang-undang yang telah ada sebelum perbuatan

dilakukan.

2. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-

undang yang dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.12

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut secara tegas

ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibaat pidana tertentu saja bukan

11
Ibid, hal. 27-28
12
Siahaan R.O, Hukum Pidana 1, Cibubur: RAO Press, 2009, hal. 90
20

perbuatan yang dipidana, tetapi orang yang melakukan perbuatan itu,

yaitu:

1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana

sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana.

2. Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu

dilakukan.13

Dengan perkatan lain, tidak boleh terjadi suatu perbuatan yang

semula belum diterapkan bahwa pelakunya dapat dipidana karena

dirasakan oleh penguasa sangat merugikan, lalu dibuatlah peraturan dan

pelakunya dapat dijerat dengan peraturan tersebut walaupun perbuatannya

telah lewat, atau boleh dikatakan bahwa perundang-undangan pidana tidak

boleh berlaku surut.

Asas legalitas tampak bahwa terhadap perbuatan yang diancam

dengan pidana, yang diberlakukan adalah hukum atau undang-undang

yang sudah ada dibuat sesudah perbuatan itu terjadi, oleh karena itu

berlaku asas lex temporis delicti yang artinya undang-undang pada saat

delik atau kejahatan itu terjadi itulah asas yang dipakai di Indonesia.14

b. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat

1. Asas Teritorial

13
R. Soesilo, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Soekabumi: Poletia
Bogor, 1996, hal 27
14
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana edisi revisi, Jakarta: Rineka cipta, 2018, hal. 27-28
21

Menurut asas teritorial, berlakunya undang-undang pidana

suatu negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana tindak

pidana atau perbuatan pidana itu dilakukan, tempat tersebut harus

terletak did alam teritorial atau wilayah negara yang bersangkutan.15

Terkait hal ini, Simons mengatakan bahwa:

“Berlakunya asas teritorial ini berdasarkan atas kedaulatan

negara sehingga setiap orang wajib dan taat kepada perundang-

undangan negara”.16

Asas teritorial disebut dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi:

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia


diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu delik di
Indonesia. Perkataan setiap orang mengandung arti baik warga
negara Indonesia maupun orang asing yang berada di
Indonesia. Dalam hal melakukan perbuatan terdapat
kemungkinan bahwa perbuatannya sendiri tidak di Indonesia
tetapi akibatnya terjadi di Indonesia. Misalnya saja seseorang
yang di luar negeri mengirimkan paket berisi bom dan meledak
serta membunuh orang ketika dibuka di Indonesia”.17

Teritorial Indonesia ini diperluas dengan Pasal 3 KUHP yang

berbunyi:

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia

berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan di

dalam perahu atau pesawat udara Indonesia.”


15
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hal.
51
16
Soenarjati, dkk, Hukum Pidana dan Acara pidana, Tangerang: Terbitan UT, 2007, hal. 2.17
17
R. Soesilo, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Soekabumi: Poletia
Bogor, 1996, hal. 29
22

Berhubung dengan perkembangan zaman melalui Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan

Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka

Pasal 3 KUHP tersebut diubah dan berbunyi:18

“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia

berlaku bagi setiap orang diluar wilayah Indonesia melakukan tindak

pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.

2. Asas Nasional Pasif (Asas Perlindungan)

Menurut asas ini, peraturan hukum pidana di Indonesia

berfungsi untuk melindungi keamanan kepentingan hukum terhadap

gangguan dari setiap orang di luar Indonesia terhadap kepentingan

hukum Indonesia. Asas nasional pasif ini dimuat dalam Pasal 3

KUHP yang menyatakan bahwa tidak semua kepentingan hukum

dilindungi, melainkan hanya kepentingan yang vital dan berhubungan

dengan kepentingan umum yaitu yang berwujud:

1) Terjamin keamanan negara dan terjaminnya martabat kepala

negara dan wakilnya (Pasal 4 ayat (1) KUHP).

2) Terjaminnya kepercayaan terhadap mata uang, meterai, dan merek

yang telah dikekeluarkan oleh pemerintah Indonesia dan kejahatan

pemalsuan (Pasal 4 ayat (2) KUHP).

18
Ibid, hal. 32
23

3) Terjaminnya kepercayaan terhadap surat utang dan sertifikat utang,

yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia (Pasal 4 ayat (3)

KUHP).

4) Terjaminnya alat-alat pelayaran Indonesia terhadap kemungkinan

dibawa ke dalam kekuasaan bajak laut (Pasal 4 ayat (4) KUHP).

Asas perlindungan juga bertujuan melindungi simbol-simbol

negara dari ancaman siapapun tanpa ada pengecualinya, termasuk

warga negara asing dimana pun dia berada. Misalnya perusahaan

busana terkenal di dunia, yaitu Armani yang menggunakan lambang

mirip Garuda Pancasila. Jika kita menganggap itu sebagai penghinaan

atas lambang negara maka para pelaku dapat dituntut menurut hukum

pidana Indonesia.19

3. Asas Nasional Aktif (Personalitas)

Menurut asas ini, ketentuan hukum pidana berlaku bagi setiap

Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar

Indonesia. Asas ini dimuat dalam Pasal 5 KUHP, yaitu:

1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku


bagi Warga Negara Indonesia yang di luar Indonesia
melakukan:
a) Salah satu kejahatan, tersebut dalam Bab I dan II Buku
Kedua, dan tersebut Pasal-pasal 160, 161, 240, 279,
450, dan 451 KUHP.
b) Salah satu tindakan yang menurut ketentuan pidana
dalam undang-undang Indonesia dipandang sebagai

19
Ibid, hal. 32
24

kejahatan dan menurut undang-undang negara dimana


tindakan itu dilakukan diancam dengan pidana.
2) Penuntutan perkara sebagai dimaksud pada sub poin (b)
dapat juga dilakukan bilamana tersangka menjadi Warga
Negara Indonesia sesudah melakukan tindakan itu.20

Asas nasional aktif (personalitas) merupakan kebalikan dari

asas teritorial, jika dalam asas teritorial yang dilindungi adalah

siapapun dalam wilayah Indonesia, maka dalam asas nasional aktif

yang ingin dilindungi adalah warga negara dimanapun ia berada.

Namun perlindungan yang dimaksud bukan perlindungan atas warga

negara atas ancaman kejahatan, akan tetapi perlindungan dalam bentuk

pemberlakuan hukum Indonesia bagi si warga negara. Jika karena ia

melakukan suatu tindakan di luar Indonesia, maka secara filosofis

adalah tidak adil jika ia diadili dengan hukum pidana negara tersebut

karena sebelumnya ia mungkin tidak mengetahui adanya ketentuan

pidana di negara asing tersebut, walaupun perbuatan sama-sama

dilarang di negara asal mungkin saja pidana di negara asing tersebut

jauh lebih berat.21

4. Asas Universal

Menurut asas ini, berlakunya undang-undang hukum pidana itu

disandarkan kepada kepentingan hukum dari seluruh dunia yang

dilanggar oleh seseorang, undang-undang hukum pidana dari suatu

20
Ibid, hal. 33
21
Hj. Soenarjati, dkk, Hukum Pidana dan Acara pidana, Tangerang: Terbitan UT, 2007, hlm. 2.20
25

negara diperlukan kepada seseorang dimana saja ia melanggar

kepentingan hukum seluruh dunia. Untuk serta memelihara ketertiban

dunia, di dalam KUHP Indonesia juga mengatur tentang dapat

dipidananya perbuatan-perbuatan seperti pembajak laut, meskipun

berada di luar kendaraan air jadi di laut bebas (mare liberum).

Kejahatan ini lazim disebut kejahatan pelayaran. Asas itu disebut

sebagai asas universal karena bersifat mendunia dan tidak membeda-

bedakan warga negara apa pun yang penting adalah terjaminnya

ketertiban dan keselamatan dunia.22

3. Tujuan Hukum Pidana

Terdapat dua pandangan yang berbeda tentang tujuan dari keberadaan

hukum pidana yaitu:

1. Menurut pandangan yang pertama (Aliran Klasik), tujuan hukum


pidana adalah melindungi individu-individu dari kemungkinan
kesewenangan penguasa. Pandangan ini didasarkan pada suatu titik
tolak bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan sehingga
diadakanya hukum pidana justru untuk membatasi kekuasaan
penguasa.
2. Menurut pandangan yang kedua (Aliran Modern), tujuan hukum
pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Dalam
masyarakat senantiasa ada kejahatan sehingga diadakannya hukum
pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari kejadian
kejahatan. Tujuan ini berpegang pada “Postulat le salut du people
est la supreme loi” dimana dalam pengertiannya hukum tertinggi
adalah perlindungan masyarakat.23

22
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003 hlm.
57-58
23
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, DIY: Cahaya Atma Pustaka, 2014, hal. 24-26
26

Terkait dengan kedua pandangan tersebut, Vos menganggap perlu

adanya aliran ketiga, yang merupakan kompromi klasik dan aliran modern.

Tujuan pemidanaan yang ditentukan dalam RUU KUHP Tahun 2019

pada Pasal 52 KUHP disebutkan bahwa pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma


hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan
pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna.
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan
damai dalam masyarakat.
d. Menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah
pada terpidana.24

Untuk mencapai tujuan pemidanaan tersebut, dikenal tiga teori yaitu:

1) Teori pembalasan. Menurut teori ini diadakannya pidana adalah untuk

membalas. Teori ini dikenal pada akhir abat ke-18 dengan pengikut

Immanuel Kant, Hegel, Herbert, dan Stahl. Teori ini juga disebut teori

absolut.

2) Teori tujuan atau relatif. Jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang

sudah dilakukan, sebaliknya teori-teori relatif atau tujuan berusaha untuk

mencegah kesalahan pada masa mendatang. Dengan perkataan lain,

pidana merupakan sarana untuk pencegahan kejahatan oleh karena itu juga

sering disebut teori prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan

dijatuhkan sanksi pidana, diharapkan penjahat potensial mengurungkan

24
Noveria Devy Irmawanti dan Barda Nawawi Arief, “Urgensi Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Hukum Pidana”, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 3
No. 2, Jakarta, 2021, hal. 223.
27

niatnya karena ada perasaan takut akan akibat yang dilihatnya, jadi

ditunjukkan kepada masyarakat pada umumnya dengan prevensi khusus

ditujukkan kepada pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.

3) Teori gabungan merupakan gabungan dari dua teori di atas.25

Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan

terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat, di samping pengobatan bagi

yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi hukum pidana adalah ketentuan-

ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam

meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Akan tetapi kalau di dalam

kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan yang tidak baik,

kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, dan untuk

mengetahui sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu maka

dipelajari oleh kriminologi.26

Dalam perkembangannya, terdapat teori-teori baru dari selain ketiga

teori di atas. Menurut Eddy O.S. Hiariej, teori tersebut adalah teori

kontemporer, dimana teori ini merupakan pengkajian mendalam dari ketiga

teori dengan beberapa modifikasi. Menurut Wayne R. Lafaye, salah satu

tujuan pidana adalah sebagai “deterrence effect” atau efek jera agar pelaku

tidak mengulangi perbuatannya. Dalam penggunaan “deterrence effect” pada

hakikatnya sama dengan teori relatif terkait dengan prevensi khusus. Dalam

25
Ibid, hal. 224
26
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, DIY: Cahaya Atma Pustaka, 2014, hal. 31-34
28

pengkajian ini, menurut Wayne R. Lafaye, tujuan lain dalam pidana adalah

rehabilitasi, dimana pelaku kejahatan perlu memperbaiki ke arah yang lebih

baik agar ketika kembali ke masyarakat, ia dapat diterima oleh komunitasnya

dan tidak lagi mengulangi perbuatan jahat. Menurut Aquinas, bilamana negara

menjatuhkan pidana dengan daya kerja pengobatan, maka perlu diberikan

perhatian terhadap prevensi umum dan prevensi khusus (poenae praesentis

vitae magis sunt medicinales quam retributative), pidana sebagai obat yang

dikemukakan Aquinas merupakan perbaikan terpidana supaya ketika kembali

ke masyarakat tidak lagi mengulangi perbuatannya sesuai dengan prevensi

khusus.27

B. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda

“strafbaar feit” yang dalam bahasa Inggris berasal dari kata “criminal act

offense”. Dalam KUHP tidak terdapat penjelasan mengenai apa yang

dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Tindak pidana disinonimkan

dengan delik yang berasal dari bahasa Latin yakni kata “delictum” atau delik

adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang.

27
Ibid, hal: 35-36
29

Mulyatno menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan

pidana. Istilah perbuatan pidana menunjuk kepada makna adanya suatu

kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum

dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana.28

Selain itu kata perbuatan lebih menunjuk pada arti sikap yang

diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang

sebenarnya dilarang hukum dapat juga bersifat pasif atau tidak berbuat sesuatu

yang sebenernya diharuskan oleh hukum. Istilah tindak pidana banyak

dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya undang-

undang tindak pidana narkotika, dan undang-undang pornografi, yang

mengatur secara khusus tindak pidana pornografi.29

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Di dalam hukum pidana terdapat berbagai unsur-unsur tindak pidana,

yaitu unsur-unsur tindak pidana untuk mengertahui adanya suatu tindak

pidana yang dirumuskan dalam perundang-undangan pidana tentang

perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dapat dikenakan sanksi. Menurut

dokrin, unsur-unsur tindak pidana (delik) terdiri atas unsur subjektif dan unsur

objektif.

Terhadap unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut:

28
Sudarto, Hukum Pidana 1 edisi revisi, Semarang: Yayasan Sudarto, 2018, hal: 50
29
Ibid, hal 51
30

Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas

hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”

(an act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non

facitretum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud di sini adalah

kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan

kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah menyetujui

bahwa kesengajaan terdiri atas tiga bentuk yakni:

1. Kesengajaan sebagai maksud (oogmenrk).


2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als
zekerheidsbewustzijn).
3. Kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus
evantualis).30

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan.

Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan

kealpaan terdiri atas dua bentuk yakni:31

1. Tak berhati-hati.

2. Dapat menduga akibat perbuatan itu.

Adapun unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang

terdiri atas:

a. Perbuatan manusia berupa:

1. Act, yaitu perbuatan aktif atau perbuatan positif.

30
Ibid, hal. 132
31
Ibid, hal. 159
31

2. Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif yaitu perbuatan

yang mendiamkan atau membiarkan.

b. Akibat (result) perbuatan manusia akibat tersebut membahayakan atau

merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang

dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak

milik, kehormatan, dan sebagainya.

c. Keadan-keadaan (circumstances), pada umumnya keadaan tersebut

dibedakan antara lain:

1. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan.

2. Keadaan setelah perbuatan dilakukan.

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum

berkenaan dalam alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari

hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu

bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau

perintah.32

Terkait dengan unsur-unsur tindak pidana, Moeljatno yang

menyatakan bahwa:

“Tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir, oleh


karena itu unsur yang mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan adalah suatu kejadian dalam alam lahir disamping
kelakuan dan akibat untuk adanya perbuatan pidana, biasanya
diperlukan juga adanya hal ihwal atau kedaan tertentu yang
menyertai”.33

32
Ibid, hal. 50-51
33
Ibid, hal. 55
32

Sedangkan menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit)

adalah:

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat


atau membiarkan).
2. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld).
3. Melawan hukum (onrechtmatig).
4. Dilakukan dengan kesalaha (met schuld in verband stand) oleh
orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar
person).34

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

KUHP telah mengklasifikasikan tindak pidana ke dalam dua kelompok

besar, yaitu dalam Buku Kedua dan Buku Ketiga yang masing-masing

menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.35

1) Kejahatan dan Pelanggaran

KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan

pelanggaran di dalam Buku Ketiga. Akan tetapi tidak ada penjelasan

mengenai apa yang dimaksud kejahatan dan pelanggaran, berarti

semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan

dasarnya. Tidak ada yang sepenuhnya merumuskan, lalu dicoba untuk

membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict dan pelanggaran

merupakan wetsdelict atau delik undang-undang atau delik hukum adalah

pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan.

34
Ibid, hal. 51
35
Hj. Seonarjati, dkk, Hukum Pidana dan Acara Pidana, Banten: UT, 2016, hal. 1.30 – 1.32
33

2) Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)

Delik dalam KUHP merupakan rumusan yang selesai, yaitu

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Delik formal adalah delik yang

dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan. Atau dengan kata lain

titik beratnya berbeda kepada perbuatan itu sendiri, tidak dipermasalahkan

apakah perbuatnya sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentalia

(hal yang kebetulan). Contoh delik formal yaitu Pasal 362 KUHP

(pencurian), Pasal 160 KUHP (penghasutan), dan Pasal 209-210 KUHP

(penyuapan). Sedangkan di dalam delik materiil, titik beratnya pada akibat

yang dilarang. Delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi,

bagaimanah cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah,

contohnya Pasal 338 KUHP (pembunuhan).

3) Delik Dolus dan Delik Culpa

Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (schuld). Delik

dolus adalah yang memuat unsur kesengajaan rumusan kesengajaan itu

mungkin dengan kata-kata yang tegas dengan sengaja, tetapi mungkin

juga dengan kata-kata lain yang senada seperti diketahunya. Sedangkan

delik culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan atau dengan

kata “karena kealpaannya”. Misalnya pada Pasal 195 KUHP, Pasal 359

KUHP, dan Pasal 360 KUHP di dalam beberapa terjemahan kadang-

kadang dipakai “karena kesalahannya”.


34

4) Tindak Pidana Aktif (Delik Commisionis) dan Tindak Pidana Pasif (Delik

Omisionis)

Tindak pidana aktif (delicta commissionis) adalah tindak pidana

yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif

disebut juga perbuatan materiil adalah perbuatan untuk mewujudkannya

disyaratkan adanya gerakan anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan

berbuat aktif maka orang yang melanggar larangan perbuatan aktif ini

terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun

materiil. Bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah tindak pidana

aktif.

Dalam tindak pidana pasif ada suatu kondisi dan atau keadaan

tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk

berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan perbuatan aktif itu, ia

telah melanggar kewajiban hukumannya tadi. Tindak pidana pasif dapat

disebut juga tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum. Tindak

pidana pasif ada dua macam, yaitu tindak pidana murni dan tindak pidana

pasif yang tidak murni atau disebut dengan delicta commissionis per

pmissionem.

5) Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana Berlangsung Terus

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja,
35

disebut juga dengan aflopene delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu

berlangsung lama yakni setelah perbuatan dilakukan tindak pidana itu

masih berlangsung terus yang disebut dengan voortdurende delicten.

Tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu

keadaan yang terlarang.

6) Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat

dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (Buku II dan

Buku III KUHP), tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang

terdapat di luar kodifikasi. Adanya tindak pidana di luar KUHP

merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari perbuatan-

perbuatan tertentu yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam

dengan pidana itu untuk berkembang sesuai dengan perkembangan

teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang tidak cukup efektif

dengan hanya menambahkanya pada kodifikasi (KUHP).

7) Tindak Pidana Comunia dan Tindak Pidana Propia

Jika dilihat dari sudut pandang hukum pidana, tindak pidana dapat

dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang

(delicta communia) dan tindak pidana yang hanya dilakukan oleh orang

yang berkualitas tertentu (delicta propria).


36

8) Tindak Pidana Biasa (Gewone Delicten) dan Tindak Pidana Aduan

(Klacht Delicten)

Tindak pidana biasa adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya

penuntutan pidana terhadap pelakunya tidak disyaratkan adanya

pengaduan dari pihak yang berhak, sehingga sebagian besar tindak pidana

merupakan tindak pidana biasa. Sedangkan tindak pidana aduan adalah

tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana

disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh pihak yang berhak

mengajukan pengaduan.

9) Tindak Pidana Dalam Bentuk Pokok yang Diperberat dan yang

Diperingan

Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang

dibentuk menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana

(eenvoudige delicten), atau dapat juga disebut dengan bentuk

standar.

2. Dalam bentuk diperberat (gequalificeerdde delicten).

3. Dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten).

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap,

artinya semua unsurnya dicantumkan di dalam rumusannya. Misalnya

Pasal 362 KUHP (pencurian), Pasal 338 KUHP (pembunuhan), Pasal


37

372 KUHP (pengelapan), Pasal 363 KUHP (penggelapan surat), Pasal 368

KUHP (pemerasan). Karena disebutkan secara lengkap unsur-unsurnya

pada rumusan bentuk pokok terkandung pengertian yuridis dari tindak

pidana tersebut. Pada bentuk yang diperberat dan atau yang diperingan

tidak mengulang unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar

menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya.

Kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan

atau meringkan secara tegas di dalam rumusan karena ada faktor

pemberatnya atau faktor peringannya ancaman pidana terhadap tindak

pidana terhadap bentuk yang diperbesar atau yang diperingan itu menjadi

lebih berat atau lebih ringan dari bentuk pokoknya.

10) Jenis Tindak Pidana Berdasarkan Kepentingan Hukum yang Dilindungi

Sistematika pengelompokan tindak pidana bab per bab dalam

KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Berdasarkan

kepentingan hukum yang dilindungi ini, maka dapat disebutkan misalnya

dalam Buku Kedua untuk melindungi kepentingan hukum terhadap

keamanan negara dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamanan negara

(Bab I), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-

tugas bagi penguasa umum dibentuk kejahatan terhadap penguasa umum

(Bab VIII), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan


38

pribadi dibentuk tindak pidana, seperti pencurian (Bab XXII),

penggelapan (Bab XXIV), dan pengaancaman (Bab XXIII).

11) Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berangkai

Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak

pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga dipandang selesainya

tindak pidana dan dapat dipidanakan pelakunya, pelaku cukup

dilakukannya satu kali perbuatan saja. Sebagaian besar tindak pidana

dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sedangkan yang

dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikan rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan

dapat dipidananya perbuatan disyaratkan dilakukan secara berulang.

Contohhnya Pasal 481 ayat (1) KUHP, dimana perbuatan membeli,

menukar, menerima gadai, menyimpan, dan menyembunyikan barang

yang diperoleh dari kejahatan itu dilakukan sebagai kebiasaan-kebiasaan,

jadi di sini disyaratkan telah dilakukan berulang setidaknya dua kali

perbuatan.36

4. Tindak Pidana Khusus

Hukum pidana khusus (peraturan perundang-undangan tindak pidana

khusus) bisa dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang

memiliki sanksi pidana, atau tindak-tindak pidana yang diatur dalam peraturan
36
Sudarto, Hukum Pidana 1 edisi revisi, Semarang: Yayasan Sudarto, 2018, hal. 50-62
39

perundang-undangan tersendiri di luar KUHP baik peraturan perundang-

undangan pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana.37

Menurut Andi Hamzah, peraturan hukum pidana yang tercantum di

luar KUHP dapat disebut undang-undang (pidana) tersendiri atau disebut juga

hukum pidana di luar kodifikasi atau non kodifikasi.38 Sedangkan W.P.J.

Pompe mengatakan bahwa ada hukum pidana sebagian di dalam KUHP

(kodifikasi) dan sebagian di luar KUHP (non kodifikasi) atau di dalam undang

undang tersendiri.39

Seiring dengan munculnya pengaturan hukum pidana secara khusus,

maka muncullah istilah hukum pidana khusus yang sekarang dikenal dengan

istilah hukum tindak pidana khusus. Tidak ada perbedaan mengenai sebutan

kedua istilah tersebut dikarenakan yang dimaksud oleh kedua istilah tersebut

adalah undang-undang pidana yang berada di luar hukum pidana umum, baik

dari segi hukum pidana materiil maupun dari segi hukum pidana formil.

Dengan adanya penyimpangan maka disebut hukum pidanan khusus atau

hukum tindak pidana khusus.

Di Indonesia, kini berkembang undang-undang tersendiri di luar

KUHP, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),

Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Tindak Pidana

Narkotika, dan banyak peraturan perundang-undangan administrasi yang

37
Azis Syamsudin, Tindak Pidana khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011 hal. 8
38
Ibid, hal. 9
39
Ibid, hal. 10
40

bersanksi pidana dengan ancaman pidana penjaranya sangat berat yaitu 10

tahun, 15 tahun, sampai seumur hidup, bahkan ada pidana mati seperti yang

terdapat di dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika,

Undang-Undang Perbankan), dan sebagainya.

Suatu hal yang nyata dimana perkembangan kriminalitas dalam

masyarakat telah mendorong lahirnya Undang-Undang Hukum Pidana

Khusus yaitu Undang-Undang Hukum Pidana yang terdapat di luar KUHP.

Kedudukan undang-undang tindak pidana khusus ini dalam sistem hukum

pidana adalah pelengkap dari hukum pidana yang dikodifikasikan dalam

KUHP, dimana suatu kodifikasi hukum pidana betapapun sempurnanya pada

suatu saat akan sulit memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang mengikuti

perkembangan zaman, yang terfasilitasi dengan kemungkinan adanya

kebijakan hukum di luar KUHP dengan memungkinkan adanya hal tersebut

yang dinyatakan pada Pasal 103 KUHP bahwa:

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab 1 sampai dengan Bab VIII buku ini


(kecuali Bab IX (interprestasi istilah) juga berlaku bagi perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan
lain”.40

Pasal 1 sampai dengan Pasal 85 Buku Kesatu KUHP terdapat

ketentuan tentang umum/asas-asas umum yang berlaku juga bagi perbuatan

40
R. Soesilo, KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Soekabumi: Poletia
Bogor, 1996, hal. 106
41

yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-undang atau peraturan di

luar KUHP kecuali undang-undang atau peraturan itu menyimpang.

Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali dimana terdapat

ketentuan khusus yang menyingkirkan ketentuan umum, yang

mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat khsusus akan lebih

diutamakan daripada ketentuan yang bersifat umum. Hal ini dapat berlaku

selama terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam undang-undang atau

peraturan khusus tersebut terhadap ketentuan umum yang terdapat di dalam

KUHP. Penerapan ketentuan pidana khusus sesuai dengan asas lex specialis

derogat lex generali.41

41
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Hlm10-11

Anda mungkin juga menyukai