Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN TEORI


TUJUAN PEMIDANAAN

A. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Ada banyak pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para

pakar/ahli hukum. Untuk mengetahui lebih terang tentang definisi hukum

pidana, maka dapat dijelaskan oleh para ahli hukum sebagai berikut :

Moeljatno menyatakan bahwa:1

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di


suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidan aitu dapat
dilaksanakan apa ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.

Fitri Wahyuni berpendapat lain, Kata hukum pidana pertama-tama

digunakan untuk merujuk pada keseluruhan ketentuan yang menetapkan syarat-

syarat apa saja yang mengikat negara, bila negara tersebut berkehendak untuk

memunculkan mengenai hukum pidana, serta aturan-aturan yang merumuskan

pidana seperti apa yang dapat diperkenankan.2 Lalu menurut Hart, Hukum

pidana itu tidak saja bertujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan agar tidak

melakukan lagi kejahatan, tetapi juga untuk mencegah masyarakat untuk

1
Lukman Hakim, Asas-Asas Hukum Pidana, Deepublish, Yogyakarta, 2020, hlm. 1.
2
Fitri Wahyuni, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Nusantara Persada Utama,
Tangerang, 2017, hlm. 1.
1
2

melakukan kejahatan.3 Kemudian Wilkins menyatakan, tujuan utama hukum

pidana adalah memperkecil kemungkinan pelaku kejahatan mengulangi

perbuatannya.4

Adapun pidana menurut Muladi adalah:5

1. Pidana itu pada hakekatnya adalah penjatuhan penderitaan atau


nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
memiliki kekuasaan.
3. Pidana itu diberikan pada orang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.

Berdasarkan pengertian dari para ahli hukum di atas, maka penulis dapat

menyimpulkan bahwa hukum pidana adalah sekumpulan peraturan yang dibuat

oleh negara atau badan yang berkuasa yang menetapkan syarat-syarat

perbuatan mana yang dapat dipidana serta memuat sanksi pidana dengan tujuan

agar pelaku tindak pidana jera dan tidak mengulangi perbuatannya.

Tindak Pidana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Hukum

Pidana. Menurut Chairul Huda, dalam peraturan perundang-undangan

Indonesia tidak ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana

yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Para ahli

hukum pada umumnya masih memasukan kesalahan sebagai bagian dari

pengertian tindak pidana.6

Penjelasan tersebut dapat disimpulkan, Chairul Huda tidak menemukan

pengertian tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan


3
Bemmelen, Hukum Pidana 1, Binacipta, Jakarta, 1984. hlm. 37.
4
Ibid.
5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 1.
6
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan Cet. Ke-4, Kencana Prenada Media, Jakarta,
2011, hlm. 26.
3

menganggap pengertian tindak pidana selama ini hasil dari pemikiran para ahli

hukum.

Septa Candra menjelaskan, strafbaarfeit itu adalah sama dengan syarat-

syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalua terjadi

strafbaarfeit, maka pelakunya pasti dapat dipidana.7 Kemudian Fitri Wahyuni

berpendapat dari beberapa istilah yang digunakan oleh sarjana-sarjana tersebut

sebagai terjemahan delik (strafbaarfeit) tidak mengikat. Untuk istilah mana

yang ingin dipergunakan asalkan tidak merubah makna strafbaarfeit

merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung dari pemakaiannya.8

Berdasarakan uraian di atas, menurut penulis berdasarkan pengertian para

pakar hukum mengenai tindak pidana dapat disimpulkan bahwa tindak pidana

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dikenal definisi tindak

pidana. Namun pengertian dari para pakar hukum menyebutkan bahwa tindak

pidana adalah perbuatan yang terlarang yang diancam dengan pidana dan

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab disertai dengan

kesalahan baik kealpaan maupun kesengajaan.

Tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh seseorang atau beberapa

orang. Untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan,

orang tersebut harus mempunyai kemampuan bertanggungjawab. Menurut

Sudarto, kemampuan bertanggungjawab itu merupakan syarat untuk

pertanggungjawaban pidana9 Sedangkan Hazewinkel Suringa menyatakan,

7
Septa Candra, “Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana Nasional
yang Akan Datang”, Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, Volume 1, Nomor 1, Juni 2013, hlm. 41.
8
Fitri Wahyuni, Op. Cit, hlm. 37.
9
Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Sudarto, Semarang, 2013, hlm. 165.
4

“kemampuan bertanggungjawab bukanlah isi dari delik, tetapi hanya

merupakan syarat untuk dapat menjatuhkan pidana secara normal. Ia tidak

bersangkut paut dengan sifat “dapat dipidananya” perbuatan.10

Berdasarkan uraian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan ada

perbedaan pandangan mengenai kemampuan bertanggungjawab, yang mana

Sudarto berpendapat kemampuan bertanggungjawab itu syarat untuk adanya

pertanggungjawaban pidana. Namun menurut Hazewinkel Suringa,

kemampuan bertanggungjawab tidak bersangkut paut dengan sifat dapat

dipidananya perbuatan.

Simons menyatakan seseorang yang menurut pembentuk undang-undang

dianggap bahwa ia berbuat salah, jika dia dapat menyadari perbuatannya

melawan hukum dan sesuai dengan itu dia dapat menentukan kehendak

perbuatan tersebut.11 Menurut Eddy O.S. Hiariej, pernyataan Simons ini tidak

memberikan definisi kesalahan, namun memberikan syarat kesalahan berupa

perbuatan melawan hukum dan adanya kehendak perbuatan tersebut. 12 Uraian

tersebut dapat dilihat bahwa ada perbedaan pandangan antara Simons dan

Chairul Huda mengenai kesalahan.

Vos menegaskan, perbuatan yang dapat dipidana yang dapat

dipertanggungjawabkan kepada pelaku adalah kelakuan yang dapat dicela

kepadanya. Celaan disini tidak perlu suatu celaan secara etis; tetapi cukup

celaan secara hukum. Juga secara etis kelakuan-kelakuan yang dapat dipidana,

10
Ibid, hlm. 166.
11
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, hlm. 157.
12
Ibid.
5

menurut norma hukum adalah pemaksa bagi etika pribadi kita. 13 Uraian

tersebut dapat berarti bahwa pertanggungjawaban pidana kepada pelaku yaitu

harus perbuatan yang dapat dicela kepadanya.

Lukman Hakim menyatakan, Pertanggungjawaban pidana dalam Bahasa

asing disebut juga sebagai “toerekenbaarheid”, “criminal responsibility”,

“criminal liability”. Mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan

bertanggungjawab (toerekeningsvatbaarheid) ini, KUHP tidak merumuskannya

secara tegas, sehingga harus dicari dalam doktrin yang ada.14

Penjelasan Lukman Hakim tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

Lukman Hakim juga berpendapat definisi kemampuan bertanggungjawab tidak

dirumuskan secara tegas oleh KUHP dan oleh karena itu harus dicari dengan

doktrin hukum yang ada.

Menurut M. Abdul Khaliq, kemampuan bertanggungjawab dapat

diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal

seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang

buruk.15Kemudian menurut Lukman Hakim, jika berbicara tentang

pertanggungjawaban pidana maka tidaklah dapat dilepaskan dari adanya unsur

“kesalahan”, hal ini berkenaan dengan suatu asas fundamental dalam

mempertanggungjawabkan pelaku karena melakukan tindak pidana, yaitu

dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan.16

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan bertanggungjawab

13
Ibid.
14
Lukman Hakim, Op. Cit, hlm. 35.
15
M. Abdul Khaliq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm. 129.
16
Lukman Hakim, Op. Cit, hlm. 40.
6

berarti normal dan sehatnya akal seseorang untuk memilah mana yang baik

dan mana yang buruk. Pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari

kesalahan yang mana sesuai dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Chairul Huda berpendapat bahwa, secara sempit kesalahan dipandang

sama dengan kealpaan. Dengan kata lain, istilah kesalahan digunakan sebagai

sinonim dari sifat tidak berhati-hati. 17 Sedangkan menurut Fitri Wahyuni,

dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan),

seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan tersebut apabila

tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat

melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu. 18 Fitri Wahyuni bependapat,

Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang

“mampu bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawabkan.19

Berdasarkan pendapat para pakar hukum di atas, dapat disimpulkan

kesalahan berarti sama dengan sifat tidak berhati-hati atau sembrono. Orang

yang diminta pertanggungjawaban pidana harus telah malakukan tindakan

melawan hukum dan tidak alasan yang menghapuskan hukuman.

Seperti yang dijelaskan Fitri Wahyuni, dikatakan seseorang mampu

bertanggungjawab bilamana, pada umumnya:20

a. Keadaan Jiwanya :
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara
(temporair) ;
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan
sebagainya) dan
3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap,
17
Chairul Huda, Op. Cit, hlm. 74.
18
Fitri Wahyuni, Op. Cit, hlm. 69.
19
Ibid.
20
Ibid.
7

pengaruh bawah sadar/reflexe bewanging, melantur, mengigau


karena demam. Dengan perkataan lain dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan Jiwanya :
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya ;
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
akan dilaksanakan atau tidak; dan
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Uraian dari Fitri Wahyuni di atas berarti, bahwa untuk menentukan

seseorang mampu bertanggungjawab harus dilihat dari keadaan jiwanya dan

kemampuan jiwanya. Orang tersebut harus sehat jiwanya dan mengetahui

dampak dari tindakan terlarang yang ia lakukan.

Menurut Memorie van Toelichting (MvT), tidak ada kemampuan

bertanggungjawab pada si pembuat, apabila:21

1. Si pembuat tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan

tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan

Undang-Undang;

2. Si pembuat ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga

dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan

hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.

Suyanto menegaskan, mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan

bertanggungjawab ini KUHP tidak merumuskannya, sehingga harus dari dalam

doktrin atau Memorie van Toelichting.22 Untuk adanya pertanggungjawaban,

suatu syarat yang diperlukan adalah si pembuat harus mampu

bertanggungjawab, dengan perkataan lain harus ada kemampuan

bertanggungjawab dari si pembuat.23

21
Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, Deepublish, Yogyakarta, 2018, hlm. 78.
22
Ibid, hlm. 77.
23
Ibid.
8

Penjelasan dari Suyanto di atas serupa dengan pakar hukum lain yang

berpendapat bahwa KUHP tidak merumuskan definisi kemampuan

bertanggungjawab. Dapat disimpulkan Suyanto menggunakan unsur mampu

bertanggungjawab untuk adanya pertanggungjawaban.

Menurut Roeslan Saleh, pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai

diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara

subjektif memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. 24

Sedangkan menurut Chairul Huda, pertanggungjawaban pidana adalah

pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.25

Berdasarkan penjelasan di atas, Roeslan Saleh memandang

pertanggungjawaban pidana sebagai pencelaan atas perbuatan pidananya.

Berbalik dengan itu Chairul Huda menyatakan pertanggungjawaban pidana

berpusat terhadap pertanggungjawaban orang yang melakukan tindak pidana.

Menurut Van Hamel:26

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal psikis dan


kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan yaitu :
1. Mampu untuk dapat mengerti makna suatu akibat sungguh-sungguh
dari perbuatan-perbuatan sendiri
2. Mampu menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan
dengan ketentuan masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan keharusan berbuat.
Fitri Wahyuni menyimpulkan, bahwa secara umum unsur-unsur-unsur

pertanggungjawaban meliputi:27

1. Mampu bertanggungjawab

24
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana; Dua Pengertian
Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 75.
25
Chairul Huda, Op. Cit, hlm. 70.
26
Fitri Wahyuni, Op. Cit, hlm. 67.
27
Ibid, hlm. 68.
9

2. Kesalahan

3. Tidak ada alasan pemaaf

Uraian para pakar hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa

pertanggungjawaban pidana membawa kemampuan untuk menyadari bahwa

perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan masyarakat dan untuk adanya

pertanggungjawaban pidana kepada seseorang harus mempunyai unsur mampu

bertanggungjawab, mempunyai kesalahan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Menurut Sudarto, kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yaitu:28

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat


(Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa si
pembuat harus normal.
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk
kesalahan.
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan
pemaaf.

Berdasarkan unsur-unsur yang dipaparkan oleh Sudarto di atas, untuk

menyatakan seseorang memiliki kesalahan maka harus dilihat dari 3 unsur

tersebut, yang mana apabila satu saja kurang maka tidak disebut kesalahan.

Lukman hakim menyatakan bahwa:29

Pada umumnya, kesalahan dapat dibagi menjadi kesengajaan (diketahui


dan dikehendaki) dan kealpaan (tidak berhati-hati). Dengan demikian
dapat dikatakan kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-
bentuk dari kesalahan (schuldvormen). Kesengajaan (dolus), dibedakan
lagi menjadi :
1. Kesengajaan sebagai maksud. Maksud untuk menimbulkan akibat
tertentu.
2. Kesengajaan sebagai kepastian (sadar keharusan) : akibat yang
(secara primer) tidak dikehendaki pasti terjadi.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (kesengajaan bersyarat atau
dolus eventualis). : -akibat yang (secara primer) tidak dikehendaki
28
Sudarto, Op. Cit, hlm. 155.
29
Lukman Hakim, Op. Cit, hlm. 44.
10

hampir pasti terjadi, atau -dipandang sebagai kemungkinan yang


tidak dapat diabaikan (sadar kemungkinan) tetapi diterima.

Lukman Hakim juga menyatakan ada 3 macam unsur yang masuk dalam

kealpaan:30

1. Dapat mengirakan

2. Mengetahui adanya kemungkinan

3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan

Menurut Lukman Hakim, Kealpaan (culpa) dibedakan menjadi:31

1. Kealpaan yang disadari = akibat yang (secara primer) tidak

dikehendaki dianggap dengan sembrono tidak akan terjadi.

2. Kealpaan yang tidak disadari : orang berpikir meskipun dia

seharusnya berpikir.

Berdasarkan penjelasan Lukman Hakim di atas, maka dapat dikatakan

kesengajaan dan kealpaan merupakan bagian dari Kesalahan. Meskipun

kealpaan dianggap lebih ringan dari kesengajaan namun tetap merupakan unsur

penting dalam pertanggungjawaban pidana.

Menurut Remelink, kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh

masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu

terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya

dapat dihindari.32 Von Liszt mengatakan, kesalahan dibentuk oleh keadaan

psikis tertentu dari pembuat.33 Sedangkan menurut Moeljatno, kesalahan dan

30
Ibid, hlm. 46.
31
Ibid.
32
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru,
Jakarta, 1981, hlm. 45.
33
Chairul Huda, Op. Cit, hlm. 75.
11

kelalaian seseorang dapat diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu

mampu bertanggungjawab yaitu bila tindakannya itu memuat 4 (empat) unsur

yaitu:34

1. Melakukan Perbuatan Pidana (Sifat Melawan Hukum)


2. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus)
dan kealpaan/kelalaian (culpa)
4. Tidak ada alasan pemaaf.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan menurut

Remelink adalah pencelaan terhadap manusia yang melakukan perilaku

menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari. Searah dengan itu, Von Liszt,

menyatakan kesalahan berhubungan dengan keadaan psikis sedangkan

Moeljatno memandang kesalahan seseorang harus diukur terlebih dahulu

apakah pelaku tindak pidana itu mampu bertanggungjawab atau tidak.

Menurut Eddy O.S, Hiariej, Elemen dari kesalahan meliputi: Pertama,

kemampuan bertanggungjawab. Kedua, Hubungan psikis pelaku dengan

perbuatan yang dilakukan. Ketiga, Tidak ada alasan penghapus pidana berupa

alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan dan

alasan pemaaf yang menghapuskan sifat-sifat dapat dicelanya pelaku 35.Chairul

Huda mengatakan bahwa Kesalahan sebagai ‘ukuran pengenaan pidana’ bukan

hanya berarti ketika ditempatkan sebagai penentu ‘ bentuk dan berat ringannya

pidana’ yang dijatuhkan, tetapi juga sebagai pedoman dalam

mengevaluasinya’.36

34
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm.
164.
35
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit, hlm. 161.
36
Chairul Huda, Op. Cit, hlm. 140.
12

Uraian di atas mengenai unsur-unsur mampu bertanggungjawab,

pertanggungjawaban pidana, dan kesalahan yang dikemukakan oleh para ahli

hukum maka unsur-unsur tersebut diajukan penulis untuk mengetahui

permainanan kasar pemain sepakbola bila ditinjau dari unsur-unsur mampu

bertanggungjawab, pertanggungjawaban pidana, dan kesalahan.

B. Teori Tujuan Pemidanaan

Tidak akan ada pemidanaan tanpa ada perbuatan pidana yang dilakukan

oleh seseorang. Pidana dan pemidanaan mempunyai arti yang berbeda. Eddy

O.S. Hiariej menyatakan pidana pada hakikatnya adalah suatu kerugian berupa

penderitaan yang sengaja diberikan oleh negara terhadap individu yang

melakukan pelanggaran terhadap hukum.37 Kemudian menurut Eddy O.S.

Hiariej, Pemidanaan adalah suatu Pendidikan moral terhadap pelaku yang telah

melakukan kejahatan dengan maksud agar tidak mengulangi perbuatannya. 38

Chairul Huda menjelaskan bahwa, Pemidanaan yang bermoral hanya dilakukan

terhadap mereka yang melakukan tindak pidana dengan kesalahan. Tanpa

kesalahan pada diri pembuat, maka pemidanaan terhadap pembuat tindak

pidana akan kehilangan pembenarannya dari segi moral.39

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Eddy O.S. Hiariej dan juga

Chairul Huda, Pidana merupakan suatu kerugian yang diberikan negara

terhadap pelanggar hukum pidana. Pemidanaan dilakukan untuk Pendidikan

moral pelaku kejahatan, Pemidanaan yang bermoral hanya dapat dilakukan

apabila pelaku delik melakukannya dengan kesalahan.


37
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit, hlm. 451.
38
Ibid.
39
Chairul Huda, Op. Cit, hlm. 74.
13

Menurut Suyanto, pidana (hukuman) adalah masalah yang pokok dalam

hukum pidana, sebab sejarah dari hukum pidana pada hakikatnya adalah

sejarah dari pidana dan pemidanaan.40 Roeslan Saleh berpendapat yang

dimaksud dengan pidana adalah reaksi atas delik, dari ini berwujud suatu

nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.41

Uraian di atas, mempunyai arti bahwa Pidana adalah akibat hukum

berupa penderitaan yang diberikan negara kepada pembuat delik atas perbuatan

pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

Berkenaan dengan pemidanaan yang dilakukan oleh kekuasaan yang

berwenang, Ridwan menegaskan bahwa penguasa tidak boleh sewenang-

wenang dalam menentukan perbuatan mana yang dianggap sebagai tindak

pidana dan sanksi apa yang harus dijatuhkan pada si pelanggar.42

Mendasarkan uraian di atas, Kekuasaan menjatuhkan pidana yang

dilakukan oleh penguasa yang berwenang harus sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan asas hukum pidana pada umumnya.

Adami Chazawi menjelaskan, mengenai teori-teori pemidanaan dalam

banyak literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana. Teori-teori ini

mencari dan menerangkana tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan

dan menjalankan pidana tersebut.43 Kemudian Adami Chazawi bependapat,

Negara merupakan organisasi sosial yang tertinggi, yang bertugas dan


40
Suyanto, Op. Cit, hlm. 83.
41
Ibid, hlm 84.
42
Ridwan, “Membangun Integritas Penegak Hukum Bagi Terciptanya Penegakan
Hukum Pidana yang Berwibawa”, Jurnal Ilmiah Media Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Volume 19, Nomor 1, Juni 2012, hlm. 95.

43
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Rajawali Press, Jakarta, 2019,
hlm. 156.
14

berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib, ketertiban

masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban dan tugas itu, maka wajar

jika negara diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan

pidana.44

Uraian di atas, dapat disimpulkan Adami Chazawi menegaskan bahwa

wajar jika negara diberi hak dan kewenangan untuk mengenakan pidana

terhadap pelaku tindak pidana karena negara merupakan organisasi sosial yang

tertinggi.

Chairul Huda menyatakan bahwa Pemidanaan merupakan bagian

terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses

mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak

pidana.45 Kemudian menurut Chairul Huda Hukum pidana tanpa pemidanaan

berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap

kesalahannya tersebut.46 Chairul Huda berpendapat bahwa Kesalahan bukan

hanya menentukan dapat dipertanggungjawabkannya pembuat, tetapi juga

dapat dipidananya pembuat.47

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan pemidanaan adalah bagian

yang tidak terpisahkan dari proses pidana untuk menjamin

pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan yaitu tindak pidana oleh pelaku

tindak pidana.

Chairul Huda menyatakan tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan

44
Ibid.
45
Chairul Huda, Op. Cit, hlm. 124.
46
Ibid.
47
Ibid, hlm. 125.
15

selalu menjadi perdebatan para ahli hukum pidana dari waktu ke waktu. Tidak

mengherankan apabila para ahli hukum akan gembira sekali jika dapat

menentukan dengan pasti tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penjatuhan

pidana dan pemidanaan itu.48 Menurut Chairul Huda Tujuan pengenaan pidana

atau pemidanaaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu

retributivism dan utilitarianism. Baik retributivism dan utilitarianism menjadi

pangkal tolak ukur dalam menentukan tujuan-tujuan pengenaan pidana atau

pemidanaan.49

Chairul Huda menjelaskan bahwa Peletak dasar retributivism adalah

Kant. Paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam

menentukan tujuan pemidanaan. Pada pokoknya, paham ini menentukan bahwa

tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan

pelaku.50

Berdasarkan uraian yang dikemukakan Chairul Huda di atas dapat

diketahui bahwa tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan menjadi perdebatan

di antara para ahli hukum pidana dari waktu ke waktu. Kemudian pandangan

retributivism dan utilitarianism telah menjadi tolok ukur dalam pengenaan

pidana. Pandangan retributivism berkutat pada pembalasan terhadap pelaku

pidana.

Pandangan retributivism dari Chairul Huda sama dengan pandangan

Lukman Hakim. Menurut Lukman Hakim, Pandangan retributif mengandaikan

pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap pelaku menyimpang yang


48
Ibid, hlm. 127.
49
Ibid, hlm. 128.
50
Ibid, hlm. 128-129.
16

dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemidanaan

hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar

tanggungjawab moralnya masing-masing.51

Chairul Huda berpendapat Berbeda halnya dengan utilitarianism.

Pandangan ini terutama menentukan bahwa, pemidanaan mempunyai tujuan

berdasarkan manfaat tertentu, dan bukan hanya sekadar membalas perbuatan

pembuat.52 Sejalan dengan Chairul Huda, Lukman Hakim menyatakan,

Pandangan utilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya

dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan

dijatuhkannya pidana itu.53 Lukman Hakim menjelaskan bahwa Menentukan

tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, oleh karena

pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan

berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan.54

Berdasarkan uraian para pakar tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

pemidanaan harus menjunjung asas manfaat sebagaimana pandangan

utilitarianism, tidak hanya bertujuan melakukan pembalasan kepada pelaku

delik semata.

Menurut Adami Chazawai, Ada berbagai macam pendapat mengenai

teori pemidanaan ini, namun yang banyak itu dapat dikelompokkan ke dalam

tiga golongan besar, yaitu:55

51
Lukman Hakim, Penerapan dan Implementasi “Tujuan Pemidanaan” dalam RKUHP
dan RKUHAP, Deepublish, Yogyakarta, 2020, hlm. 10
52
Chairul Huda, Op. Cit, hlm. 129.
53
Lukman Hakim, Op. Cit, hlm. 10-11.
54
Ibid, hlm. 10.
55
Adami Chazawi, Op. Cit, hlm. 157.
17

- Teori Absolut atau Teori Pembalasan

- Teori Relatif atau Teori Tujuan

- Teori Gabungan atau Teori Golongan

1. Teori Absolut56

Menurut Adami Chazawi, Dasar pijakan dari teori ini ialah


pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan
berupa pidan aitu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana
karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan
pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat, atau negara)
yang telah dilindungi. Oleh karena itu, ia harus diberikan pidana yang
setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya.
Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat
dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang
lain.

2. Teori Relatif57
Adami Chazawi Menjelaskan bahwa Teori relatif atau teori tujuan
berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana
ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu
diperlukan pidana.

3. Teori Gabungan58
Menurut Fitri Wahyuni, Teori ini gabungan dari teori pembalasan dan
teori tujuan, lahirnya teori gabungan tersebut karena teori absolut
maupun teori tujuan (relatif) memiliki kelemahan, oleh karena itu teori
gabungan harus memadukan kedua teori tersebut dengan penjatuhan
pidana harus memberikan rasa kepuasan baik bagi hakim, penjahat,
dan masyarakat, dan harus seimbang pidana yang dijatuhkan kepada
penjahat tersebut.

Berdasarkan uraian teori di atas, Teori Gabungan adalah teori yang

komplet digunakan di Indonesia, karena mampu mengatasi kelemahan dari

teori Absolut dan teori Relatif. Teori Gabungan diharapkan dapat

memberikan rasa keadilan dan kepuasan baik bagi hakim, terdakwa, dan

56
Ibid.
57
Ibid, hlm. 161.
58
Fitri Wahyuni, Op. Cit, hlm. 15.
18

juga masyarakat.

Adami Chazami menjelaskan bahwa:59

Untuk mencapai tujuan ketentuan masyarakat tadi, maka pidana itu


mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
1. Bersifat menakut-nakuti
2. Bersifat memperbaiki
3. Bersifat membinasakan
Sementara itu sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam,
yaitu:
1. Pencegahan Umum
2. Pencegahan Khusus

Chairul Huda bependapat Berdasarkan teori pembalasan, maka

pemidanaan hanya dapat dibenarkan apabila dijatuhkan pada pembuat yang

melakukan tindak pidana dengan kesalahan. 60 Chairul Huda juga

menyatakan, teori kepentingan melihat analisis terhadap kesalahan pembuat

sangat penting bagi penjatuhan pidana. Pengesahan atas pemidanaan justru

terletak apakah pemidanaan membawa kebaikan bagi pembuat.61

Uraian di atas, berarti bahwa Teori pembalasan hanya dapat

digunakan apabila terdapat kesalahan dalam diri pelaku. Teori kepentingan

melihat perlunya analisis kesalahan pembuat agar pemidanaan membawa

kebaikan untuk pembuat.

Lukman Hakim bependapat lain, Pemidanaan dimaksudkan untuk

memperbaiki sikap atas tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan

itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan

melakukan perbuatan yang serupa.62

59
Adami Chazawi, Op. Cit, hlm. 161.
60
Chairul Huda, Op. Cit, hlm.136.
61
Ibid.
62
Lukman Hakim, Op. Cit, hlm. 11.
19

Uraian Lukman Hakim di atas mempunyai makna bahwa pemidanaan

atau pengenaan pidana terhadap terpidana bukan sekadar pembalasan tetapi

juga harus mempunyai fungsi preventif dan edukatif bagi pelaku tindak

pidana.

Menurut Fitri Wahyuni ada beberapa ajaran yang menjadi dasar-dasar

pemikiran penjatuhan pidana. Ajaran tersebut adalah:63

1. Berpijak pada Ketuhanan


Menurut ajaran ini dalam mencari dasar pemidanaan didasarkan pada
ajaran kedaulatan Tuhan sebagaimana tercantum dalam kitab suci.
Penguasa adalah abdi Tuhan untuk melindungi yang baik dan
mengecilkan penjahat dengan penjatuhan pidana.
2. Berpijak pada falsafah sebagai dasar pemidanaan
Ajaran ini berpijakan pada perjanjian masyarakat, artinya adanya
perjanjian fiktif antara rakyat dengan negara, dimana rakyatlah yang
terdaulat dan menentukan bentuk pemerintahan.
3. Berpijak pada perlindungan hukum sebagai dasar pemidanaan
Mereka mencari dasar hukum pemidanaan berpijakan pada kegunaan
dan kepentingan penerapan pemidanaan bertujuan sebagai
perlindungan hukum maka dengan kata lain penerapan pidana
merupakan alat untuk menjamin ketertiban hukum.

Uraian di atas mengartikan bahwa, dalam penjatuhan pidana bukan

berarti menjatuhkan pidana dengan sesuka hati tetapi terdapat dasar-dasar

pemikiran yaitu berpijak pada nilai Ketuhanan, berpijak pada falsafah

negara, serta perlindungan hukum.

Menurut Suyanto, menjatuhkan pidana adalah suatu perbuatan yang

membawa akibat yang sangat luas dan yang menyinggung sedalam-

dalamnya pribadi manusia. Bahwa kekuasaan untuk dapat menjatuhkan

pidana itu merupakan suatu kekuatan yang amat penting. Penting, karena

akibat dari adanya suatu pidana adalah besar dan luas sekali.64
63
Fitri Wahyuni, Op. Cit, hlm. 12-13.
64
Suyanto, Op. Cit, hlm. 84.
20

Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pidana merupakan hal yang

mempunyai akibat yang besar dan luas. Itulah sebab kekuasaan

menjatuhkan pidana menjadi amat penting. Penting karena tidak boleh

semaunya menjatuhkan pidana sebab akibat dari suatu pidana itu tidak kecil.

Pemidanaan merupakan bagian dari penegakan hukum. Adapun

menurut Ridwan, penegakan hukum dengan pendekatan hukum represif

bukan saja akan melegitimasi penerapan kekerasan yang dapat melukai rasa

keadilan masyarakat, tapi juga akan semakin menjauhkan masyarakat

terhadap perilaku-perilaku yang dikehendaki oleh hukum. 65

Berdasarkan uraian di atas, pakar hukum Ridwan memandang bahwa

penegakan hukum dengan pendekatan represif justru akan melukai rasa

keadilan masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh

Suyanto yang menyatakan Penjatuhan pidana harus dilakukan secara hati-

hati.

Lukman Hakim menyatakan Ketentuan mengenai pemidanaan dalam

RKUHP mengatur tentang bagaimana pengadilan akan menentukan atau

menjatuhkan pidana kepada pelaku yang didapatkan pada pertimbangan

berbagai faktor untuk mencapai pemidanaan yang dianggap patut

(proper).66Lukman Hakim menjelaskan bahwa Faktor-faktor dalam

pemidanaan sebagaimana diatur dalam bagian kesatu adalah berkaitan

dengan tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan ketentuan lain

mengenai bagaimana pemidanaan akan diberlakukan kepada pelaku.67


65
Ridwan, Loc. Cit, hlm. 96.
66
Lukman Hakim, Op. Cit, hlm. 14.
67
Ibid.
21

Lukman Hakim menegaskan:68

Tujuan pemidanaan dalam RKUHP itu terlihat menganut aliran neo


klasik dengan beberapa karakteristik yang diatur, yaitu adanya
perumusan tentang pidana minimum dan maksimum, mengakui asas-
asas atau keadaan yang meringankan pemidanaan, mendasarkan pada
keadaan objektif dan mempertimbangkan kebutuhan adanya
pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.

Menurut Lukman Hakim tujuan yang dirumuskan dalam RKUHP

berlandaskan atas tujuan pemidanaan yang berlandaskan pada teori

pemidanaan relatif yang mempunyai tujuan untuk mencapai manfaat untuk

melindungi masyarakat dan menuju kesejahteraan masyarakat.69

Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam RUU KUHP

pemidanaan mempunyai sasaran tidak hanya kepada pelaku delik tetapi juga

kepada masyarakat untuk menimbulkan rasa damai dan mencegah orang lain

melakukan tindak pidana. Kemudian mendasari hal tersebut Teori

pemidanaan diajukan oleh penulis untuk mengetahui pemidanaan seperti apa

yang tepat untuk pelaku permainan kasar pemain sepakbola dan apakah

pemidanaan itu dapat dilakukan terhadap pelaku permainan kasar pemain

sepakbola.

68
Ibid, hlm. 15-16.
69
Ibid, hlm. 16.
22

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Adami Chazawi, 2019, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta:Rajawali
Press.
Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika.
Barda Nawawi Arief, 2018, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Bemmelen, 1984, Hukum Pidana 1, Jakarta:Binacipta.
23

Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada
Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana
Prenada Media.
Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada
Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan Cet. Ke-4, Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Edi Setiadi dan Kristian, 2017, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem
Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta:Prenadamedia.
Eddy O.S. Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta:Cahaya.
Fitri Wahyuni, 2017, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia,
Tangerang:Nusantara Persada Utama.
Lukman Hakim, 2020, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta:Deepublish.
Lukman Hakim, 2020, Penerapan dan Implementasi “Tujuan Pemidanaan”
dalam RKUHP dan RKUHAP, Yogyakarta:Deepublish.
M. Abdul Khaliq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana,
Yogyakarta:Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Moeljatno, 2001, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta,
Muhammad Nuh, 2011, Etika Profesi Hukum, Bandung:Pustaka Setia.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung:Alumni, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung:Alumni.
R. Abdoel Djamali, 2013, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta:RajaGrafindo.
Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,
Jakarta:Aksara Baru.
Roeslan Saleh 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban pidana;
Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta:Aksara Baru.
Ronny Haniatjo Soemitro, 1990, MetodePenelitian Hukum dan Jurumetri,
Jakarta:Ghalia Indonesia.
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:Universitas
Indonesia.
Sudarto, 2013, Hukum Pidana 1, Semarang:Yayasan Sudarto.
Sudikno Mertokusumo, 2002, Mengenal Hukum, Yogyakarta:Liberty.
24

Suyanto, 2018, Pengantar Hukum Pidana, Yogyakarta:Deepublish.


B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 TentangSistem Keolahragaan Nasional.

C. Jurnal

Septa Candra, “Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana


Nasional yang Akan Datang”, Jurnal Cita Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 1, Nomor 1, Juni 2013.
https://doi.org/10.15408/jch.v1i1.2979

Ridwan, “Membangun Integritas Penegak Hukum Bagi Terciptanya


Penegakan Hukum Pidana yang Berwibawa”, Jurnal Ilmiah Media
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
Volume 19, Nomor 1, Juni 2012.
https://doi.org/10.18196/jmh.v19i1.1979

D. Internet
https://amp.kompas.com/sports/read/2021/07/22/19300018/jenis-pelanggaran-
dalam-sepak-bola-beserta-hukumannya/, diakses pada 29 Maret 2022
pukul 20.10 WIB.
https://business-law.binus.ac.id/2019/08/25/penelitian-hukum-normatif-dan-
penelitian-hukum-yurudis/, diakses pada 04 April 2022 pukul 15.47
WIB.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbuatan-perbuatan-yang-termasuk-
penganiayaan-lt515867216deba , diakses pada 11 November 2021 pukul
08.45 WIB.
www.jawapos.com/sepak-bola/sepak-bola-indonesia/08/09/2021/mantan-
dokter-timnas-tendangan-brutal-syaiful-bisa-akibatkan-kematian/,
diakses pada 11 November 2021 pukul 08.45 WIB.
https://jawapos.com/sepak-bola-indonesia/08/09/2021/aksi-brutal-syaiful-dan-
insiden-insiden-horor-di-sepak-bola-indonesia/, diakses pada 11
November 2021 pukul 09.00 WIB.
https://negarahukum.com/kejahatan-terhadap-tubuh/ , diakses pada 03 Oktober
2022 pukul 12.44 WIB.
https://www.gramedia.com/literasi/kerangka-teori/, diakses pada 03 April 2022
pukul 11.54. WIB.
25

https://www.hukumonline.com/berita/a/uu-keolahragaan-dinilai-belum-
mendukung-sepakbola-lt526e7b8fe71a9/ , diakses pada 30 Maret 2022
pukul 17.50. WIB.
https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-asas-lex-specialis-derogat-
legi-generali-lt631f21adec18c , diakses pada 04 Oktober 2022 pukul
13.05. WIB.
https://www.lawyersclub.com/teori-teori-pemidanaan-dan-tujuan-
pemidanaan/ , diakses pada 04 April 2022 pukul 13.37 WIB.

Anda mungkin juga menyukai