Willman Supondho Akbar, S.H., M.H. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (DADER) Menurut Dr. Chairul Huda, S.H., M.H. Sebelum kesalahan normatif mengemuka (normatief schuldbegrip), umumnya para ahli hukum pidana memandang kesalahan semata – mata sebagai masalah keadaan psikologis seseorang ketika melakukan tindak pidana (psychologis schuldbegrip). Kesalahan dipahami dalam beberapa pengertian, yang selalu bertalian dengan psikologis pembuat tindak pidana. Pertama – tama, secara sempit kesalahan dipandang sama dengan kealpaan. Dengan kata lain, istilah kesalahan digunakan sebagai sinonim dari sifat tidak berhati – hati. Kemudian pengertian kesalahan juga dikaitkan dengan alasan penghapus pidana di luar UU. Dalam hal ini ketiadaan kesalahan sama sekali atau afwezigheid van alle schuld (avas), dijadikan alasan penghapus pidana selain yang telah ditentukan dalam UU. Istilah kesalahan juga digunakan sebagai nama pengumpul ‘kesengajaan’ dan ‘kealpaan’. Dikatakan ada kesalahan, jika pada diri pembuat terdapat salah satu dari dua bentuk kesalahan, ketika melakukan tindak pidana. Terakhir, dalam lapangan hukum acara pidana, berkaitan dengan asas ‘praduga tidak bersalah’, kesalahan diartikan sebagai ‘telah melakukan’ tindak pidana. Semua pengertian tersebut umumnya merujuk pada kenyataan bahwa kesalahan sebagai bagian inti tindak pidana, yang isinya keadaan psikologis pembuat, ketika melakukan tindak pidana tersebut. Kesalahan umumnya dipandang sebagai unsur subyektif tindak pidana. Von Liszt misalnya mengatakan, kesalahan dibentuk oleh keadaan psikis tertentu dari pembuat. Fletcher menyebut teori kesalahan psikologis sebagai teori deskriptif tentang kesalahan, mengingat unsur mental terdeskripsi secara nyata sebagai bagian tindak pidana. Pendapat – pendapat yang senada juga dapat ditemui di negara – negara common law. Kesalahan dalam common law system lazim disebut dengan mens rea, selalu dipahami sebagai keadaan psikologis pembuat ketika melakukan tindak pidana. Pada mulanya mens rea merupakan konsep yang sama dengan pemikiran yang salah. Dengan demikian, mens rea semata – mata diartikan sebagai mental element dari tindak pidana. Mens rea baik ‘intention’, ‘recklessness’ atau ‘negligence’, dipandang sebagai unsur tindak pidana, yang berupa keadaan psikologis pembuat ketika melakukan perbuatan tersebut. Dalam tradisi common law system doktrin mens rea sempat diragukan. Menurut Smith dan Hogan, pandangan yang berpendirian bahwa mens rea harus ada pada tiap tindak pidana, hanya di ikuti sampai akhir abad kesembilan belas. Setelah masa itu, doktrin mens rea dipandang tidak lagi berlaku mutlak. Penyimpangan diawali ketika umumnya tindak pidana yang ditetapkan melalui peraturan perundang – undangan (statutory offences atau regulatory offences), dirumuskan tanpa unsur mental. Dengan demikian berbeda dengan common law crime, yang umumnya memuat terdiri dari actus reus dan mens rea. Penyimpangan atas doktrin mens rea semakin kentara ketika diterapkannya strict liability terhadap statutory offences. Dengan demikian mens rea tidak lagi dipandang unsur mutlak tindak pidana. Dalam hal ini, sejak kasus Prince 1875, pengadilan di Inggris telah menerapkan strict liability terhadap statutory offences. Dengan demikian, mens rea tidak lagi dipandang unsur mutlak tindak pidana. Ironisnya, baik di negara – negara civil law maupun common law, kesalahan atau mens rea itu, justru dipandang sebagai nilai etis dari penjatuhan pidana. Apakah berdasar asas ‘geen straf zonder schuld’ atau menurut maksim latin ‘actus non est reus nisi mens sit rea’, kesalahan atau mens rea menjadi sangat penting dalam penjatuhan pidana terhadap pembuat. Bahkan dikatakan berat ringannya pidana yang dijatuhkan, harus setimpal dengan kesalahan pembuat. Pada satu sisi pidana hanya mempunyai dasar susila jika dijatuhkan berdasar kesalahan, tetapi pada sisi yang lain timbul kesulitan untuk mengaitkan kesalahan dengan tindak pidana tertentu. Namun demikian, umumnya sikap para ahli hukum pidana dalam menghadapi situasi sebagaimana tersebut di atas, menerima pengecualian adanya kesalahan dalam pertanggungjawaban pidana, atau mengakui berlakunya doktrin mens rea secara tidak mutlak. Van Strien mengatakan, “dalam kaitan ini inti pengertian kesalahan adalah suatu keadaan dimana dalam situasi tertentu masih dimungkinkan bertindak secara lain dan dalam situasi tersebut secara wajar dapat diharapkan bahwa alternatif tidak tertentu masih mungkin untuk diambil.” Dengan demikian, dapat dicelanya pembuat karena masih terbuka kemungkinan untuk berbuat lain, selain tindak pidana. Dengan kata lain, pembuat dapat dicela karena sebenarnya hukum mengharapkan kepadanya untuk berbuat lain, selain tindak pidana. Menurut Sutorius, kesalahan terletak dalam melalaikan kesalahan itu. Dikatakannya, kriteria kesalahan karenanya dapat ditentukan oleh beberapa hal. Pertama, pada pembuat timbul kewajiban untuk mengenal risiko suatu perbuatan tertentu untuk kepentingan yang dilindungi oleh norma yuridis dan menilainya dengan baik. Dengan kata lain, pembuat juga memahami dampak dari perilakunya. Kedua, pembuat harus mempunyai ketelitian lahir, guna mencegah datangnya dampak tidak diinginkan dalam batas – batas kemampuan. Termasuk di dalamnya; menjauhi perbuatan – perbuatan berbahaya, meninggalkan perbuatan – perbuatan yang dituntut kemahiran untuk melakukannya, bertindak hati – hati dalam situasi berbahaya, dan mengadakan persiapan – persiapan yang sungguh – sungguh sebelum bertindak dan berusaha mendapatkan informasi mengenai itu. Dalam praktik peradilan, kesalahan diukur dari keadaan eksternal dari pembuat tindak pidana dierapkan dalam kasus dr. Setyaningrum, yang tidak diliputi culpa karena telah melakukan upaya sewajarnya yang dapat dituntut daripadanya sebagai dokter dengan pengalaman kerja selama 4 tahun dan sedang melakukan tugasnya pada Puskesmas dengan sarana yang serba terbatas. (Putusan MA RI No. 600/K/Pid/1973). Kesalahan tidak diukur dari keadaan psikologis dr. Setyaningrum, tetapi penilaian atas keadaan psikologis rata – rata dokter yang setara dengannya, yang boleh jadi menurut ukuran – ukuran dokter yang lebih ahli padanya teradapat ketidakhati-hatian yang nyata. Dalam doktrin common law pembahasan mengenai mens rea juga dihubungkan dengan ketercelaan (blameworthy) pembuat. Bahkan tidak jarang mens rea disinonimkan dengan ‘tercela’ (blame). Namun demikian, terdapat perbedaan konseptual, jika dibandingkan dengan konsep ‘dapat dicelanya pembuat’ sebagaimana dikemukakan diatas. Dalam common law system, masalah ketercelaan diwarnai oleh dua perseteruan antara dua teori, yaitu capacity theory dan character theory. Sementara pendapat lain melihat kedua teori tersebut justru sebagai two models of responsibility. Teori kesalahan normatif menyebabkan strict liability dapat diterima sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana berdasar kesalahan. Kesengajaan dan kealpaan hanya merupakan pertanda adanya kesalahan, sehingga bukanlah kesalahan itu sendiri. Kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan tetap dapat dipandang ada, sekalipun tidak ditinjau lebih jauh mengenai kesengajaan atau kealpaan pembuat tindak pidana. Sepanjang norma hukum menentukan bahwa pembuatnya dapat di cela karena melakukan tindak pidana, maka terdapat kesalahan pada diri pembuatnya. Apabila UU menetapkan suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan secara strict, maka pada pembuatnya tetap dipandang memiliki kesalahan, sekalipun tidak ditinjau lebih jauh apakah kesengajaan atau kealpaan yang meliputi batinnya. Strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan. Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tindak pidana. Dengan demikian, fungsi utama strict liability adalah berkenaan dengan hukum acara, dan bukan hukum pidana materiil. Strict liability dalam pertanggungjawaban pidana lebih merupakan persoalan pembuktian, yaitu kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik. Menurut pendapat Schaffmeister yang menganggap digunakannya strict liability sebagai penyimpangan atas asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’. Selain itu, berbeda pula dengan pendapat Barda N. Arief yang memandang strict liability sebagai pengecualian berlakunya asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’. Pada strict liability pembuatnya tetap diliputi kesalahan. Kesalahan dalam pengertian normatif. Rancangan KUHP juga mengakui strict liability sebagai pertanggungjawaban pidana berdasar kesalahan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 32 ayat (3) Rancangan KUHP. Ditentukan bahwa: “untuk tindak pidana tertentu, UU dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidananya semata – mata karena telah dipenuhinya unsur – unsur tindak pidana tanpa memerhatikan kesalahan”. Anak kalimat ‘tanpa memerhatikan kesalahan’ bukan berarti dalam strict liability pertanggungjawaban pidana dilakukan dengan mengabaikan kesalahan pembuat. Sebaliknya kesalahan dipandang ada, sekalipun tidak tampak bentuknya. Teori kesalahan normatif menyebabkan kesalahan tidak mutlak harus dilihat sebagai ‘kondisi kejiwaan manusia’. Hal ini membuka kesalahan selain perihal yang ditandai dengan kesengajaan atau kealpaan (psikologis pembuat). Dengan demikian, memungkinkan kesalahan terdapat bukan hanya pada subyek hukum manusia, tetapi juga korporasi. Hampir tidak mungkin menentukan adanya kesalahan pada korporasi jika kesalahan semata – mata dilihat sebagai masalah psikologis. Mereka yang menganut teori psikologis, berpendapat kesalahan selalu ditujukan terhadap subyke hukum manusia, sehingga perlu di cari dasar lain untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Remmelink mengatakan, “percelaan atas kesalahan (schuldverwit) selalu ditujukan pada manusia dan karena itu sifatnya sangat personal”. Demikian pula dengan Van Bemmelen. Dikatakannya, “kita tidak dapat lain selain menghubungkan pengertian personal dengan individu manusiawi”. Jika akhirnya mereka berpendapat bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, itu pun dilakukan dengan ‘memanusiakannya’. Baik dengan mengaitkan karakteristik atau sifat subyek hukum manusia yang merupakan bagian dari korporasi pada korporasi itu sendiri (teori organ) maupun dengan memandang korporasi sebagai ‘mahluk super’ (gesamtperson) dengan sifat yang manusiawi. Bersandar pada kesalahan normatif, pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan atas dasar kesalahan. Hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan subyek hukum manusia. Dasar dari penetapan dapat dipersalahkannya badan hukum ialah tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang di miliki badan hukum. Dilihat dari segi kemasyarakatan ‘korporasi telah tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Indikator keaslahan bagi korporasi adalah bagaimana korporasi menjalankan fungsi kemasyarakatan itu. Fungsi kemasyarakatan ini termasuk tetapi tidak terbatas untuk menghindari terjadinya tindak pidana. Dengan demikian, hukum mengharapkan kepada korporasi untuk menjalankan fungsi kemasyarakatannya dengan baik sehingga sejauh mungkin dapat menghindari terjadinya tindak pidana. Dengan kata lain, selagi terbuka kemungkinan bagi korporasi untuk ‘dapat berbuat lain’ selain melakukan tindak pidana, maka harapan tersebut harus sejauh mungkin tercermin dari kebijakan dan cara pengoperasiannya. Terhadap korporasi penilaian adanya kesalahan ditentukan oleh bagaimana korporasi memenuhi fungsi kemasyarakatannya, sehingga ‘dapat dicela’ ketika suatu tindak pidana terjadi karenanya. Memahami kesalahan tersebut, menempatkan hal itu dalam suatu sistem normatif. Sistem inilah yang kemudian menentukan syarat dan isi kesalahan. Sistem normatif ini menentukan apakah seseorang karenanya dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana dan dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian, jika ‘kesalahan’ adalah ‘dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum’ maka setiap pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika pada waktu melakukan tindak pidana terdapat kesalahan pada diri pembuat. Baik pada subyek hukum manusia maupun pada korporasi nilai patut tidaknya dijatuhi pidana terletak pada adanya kesalahan. Hal ini berarti makna asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’ adalah ‘tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’. Cara bagaimana asas kesalahan ini dikonkretisasi dan tingkat kesalahannya yang dipersyaratkan tidaklah perlu sama untuk tiap delik. Dengan demikian, syarat dan isi kesalahan tidak perlu sama, terhadap pembuat tindak pidana dengan subyek hukum manusia atau korporasi.