Pertanggungjawaban/
Perbuatan Kesalahan Pidana
Objek Ilmu
Hukum Pidana
39
ALASAN PEMAAF
40
AJARAN MELAWAN HUKUM
• merupakan bagian dari pembahasan tentang tindak pidana (strafbaar
feit). yang membatasi perbuatan-perbuatan yang dapat diminta
pertanggungjawaban di samping adanya kesalahan pada diri pelaku.
Ajaran INI merupakan materi penting dalam asas legalitas, Perbuatan
yang dirumuskan dalam undang-undang adalah perbuatan yang
melawan hukum, yang mengganggu tata tertib dalam masyarakat dan
perbuatan tersebut dicela oleh masyarakat.
41
• Ajaran melawan hukum yang formil adalah ajaran yang membatasi tindak pidana
hanya pada apa yang dimaksud dalam hukum pidana positif.
• Ajaran ini tidak memberikan rumusan tindak pidana di luar undang-undang
pidana. Apa yang tercantum dalam hukum pidana, maka itu merupakan delik.
42
• Ajaran melawan hukum materiil menghendaki hukum pidana positif tidak saja
bersumber dari undang-undang, tetapi juga dari hukum yang hidup dalam
masyarakat.
• Hukum yang hidup dalam masyarakat misalnya hukum pidana adat, atau
kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat dan dipatuhi sebagai norma.
43
Surat dakwaan ketika berlaku HIR disebut surat tuduhan (Acte Van Beschulding).
Mekanisme pembuatan surat dakwaan diatur melalui ketentuan SE JAGUNG RI No.
SE-004/J.A/11/1993 dan SE JAGUNG MUDA TPU No.B-607/E/11/1993 tanggal 22
November 1993.
48
PERCOBAAN DAN
PENYERTAAN
DR (C) HERY FIRMANSYAH SH.,M.Hum.,MPA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2020
PERTEMUAN KETIGA
PERCOBAAN DAN
PENYERTAAN
DR ( C ) HERY FIRMANSYAH SH.M.Hum.MPA
FAKULTAS HUKUM UNTAR
2020
Pengantar
• Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP.
Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional
Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53:
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(2)Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
(4)Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54:
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
PERCOBAAN
• Artikel 53 Memorie van Teolichting “Poging tot misdrijf is strafbaar wanner
voornemen des daders zich door en begin van uitvoering heeft geopenbaard en
de uitvoering aleen tengevolge van omstandingheden van zijnen wil
onafhankelijk niet is voltooid”. (Dengan demikian, maka percobaan untuk
melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan
yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak
untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu
permulaan pelaksanaan).
• Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan
kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena
bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
a.Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b.Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari
pelaku.
Pengertian percobaan dari beberapa ahli hukum pidana:
• Menurut Jan Remmelink, dalam bahasa sehari-hari, percobaan dimengerti sebagai upaya
untuk mencapai tujuan tertentu tanpa (keberhasilan) mewujudkannya. “Upaya. tanpa
keberhasilan”.
• Pompe, guru besar dari Utrecht. Jika kita mengikuti jalan pikiran di atas, percobaan
melakukan kejahatan dapat digambarkan sebagai suatu tindakan yang diikhtiarkan untuk
mewujudkan apa yang oleh undang-undang dikategorikan sebagai kejahatan, namun
tindakan tersebut tidak berhasil mewujudkan tujuan yang semula hendak dicapai. Syarat
bagi percobaan yang dapat dikenai pidana, seperti yang dituntut oleh undang-undang,
adalah bahwa ikhtiar pelaku harus sudah terwujud melalui (rangkaian) tindakan permulaan
dan bahwa tidak terwujudnya akibat dari tindakan tersebut berada di luar kehendak si
pelaku.
• Menurut Jonkers ada dua alasan bagi pembuat undang-undang untuk
memberi pidana pada percobaan melakukan tindak pidana pada
umumnya, yaitu:6
• a. Pemberantasan kehendak yang jahat yang ternyata dalam
perbuatan-perbuatan;
• b. Perlindungan terhadap barang hukum, yang diancam dengan
bahaya.
Bahwa seseorang yang melakukan suatu percobaan tindak pidana perlu
diancam dengan pidana dengan alasan:
a.Dilihat dari sudut subjektif, bahwa pada diri orang tersebut telah
menunjukkan suatu perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat;
b.Dilihat dari sudut objektif, bahwa perbuatan percobaan melakukan
tindak pidana ini dipandang telah membahayakan suatu kepentingan
hukum.
Pertanyaan untuk didiskusikan:
Bagaimana menentukan
perbuatan permulaan
pelaksanaan?
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat
(1) KUHP, bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan
percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan
uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan).
MvT hanya memberikan pengertian uitvoeringshandelingen (tindakan-
tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai
hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk
dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya.
KASUS I
A mempunyai niat untuk membunuh B, untuk itu ada serangkaian perbuatan
yang dilakukannya, yakni:
1.A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol;
2.A mengisi pistol dengan peluru;
3.A membawa pistol tersebut menuju ke rumah B;
4.A membidikkan pistol ke arah B; A menarik pelatuk pistol, akan tetapi
tembakannya
5.meleset sehingga B masih hidup.
• Dari seluruh rangkaian perbuatan tersebut, perbuatan manakah yang
dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. Apakah perbuatan
A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol sudah dianggap sebagai
permulaan pelaksanaan? Apabila melihat niatnya, memang perbuatan A
pergi ke rumah C untuk meminjam pistol adalah dalam kaitan
pelaksanaan niatnya untuk membunuh B. Sehingga apakah A pergi ke
rumah C sudah dianggap permulaan dari pelaksanaan pembunuhan?
KASUS II
• A hendak membunuh B musuhnya. Untuk hal ini, A melakukan rangkaian perbuatan sebagai berikut:
a. Suatu hari ia pergi naik taksi menuju pasar;
b. Masuk ke sebuah toko;
c. Di toko itu dia membeli sebuah pedang;
d. Dia kembali ke rumah;
e. Dilihatnya pedang itu tumpul lalu ia mengasah pedang tersebut;
f. Kemudian disimpannya di dalam lemari;
g. Pada malam harinya dengan membawa pedang itu dia berjalan menuju rumah calon korban (B);
h. Selanjutnya A mengetuk pintu, dan pintu dibuka oleh isteri B, A dipersilahkan masuk dan duduk di salah satu
kursi;
i. Ketika B masuk ruang tamu dan duduk di kursi, A mencabut pedang dari balik bajunya;
j. A mengayunkan pedang ke arah leher B namun hanya mengenai bahu B dan tidak menyebabkan kematian B,
lalu isteri B berteriak meminta pertolongan sehingga A melarikan diri
• Dari rangkaian peristiwa di atas menurut paham subjektif perbuatan membawa
pedang yang telah diasah tajam dapat dinilai telah menunjukkan adanya niat
untuk melakukan pembunuhan pada B, sebab pada tahap perbuatan itu telah
tampak kehendak (niat) untuk membunuh. Maka dari fakta itu tidak diragukan
lagi bahwa perbuatan A menuju ke rumah B adalah merupakan permulaan
pelaksanaan dari kejahatan, sedangkan rangkaian tingkah laku sebelumnya yaitu
perbuatan dari urutan A sampai dengan F adalah merupakan perbuatan
persiapan. berdasarkan teori subjektif dapat dipidananya percobaan, karena niat
seseorang untuk melakukan kejahatan itu dianggap sudah membahayakan
kepentingan hukum.
Penyertaan
• Apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang,
sehingga harus dicari pertanggungjawabkan dan peranan masing2
peserta dalam persitiwa tersebut. Hubungan antar peserta dalam
menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah:
1. bersama-sama melakukan kejahatan
2. seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan
sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak
pidana tersebut.
3. seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain
membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang
melakukan dan yang turut serta melakukan tindak
pidana. Pertanggung jawaban masing2 peserta
dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang
dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri:
pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk
melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari
peserta yang satu digantungkan pada perbuatan
peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang
lain juga.
• Ajaran yang objektif menafsirkan istilah permulaan
pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan
pelaksanaan dari kejahatan dan karena itu bertolak dari
berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan
menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai tiap
perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. Jika
mengacu kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby
Loqman di atas, dari contoh pertama peristiwa yang
menjadi tujuan A adalah membunuh B. A pergi ke rumah C
untuk meminjam pistol bukanlah permulaan pelaksanaan
agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling
mungkin dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam
teori objektif.dalam kasus ini adalah pada saat A menarik
pelatuk pistol untuk membunuh B.( )
KASUS P
A. Penyertaan Menurut KUHP
• Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian
besar, yaitu:
a. Pembuat/Dader (Pasal 55) yang terdiri dari:
1. pelaku (pleger)
2. yang menyuruh melakukan (doen pleger) atau
3.penganjur (uitloker)
4 . yang turut serta (mede pleger)
b. Pembantu/Medeplichtige (Pasal 56 dan pasal 57 KUHP) yang terdiri
dari:
1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan;
2. pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
1. Pelaku (Pleger)
• Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri
perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan
dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan.
2. Orang yang menyuruh melakukan (Doenpleger)
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan
dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu
hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada
dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus
ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung
(manus domina/auctor intellectualis).
DISKUSI
88
Definisi kejahatan dari pakar Kriminologi
89
GP. Hofnagel kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan
empiris yang dihubungkan dengan norma hukum yang mempelajari
kejahatan serta proses2 formal dan informal dari kriminalitas, situasi
kejahatan-penjahat-masyarakat, sebab-sebab dan hubungan sebab-
sebab kejahatan serta reaksi-reaksi dan respon-respon resmi dan
tidak resmi terhadap kejahatan, penjahat dan masyarakat oleh pihak
diluar penjahata itu sendiri.
WA Bonger:ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki
gejala kejahatan seluas-luasnya.
90
TUJUAN MEMPELAJARI
KRIMINOLOGI
• Tujuan secara umum adalah untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga
diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai fenomena kejahatan dengan lebih baik.
Tujuan secara kongkrit untuk :
1. Bahan masukan pada membuat Undang-Undang (pembuatan\pencabutan Undang-Undang).
2. Bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan pencegahan
kejahatan non penal terutama Polri.
3. Memberikan informasi kepada semua instansi agar melaksanakan fungsi-fungsi yang
diembannya secara konsisten dan konsekwen untuk mencegah tejadi kejahatan.
4. Memberikan informasi kepada perusahan-prusahan melaksanakan pengamatan internal secara
ketat dan teridentifikasi serta melaksanakan fungsi social dalam areal wilayah perusahan yang
mempunyai fungsi pengamanan external untuk mencegah terjadi kejahatan.
5. Memberikan informasi kepada masyarakat pemukiman, tempat- tempat umum untuk
membuntuk pengamanan swakarsa dalam mencegah terjadi kejahatan.
91
Menurut analisis ekonomi, manusia dipandang sebagai makhluk yang
rasional. Apabila keuntungan yang diperoleh dari suatu aksi lebih
besar dari biayanya maka dia akan melakukan aksi tersebut (Becker
1968, Gibbs 1986).
92
• Dalam kriminologi ada dua aspek yang menjadi fokus utama yaitu ingin
menemukan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang
dalam melakukan kejahatan. Setelah kriminologi menemukan faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan kejahatan, maka
kriminologi melanjutkannya dengan hukuman atau sanksi apa yang paling tepat
terhadap pelaku kejahatan tersebut.
93
Penjelasan tentang Kejahatan
• Penjelasan Spiritual
• Pengaruh setan, kutukan dll.
• Penjelasan Natural
• Bahwa manusia bisa berbuat baik atau buruk, atau cenderung mengejar
kepentingan sendiri
• Penjelasan Scientific / Sains
• Hubungan yang teruji antara fenomena yang teramati
94
Obyek studi kriminologi:
1. Perbuatan yang disebut kejahatan
2. Pelaku kejahatan
3. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun
terhadap pelakunya.
95
White collar crime
• E. Sutherland. Kejahatan kerah putih menurut E. Sutherland merupakan
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang profesional, kalangan pembisnis,
politikus dan kalangan birokrat. Kejahatan ini lebih bermotif bisnis (ekonomi)
untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dan juga motif politik yaitu
untuk mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.
96
Criminal Theory –
Wolfgang & Ferracuti
Constant underlying conflicts of values as well as normative conflicts
between the dominant culture and subculture of violence. People who
do not follow the norms are criticized, ridiculed by other people or
becoming a victim of the violence. Even if neither person approves of
the violence, all people are expected to respond violently .
97
Aliran klasik (c.beccaria dan jeremy bentham)
1,Individu dilahirkan dengan kehendak bebas untuk menentukan
pilihannya sendiri.
2. Individu memiliki hak asasi.
3.Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut.
4. Setiap WN hanya menyerahkan sebagian dr hak asasinya kepada
negara.
5. Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial.
6. Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan
untuk memelihara perjanjian sosial.
7.Setiap orang dianggap sama dimuka hukum, maka
konsekuensinya?
98
Aliran social defence(Marc ancel)
Menghargai nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat dalam
arti, bahwa perlakuan terhadap penjahat tidak lagi sebagai objek alat-
alat peradilan pidana melainkan diperlakukan sebagai manusia
dengan integritas kemanusiaannya.
99
Teori Lambroso
Lambroso membuat 13 ciri fisik seseorang yang cenderung melakukan
kejahatan. Diantara ciri fisik tersebut adalah ketidaksmiterisan wajah
atau kepala, telinga yang lebar seperti telinga kera, bibir yang lebar,
dagu yang mundur, hidung yang memelintir, tulang pipi yang
menonjol, tangan yang panjang, kerutan kulit yang menonjol, dan jari-
jemari atau jempol yang besar.
100
101
Teori Lambroso
1. Born criminal, bakat jahat yang ada sejak lahir terdapat pada sepertiga dari
jumlah seluruh penjahat.
2. Insane criminal, yakni bukanlah penjahat sejak lahir, mereka lahir disebabkan
oleh penyakit jiwa dan perubahan didalam otak mereka yang terganggu.
3. Criminaloid yakni golongan terbesar penjahat yang terdiri dari orang-orang
yang tidak memiliki ciri fisik yang khas, tidak memiliki sakit jiwa yang nampak,
akan tetapi susunan mental dan emosional sedemikian rupa sehingga dalam
keadaan tertentu mereka dapat melakukan perbuatan yang sangat kejam dan
jahat.
102
Sehingga aspek ini menghasilkan hipotesa sebagai
berikut:
a) “Seriousness increases, frequency of occurences
diminishes” atau derajat keseriusan suatu
kejahatan meningkat jika frekuensi kejahatan
menurun.
b) “Seriousness decreases, frequency of
occurences invreases” atau derajat keseriusan
suatu kejahatan menurun jika frekuensi
kejadiannya meningkat.
103
Paham Neo Klasik: Routine Activities Theory
104
• Teori ini berkaitan dengan berbagai teori lain. Pertama berkaitan
dengan teori korban (theory of victimization) karena menekankan
pada peranan korban. Kedua berhubungan dengan teori pilihan
rasional (rational choice theory) karena keputusan perbuatan jahat
didasarkan atas pertimbangan rasional, yaitu daya tarik dari obyek
(benefit) dan kelemahan dalam pengamanan (cost). Ketiga
bersentuhan dengan teori deterrence karena menekankan pada
sistem pengamanan, yaitu tindakan kepolisian untuk mencegahnya.
105
teori” yang populer di kalangan Polri
•“
106
Masalah dlm kehidupan
sosial
Kemiskinan
kekuasaan
pengangguran
Kejahatan
Perhatian Akademisi
107
Classical Criminology
108
Prinsip-Prinsip Beccaria
• Pembuat hukum seharusnya mendefinisikan kejahatan
dan hukumannya secara jelas
• Penghukuman itu tidak adil bila deritanya lebih dari
cukup untuk menangkal kejahatan kembali
• Derita penghukuman yang berlebih malah akan
meningkatkan kejahatan
• Penghukuman seyogyanya cepat dan pasti
• Penghukuman seyogyanya tepat dan tertentu
• Hukum seyogyanya dibuat untuk mencegah kejahatan
terjadi
109
110
Segi Tiga Studi Kejahatan
KEJAHATAN
111
PENJAHAT REAKSI SOSIAL
SEGI EMPAT KEJAHATAN
KEJAHATAN KORBAN
112
PENJAHAT REAKSI SOSIAL
KOMPLEKSITAS STUDI KEJAHATAN
Kriminalistik Viktimologi
Forensik Stress &
113
KEJAHATAN KORBAN Trauma
KORBAN
PENJAHAT
PELAKU REAKSI SOSIAL
Peradilan
Psikopatologi Pidana
Delinkuent Kepolisian
Psikopat
114
Sue Titus Reid, profesor sistem peradilan pidana pada Florida State
University, mengemukakan: “The elements that must be proved for
conviction of a crime vary from crime to crime and from jurisdiction
to jurisdiction. There are, however, some common elements that
distinguish crime from noncrime. [An Act (Actus Reus), An Unlawful
Act; An Intent (Means Rea)].” (1993 : 38).
115
Psikopatologi
• Psikopatologi mengungkapkan bahwa orang-orang
yang memenuhi kriteria penyakit psikopat tidak dapat
dimintai pertanggung-jawaban hukum atas
perbuatannya karena mereka seperti robot yang tidak
dapat membuat kalkulasi.
116
• Isu kesalahan dalam konteks pertanggung jawaban
pidana tidak terlepas dari konsep “free will” dari
Classical Criminology yang hampir mendominasi
sistem peradilan pidana dewasa ini.
117
Apakah benar bahwa setiap orang yang melakukan
kejahatan sungguh-sungguh mempertimbangkan atau
mampu mempertimbangkan secara layak (sehat)
kalkulasi untung rugi dalam pengambilan keputusan
dan tindakan untuk melakukan kejahatan sehingga
patut dapat dihukum
118
• KUHP pasal 44 sudah memperhitungkan bahwa
“barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit,
tidak dipidana.”
119
• Prof. Hare menekankan bahwa “… assessments of psychopathy and
other clinical constructs require considerable time and effort by
qualified psychologists and psychiatrists.”
120
Kejahatan yang diduga dilakukan
secara rasional
• Berbagai jenis kejahatan jalanan: yang lebih sering dipilih sebagai
target adalah wanita, orang tanpa pengamanan atau yang mudah
diserang
• Narkoba : persepsi akan keuntungan menggunakan drugs, pilihan
drugs yang lebih menguntungkan bila dijual; cara penjualan
121
Rasa Takut Pada Kejahatan
• Gejala Normal • Gejala Abnormalitas
• Sebagai suatu reaksi psikologis • Bila telah menjadi “suatu perasaan
individual yang bersifat subjektif kolektif masyarakat kota, yang tidak lagi
terhadap stimulus yang mengerikan jelas sumber rasa takut itu sendiri,
berupa kejahatan namun mampu mengakibatkan
perubahan perilaku”
122
Lembaga kontrol sosial
• Kepolisian
• Lembaga penghukuman
• Lembaga kontrol tidak resmi (satuan pengamanan, private security
services, bodyguard, debt collector)
123
Gejala Umum kejahatan di Kota Besar
124
Bahwa kejahatan itu berkat adanya
ketegangan yang dirasakan masyarakat
(strain theory), berkat sesuatu yang
dipelajari (learning theory) atau berkat
lemahnya pengawasan oleh masyarakat
(control theory)
125
• G. P. Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus
rasional (a rational total of the responses to crime). Pendekatan
Restorative Justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai
sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang
bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan
pidana yang ada saat ini.
126
Faktor mengapa masih diperlukannya lembaga adat sebagai penyelsai
konflik
127
• Dalam bagian X dari ”Pandecten van het adatrecht (1936)” dijelaskan bahwa sanksi adat dapat berupa:
(a) Pengganti kerugian immaterieel dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah
dicemarkan;
(b) Pembayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti
kerugian rohani;
(c) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
(d) Penutup malu, permintaan maaf;
(e) Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
(f) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum (dalam hal ini orang yang dikenai
sanksi diberikat pembatasan haknya sebagai anggota masyarakat adat).
128
Kriminologi dan Unsur Budaya
Perkawinan
Indonesia yang terdiri dari berbagai wilayah perkotaan dihuni oleh
bermacam-macam suku bangsa, pola adat dan kepercayaan yang
dianut oleh penduduknya. Masyarakat pluralistis semacam ini
memiliki pula sistem nilai yang berbeda, yang pada gilirannya
melahirkan pola berfikir yang menghasilkan tindakan tertentu antara
lain berupa kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan.
129
VIKTIMOLOGI
DR (C) HERY FIRMANSYAH SH.,M.Hum.,MPA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2020
PERTEMUAN KELIMA
LITERATUR
• Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Badan Penerbit Undip.
• Eko Soponyono, Kebijakan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada
Korban, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip.
• Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan, Jakarta:
Akademika Pressindo, 1993
• Mulyana W Kusumah, Viktimologi: Arti Penting dan Peranannnya
dalam Pengembangan Studi Korban Kejahatan,
• Kajian ilmiah tentang korban, tidak dapat dipisahkan dari tokohnya;
benyamin Mendelson pada tahun 1973 telah melakukan studi tentang
korban, yang kemudian dikenal dengan victimology sebagia ilmu
terapan (applied science) bagi hukum pidana dan kriminologi.
• Untuk memahami ruang lingkup viktimologi ada baiknya dicermati
pernyataan dari Zvonimir Paul Separovic yang mengemukakan tujuan
dari viktimolgi yaitu:
1.To analyze the manyfold aspect of the victim’s problem;
2.To explain the causes for victimization;
3.To develop a system of measures for reducing human suffering.
Secara keseluruhan Viktimologi bertujuan; pertama, menganalisa
berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, kedua, berusuaha
untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi
dan ketiga mengembangkan system tindakan guna mengurangi
penderitaan manusia.
• Dalam proses pertumbuhannya, viktimologi mendekati masalah
tindak pidana dari tiga segi yaitu:
1. Dari segi peranan korban sebagai bagian integral dalam proses
interkasi yang melahirkan tindak pidana tersebut.
2. Mengenai perlindungan hak-hak yang terabaikan.
3. Mengenai perlindungan hak-hak korban tidak saja sebagai akibat
tindak pidana konvensional seperti pemerkosaan, pembunuhan
perampokan dan penganiyaan, melainkan juga perlindungan
terhadap korban-korban tindak pidana terhadap korban-korban
tindak pidana yang berisfat non konvensional
• Korban kejahatan diartikan seseorang yang mengalami kerugian yang
diakibatkan oleh tindakan melawan hukum.
• Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse
of power” pada tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan,
bahwa: :
“victims, means person who, individually or collectively, have suffered
harm, including physical or mental injury, emotional suffering,
economic loss or substantial impairnment of their fundamental rights,
through acts or omissions that are in violation of criminal law
operative within member state, including those laws proscribing
criminal abuse of power
Pengelompokkan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu
sebagai berikut:
a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau
perorangan (bukan kelompok).
b. Secondary Victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan
hukum.
c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
d. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen
Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban,
yaitu sebagaia berikut:
a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap
menjadi korban (pada tipe ini kesalahan ada pada pelaku).
b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan(korban punya
andil dalam terjaidnya kejahatan, kesalahan terletak pada pelaku
dan korban).
c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.
d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku.
• Perlunya perlindungan terhadap korban tindak pidana menurut
Muladi dapat dilihat setidaknya dalam 3 (tiga) aspek. Pertama, aspek
kontrak social dan solidaritas social. Aspek kontrak social menyatakan
Negara boleh memonopoli reaksi social terhadap kejahatan dan
melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu,
bila terjadi kejahatan dan membawa korban, Negara harus
bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban
tersebut.
• Aspek solidaritas korban, menyatakan Negara harus menjaga warga
negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga
Negaranya mengalami kesulitan, melalui kerjasama dalam masyarakat
berdasarkan atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh
Negara. Hal tersebeut dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan
maupun melalui pengaturan hak.
• Kedua, dari aspek pemidanaan. Pemidanaan dalam arti umum
merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai dengan asas
legalitas.
• Ketiga, aspek tujuan pemidanaan. Perlindungan korban tindak pidana
dapat dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa
ini banyak dikedepankan berupa penyelesaian konflik.
• Pengaturan terhadap perlindungan korban dalam hokum pidana perlu
memperhatikan esensi kerugian yang diderita korban tindak pidana.
Kerugian bagi korban tindak pidana tidak hanya bersifat materiel atau
penderitaan fisik saja, melainkan juga bersifat psikologis.