Anda di halaman 1dari 143

Hukum Pidana

DR (C) HERY FIRMANSYAH SH.,M.Hum.,MPA


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2020
PERTEMUAN PERTAMA
Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Moeljatno, 2000, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka.
Moeljatno, 1955, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawab Dalam
Hukum Pidana, Pidato Diesnatalis Ke IV Universitas Gadjah Mada, Sitihinggil.
Moeljatno, 1985, Percobaan dan Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta. Moeljatno, 2001, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara,
Jakarta.
Adam Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
1. Dalam artian sempit  bagian dari ilmu
hukum yang pada dasarnya mempelajari
dan menjelaskan perihal hukum pidana
yang berlaku di suatu negara (ius
constitutum ).
2. Dalam arti luas  tidak terfokus pada
norma yang dilanggar saja tetapi juga
membahas mengapa terjadi pelanggaran
atas norma-norma tersebut, bagaimana
upaya agar norma itu tidak dilanggar dan
mengkaji serta membentuk hukum pidana
yang dicita-citakan (ius constituendum )
Hukum pidana umum atau hukum pidana
1
kodifikasi  terdapat dalam KUHP
.
2 Hukum pidana khusus  aturan pidana di luar
. KUHP yang masih
dibagi lagi menjadi :
a.Kelompok peraturan perundang-undangan
hukum pidana
b.Kelompok peraturan perundang-undangn
bukan hukum pidana
1. Klasik  Melindungi anggota masyarakat
dari tindakan yang sewenang-wenang
2. Modern Melindungi masyarakat dari
kejahatan.
Anselm von Feuerbach (1801) :
 Nulla poena sine lege;
 Nulla poena sine crimine;
 Nullum crimen sine poena legali
Pasal 1 KUHP
 (1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan

kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada


sebelumnya.

 (2) Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah


perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkan.
 Jika sesudah perbuatan dilakukan ada
perubahan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling
ringan bagi
terdakwa  Pembatasan terhadap
lextermporis delicti
1. Teori Pembalasan 
Teori Absolut
2. Teori Tujuan Teori

Relatif
3. Teori Gabungan
3 Masalah
Pokok Hukum
Pidana

Pertanggungjawaban/
Perbuatan Kesalahan Pidana

Objek Ilmu
Hukum Pidana

Perbuatan yang dapat dipidana


Terwujud scr in abstracto dlm
Perundang-undangan pidana
Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat
disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban pidana dimana di
dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas
perbuatannya. Tentang kesalahan ini Bambang Poernomo menyebutkan
bahwa : Kesalahan itu mengandung segi psikologis dan segi yuridis.
Segi psikologis merupakan dasar untuk mengadakan pencelaan yang
harus ada terlebih, baru kemudian segi yang kedua untuk
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar kesalahan yang
harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu sendiri
dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang
telah diperbuat.
 Ilmu hukum pidana membedakan tiga macam bentuk
kesengajaan, yaitu :
 1. Kesengajaan sebagai maksud / tujuan (opzet als
oogmerk) Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama
artinya dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan
suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk
tidak berbuat / melalaikan kewajiban hukum (tindak
 2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)
Kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang
pada umumnya pasti terjadi oleh dilakukannya suatu perbuatan tertentu.
Apabila perbuatan tertentu yang disadarinya pasti menimbulkan akibat
yang tidak dituju itu dilakukan juga maka disini terdapat kesengajaan
sebagai kepastian.
 3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn)
disebut juga dengan dolus eventualis Kesengajaan sebagai kemungkinan
adalah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya
bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan
dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan
perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan
perbuatan.
 Kesalahan sebagai faktor penentu dalam
menentukan dapat tidaknya seseorang di
pertanggungjawabkan secara pidana dapat
dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kesalahan
dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet)
dan kesalahan dalam bentuk kealpaan
(culpa).
2. DELIK
CULPA.
Delik culpa adalah delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur.
Pada umumnya, kealpaan (culpa) dibedakan atas :
1.Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini si pelaku telah
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, akan tetapi ia
berusaha utnutk mencegah, toh timbul juga akibat tersebut.

2.Kealpaan tanpa kesadaran (onbewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku


tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya
memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
Tolak ukur culpa lata adalah:
 Bertentangan dengan hukum;
 Akibatnya dapat dibayangkan;
 Akibatnya dapat dihindarkan;
 Perbuatannya dapat dipersalahkan
Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana
mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang (cermat)
berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah.
 Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana
dimaknai sebagai suatu ajaran yang mencoba mengkaji dan
menentukan dalam hal apa seseorang dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana sehubungan dengan rangkaian
peristiwa yang terjadi sebagai akibat rangkaian perbuatan
yang menyertai peristiwa-peristiwa pidana tersebut.

 Kausalitas adalah hubungan sebab dan akibat, yang jika


dikaitkan dengan tindak pidana maka teori kausalitas
membantu menjawab bahwa dari rangkaian perbuatan atau
kejadian manakah yang menjadi sebab dari akibat yang
timbul.
• ConditioSine Qua Non/ Ekuivalensi(Von Buri)
• Teori- t eoriIndividualisasi/ CausaProxima:
Birkmeyer, Mulder
• Teori-
teorimenggeneralisasi:
teoriAdekuat(Von Kries, Simons,
Pompe, Rumelink)
• TeoriRelevansi: Langemeyer
 misalnya A menyuruh B untuk membeli sebungkus
rokok di toko C seharga Rp 10.000 dengan
memberikan uang Rp 100.000, oleh karena C tidak
mempunyai uang kembalian maka C menyuruh D
ke toko E di seberang jalan. Pada saat menukar
uang tersebut D terserempet mobil F hingga luka
ringan, seketika itu juga G yang ada pada saat
kejadian membasuh luka D dengan air kotor
hingga luka infeksi. Oleh karena itu oleh
keluarganyayang berinisial H maka D di bawa`ke
puskesmas untuk berobat. Di puskesmas D
diberikan suntikan oleh dokter I, tetapi malang
sekali obat suntikan itu salah akibatnya D mati
1 . Teori Syarat Mutlak (Conditio Sine Qua Non) Teori
ini dikemukakan oleh Von Buri yang berpendapat bahwa tiap-
tiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul. Semua
syarat untuk timbulnya suatu akibat adalah sama sebagai
sebab yang tidak dapat dihilangkan dan harus diberi nilai
yang sama inti dari ajaran kausalias Von Buri adalah sebagai
berikut : a. Tiap perbuatan yang merupakan syarat dari suatu
akibat yang terjadi harus dipandang sebagai sebab dari
akibat itu. b. Syarat dari akibat adalah jika perbuatan itu
ditiadakan maka tidak akan timbul akibat.
2. Teori Mengindividualisir/Teori Khusus Teori
ini mengadakan pembatasan antara syarat
dengan sebab secara pandangan khusus yaitu
secara konkrit mengenai perkara tertentu
saja. Caranya mencari sebab adalah setelah
akibatnya timbul (post factum) yaitu dengan
mencari keadaanyang nyata (in concreto), dari
rangkaian perbuatanperbuatan dipilih satu
perbuatan yang dapat dianggap sebagai
sebab dari akibat
3. Teori Menggeneralisir/Teori Umum
Penganut lainnya yang juga menganut ajaran
pembatasan, mendasarkan penelitiannya
kepada fakta sebelum delik terjadi (ante
factum) yaitu pada fakta yang pada umumnya
menurut perhitungan yang layak dapat
dianggap sebagai sebab yang menimbulkan
akibat itu.Fakta yang dianggap sebagai itu
mencakupi dan selanjutnya menimbulkan
akibat itu. Ajaran ini disebut teori umum.
3.1. Teori Keseimbangan/Teori Adequat dari
Von Kries Menurut teori ini bahwa yang harus
dianggap sebagai sebab yang menimbulkan
akibat adalah syarat yang menurut
“perhitungan yang normal” seimbang dengan
akibat itu. Von Kries memberikan ukuran
yang subyektif bahwa yang dimaksud dengan
“perhitungan yang normal” adalah keadaan
yang diketahui atau harus diketahui oleh
pembuaatau yang disebut dengan adequate
subjektif/ t keseimbangan subjektif
3.2. Teori Keseimbangan Objektif dari Rumelin
Menurut teori ini bahwa yang dimaksud
dengan “perhitungan yang normal” itu bukan
hanya keadaan yang kemudian akan diketahui
secara subjektif tetapi juga keadaan-keadaan
yang akan diketahui secara objektif
4. Teori Relevansi dari Mezger Menurut teori ini
bahwa dalam menentukan hubungan sebab akibat
tidak mengadakan perbedaan antara syarat dengan
sebab seperti teori yang menggeneralisir dan teori
yang mengindividualisir, melainkan dimulai dengan
menafsirkan rumusan tindak pidana yang memuat
akibat yang dilarang itu dicoba menemukan
perbuatan manakah kiranya yang dimaksud pada
waktu undangundang itu dibuat. Jadi pemilihan
dari syarat-syarat yang relevan itu berdasarkan
kepada apa yang dirumuskan dalam undang-
undang
 Berdasarkan doktrin hukum pidana, penyebab tidak
dipidananya si pembuat tersebut dibedakan dan
dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni :
 a. Dasar pemaaf (schulduits luitings gronden), yang
bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya,
khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat
akan berbuat.
 b. Dasar pembenar (rechts vaarding ings gronden), yang
bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-
hal lain diluar batin si pembuat.
Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal
liability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk
memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena
orang lain yang dirugikan. Pertanggungjawaban pidana menurut
Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana.
 Kepada pelaku tidak dituntut pertanggung jawaban
pidana, bilaman ia melakukan suatu delik kejahatan
dengan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
schuld). Kealpaan yang tidak disadari biasanya
karena ketololan, ketidak tahuan, terkejut,
kecapaian atau keadaan pikiran dan/ atau jiwa
seseorang sehingga tak dapat menguasai tingkah
lakunya secara normal dan sama sekali tidak dapat
memperkirakan akibat dari tindakannya itu.
Dalam menafsirkan atau mencari arti suatu istila atau
perkataan maka metode yang harus dipedomani adalah
harus melalui tahapan-tahapan sumber hukum berikut :
1. Penafsiran Autentik
2. Penafsiran Menurut Penjelasan Undang-Undang
3. Penafsiran Menurut Yurisprudensi
4. Penafsiran Menurut Doktrin (Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana)
Hukum Pidana
DR (C) HERY FIRMANSYAH SH.,M.Hum.,MPA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2020
PERTEMUAN KEDUA
Suatu tindak pidana dilakukan oleh sebuah korporasi sehingga
dibebankan tanggung jawab pidana merupakan perkembangan teori
baru dari teori-teori yang membebankan tanggungjawab perdata
kepada badan hukum. Oleh karena itu muncul muncul pro dan kontra di
antara para ahli tentang pemidanaan badan hukum/korporasi. Namun
tren atau kecenderungan yang jelas secara universal adalah semakin
lama semakin banyak negara-negara di dunia yang menganut,
mengatur, dan menyetujui diberlakukannya tindak pidana oleh badan
hukum/korporasi ini.
Istilah badan hukum yang biasanya dikenal dalam hukum perdata
adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak
dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia serta memiliki
kekayaan sendiri, dapat digugat atau mnggugat di depan hakim,
Sedangkan di dalam hukum pidana yang sering dikenal adalah istilah
korporasi, yang pengertiannya lebih luas dari badan hukum. Sebab
korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non
badan hukum sedangkan menurut hukum perdata korporasi adalah
badan hukum
Teori-teori tentang pemidanaan terhadap korporasi belum begitu lama
berkembang. Di Amerika Serikat baru berkembang sejak tahun 1909
yaitu dalam kasus New York Central Hudson River R.R. versus United
States. Di Belanda baru berkembang sejak tahun 1950 setelah disebut
dalam Wet Op de Economische Delicten tetapi dalam hukum pidana
Belanda pada umunya baru resmi berlaku sejak tanggal 1 September
1976 dan di Indonesi sendiri baru diperkenalkan sejak tahun 1951
dalam Undang-undang Penimbunan Barang dan tahun 1955 dalam UU
tentang Tindak Pidana Ekonomi. Selanjutnya terbit beberapa undang-
undang lainnya yang memungkinkan tindak pidana dilakukan
perudahaan/korporasi.
• Jenis sanksi untuk korporasi menurut International Meeting of experts
on the use of criminal sanction in the protection of environment,
internationally, domestically and regionally di Portland Oregon USA
19-23 Maret 1994 bahwa semua sanksi kecuali pidana penjara dapat
dikenakan kepada badan hukum.
• Selama ini kecenderungan untuk menggunakan sanksi pidana adalah
sebagai sanksi subsider atau sebagai “ultimum remedium” (obat
terakhir) dalam arti lebih mendahulukan penerapan sanksi
administrasi dan sanksi perdata.
VICARIOUS LIABLITY
• Doktrin yang pada mulanya diadopsi di Inggris ini
sebagaimana disebutkan di penjelasan sebelumnya,
menyebutkan bahwa korporasi bertanggungjawab atas
perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya,
agen/perantara atau pihak-pihak lain yang menjadi
tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan
oleh salah satu individu tersebut, kesalahan itu secara
otomatis diatribusikan kepada korporasi.
Pemidanaan korporasi dibagi menjadi dua bagian besar yaitu pidana pokok dan pidana tambahan dimana jenis dari sanksi
pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi lebih beragam. Sutan Reny membagi pidana pokok menjadi tujuh (7) jenis
yaitu :
1. Pidana denda
2. Pengumuman putusan hakim Pengumuman putusan hakim dilakukan lewat media cetak dan / elektronik dan bertujuan
mempermalukan pengurus dan / korporasi.
3. Pembubaran yang diikuti dengan likuidasi korporasi Pembubaran korporasi sebagai sanksi pidana dapat disamakan dengan
“pidana mati” atau hukuman mati. Didalam hukum perdata pembubaran suatu korporasi harus diikuti dengan likuidasi, atas
dasar korporasi itu dalam rangka perlindungan terhadap para kreditor korporasi.
4. Pencabutan izin usaha yang diikuti dengan likuidasi korporasi
5. Pembekuan kegiatan usaha Pembekuan kegiatan usaha dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan terhadap kegiatan
tertentu yang ditentukan oleh hakim
6. Perampasan aset korporasi Perampasan aset korporasi dan pengambilan korporasi oleh negara yaitu dalam perampasan
aset, korporasi masih menjadi milik para pemegang saham
7. Pengambilalihan korporasi oleh negara Pengambilalihan oleh negara yaitu adanya peralihan pemilik korporasi, perampasan
ini dapat bberakhir pada korporasi tersebut dapat menjadi BUMN atau dijual kepada publik, baik dengan penjualan langsung
ataupun dengan penjualan terbuka lewat bursa efek.
• Berdasarkan pasal 59 KUHP, maka hukum pidana tidak mengenal
korporasi sebagai subjeknya. Jika seseorang pengurus korporasi
melakukan tindak pidana yang dilakukan atas nama korporasi, maka
sipenguruslah yang bertanggungjawab atas perbuatan tersebut.
Meskipun KUHP Belanda yang dulu diadopsi menjadi KUHP Indonesia
tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum, pada abad ke-19
Belanda telah menganut 3 sistem pertanggungjawaban korporasi, yaitu
:
• 1. Membedakan “ tugas mengurus” atau zorgplicht kepada pengurus,
• 2. Mengakui korporasi sebagai pembuat, akan tetapi pengurus yang
bertanggungjawab
• 3. Korporasi dapat menjadi sebagai pembuat, pelaku, dan
bertanggungjawab.
ALASAN PEMBENAR

• alasan yg menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yg


dilakukan o/ terdakwa menjadi perbuatan yg patut dan benar.
Pasal yang berkaitan:
 49 (1), mengenai pembelaan terpaksa (noodweer);
 50, mengenai melaksanakan ketentuan UU;
 51 (1), melaksanakan perintah atasan;
 48, mengenai daya paksa (overmacht).

39
ALASAN PEMAAF

• Yaitu alasan yg menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yangg


dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
Pasal yang berkaitan:
 49 (2), mengenai pembelaan yg melampaui batas;
 51 (2), penuntutan pidana tentang perintah jabatan yg tanpa wenang
 48, mengenai daya paksa (overmacht).

40
AJARAN MELAWAN HUKUM
• merupakan bagian dari pembahasan tentang tindak pidana (strafbaar
feit). yang membatasi perbuatan-perbuatan yang dapat diminta
pertanggungjawaban di samping adanya kesalahan pada diri pelaku.
Ajaran INI merupakan materi penting dalam asas legalitas, Perbuatan
yang dirumuskan dalam undang-undang adalah perbuatan yang
melawan hukum, yang mengganggu tata tertib dalam masyarakat dan
perbuatan tersebut dicela oleh masyarakat.

41
• Ajaran melawan hukum yang formil adalah ajaran yang membatasi tindak pidana
hanya pada apa yang dimaksud dalam hukum pidana positif.
• Ajaran ini tidak memberikan rumusan tindak pidana di luar undang-undang
pidana. Apa yang tercantum dalam hukum pidana, maka itu merupakan delik.

42
• Ajaran melawan hukum materiil menghendaki hukum pidana positif tidak saja
bersumber dari undang-undang, tetapi juga dari hukum yang hidup dalam
masyarakat.
• Hukum yang hidup dalam masyarakat misalnya hukum pidana adat, atau
kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat dan dipatuhi sebagai norma.

43
Surat dakwaan ketika berlaku HIR disebut surat tuduhan (Acte Van Beschulding).
Mekanisme pembuatan surat dakwaan diatur melalui ketentuan SE JAGUNG RI No.
SE-004/J.A/11/1993 dan SE JAGUNG MUDA TPU No.B-607/E/11/1993 tanggal 22
November 1993.

Beberapa hal penting dalam surat dakwaan:


1. Perumusan surat dakwaanharus konsisten dan sinkron dengan hasil
pemeriksaan penyidikan.
2. Surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan disidang pengadilan
Pengertian surat dakwaan adalah berupa surat akta yang memuat
rumusan TP yang didakwakann kepada terdakwa, perumusan mana
ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan dan penyidikan
dihubungkan dengan unsur delik pasal TP yang dilanggar dan
didakwakan kepada terdakwa dan surat dakwaan ini menjadi dasar
pemeriksaan bagi hakim dipengadilan.
Mengenai waktu Tindak Pidana:
a. Berlakunya Pasal 1 ayat 1 KUHP
b. Penentuan residivis
c. Penentuan tentang daluarsa
Mengenai tempat terjadiya Tindak Pidana :
a. Kompetensi relatif dari pengadilan
b. Ruang lingkup berlakunya UU pidana
c. Berkaitan dengan unsur yang disyaratkan delik yang
bersangkutan.
TERIMA KASIH

48
PERCOBAAN DAN
PENYERTAAN
DR (C) HERY FIRMANSYAH SH.,M.Hum.,MPA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2020
PERTEMUAN KETIGA
PERCOBAAN DAN
PENYERTAAN
DR ( C ) HERY FIRMANSYAH SH.M.Hum.MPA
FAKULTAS HUKUM UNTAR
2020
Pengantar
• Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, Bab IV pasal 53 dan 54 KUHP.
Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional
Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53:
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(2)Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
(4)Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54:
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
PERCOBAAN
• Artikel 53 Memorie van Teolichting “Poging tot misdrijf is strafbaar wanner
voornemen des daders zich door en begin van uitvoering heeft geopenbaard en
de uitvoering aleen tengevolge van omstandingheden van zijnen wil
onafhankelijk niet is voltooid”. (Dengan demikian, maka percobaan untuk
melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan
yang telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak
untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu
permulaan pelaksanaan).
• Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan
kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena
bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
a.Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b.Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari
pelaku.
Pengertian percobaan dari beberapa ahli hukum pidana:
• Menurut Jan Remmelink, dalam bahasa sehari-hari, percobaan dimengerti sebagai upaya
untuk mencapai tujuan tertentu tanpa (keberhasilan) mewujudkannya. “Upaya. tanpa
keberhasilan”.
• Pompe, guru besar dari Utrecht. Jika kita mengikuti jalan pikiran di atas, percobaan
melakukan kejahatan dapat digambarkan sebagai suatu tindakan yang diikhtiarkan untuk
mewujudkan apa yang oleh undang-undang dikategorikan sebagai kejahatan, namun
tindakan tersebut tidak berhasil mewujudkan tujuan yang semula hendak dicapai. Syarat
bagi percobaan yang dapat dikenai pidana, seperti yang dituntut oleh undang-undang,
adalah bahwa ikhtiar pelaku harus sudah terwujud melalui (rangkaian) tindakan permulaan
dan bahwa tidak terwujudnya akibat dari tindakan tersebut berada di luar kehendak si
pelaku.
• Menurut Jonkers ada dua alasan bagi pembuat undang-undang untuk
memberi pidana pada percobaan melakukan tindak pidana pada
umumnya, yaitu:6
• a. Pemberantasan kehendak yang jahat yang ternyata dalam
perbuatan-perbuatan;
• b. Perlindungan terhadap barang hukum, yang diancam dengan
bahaya.
Bahwa seseorang yang melakukan suatu percobaan tindak pidana perlu
diancam dengan pidana dengan alasan:
a.Dilihat dari sudut subjektif, bahwa pada diri orang tersebut telah
menunjukkan suatu perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat;
b.Dilihat dari sudut objektif, bahwa perbuatan percobaan melakukan
tindak pidana ini dipandang telah membahayakan suatu kepentingan
hukum.
Pertanyaan untuk didiskusikan:

Apakah semua bentuk kejahatan dengan percobaan dapat dihukum?


Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang percobaannya tidak dapat
dihukum, misalnya percobaan menganiaya Pasal 351 ayat (5), percobaan
menganiaya binatang Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang tanding yang
diatur dalam Pasal 184 ayat (5).
Niat/Kehendak (Voornemen) r
• Menurut Moeljatno dalam Adami Chazawi, niat jika dipandang dari sudut bahasa
adalah sikap batin seseorang yang memberi arah kepada apa yang akan diperbuatnya.
Niat atau voornemen:
1.Subjektif:Sikap batin memberi arah tertentu kepada perbuatan.
2.Objektif:sikap batin dilihat oleh orang lain dengan adanya perbuatan yang
merupakan pelaksanaan terhadap niat dan nyata-nyata ditujukan untuk melakukan
perbuatan yang diniati.
Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan kehendak atau
maksud. Hazewinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah kurang lebih suatu
rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam keadaan tertentu pula.
Permulaan pelaksanaan
• Niat seseorang akan dapat diketahui jika ia mengatakannya kepada
orang lain. Namun niat itu juga dapat diketahui dari tindakan
(perbuatan) yang merupakan permulaan dari pelaksanaan niat.
• Syarat permulaan pelaksanaan:
1.Secara subjektif:niat tidak boleh diragukan lagi menuju delik yang
dimaksud.
2.Secara objektif:perbuatan harus mengandung potensi mendekati
delik yang dituju.
Pertanyaan untuk didiskusikan

Bagaimana menentukan
perbuatan permulaan
pelaksanaan?
Berdasarkan Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat
(1) KUHP, bahwa batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan
percobaan yang telah dapat dihukum itu adalah terletak diantara
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan
uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan).
MvT hanya memberikan pengertian uitvoeringshandelingen (tindakan-
tindakan pelaksanaan) yaitu berupa tindakan-tindakan yang mempunyai
hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk
dilakukan dan telah dimulai pelaksanaannya.
KASUS I
A mempunyai niat untuk membunuh B, untuk itu ada serangkaian perbuatan
yang dilakukannya, yakni:
1.A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol;
2.A mengisi pistol dengan peluru;
3.A membawa pistol tersebut menuju ke rumah B;
4.A membidikkan pistol ke arah B; A menarik pelatuk pistol, akan tetapi
tembakannya
5.meleset sehingga B masih hidup.
• Dari seluruh rangkaian perbuatan tersebut, perbuatan manakah yang
dianggap sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan. Apakah perbuatan
A pergi ke rumah C untuk meminjam pistol sudah dianggap sebagai
permulaan pelaksanaan? Apabila melihat niatnya, memang perbuatan A
pergi ke rumah C untuk meminjam pistol adalah dalam kaitan
pelaksanaan niatnya untuk membunuh B. Sehingga apakah A pergi ke
rumah C sudah dianggap permulaan dari pelaksanaan pembunuhan?
KASUS II
• A hendak membunuh B musuhnya. Untuk hal ini, A melakukan rangkaian perbuatan sebagai berikut:
a. Suatu hari ia pergi naik taksi menuju pasar;
b. Masuk ke sebuah toko;
c. Di toko itu dia membeli sebuah pedang;
d. Dia kembali ke rumah;
e. Dilihatnya pedang itu tumpul lalu ia mengasah pedang tersebut;
f. Kemudian disimpannya di dalam lemari;
g. Pada malam harinya dengan membawa pedang itu dia berjalan menuju rumah calon korban (B);
h. Selanjutnya A mengetuk pintu, dan pintu dibuka oleh isteri B, A dipersilahkan masuk dan duduk di salah satu
kursi;
i. Ketika B masuk ruang tamu dan duduk di kursi, A mencabut pedang dari balik bajunya;
j. A mengayunkan pedang ke arah leher B namun hanya mengenai bahu B dan tidak menyebabkan kematian B,
lalu isteri B berteriak meminta pertolongan sehingga A melarikan diri
• Dari rangkaian peristiwa di atas menurut paham subjektif perbuatan membawa
pedang yang telah diasah tajam dapat dinilai telah menunjukkan adanya niat
untuk melakukan pembunuhan pada B, sebab pada tahap perbuatan itu telah
tampak kehendak (niat) untuk membunuh. Maka dari fakta itu tidak diragukan
lagi bahwa perbuatan A menuju ke rumah B adalah merupakan permulaan
pelaksanaan dari kejahatan, sedangkan rangkaian tingkah laku sebelumnya yaitu
perbuatan dari urutan A sampai dengan F adalah merupakan perbuatan
persiapan. berdasarkan teori subjektif dapat dipidananya percobaan, karena niat
seseorang untuk melakukan kejahatan itu dianggap sudah membahayakan
kepentingan hukum.
Penyertaan
• Apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang,
sehingga harus dicari pertanggungjawabkan dan peranan masing2
peserta dalam persitiwa tersebut. Hubungan antar peserta dalam
menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah:
1. bersama-sama melakukan kejahatan
2. seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan
sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak
pidana tersebut.
3. seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain
membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya:
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang
melakukan dan yang turut serta melakukan tindak
pidana. Pertanggung jawaban masing2 peserta
dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang
dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri:
pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk
melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari
peserta yang satu digantungkan pada perbuatan
peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang
lain juga.
• Ajaran yang objektif menafsirkan istilah permulaan
pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan
pelaksanaan dari kejahatan dan karena itu bertolak dari
berbahayanya perbuatan bagi tertib hukum, dan
menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai tiap
perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum. Jika
mengacu kepada contoh kasus yang diberikan oleh Loebby
Loqman di atas, dari contoh pertama peristiwa yang
menjadi tujuan A adalah membunuh B. A pergi ke rumah C
untuk meminjam pistol bukanlah permulaan pelaksanaan
agar orang meninggal dunia. Perbuatan yang paling
mungkin dianggap sebagai permulaan pelaksanaan dalam
teori objektif.dalam kasus ini adalah pada saat A menarik
pelatuk pistol untuk membunuh B.( )
KASUS P
A. Penyertaan Menurut KUHP
• Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian
besar, yaitu:
a. Pembuat/Dader (Pasal 55) yang terdiri dari:
1. pelaku (pleger)
2. yang menyuruh melakukan (doen pleger) atau
3.penganjur (uitloker)
4 . yang turut serta (mede pleger)
b. Pembantu/Medeplichtige (Pasal 56 dan pasal 57 KUHP) yang terdiri
dari:
1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan;
2. pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
1. Pelaku (Pleger)
• Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri
perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan
dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan.
2. Orang yang menyuruh melakukan (Doenpleger)
Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan
dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu
hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian ada
dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus
ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung
(manus domina/auctor intellectualis).
DISKUSI

Apakah semua orang yang


disuruh melakukan itu
DAPAT DIPIDANA??
• Unsur-unsur pada doenpleger adalah:
a. alat yang dipakai adalah manusia;
b. alat yang dipakai berbuat;
c. alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materiel) tidak dapat
dipertanggungjawabkan adalah:
a. bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44)
b. bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48)
c. bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 (2))
d. bila ia sesat (keliru) mengenai salah satu unsur delik
e. bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan
yang bersangkutan
• 3. Orang yang turut serta (Medepleger)
Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan
sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya
sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta
tindak pidana adalah sama.
• Syarat adanya medepleger:
a. ada kerjasama secara sadar_ kerjasama dilakukan secara
sengaja untuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang
dilarang undang-undang.
b. ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan
selesainya delik yang bersangkutan
• 4. Penganjur (Uitlokker)
• Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain
untuk melakukan suatu tindak pidana dengan
menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh
undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau
menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan,
dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan
(Pasal 55(1) angka 2).
• Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruh melakukan
(doenplegen), yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai
perantara. Namun perbedaannya terletakpada:
a. Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana
tertentu (limitatif) yang tersebut dalam undang-undang
(KUHP), sedangkan menyuruhl melakukan
menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan.
b.Pada penganjuran, pembuat materiel dapat
dipertanggungjawabkan, sedang dalam menyuruhkan
pembuat materiel tidak dapat dipertanggungjawabkan.
• Syarat penganjuran yang dapat dipidana:
a. ada kesengajaan menggerakkan orang lain
b. menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut
limitatif dalam KUHP
c. putusan kehendak pembuat materiel ditimbulkan
karena upaya-upaya tersebut.
d.pembuat materiel melakukan/mencoba melakukan
tindak pidana yangdianjurkan
e. pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan
• Penganjuran yang gagal tetap dipidana berdasarkan
Pasal 163 bis KUHP.
• 5. Pembantuan (Medeplichtige)
Sebagaimana disebutkan alam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua
jenis:
a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak
disebutkan dalam KUHP. Ini mirip dengan medeplegen (turut serta), namun perbedaannya
terletak pada:
1. pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu/menunjang, sedang pada
turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2. pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus
kerja sama dan tidak bertujuan/berkepentingan sendiri,
• sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan
tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
3. pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan
turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
4. Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan
dikurangi sepertiga, sedangkan turut serta dipidana sama
b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara
memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Ini mirip dengan penganjuran
(uitlokking). Perbedaannya pada niat/kehendak, pada pembantuan
kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula/tidak ditimbulkan
oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan
kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
• B. Pertanggungjawaban pembantu
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama dengan
pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga
dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1)). Jika kejahatan diancam
dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15
tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian:
a. pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana:
- membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 (4)) dengan cara memberi tempat untuk
perampasan kemerdekaan,
- membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (Pasal 415),
- meniadakan surat-surat penting (Pasal 417).
b.Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu tindak pidana:
- membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 (3)),
- dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349)
- (Pasal 57 ayat (3)) dan pertanggungjawaban pembantu adalah berdiri sendiri,
tidak digantungkan pada pertanggungjawaban pembuat.
Kasus
1.Contoh: A berniat mencuri di rumah B dan
mengajak C untuk bersama sama melakukan.
Keduanya masuk rumah dan mengambil barang-
barang, atau C yang menggali lubang, sedang A
yang masuk dan mengambil barang2nya.
2. Andaikata C hanya beridirI di luar untuk
menjaga dan memberi isyarat kalau ada orang
datang, maka C dihukum tdk?jk ya sbg apa?
jawaban
1.Disini C dihukum sebagai turut melakukan (mede pleger), karena
melakukan melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian.
2. C dihukum sebagai membantu melakukan (medeplichtige) Pasal 56
sebab perbuatannya hanya bersifat menolong saja.
• CONTOH KASUS PENYERTAAN (DEELNEMING)
Salah satu oknum jaksa yitu UTG telah menerima suap dari Artalyta Suryani istri mendiang
Surya Dharma (mantan Bos PT. Gajah Tunggal) untuk memberhentikan kasus BLBI yang
melibatkan Pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Syamsul Nursalim, yang
notabene juga pemilik PT. Gajah Tunggal. Syamsul sendiri sampai sekarang tidak diketahui
dimana rimbanya. Ayin terbukti telah menyuap Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI Urip Tri
Gunawan sebesar $ 660 ribu atau sebesar +/- 6 miliar. Ayin juga terbukti bersekongkol
dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan Jaksa Agung Muda
Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Udji Santoso. Apalagi setelah Urip ditangkap dan
dicekal periode Februari s/d September 2008. Ayin berusaha mati-matian untuk mencari
orang dalam lagi. Walaupun akhirnya dia divonis penjara selama 5 tahun. Sedangkan Jaksa
Urip divonis penjara selama 20 tahun (banding). Dan Jaksa Kemas dan Jaksa Untung hanya
dicopot jabatannya di Kejaksaan
Kasus II
A dan B sama-sama bersepakat untuk membakar sebuah kandang kuda milik C orang yang mereka benci;
- Pada waktu yang telah disepakati mereka berdua masuk kandang;
- Di dalam kandang kuda ada loteng dan di sana ada rumput kering untuk makanan kuda.
- Untuk membakar kandang kuda dilakukan dengan cara membakar rumput kering di atas loteng tsb
- Untuk pembakaran itu A menaiki sebuah tangga untuk mencapai loteng.
- B memegang tangganya.
- Pada mulanya A berusaha membakar rumput dengan korek api, tetapi gagal karena rumput belum kering
sepenuhnya.
- B kemudian mengumpulkan daun2 kering yang kemudian diserahkan kepada A dengan maksud supaya A
dapat melakukan pembakaran dengan daun tsb.
- Akhirnya berhasil membakar kandang kuda milik C.
B bersalah melakukan turut serta (pembuat peserta)
A pembuat pelaksana.
• A, si B dan si C mempunyai permasalahan atau persoalan dengan si D
• dan ketiganya menginginkan kematian si D, untuk melaksanakan niatnya
• kemudian si A, B dan C bersama-sama mencari orang lain yaitu E untuk
• melakukan pembunuhan terhadap D, kerjasama tersebut dilakukan
• demikian eratnya misalnya si A yang menyediakan dana operasional atau
• bayaran untuk si E, kemudian si B yang memberikan keterangan tentang
• keberadaan si E dan si C yang menyediakan senjata api kepada si E untuk
• melakukan penembakan, adanya masing-masing peran ketiga orang
• tersebut sehingga berhasil menganjurkan (membujuk) si E membunuh si D.
KRIMINOLOGI
DR (C) HERY FIRMANSYAH SH.,M.Hum.,MPA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2020
PERTEMUAN KEEMPAT
Kriminologi sebagai ilmu pembantu dalam hukum pidana yang
memberikan pemahaman tentang fenomena kejahatan, sebab
dilakukannya kejahatan dan upaya yang dapat menanggulangi
kejahatan yang bertujuan untuk menekan laju perkembangan
kejahatan. Seorang antropolog yang berasal dari Perancis, bernama
Paul Topinard, mengemukakan bahwa kriminologi adl suatu cabang
ilmu yang mempelajari soal-soal kejahatan (Crimen dan Logos).

88
Definisi kejahatan dari pakar Kriminologi

Criminal Behaviour is behavior in violation of a criminal law


(Sutherland-1978).

A crime is an intentional violation of the criminal law (Nettler-


1984).

Crime is an intentional act or ommission in violation of


criminal law. ( Tappan-1960)

89
GP. Hofnagel kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan
empiris yang dihubungkan dengan norma hukum yang mempelajari
kejahatan serta proses2 formal dan informal dari kriminalitas, situasi
kejahatan-penjahat-masyarakat, sebab-sebab dan hubungan sebab-
sebab kejahatan serta reaksi-reaksi dan respon-respon resmi dan
tidak resmi terhadap kejahatan, penjahat dan masyarakat oleh pihak
diluar penjahata itu sendiri.
WA Bonger:ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki
gejala kejahatan seluas-luasnya.

90
TUJUAN MEMPELAJARI
KRIMINOLOGI
• Tujuan secara umum adalah untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, sehingga
diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai fenomena kejahatan dengan lebih baik.
Tujuan secara kongkrit untuk :
1. Bahan masukan pada membuat Undang-Undang (pembuatan\pencabutan Undang-Undang).
2. Bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum dan pencegahan
kejahatan non penal terutama Polri.
3. Memberikan informasi kepada semua instansi agar melaksanakan fungsi-fungsi yang
diembannya secara konsisten dan konsekwen untuk mencegah tejadi kejahatan.
4. Memberikan informasi kepada perusahan-prusahan melaksanakan pengamatan internal secara
ketat dan teridentifikasi serta melaksanakan fungsi social dalam areal wilayah perusahan yang
mempunyai fungsi pengamanan external untuk mencegah terjadi kejahatan.
5. Memberikan informasi kepada masyarakat pemukiman, tempat- tempat umum untuk
membuntuk pengamanan swakarsa dalam mencegah terjadi kejahatan.

91
Menurut analisis ekonomi, manusia dipandang sebagai makhluk yang
rasional. Apabila keuntungan yang diperoleh dari suatu aksi lebih
besar dari biayanya maka dia akan melakukan aksi tersebut (Becker
1968, Gibbs 1986).

92
• Dalam kriminologi ada dua aspek yang menjadi fokus utama yaitu ingin
menemukan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang
dalam melakukan kejahatan. Setelah kriminologi menemukan faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan kejahatan, maka
kriminologi melanjutkannya dengan hukuman atau sanksi apa yang paling tepat
terhadap pelaku kejahatan tersebut.

93
Penjelasan tentang Kejahatan
• Penjelasan Spiritual
• Pengaruh setan, kutukan dll.
• Penjelasan Natural
• Bahwa manusia bisa berbuat baik atau buruk, atau cenderung mengejar
kepentingan sendiri
• Penjelasan Scientific / Sains
• Hubungan yang teruji antara fenomena yang teramati

94
Obyek studi kriminologi:
1. Perbuatan yang disebut kejahatan
2. Pelaku kejahatan
3. Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun
terhadap pelakunya.

95
White collar crime
• E. Sutherland. Kejahatan kerah putih menurut E. Sutherland merupakan
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang profesional, kalangan pembisnis,
politikus dan kalangan birokrat. Kejahatan ini lebih bermotif bisnis (ekonomi)
untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dan juga motif politik yaitu
untuk mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.

96
Criminal Theory –
Wolfgang & Ferracuti
Constant underlying conflicts of values as well as normative conflicts
between the dominant culture and subculture of violence. People who
do not follow the norms are criticized, ridiculed by other people or
becoming a victim of the violence. Even if neither person approves of
the violence, all people are expected to respond violently .

97
Aliran klasik (c.beccaria dan jeremy bentham)
1,Individu dilahirkan dengan kehendak bebas untuk menentukan
pilihannya sendiri.
2. Individu memiliki hak asasi.
3.Pemerintah negara dibentuk untuk melindungi hak-hak tersebut.
4. Setiap WN hanya menyerahkan sebagian dr hak asasinya kepada
negara.
5. Kejahatan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian sosial.
6. Hukuman hanya dibenarkan selama hukuman itu ditujukan
untuk memelihara perjanjian sosial.
7.Setiap orang dianggap sama dimuka hukum, maka
konsekuensinya?

98
Aliran social defence(Marc ancel)
Menghargai nilai-nilai moral dalam kehidupan bermasyarakat dalam
arti, bahwa perlakuan terhadap penjahat tidak lagi sebagai objek alat-
alat peradilan pidana melainkan diperlakukan sebagai manusia
dengan integritas kemanusiaannya.

99
Teori Lambroso
Lambroso membuat 13 ciri fisik seseorang yang cenderung melakukan
kejahatan. Diantara ciri fisik tersebut adalah ketidaksmiterisan wajah
atau kepala, telinga yang lebar seperti telinga kera, bibir yang lebar,
dagu yang mundur, hidung yang memelintir, tulang pipi yang
menonjol, tangan yang panjang, kerutan kulit yang menonjol, dan jari-
jemari atau jempol yang besar.

100
101
Teori Lambroso
1. Born criminal, bakat jahat yang ada sejak lahir terdapat pada sepertiga dari
jumlah seluruh penjahat.
2. Insane criminal, yakni bukanlah penjahat sejak lahir, mereka lahir disebabkan
oleh penyakit jiwa dan perubahan didalam otak mereka yang terganggu.
3. Criminaloid yakni golongan terbesar penjahat yang terdiri dari orang-orang
yang tidak memiliki ciri fisik yang khas, tidak memiliki sakit jiwa yang nampak,
akan tetapi susunan mental dan emosional sedemikian rupa sehingga dalam
keadaan tertentu mereka dapat melakukan perbuatan yang sangat kejam dan
jahat.

102
Sehingga aspek ini menghasilkan hipotesa sebagai
berikut:
a) “Seriousness increases, frequency of occurences
diminishes” atau derajat keseriusan suatu
kejahatan meningkat jika frekuensi kejahatan
menurun.
b) “Seriousness decreases, frequency of
occurences invreases” atau derajat keseriusan
suatu kejahatan menurun jika frekuensi
kejadiannya meningkat.

103
Paham Neo Klasik: Routine Activities Theory

• ada tiga kategori variabel yang menerangkan timbulnya kejahatan


dimaksud, yaitu: (1) adanya pelaku yang termotivasi (motivated
offenders), (2) adanya target yang menarik dari korban kejahatan
(suitable targets of criminal victimization), dan (3) ketiadaan penjaga
yang mampu atas orang atau barang yang menjadi target (the
absence of capable guardians of persons or property).

104
• Teori ini berkaitan dengan berbagai teori lain. Pertama berkaitan
dengan teori korban (theory of victimization) karena menekankan
pada peranan korban. Kedua berhubungan dengan teori pilihan
rasional (rational choice theory) karena keputusan perbuatan jahat
didasarkan atas pertimbangan rasional, yaitu daya tarik dari obyek
(benefit) dan kelemahan dalam pengamanan (cost). Ketiga
bersentuhan dengan teori deterrence karena menekankan pada
sistem pengamanan, yaitu tindakan kepolisian untuk mencegahnya.

105
teori” yang populer di kalangan Polri
•“

bahwa kejahatan adalah pertemuan


antara niat dan kesempatan
(Kej.= N + K).

106
Masalah dlm kehidupan
sosial

Kemiskinan
kekuasaan
pengangguran
Kejahatan

Perhatian Akademisi

107
Classical Criminology

• Dipengaruhi oleh penjelasan natural


• Manusia mengetahui apa yang terbaik baginya
• Manusia bertindak rasional
• Kejahatan lahir sebagai produk “free choice” dari
individu

108
Prinsip-Prinsip Beccaria
• Pembuat hukum seharusnya mendefinisikan kejahatan
dan hukumannya secara jelas
• Penghukuman itu tidak adil bila deritanya lebih dari
cukup untuk menangkal kejahatan kembali
• Derita penghukuman yang berlebih malah akan
meningkatkan kejahatan
• Penghukuman seyogyanya cepat dan pasti
• Penghukuman seyogyanya tepat dan tertentu
• Hukum seyogyanya dibuat untuk mencegah kejahatan
terjadi

109
110
Segi Tiga Studi Kejahatan
KEJAHATAN

111
PENJAHAT REAKSI SOSIAL
SEGI EMPAT KEJAHATAN
KEJAHATAN KORBAN

112
PENJAHAT REAKSI SOSIAL
KOMPLEKSITAS STUDI KEJAHATAN

Kriminalistik Viktimologi
Forensik Stress &

113
KEJAHATAN KORBAN Trauma

KORBAN

PENJAHAT
PELAKU REAKSI SOSIAL
Peradilan
Psikopatologi Pidana
Delinkuent Kepolisian
Psikopat

Dimensi hukum dari masalah psikopat,


seperti halnya masalah-masalah
biological crimininology, menyangkut
pertanggung-jawaban pidana atau lebih
spesifik tingkat kesalahan pelaku
sebagai elemen dari suatu kejahatan

114
Sue Titus Reid, profesor sistem peradilan pidana pada Florida State
University, mengemukakan: “The elements that must be proved for
conviction of a crime vary from crime to crime and from jurisdiction
to jurisdiction. There are, however, some common elements that
distinguish crime from noncrime. [An Act (Actus Reus), An Unlawful
Act; An Intent (Means Rea)].” (1993 : 38).

115
Psikopatologi
• Psikopatologi mengungkapkan bahwa orang-orang
yang memenuhi kriteria penyakit psikopat tidak dapat
dimintai pertanggung-jawaban hukum atas
perbuatannya karena mereka seperti robot yang tidak
dapat membuat kalkulasi.

116
• Isu kesalahan dalam konteks pertanggung jawaban
pidana tidak terlepas dari konsep “free will” dari
Classical Criminology yang hampir mendominasi
sistem peradilan pidana dewasa ini.

117
Apakah benar bahwa setiap orang yang melakukan
kejahatan sungguh-sungguh mempertimbangkan atau
mampu mempertimbangkan secara layak (sehat)
kalkulasi untung rugi dalam pengambilan keputusan
dan tindakan untuk melakukan kejahatan sehingga
patut dapat dihukum

118
• KUHP pasal 44 sudah memperhitungkan bahwa
“barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit,
tidak dipidana.”

119
• Prof. Hare menekankan bahwa “… assessments of psychopathy and
other clinical constructs require considerable time and effort by
qualified psychologists and psychiatrists.”

120
Kejahatan yang diduga dilakukan
secara rasional
• Berbagai jenis kejahatan jalanan: yang lebih sering dipilih sebagai
target adalah wanita, orang tanpa pengamanan atau yang mudah
diserang
• Narkoba : persepsi akan keuntungan menggunakan drugs, pilihan
drugs yang lebih menguntungkan bila dijual; cara penjualan

121
Rasa Takut Pada Kejahatan
• Gejala Normal • Gejala Abnormalitas
• Sebagai suatu reaksi psikologis • Bila telah menjadi “suatu perasaan
individual yang bersifat subjektif kolektif masyarakat kota, yang tidak lagi
terhadap stimulus yang mengerikan jelas sumber rasa takut itu sendiri,
berupa kejahatan namun mampu mengakibatkan
perubahan perilaku”

122
Lembaga kontrol sosial
• Kepolisian
• Lembaga penghukuman
• Lembaga kontrol tidak resmi (satuan pengamanan, private security
services, bodyguard, debt collector)

123
Gejala Umum kejahatan di Kota Besar

• informasi tentang kejahatan tidak bersumber dari pengalaman


langsung, tetapi diinformasikan melalui media
• Ketika konsentrasi penduduk yang tinggi mengakibatkan bervariasi &
tidak terpolanya sumber terjadinya kejahatan (secara modus, tempus,
locus)
• korban atau akibat dari kejahatan, mulai dari kejahatan jalanan s/d
kejahatan kekerasan, dipersepsi semakin menderita atau mengalami
perlakuan sadis
• masyarakat merasa ‘terkurung’ oleh ketakutannya (yang
diciptakannya) sendiri

124
Bahwa kejahatan itu berkat adanya
ketegangan yang dirasakan masyarakat
(strain theory), berkat sesuatu yang
dipelajari (learning theory) atau berkat
lemahnya pengawasan oleh masyarakat
(control theory)

125
• G. P. Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus
rasional (a rational total of the responses to crime). Pendekatan
Restorative Justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai
sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang
bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan
pidana yang ada saat ini.

126
Faktor mengapa masih diperlukannya lembaga adat sebagai penyelsai
konflik

Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain:


• (a) Terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada;
• (b) Masyarakat tradisional didaerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat
berdasarkan hukum tradisionalnya dalam memecahkan permasalahan hukum yang terjadi. Hal ini
merupakan realitas dimana tradisi atau ”custom” masih berlaku di banyak tempat. Ini juga merupakan realita
dimana perubahan masyarakat kadang kala terbentur batas wilayah, dan bahwa hal ini juga merupakan
kenyataan dimana terdapat daerah-daerah yang masih ”steril” keberlakukan sistem hukum formal).
• (c) Tipe pemecahan masalah yang ditawarkan sistem hukum formal terkadang memperoleh pandangan yang
berbeda dan dianggap kurang memadai dan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat yang masih
memegang tradisi hukum mereka sendiri;
• (d) Kurang memadainya infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki oleh sistem hukum formal
menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap kebutuhan rasa keadilan masyarakat setempat.

127
• Dalam bagian X dari ”Pandecten van het adatrecht (1936)” dijelaskan bahwa sanksi adat dapat berupa:
(a) Pengganti kerugian immaterieel dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah
dicemarkan;
(b) Pembayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti
kerugian rohani;
(c) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
(d) Penutup malu, permintaan maaf;
(e) Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
(f) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum (dalam hal ini orang yang dikenai
sanksi diberikat pembatasan haknya sebagai anggota masyarakat adat).

128
Kriminologi dan Unsur Budaya
Perkawinan
Indonesia yang terdiri dari berbagai wilayah perkotaan dihuni oleh
bermacam-macam suku bangsa, pola adat dan kepercayaan yang
dianut oleh penduduknya. Masyarakat pluralistis semacam ini
memiliki pula sistem nilai yang berbeda, yang pada gilirannya
melahirkan pola berfikir yang menghasilkan tindakan tertentu antara
lain berupa kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan.

129
VIKTIMOLOGI
DR (C) HERY FIRMANSYAH SH.,M.Hum.,MPA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2020
PERTEMUAN KELIMA
LITERATUR
• Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Badan Penerbit Undip.
• Eko Soponyono, Kebijakan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada
Korban, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip.
• Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan, Jakarta:
Akademika Pressindo, 1993
• Mulyana W Kusumah, Viktimologi: Arti Penting dan Peranannnya
dalam Pengembangan Studi Korban Kejahatan,
• Kajian ilmiah tentang korban, tidak dapat dipisahkan dari tokohnya;
benyamin Mendelson pada tahun 1973 telah melakukan studi tentang
korban, yang kemudian dikenal dengan victimology sebagia ilmu
terapan (applied science) bagi hukum pidana dan kriminologi.
• Untuk memahami ruang lingkup viktimologi ada baiknya dicermati
pernyataan dari Zvonimir Paul Separovic yang mengemukakan tujuan
dari viktimolgi yaitu:
1.To analyze the manyfold aspect of the victim’s problem;
2.To explain the causes for victimization;
3.To develop a system of measures for reducing human suffering.
Secara keseluruhan Viktimologi bertujuan; pertama, menganalisa
berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, kedua, berusuaha
untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi
dan ketiga mengembangkan system tindakan guna mengurangi
penderitaan manusia.
• Dalam proses pertumbuhannya, viktimologi mendekati masalah
tindak pidana dari tiga segi yaitu:
1. Dari segi peranan korban sebagai bagian integral dalam proses
interkasi yang melahirkan tindak pidana tersebut.
2. Mengenai perlindungan hak-hak yang terabaikan.
3. Mengenai perlindungan hak-hak korban tidak saja sebagai akibat
tindak pidana konvensional seperti pemerkosaan, pembunuhan
perampokan dan penganiyaan, melainkan juga perlindungan
terhadap korban-korban tindak pidana terhadap korban-korban
tindak pidana yang berisfat non konvensional
• Korban kejahatan diartikan seseorang yang mengalami kerugian yang
diakibatkan oleh tindakan melawan hukum.
• Declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse
of power” pada tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985 ditegaskan,
bahwa: :
“victims, means person who, individually or collectively, have suffered
harm, including physical or mental injury, emotional suffering,
economic loss or substantial impairnment of their fundamental rights,
through acts or omissions that are in violation of criminal law
operative within member state, including those laws proscribing
criminal abuse of power
Pengelompokkan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu
sebagai berikut:
a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau
perorangan (bukan kelompok).
b. Secondary Victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan
hukum.
c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
d. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya
konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi.
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen
Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban,
yaitu sebagaia berikut:
a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap
menjadi korban (pada tipe ini kesalahan ada pada pelaku).
b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan(korban punya
andil dalam terjaidnya kejahatan, kesalahan terletak pada pelaku
dan korban).
c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.
d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku.
• Perlunya perlindungan terhadap korban tindak pidana menurut
Muladi dapat dilihat setidaknya dalam 3 (tiga) aspek. Pertama, aspek
kontrak social dan solidaritas social. Aspek kontrak social menyatakan
Negara boleh memonopoli reaksi social terhadap kejahatan dan
melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu,
bila terjadi kejahatan dan membawa korban, Negara harus
bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban
tersebut.
• Aspek solidaritas korban, menyatakan Negara harus menjaga warga
negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga
Negaranya mengalami kesulitan, melalui kerjasama dalam masyarakat
berdasarkan atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh
Negara. Hal tersebeut dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan
maupun melalui pengaturan hak.
• Kedua, dari aspek pemidanaan. Pemidanaan dalam arti umum
merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai dengan asas
legalitas.
• Ketiga, aspek tujuan pemidanaan. Perlindungan korban tindak pidana
dapat dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa
ini banyak dikedepankan berupa penyelesaian konflik.
• Pengaturan terhadap perlindungan korban dalam hokum pidana perlu
memperhatikan esensi kerugian yang diderita korban tindak pidana.
Kerugian bagi korban tindak pidana tidak hanya bersifat materiel atau
penderitaan fisik saja, melainkan juga bersifat psikologis.

Anda mungkin juga menyukai