Anda di halaman 1dari 4

1

Kesalahan (dan Pertanggungjawaban) Pidana


Oleh : Muhtar Said
Mempelajari kesalahan pidana sangat erat kaitannya dengan pertanggungjawaban
pidana, keduanya bisa dikatakan sebagai alat penentu seseorang bisa dikenakan pidana atau
tidak. Hal ini mensyiratkan hukum pidana tidak bisa diterapkan secara merta-merta namun
harus melalui beberapa tahapan. Ada sifat kehati-hatian dalam menerapkan pidana kepada
seseorang, karena ini menyangkut masalah perampasan kemerdekaan warga negara.
Dalam membahas dan mempelajari kesalahan itu harus mengerti segi psikologi dan
segi yuridis pelaku tindak pidana. Segi psikologis merupakan dasar untuk mengadakan
pencelaan yang ada terlebih dahulu, baru kemudian segi yang kedua untuk
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dasar kesalahan yang dicari dalam psikis
orang yang melakukan perbuatan itu sendiri dengan menyelidiki bagaimana hubungan
batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat.1
Dalam keterangan diatas, bisa diketahui, untuk mengetahui adanya suatu kesalahan
harus ada keadaan psikis atau batin tertentu dan juga harus ada keterkaitan antara sikap
batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan celaan, yang
nantinya bisa dijadikan ukuran untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang
dipertanggungjawabkan secara pidana.
Ada beberapa syarat-syarat yang bisa dijadikan ukuran untuk menentukan
kesalahan. Menurut Moeljatno,2 syarat-syarat itu adalah (1) Melakukan perbuatan pidana
(sifat melawan hukum), (2) Diatas umur tertentu, mampu bertanggung jawab, (3)
Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, dan (4) Tidak
ada alasan pemaaf.
Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban, jadi seseorang tidaklah cukup
dipidana hanya karena melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang
atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun seseorang telah memenuhi unsur delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal
tersebut belum bisa dikatakan telah memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana.
Kesengajaan dan Kealpaan
Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T.
(Memorie van Toelichting), yaitu “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada
barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.
Untuk itu, pemidanaan perlu adanya syarat, bahwa, orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah (subjectif guild). Dalam artian, orang tersebut harus
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam hal ini berlaku apa yang disebut
sebagai asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld/ nulla poena sine
culpa), culpa yang dimaksud di sini dalam arti luas meliputi kesengajaan. 3
Untuk bisa dipidana maka pertanggungjawaban pidana dapat dibedakan dalam dua
bentuk yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan (dolus) dan kesalahan karena kealpaan
(culpa). Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam
3 (tiga bentuk) sikap batin, yang menunjukan tingkatan dari kesengajaan yaitu.
1
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, 1985, hlm 145
2
Moeldjatno, Asas-Asas Hukum Pidanan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2008 hlm 164
3
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983 hlm 85
2

1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan

Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
Bentuk kesengajaan ini artinya sama dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan
suatu perbuatan (tindak pidana aktif), melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif)
dan tahu juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil). 4

2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzin)

Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak
diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan. Kesadaran seseorang terhadap suatu
akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi karena dilakukannya suatu
perbuatan tertentu. Apabila perbuatan tertentu yang disadarinya itu pasti menimbulkan
akibat yang tidak dituju itu dilakukan juga maka, di sini terdapat kesengajaan sebagai
kepastian.
Ada beberapa contoh yang diceritakan secara turun menurun dalam perkuliahan
hukum pidana terkait dengan kesengajaan sebagai kepastian, yakni  contoh Thomas van
Bremenhaven. Thomas, ingin memperoleh asuransi yang besar, sehingga kapalnya yang
berlayar ke Southamton dipasangi dinamit. Ketika kapal meledak dia akan mendapatkan
asuransi namun beberapa awak kapal akan ikut meninggal. Namun, awak kapal bisa tidak
meninggal dan tenggelam jika mereka diselamatkan terlebih dahulu sebelum kapal
dipasangi dinamit.

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzin)/boasa disebut


sebagai dolus eventualis

Dalam hal ini, keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-
benar terjadi. Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah kesengajaan untuk melakukan
perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia
tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan
perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan.
Contoh : menaruh racun kepada seorang bapak, namun yang kena adalah anaknya.
Sedangkan mengenai culpa, sama juga masuk dalam kategori kesengajaan karena
salah satu bentuk dari kesalahan, dalam kata lain kesengajaan merupakan bentuk yang
paling rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Memang sangat sukar untuk membedakan
antara kesengajaan dan culpa, apalagi kalau sudah menginjak permasalahan kesengajaan
bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata). Pada memori penjelasannya
Memorie van Toelichting (MvT) dijelaskan, dalam hal kealpaan, pada diri seorang pelaku
terdapat, (1) kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan, (2) kekurangan
pengetahuan (ilmu) yang diperlukan, dan (3) kekurangan kebijakan (belied) yang diperlukan.

Unsur-Unsur Kesalahan
4
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 96
3

Dipidannya seseorang tidaklah cukup hanya mengandalkan perbuatan orang itu


telah bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun orang
tersebut telah memenuhi delik dalam undang-undang, hal tersebut belum bisa dikatakan
telah memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu masih ada syarat lagi yakni,
orang yang melakukan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Hal itu
sesuai dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen starf zonder schuld). Kesalahan itu
terdiri beberapa unsur :
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit atau
zurechtnungsfahigkeit).

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur pertama dari kesalahan yang


harus terpenuhi dalam mengetahui atau memastikan pelaku tindak pidana dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya atau dapat dipidana. Dalam hal ini
Kemampuan bertanggungjawab pada umumnya dikaitkan dengan keadaan jiwa pelaku
tindak pidana, yaitu bahwa pelaku dalam keadaan sehat jiwanya atau tidak pada ketika
melakukan tindak pidana. Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada : 5
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang
sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan
buruknya perbuatan.
Dalam KUHP terkait dengan kemampuan bertanggungjawab seseorang bisa
dilihat pada Pasal 44 ayat (1). Selain yang diatur dalam KUHP juga ada yang diatur
dalam undang-undang lainnya yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu
bertanggung jawab, misalanya anak di bawah umum, ingatannya terganggu, daya
paksa, pembebanan yang melampui batas.

2. Hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan


(dolus) atau kealpaan (culpa).

Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan kealpaan (Culpa/Alpa) merupakan unsur kedua dari


kesalahan dimana keduanya merupakan hubungan batin antara pelaku tindak pidana
dengan perbuatan yang dilakukan. Mengenai kesengajaan (dolus/opzet), KUHP tidak
memberikan pengertian. Namun pengertian kesengajaan dapat di ketahui dari MvT
(Memorie van Toelichting), yang memberikan arti kesengajaan sebagai “menghendaki
dan mengetahui”

3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf dan
pembenar.
Penghapusan pidana dijelaskan pada bab ketiga dari buku pertama KUHP. Namun,
dalam KUHP tidak disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf.
5
Ibid Moeljatno hlm 165
4

Penjelasan tentang alasan dihapusnya sebuah unsur pidana dibedakan menjadi tiga
sebagai berikut :6
 Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang
patut dan benar. Contohnya terdapat di KUHP Pasal 49 ayat (1) , 50 dan 50 ayat (1)
 Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan
yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. Contohnya
terdapat di Pasal 49 ayat (2).
 Alasan penghapus penuntutan, disini permasalahannya bukan ada alasan pembenar
maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun
sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa
atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak
diadakan penuntutan.

Salam Takdzim
Muhtar Said
Dosen Hukum di Universitas Nahdlatul Ulama’ Indonesia

6
K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2007, hlm 15

Anda mungkin juga menyukai