Anda di halaman 1dari 13

A.

KESENGAJAAN
Kesengajaan sebagai arah batin yang paling kuat dengan timbulnya perbuatan tidak mempunyai
batasan yang sangat jelas ketika WvS (KUHP) pertama kali di rumuskan tahun 1881. Namun memori
penjelasan MvT menyebutkan bahwa Kesengajaan merupakan Suatu Kehendak untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatan - perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang - Undang.
Secara teoritis kesengajaan tidak hanya merupakan kehendak ( Willens Theorie ) tetapi juga berarti
mengetahui (Voor Stelling Theorie). Sehingga kesengajaan terkait dengan kehendak atau pengetahuan
pelaku akan perbuatan yang dilakukan.
Kesengajaan secara Gradual dapat kami sajikan sebagai berikut :
1. Kesengajaan sebagai maksud (Opzet Als Oogmerk) : mempunyai arti bahwa arah batin pelaku
menuju secara langsung kepada terjadinya akibat. Dengan demikian petindak menghendaki
melakukan perbuatan beserta akibatnya.
2. Kesengajaan sebagai kepastian (Opzet bij zekerheids bewustzijn) : mempunyai arti bahwa
akibat itu sedemikian pastinya sehingga pembuat sebenarnya tidak dapat mengabaikannya dan
kalau dia berbuat juga, maka tidak dapat dikatakan lain daripada dia yang menghendakinya
juga.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus eventualis atau opzet bij mogelijkheidsbewustzijn) :
mempunyai arti bahwa pelaku lebih senang melakukan tindakan tersebut meskipun
kemungkinan terjadinya akibat tersebut sangat besar.
Penerapan kesengajaan ini mengenal adanya dua sifat yaitu kesengajaan berwarna (gekleurd)
dan kesengajaan tidak berwarna (kleur loss).
1. Kesengajaan berwarna mensyaratkan bahwa pelaku tidak hanya menghendaki perbuatan,
melainkan pelaku juga harus mengetahui perbuatanya melawan hukum (Dolus Malus). Jadi
pelaku juga harus mengetahui bahwa perbuatan yang melawan hukum. Pandangan ini sudah
banyak ditinggalkan karena akan terjadi beban yang sulit bagi jaksa dan hakim karena harus
membuktikan bahwa pelaku memang menyadari perbuatannya melawan hukum.
2. Kesengajaan tidak berwarna hanya mensyaratkan apabila petindak menghendaki perbuatannya
dan tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku mengetahui perbuatannya merupakan perbuatan
melawan hukum.

Penempatan unsur sengaja pada rumusan delik tidak sama, namun terdapat prinsip bahwa semua
unsur yang terletak dibelakang unsur sengaja akan diliputi unsur ini ( MvT), sedangkan yang terletak di
depannya diobjektifkan (tidak perlu dikuasai unsur ini). Prinsip ini berlaku juga terhadap penggunaan
istilah lain dari unsur sengaja misalnya Pasal 167 KUHP (Mengganggu ketentraman rumah)
pengecualian dari prinsip ini adalah Pasal 187 KUHP.
Dari Rumusan unsur Sengaja tersebut, terdapat beberapa istilah yang digunakan antara lain :
1. Opzettelijk (dengan sengaja), antara lain dalam rumusan Pasal 333 KUHP, 338 KUHP, Pasal
372 KUHP dan sebagainya.
2. Watende dat (sedang ia mengetahui), sebagaimana terdapat di dalam Pasal 204,220,279
KUHP.
3. Waarvan hij weet (yang ia ketahui) seperti yang telah dirumuskan pada Pasal 480 KUHP.
4. Met het oogmerk (dengan tujuan) terdapat dalam Pasal 362 KUHP.
5. Tegen beter weten (bertentangan dengan apa yang diketahui) terdapat di dalam Pasal 311
KUHP.
6. Met het kennelijk doel (dengan tujuan yang ia ketahui) seperti pada Pasal 310 KUHP.

Di dalam rumusan unsur sengaja adakalanya berdampingan dengan unsur melawan hukum, dengan
menggunakan kata " dan " dan ada yang tidak. Terhadap rumusan tersebut ada 3 pandangan yaitu :
a. Rumusan yang berbeda itu mempunyai arti yang berbeda. Kata " dan " menunjukan posisi yang
sejajar, sehingga unsur sengaja tidak perlu ditunjukan pada unsur melawan hukumnya
perbuatan. Jadi unsur melawan hukum tersebut di " objektifkan " meskipun terletak dibelakang
unsur sengaja. Penganut pandangan ini adalah Van Hamel, Simons, Pompe dan H.R.
b. Rumusan yang berbeda tersebut tidak mempunyai arti yang berbeda,karena merupakan dua
hal yang terpisah. Pandangan ini tidak banyak di anut.
c. Rumusan yang berbeda itu mempunyai arti berbeda , namun berbeda dengan pandangan yang
pertama diatas. Menurut pandangan ini meskipun ada kata " dan " unsur kesengajaan harus
ditujukan pula kepada unsur melawan hukum sesuai dengan prinsip bahwa semua unsur di
belakang unsur sengaja diliputi oleh unsur tersebut. Penganut pandangan ini adalah Vos,
Langemeyer dan Zevenberger.

Di dalam Ilmu hukum pidana mengenal adanya beberapa jenis kesengajaan yaitu :
a. Dolus peremeditatus ,yaitu kesengajaan yang disertai dengan rencana lebih dahulu ( met
voorbedachte rade ). Dijelaskan bahwa tentang pengertian adanya " rencana lebih dahulu "
diperlukan situasi memikirkan dengan tenang. Jadi sipembuat maupun sebelum atau ketika
melakukan perbuatan tersebut memikirkan secara wajar tentang apa yang dilakukan atau akan
dilakukan.
b. Dolus determinus dan indeterminus, yaitu didasarkan pada obyeknya. Dolus determinus
obyeknya pasti orang tertentu misalnya seorang perempuan, sedangkan dolus indeterminus
sebaliknya tidak menentukan obyek tertentu.
c. Dolus alternatifus yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada salah satu dari obyek yang dipilih.
d. Dolus indirectus dan versari in re illicita menyatakan semua akibat dari perbuatan yang
disengaja, dituju atau tidak , diduga atau tidak dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan
sengaja . Ajaran ini ditolak oleh pembuat Undang - Undang . Sedangkan ajaran yang mirip
dengan ajaran ini adalah versari in re illicita menyebutkan bahwa semua perbuatan terlarang
dipertanggungjawabkan atas semua akibatnya.
e. Dolus directus yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya tetapi juga
kepada akibat dari perbuatanya itu.
f. Dolus genaril yaitu dalam kesengajaan ini maksud petindak betapapun telah tercapai, walaupun
mungkin akibat itu bukan disebabkan perbuatan petindak.

B. KEALPAAN
Dalam KUHP tidak diatur mengenai pengertian kealpaan. Tetapi dalam memorie Van Toelichting
disebutkan bahwa kealpaan disatu pihak berlawanan dengan kesengajaan dilain pihak. Kealpaan
merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan akan tetapi bukan kesengajaan
ringaan. Kealpaan dapat diartikan sebagai kurang penduga - duga atau kurang penghati - hati. Pada
kata yang lain dari kealpaan adalah CULPA ,sembrono, atau nalatigheid.

1. Alasan Yang memungkikan pemidanaan bagi kealpaan.


Pada level kompetensi yang terdahulu tekah dijelaskan bahwa hubungan batin antara silembuat
dengan perbuatannya dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. Pada kesengajaan ada niat jahat
dalam diri si petindak, sedangkan dalam kealpaan tidak ada niat dalam diri si petindak. Pada
kesengajaan, si petindak mengehendaki melakukan perbuatan yang dilarang. Pada kesengajaan si
petindak dapat mengetahui atau membayangkan akibat dari perbuatanya yang dilarang itu. Hal ini tidak
terdapat pada Kealpaan.
Namun dengan demikian, pada kealpaan tetap dimungkinkan adanya pamidanaan, walaupun ancaman
pidannya lebih ringan daripada kesengajaan. Mengapa demikian??? Menurut Memorie Van
Toelichting alasan yang memungkinkan pemidanaan bagi kealpaan adalah karena pada kealpaan ada
keadaan sedemikian yang membahayakan keamanan orang atau barang. Disamping itu kealpaan
mendatangkan kerugian yang besar bagi orang lain sehingga tidak dapat diperbaiki lagi sebagai akibat
dari kurangnya hati - hati.
2. Cara menetapkan Kealpaan pada seseorang.
Cara hakim dalam menetapkan kealpaan pada seseorang dilakukan melalui tahap - tahap sebagai
berikut :
Penentuan kealpaan secara normatif, tidak secara fisik atau secara psikis. Dalam kaitannya ini,
untuk mengetahui sikap batin seseorang yang sesungguhnya tidaklah mungkin, sehingga kealpaan
harus ditetapkan dari luar. Dalam hal ini adalah bagaimana seharusnya ia berbuat.
Penentuan kealpaan secara orang pada umumnya jika ia berada pada situasi seperti itu. Dalam
kaitannya ini ,bagi orang tersebut harus ada kekurang hati - hatian yang cukup besar ( Culpa Lata )
untuk dapat ditetapkan adanya kealpaan, bukannya culva levis ( Kealpaan yang sangat ringan ).

3. Ketentuan yang memuat unsur Kealpaan Dalam KUHP.


Dalam KUHP ada sejumlah ketentuan yang memuat unsur kealpaan (delik culpa atau culpoos delict).
Ancaman pidannya lebih ringan dibandingan tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan.
Ketentuan - ketentuan KUHP tersebut, antara lain :
Pasal 188 KUHP (karena kealpaannya menimbulkan peletusan,kebakaran, banjir)
Pasal 231 KUHP ayat 4 (karena kealpaannya si penyimpan menyebankan hilangnya barang sitaan)
Pasal 359 KUHP (karena kealpaanya menyebabkan matinya orang lain)
Pasal 360 KUHP (karena kealpaanya mengakibatkan orang lain luka berat)
Pasal 409 KUHP (karena kealpaannya mengakibatkan bangunan - bangunan kereta api, tran,
telepon, listrik, bangunan utnuk membendung dan lain - lain rusak)

4. Delik pro parte dolus dan pro parte culpa


Disamping sejumlah ketentuan KUHP yang didalamnya memuat unsur kealpaan sebagaimana telah
dijelaskan diatas , dalam KUHP ada sejumlah ketentuan yang didalamnya memuat unsur kesengajaan
sekaligus unsur kealpaan. Ketentuan delik semacam itu disebut sebagai delik Delik Pro Parte dolus
dan Pro parte Culpa.
Ketentuan KUHP yang termasuk delik pro parte dolus dan pro parte culpa adalah :
Pasal 480 KUHP ( Tentang Penadahan )
Pasal 483 KUHP ( Tentang penerbit )
Pasal 484 KUHP ( Tentang pencetak )
Pasal 487 KUHP ( tentang bersetubuh dengan wanita yang umumnya dibawah 15 tahun )
Pasal 288 KUHP ( Tentang bersetubuh dengan wanita yang belum mampu dikawin)
Pasal 292 KUHP ( Tentang yang cukup umur melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama
kelamin yang belum cukup umur ).

5. Macam - Macam Kealpaan


a. Kealpaan yang disadari : pembuat dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta
akibatnya, namun ia percaya dan mengharap - harap bahwa akibatnya akan terjadi.
b. Pada kealpaan yang tidak disadari : pembuat melakukan sesuatu yang tidak menyadari akan
timbulnya suatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
A. Pengertian Perbarengan Tindak Pidana
Perbarengan merupakan dimana keadaan seseorang telah melakukan beberapa tindak pidana dalam
hal yang dilakukan lebih awal dan pembuatnya belum dijatuhkan pidana, dan apabila sudah dijatuhkan
pidana, maka pidana tersebut belum dijalaninya. Nah disinilah letak perbedaan perbarengan dan
pengulangan. Pada dasarnya pengulangan tindak pidana (recidive) yang dilakukan lebih awal,
pembuatnya telah dipidana dan telah menjalaninya. Jika kita lihat dari sudut lebih dari satu tindak
pidana yang dilakukan satu orang, maka perbarengan sama dengan pengulangan. Perbedaanya yaitu
perbarengan tindak pidana yang lebih awal pembuatnya sudah dipidana, bahkan sudah menjalani
pidananya sebagian atau seluruhnya (Pasal 486, 487, dan 488 KUHP). Persoalan yang paling
mendasar mengenai perbarengan adalah mengenai persoalan apakah kepada sipembuat akan
dipidana sendiri - sendiri sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan ataukah dijatuhi satu pidana
saja?? Apabila satu pidana saja, maka pidana yang diancamkan pada tindak pidana yang mana yang
hendak dijatuhkan?

Didalam Undang - Undang membedakan tiga bentuk dari perbarengan, yaitu :


1. Perbarengan peraturan (Concursus Idialis atau Eendaadse Samenloop).
Perbarengan peraturan terjadi dalam hal satu orang telah melakukan satu perbuatan (een feit) dimana
satu perbuatan tersebut telah melanggar lebih dari satu aturan pidana. Definisi dasar ini sesuai dengan
apa yang telah dirumuskan oleh Pasal 63 Ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa :
"Jika suatu perbuatan (een feit) masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu diantara aturan - aturan tersebut dan jika berbeda - beda, maka yang dikenakan yang
memuat ancamam pidana pokok yang paling berat".
Pasal 63 Ayat (2) Menyatakan :
"Jika sesuatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam aturan pidana
yang khusus, maka hanya yang khusus itu saja yang dijatuhkan".
Suatu perbuatan dalam rumusan Ayat (1), maknanya adalah satu perbuatan. Dari rumusan Pasal 63
Ayat (1) dan (2) KUHP, ada (2) pokok hal yang terdapat dalam rumusan tersebut. Yang pertama
pengertian perbarengan peraturan dan yang kedua tentang sistem penjatuhan pidananya. Pandangan
lama dari para tokoh seperti Van Hamel, Simons,Zevenbergen yang juga tercermin dari berbagai arrest
Hoge Raad sebelum tahun 1932 yang cenderung pada pendapat yang sempit, bahwa pengertian
perbuatan dalam Pasal 63 Ayat (1) sebagai perbuatan jasmani (matrieel feit).
Salah satu contoh yang diberikan oleh Van Hamel, adalah seseorang laki - laki memperkosa seorang
perempuan yang dilakukannya dipinggir jalan raya, perbuatan laki - laki tersebut telah melanggar dua
aturan pidana, yaitu Pasal 285 KUHP (memperkosa) dan Pasal 281 KUHP (melanggar kesusilaan
dimuka umum). Contoh yang kedua, seseorang yang melakukan penipuan dengan menggunakan
sarana surat palsu, perbuatan orang tersebut telah melanggar dua aturan pidana, yang pertama
melanggar Pasal 378 KUHP dan 263 Ayat (2) KUHP.
Dari pembicaraan tentang perbuatan dalam Pasal 63 KUHP tentang Perbarengan Peraturan tersebut
diatas, dapat kita simpulkan bahwa :
Pengertian suatu perbuatan (een feit) dalam rumusan Pasal 63 Ayat (1) KUHP tentang perbarengan
peraturannya pada mulanya, sebelum tahun 1932 diartikan sebagai perbuatan jasmani. Pandangan
tersebut mengandung kelemahan, dianggap membatasi dan membelenggu berlakunya hukum secara
tidak wajar. Pandangan sejal tahun 1932 pendapat perbuatan jasmani ditinggalkan.
Selanjutnya dicarilah ukuran - ukuran lain diluar ukuran perbuatan jasmani. Meskipun demikian,
ukuran yang dipakai itu masih bersifat kasuistis. Pandangan - pandangan baru itu lebih dekat
katerkaitannya dengan penyelesaian suatu kasus tertentu. Oleh karena itu belumlah dapat ditarik suatu
ukuran yang bersifat umum yang berlaku untuk segala kejadian.
Jadi ada 3 Kemungkinan perbarengan peraturan yang dapat diterapkan sistem penjatuhan
pidana hisapan yaitu :

 Perbarengan peraturan atas beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokok yang
sama berat. Dalam hal ini penjatuhan pidananya adalah terhadap salah satu diantara aturan -
aturan itu. Mengenai kemungkinan yang pertama ini, disimpulkan dari kalimat "jika suatu
perbuatan masul dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu
diantara aturan - aturan itu". (Kalimat pertam Ayat 1). Meskipun dalam kalimat itu tidak secara
tegas disebutkan ancaman pidana pokok yang sama beratnya, namun jika dihubungkan dengan
kalimat berikutnya ialah "jika berbeda - beda, yang dikenakan ialah yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat" (Ayat 1), maka tiada lain artinya mengenai pidana dalam
kalimat yang pertama, adalah dalam hal pidana pokok yang sama berat.
 Perbarengan peraturan atas beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokoknya tidak
sama berat. Dalam hal ini pidana yang dijatuhkan adalah pidana memuat ancaman pidana
pokoknya yang paling berat. Contohnya membunuh dengan memasang bom mobil. Disini satu
perbuatan memasang bom mobil melanggar Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana
dan jika bom meledak maka melanggar Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang. Maka
dalam perbarengan peraturan ini hanya dijatuhkan satu pidana saja yang terberat yakni
terhadap pelanggaran Pasal 340 KUHP tanpa ada pemberatan. Sementara terhadap Pasal 406
telah dianggap terhisap oleh pelanggaran Pasal 340 KUHP.
 Perbarengan pertauran dimana satu perbuatan masuk atau diatur dalam suatu aturan pidana
umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus. Maka pidana yang dijatuhkan
adalah pidana yang diancamkan pada aturan pidana yang khusus (Ayat 2). Ketentuan sistem
pemidanaan ini merupakan perwujudan dari asas "Lex Specialis Derogat Legi Generalis"
(berasal dari hukum romawi) yang dianut dalam hukum pidana kita.

2. Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling).


Dalam hal perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 KUHP yang rumusannya adalah sebagai
berikut :
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing - masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan
berlanjut (Voortgezette Handeling), maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.
Demikian juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika oranf yang dinyatakan bersalah melakukan
pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak.
Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan - kejahatan tersebut dalam Pasal - Pasal 364,
373, 379, dan 407 Ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya
melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal
362, 372, 378 dan 406.
Arti perbuatan berlanjut dirumuskan dalam Ayat (1) adalah beberapa perbuatan baik berupa
pelanggaran umum kejahatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut. Unsur - Unsurnya adalah yang
pertama beberapa perbuatan, meskipun berupa pelanggaran atau kejahatan, yang kedua, antara
perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut.
Arti perbuatan disni adalah perbuatan yang melahirkan tindak pidana, atau perbuatan beserta
kompleksitas unsur - unsur lainnya dalam tindak pidana. Bukan semata - mata perbuatan jasmani atau
juga bukan perbuatan sebagai bagian dari salah satu unsur tindak pidana. Syarat pertama yang
disimpulkan dari perkataan Voortgezette (dilanjutkan), syarat kedua disimpulkan secara a contrario dari
bunyi rumusan Ayat (2) Pasal 64, dan syarat yang ketiga agak kabur.
3. Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis atau Meerdaadse Samenloop).
Dari bunyi rumusan Pasal 65 Ayat (1) dan 66 Ayat (1) KUHP, perbarengan perbuatan adalah beberapa
perbuatan yang masing - masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga
merupakan beberapa kejahatan. Definisi perbuatan dalam rumusan tersebut adalah perbuatan yang
telah memenuhi seluruh syarat dari suatu tindak pidana tertentu, atau secara singkat adalah tindak
pidana. Sistem penjatuhan pidana perbarengan perbuatan dibedakan menurut macamnya perbarengan
perbuatan. Berdasarkan Pasal 65, 66 dan 70 KUHP ada 4 (empat) macam yaitu :
a. Perbarengan perbuatan antara beberapa kejahatan yang masing - masing diancam dengan
pidana pokom yang sama jenisnya (Pasal 65), penjatuhan pidananya dengan menggunakan
sistem hisapan yang diperberat (verscherpte absorbsi stelsel), yaitu dijatuhi satu pidana saja
(Ayat 1) dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah jumlah maksimum pidana yang
diancamkan kepada tindak pidan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum pidana yang
terberat ditambah sepertiga (⅓) (Ayat 2). Misalnya seperti pemerasan (368, maksimum 9 tahun
penjara) dengan pembunuhan (338, Maksimum 15 tahun penjara). Apabila dua kejahatan
tersebut dilakukan oleh satu orang, maka hanya dijatuhi satu pidana saja, tetapi dapat
diperberat dengan ditambah sepertiganya dari maksimum 15 tahun (yang terberat), sehingga
maksimumnya menjadi 20 Tahun.
b. Perbarengan perbuatan antara dari beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana yang
tidak sama jenisnya (Pasal 66), penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi
terbatas (het gematigde cumulatie stelsel) terhadap masing - masing kejahatan itu dijatuhi
pidana sendiri - sendiri pada pembuatnya. Tetapi jumlahnya tidak boleh lebih berat dari
maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga (Ayat 1).
c. Perbarengan perbuatan antara kejahatan dengan pelanggaran, penjatuhan pidananya
menggunakan sistem kumulasi murni (het zuivere cumulatie stelsel) (Pasal 70 KUHP).
d. Perbarengan perbuatan antara pelanggaran dengan pelanggaran, juga menggunakan sistem
kumulasi murni. Masing - masing kejahatan maupun pelanggaran pidana diterapkan sendiri -
sendiri pada si pembuat sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran
yang diperbuat tanpa adanya pengurangan atau pun penambahan batas tertentu (Pasal 70
KUHP).
Bagaimana penjatuhan pidana dalam perbarengan perbuatan terdiri dari kejahatan yang salah satunya
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, mengingat karena sifatnya pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup tidak dapat diperberat? Dalam hal ini apabila hakim
menetapkan pidana mati atau penjara seumur hidup, karena sifatnya tidak dapat diperberat lagi, dan
menurut Pasal 67 yang menyatakan bahwa " tidak boleh dijatuhi pidana yang lain lagi kecuali
pencabutan hak - hak tertentu, perampasan barang yang telah disita sebelumnya dan pengumuman
putusan hakim".

Lalu Bagaimana dengan pidana tambahan dalam hal perbarengan peratura?? Untuk menjawab
persoalan ini telah secara tegas ditentukan dalam Pasal 68, yang bunyi rumusannya sebagai berikut :
1.) Berdasarkan hal - hal dalam Pasal 65 dan 66, tentang pidana tambahan berlaku aturan sebagai
berikut :
Pidana - pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, yang lamanya paling sedikit 2 (dua)
tahun dan paling banyak 5 (lima) tahun melebihi pidana pokok atau pidana - pidana pokok yang
dijatuhkan. Jika pidana pokok hanya pidana denda saja, maka lamanya pencabutan hak paling sedikit
2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
Pidana - pidana pencabutan hak yang berlainan dijatuhkan sendiri - sendiri tanpa dikurangi.
Pidana - pidana perampasan barang - barang tertentu , begitu pula halnya dengan pidana kurungan
pengganti karena barang - barang tidak diserahkan, dijatuhi sendiri - sendiri tanpa dikurangi.

2.) Pidana kurungan - kurungan pengganti jumlahnya tidak boleh melebihi 8 (delapan) tahun.
A. Pengertian Penyertaan dan Alasan Dipidananya Pembuat Tindak Pidana Dalam Penyertaan.
Pada dasarnya didalam KUHP, subjek hukum tindak pidana adalah orang. Rumusan tindak pidana
dimulai dengan barangsiapa (hij die) atau diluar KUHP dimulai dengan (setiap orang). Barangsiapa
atau setiap orang adalah orang dan orang tersebut hanya satu orang. Satu orang inilah yang disebut
dader (pembuat tunggal). Pembuat tunggal adalah orang yang melakukan tindak pidana secara pribadi.
Berbuat sendiri dan bertanggungjawab sendiri. Tidak melibatkan seseorang dalam melakukan tindak
pidana. Dalam hal terwujudnya tindak pidana tidak menutup kemungkinan ditimbulkan oleh suatu
perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang. Misalkan, empat orang (A,B,C,dan D) telah bersepakat
untuk membunuh seseorang. Dalam melaksankan pembunuhan itu, suatu malam ketika si korban
tertidur, empat orang itu masuk kedalam rumah korban dengan dengan cara memanjat pagar, dua
Orang (A dan B) menjaga diluar rumah, Satu orang (C) mencongkel pintu, satu orang lagi (D) masuk
rumah menuju kamar korban, dan menikamkan sebuah pisau ke arah perut korban secara terus -
menerus, sehingga menyebabkan korban mengalami luka parah dan meninggal dunia. Dalam
pembunuhan tersebut 4 orang terlibat. Masing - masing perbuatan berbeda - beda, namun antara
perbuatan yang satu saling berkaitan dengan perbuatan lainnya yang mengarah langsung pada satu
tujuan yaitu kematian korban. Pembunuhan tersebut dapat diselesaikan oleh perbuatan masing -
masing orang yang wujudnya tidak sama. Perbuatan masing - masing itulah yang menimbulkan tindak
pidana pembunuhan.

Empat orang tersebut dibebani pertanggungjawaban pidana dan dipidana. Dalam hal untuk
membenani pertanggungjawaban pidana dan menjatuhkan pidana kepada mereka inilah diperlukan
ketentuan penyertaan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 55, 56, 57, 58, 59 dan 60 KUHP.
Tidak cukup dengan ketentuan Pasal 338 KUHP saja. Apabila tidak dibentuk ketentuan penyertaan,
maka orang yang dapat dipidana hanyalah terhadap D saja, karena perbuatan D saja yang memenuhi
semua unsur Pasal 338 KUHP.
Daftar Isi

A. Pengertian Penyertaan dan Alasan Dipidananya Pembuat Tindak Pidana Dalam Penyertaan.
B. Bentuk - Bentuk Penyertaan (Deelneming)
1. Mereka yang melakukan (Pembuat Pelaksana : Pleger).
2. Mereka Yang Menyuruh Melakukan (Pembuat Penyuruh : Doen Pleger).
3. Mereka Yang Turut Serta Melakukan (Pembuat Peserta : Medepleger)
4. Orang Yang Sengaja Menganjurkan (Pembuat Penganjur : Uitlokker).
5. Pembantuan

B. Bentuk - Bentuk Penyertaan (Deelneming)


Bentuk - bentuk penyertaan terdapat dan dijelaskan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai
golongan yang disebut dengan mededader (disebut para peserta atau para pembuat). Dan pasal 56
mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).

Di dalam Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :


1). Dipidananya sebagai pembuat (dader) tindak pidana :

Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan,dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2). Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja diajurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta
akibat - akibatnya.

Di dalam Pasal 56 Dipidananya sebagai pembantu kejahatan, Merumuskan sebagai berikut :

Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.


Mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dari kedua Pasal (55 dan 56) tersebut, dapatlah kita ketahui bahwa penyertaan dibedakan dalam dua
kelompok yaitu :
1). Pertama, kelompok orang - orang yang perbuatannya disebutkan dalam Pasal 55 Ayat (1),
yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader) adalah mereka :
Yang melakukan (plegen), orang yang disebut dengan pembuat pekaksana (pleger)
Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orang disebut dengan pembuat penyuruh (doen pleger),
Yang turut serta melakukan (mede plegen), orang yang disebut dengan pembuat peserta (mede
pleger) dan,
Yang sengaja menganjurkan (uitlokken),yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur
(uitlokker).

2). Kedua, yaitu orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahatan, yang
dibedakan menjadi :

a. Pemberi bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan dan,


b. Pemberi bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

Dalam hal ini perlu kami jelaskan bahwa pembuat dalam pengertian dader, telah jelas ialah pembuat
tunggal, dialah yang melakukan tindak pidana secara pribadi, artinya tidak ada orang lain yang terlibat
serta baik fisik (objektif) maupun secara psikhis (subjektif). Sementara pembuat dalam rumusan Pasal
55 Ayat (1) melakukan tindak pidana tidak secara pribadi, melainkan bersama - sama dengan orang
lain dalam mewujudkan tindak pidana. Apabila kita lihat dari sudut perbuatan masing - masing berdiri
sendiri, perbuatan tersebut hanyalah memenuhi syarat/unsur tindak pidana. Semua syarat tindak
pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, akan tetapi oleh rangkaian peristiwa perbuatan
semua peserta.

Oleh sebab itu dapat kita simpulkan bahwa yang sama dengan pembuat (dader), bukanlah perbuatan
masing - masing orang yang terlibat yang disebut dalam Pasal 55 KUHP. Melainkan tanggung
jawabnya. Tanggung jawab si pembuat pelaksana, pembuat penyuruh, pembuat peserta dan pembuat
penganjur adalah sama dengan tanggung jawab pembuat tunggal (dader).

Berikut ini akan kami jelaskan secara terperinci tentang pembuat pelaksana, pembuat penyuruh,
pembuat peserta dan pembuat penganjur sebagai berikut :
1. Mereka yang melakukan (Pembuat Pelaksana : Pleger).
Untuk menentukan seorang pembuat tunggal (dader), tidaklah sukar. Kriteriannya jelas, ialah
perbuatannya telah memenuhi semua unsur tidak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud
perbuatannya ialah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana.
Sementara dalam tindak pidana materiil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat
yang dilarang oleh undang - undang. Jika ada orang lain yang ikut terlibat ke dalam tindak pidana, baik
secara fisik maupun psikhis, apakah syarat dari seorang dader harus juga menjadi syarat seorang
pleger?? Oleh sebab itu seorang pleger merupakan orang yang karena perbuatannya yang
menimbulkan tindak pidana, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksana tindak pidana tidak akan
terwujud, oleh karena itu dari sudut pandang perbuatannya (objektif) syarat seorang pleger harus sama
dengan syarat seorang dader. Perbuatan seorang pleger juga harus memenuhi semua usnur tindak
pidana, sama dengan perbuatan seorang dader. Muncul pertanyaan, Lalu apa bedanya seorang pleger
dan dader?? Bedanya ialah, pleger masih diperlukan keterlibatannya minimal seorang lainnya, baik
secara psikhis, contohnya terlibat dengan seorang pembuat pembuat penganjur atau terlibat dengan
pembuat peserta atau pembuat pembantu. Jadi seorang pleger diperlukan sumbangan dari peserta
lain dalam hal mewujdukan tindak pidana.
2. Mereka Yang Menyuruh Melakukan (Pembuat Penyuruh : Doen Pleger).
Dalam KUHP tidak menerangkan siapa yang dimaksud dengan doen pleger. Dalam mencari
pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh lakukan (doen pleger) banyak ahli hukum merujuk
pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa " yang menyuruh
melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan
dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa
kesengajaan, kealpaan, atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan
atau tunduk pada kekerasaan."

Pada penjelasan atau uraian MvT tersebut dapat kita tarik unsur - unsur dari bentuk pembuat
penyuruh, yaitu :

Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat didalam tangannya,
Orang lain tersebut bebuat, tanpa kesengajaan,
Tanpa Kealpaan,
Tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan (yang tidak diketahuinya, karena disesatkan, dan
karena tunduk pada kekerasan).

3. Mereka Yang Turut Serta Melakukan (Pembuat Peserta : Medepleger)


MvT WvS Belanda Yang menyatakan bahwa turut serta melakukan adalah setiap orang yang sengaja
berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. Keterangan ini belum memberikan
penjelasan tuntas. Pada awalnya turut berbuat (meedoet) diartikan bahwa pada masing - masing
peserta telah melakuka perbuatan yang sama - sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang
bersangkutan. Seperti dua orang yang mengangkat sebuah Kursi. Seperti Van Hamel dan Trapman
yang berpendapat bahwa turut serta melakukan terjadi jika perbuatan masing - masing peserta
memuat semua unsur tindak pidana. Ajaran seperti ini lebih cenderung ke ajaran objektif dan
pandangan ini sempit dan tidak dapat menimbulkan masalah, masalahnya itu adalah karena
perbuatannya sama.
Sementara pandangan luas, tidak mensyaratkan bahwa perbuatan pelaku peserta harus sama dengan
perbuatan seorang pembuat (dader), perbuatannya tidak perlu memenuhi semua rumusan tindak
pidana, sudahlah cukup memenuhi sebagian saja dari rumusan tindak pidana, asalkan,
kesengajaannya sama dengan kesengajaan dari pembuat pelaksananya. Pandangan luas ini lebih
mengarah pada ajaran subjektif. Pandangan luas ini merupakan pandangan yang lebih modern dari
pada pandangan lama yang lebih sempit. Seperti arrest Hoge Raad (29-10-1934, dikenal dengan (Hooi
Arrest). Duduk perkaranya adalah berikut :

Ada dua orang yang sama - sama bersepakat untuk membakar sebuah kandang kuda milik orang lain.
Mereka berdua masuk kandang kuda itu. Didalam kandang kuda itu ada loteng dan disana ditempatkan
rumput kering (hooi) untuk makanan kuda. Untuk membakar kandang kuda itu dilakukan dengan cara
membakar rumput kering diatas loteng. Untuk pembakaran itu satu orang (A) menaiki sebuah tangga
untuk mencapai loteng, sedangkan (B) memegang tangga. Pada mulanya dengan sebuah korek api (A)
mencoba membakar rumput, namun gagal. Dengan maksud agar mudah terbakar, B mengumpulkan
daun - daun kering yang kemudian diserahkan kepada A. Setelah beberapa kali menyulutkan korek api
pada rumput diloteng, akhirnya berhasil juga si A membakar rumput kering, dan seterusnya api
menjalar dan meluas sehingg terbakarlah seluruh kandang kuda.

Hoge Raad menghukum B karena salahnya telah turut serta (pembuat peserta) melakukan
pembakaran (Pasal 187 KUHP, sedangkan A berkualitas sebagai pembuat pelaksana.
4. Orang Yang Sengaja Menganjurkan (Pembuat Penganjur : Uitlokker).
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur disebut juga auctor intellectualis). Rumusan
selengkapnya dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-2 adalah : "mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan".
Apabila rumusan tersebut hendak dirinci, maka unsur - unsurnya adalah :
1. Unsur - Unsur Objektif terdiri dari :
Unsur perbuatan, adalah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan
Dengan memberikan sesuatu
Dengan menjanjikan sesuatu
Dengan menyalahgunakan kekuasaan
Dengan menyalahgunakan martabat
Dengan kekerasan
Dengan ancaman
Dengan penyesatan
Dengan memberi kesempatan
Dengan memberikan sarana
Dengan memberkkan keterangan.

2. Unsur - Unsur Subjektif yakni Dengan Sengaja.


5. Pembantuan
Pembantuan diatur dalam Pasal 56, 57, dan 60 KUHP. Pasal 56 merumuskan tentang unsur objektif
dan unsur subjektif pembantuan serta macamnya pembantuan. Di dalam Pasal 57 merumuskan
tentang batas luasnya pertanggungjawaban bagi pembuat pembantu. Pasal 60 mengenai penegasan
pertanggungjawaban pembantuan yakni hanyalah pada pembantuan dalam hal kejahatan saja, tidak
termasuk pelanggaran.

1. Syarat - Syarat Pembantuan :

 Dari sudut Subjektif : kesengajaan pembuat pembantu dalam dia mewujudkan perbuatan
bantuannya (baik sebelum pelaksanaan maupun sesudah pada saat pelaksanaan kejahatan)
ditujukan pada hal untuk mempermudah atau mempelancar bagi orang lain (pembuat
pelaksana) dalam melaksanakan kejahatan.
 Dari sudut Objektif : bahwa wujud apa dari perbuatan yang dilakukan oleh pembuat pembantu
hanyalah bersifat mempermudah atau mempelancar pelaksanaan kejahatan. Mengenai wujud
perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu secara oebjektif berperan
mempermudah atau mempelancar penyelesaian kejahatan, dan tidak menyelesaikan kejahatan.
Penyelesaian kejahatan bergantung pada perbuatan pembuat pelaksananya.

A. SYARAT - SYARAT UNTUK DIPIDANANYA MELAKUKAN PERCOBAAN


KEJAHATAN

Pada dasarnya didalam Pasal 53 KUHP Telah ditetapkan sebagai berikut :

" Mencoba melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata - mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri"

Pasal 53 KHUP tidak menyebutkan apa percobaan itu, akan tetapi hanya menetapkan dalam keadaan apa
percobaan dapat dipidana, yaitu jikalau memenuhi syarat - syarat berikut :

1. Harus Ada Niat dari pelaku

Sangat dipersoalkan apakah niat untuk melakukan kejahatan mempunyai kedudukan yang sama pada
percobaan sebagaimana kedudukan kesengajaan pada delik dolus yang selesai. Dalam yurisprudensi niat
sering disamakan dengan kesengajaan (Anda dapat Melihat Putusan HR 6 Februari 1951).

2. Permulaan Pelaksanaan

Soal berikutnya ialah apakah arti permulaan pelaksanaan?? Nah untuk dapat dipidananya percobaan
diisyaratkan adanya permulaan pelaksanaan. Agar pembuat undang - undang bermaksud bahwa
persiapan belum termasuk bidang percobaan yang dapat dipidana dan baru memasuki kalau perbuatan
yang dilakukan dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan. Batas antara perbuatan persiapan yang belum
dapat dipidana dan perbuatan pelaksanaan yang sudah dipidana, baru ditentukan secara abstrak dalam
pasal 53 KUHP, akan tetapi doktrin dan praktiknya yang harus menarik secara konkret. Dalam litelatur
terdapat dua aliran yang menggunakan tolak ukur yang berbeda untuk memisahkan perbuatan persiapan
dari perbuatan pelaksanaan. Dalam praktiknya,hasilnya tentu saja berbeda. Berhadapanlah ajaran
percobaan yang subjektif dan objektif.

Ajaran yang bersifat Subjektif lebih ke istilah " Permulaan pelaksanaan" dalam Pasal 53 KUHP sebagai
permulaan pelaksanaan dari niat sehingga bertolak dari sikap bathin yang berbahaya dari pembuat dan
menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai setiap perbuatan yang menunjukan bahwa pembuat secara
psikis sanggup melakukannya. Sedangkan ajaran Objektif menafsirkan istilah "Permulaan Pelaksanaan"
dalam pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan sehingga bertolak dari
bahayanya perbuatan bagi tertib hukum menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai setiap perbuatan
yang membahayakan kepentingan hukum. Pada intinya ajaran Subjektif bertitik tolak dari ukuran batin
si pembuat, sedangkan ajaran objektif bertitik tolak pada sudut wujud perbuatannya.

Undang - undang sendiri tidak memberikan petunjuk yang jelas kemana arah yang harus diikuti untuk
menentukan hal adanya permulaan pelaksanaan. Di dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 53 Ayat
(1) ini ada sedikit keterangan yang menyatakan bahwa :

"Poeging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door
een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen"

Yang dapat kami terjemahkan :

"Percobaan untuk melakukan kejahatan  ialah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang
telah dimulai akan tetapi  ternyata tidak selesai, ataupun sesuatu kehendak untuk melakukan suatu
kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan" (1990:511).

Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang objektif materiil, Simons berpendapat bahwa :

 Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut
dalam rumusan delik.
 Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai atau dilakukan perbuatan
yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang - undang
tanpa memerlukan perbuatan lain.

3. Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Semata - Mata Disebabkan Kehendaknya Sendiri.

Pada syarat ketiga ini, ada 3 unsur atau hal yang sangat penting untuk dibahas yaitu :

 Arti tentang pelaksaan : pelaksanaan (Uitvoering) atau lengkapnya perbuatan pelaksanaan


(Uitvoeringshandelingen) adalah perbuatan yang didahului oleh permulaan pelaksanaan (Begin
van Uitvoering), dan yang telah berhubungan langsung dengan kejahatan yang diperbuat, yang
artinya ialah inilah satu - satunya perbuatan yang langsung dapat melahirkan kejahatan secara
sempurna, tanpa harus ada perbuatan lain lagi (Ukuran Objektif). Dalam tindak pidana formil,
perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang berhubungan langsung dengan unsur perbuatan
terlarang dalam rumusan kejahatan tertentu, Sedangkan dalam hal tindak pidana Materiil,
perbuatan pelaksaan adalah tingkah laku yang berhubungan langsung dengan perbuatan yang
dapat menimbulkan akibat terlarang yang dirumuskan dalam undang - undang. (Adami Chazawi,
3 :47).
 Pengertian Pelaksanaan Yang Tidak Selesai : pelaksanaan yang tidak selesai artinya adalah
perbuatan itu telah dimulai dilaksanakan yang pada saat itu sedang berlangsungnya kemudian
berhenti, dalam arti apa yang menjadi syarat selesainya perbuatan itu tidak terpenuhi. Apa yang
menjadi syarat selesainya perbuatan tidak terpenuhi, adalah berlainan untuk setiap kejahatan,
tergantung dari unsur perbuatan apa yang ditetapkan dalam rumusan kejahatan. Contohnya :
seorang pencuri telah masuk rumah, dan dia telah mengangkat sebuat televisi (Pelaksanaan
perbuatan mengambil), tiba - tiba kesetrum kabel yang terbuka, kemudian benda terlepas dan
jatuh, karena suara jatuhnya televisi, penghuni bangun, dan dia lari terbirit - birit meninggalkan
benda yang hendak dicurinya. 
 Pengertian Tidak Selesai Pelaksanaan Bukan Sebab Kehendaknya Sendiri : pada syarat ketiga ini
untuk dapat dipidananya percobaan kejahatan adalah  tidak selesainya pelaksanaan semata - mata
disebabkan oleh hal diluar kehendaknya. Arti kebalikannya adalah, apabila tidak selesainya
pelaksanaan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri (vrijwillige terugtred) maka orang itu tidak
dipidana. Pengunduran diri sukarela syaratnya adalah pada keadaan tertentu dari suatu perbuatan
Misalkan telah mengarahkan moncong pistol ketubuh korban, dia dapat meneruskan pelaksanaan
kejahatan itu tanpa ada halangan, Misalkan dengan hanya tinggal menarik pelatuknya, namum
kesempatan untuk meneruskan pelaksanaannya tidak dipergunakan, dia tidak menarik pelatuk
pistolnya. Sedangkan motif apa seseorang mengundurkan secara sukarela tidak penting,misalnya
takut dosa,rasa kasihan atau takut masuk penjara.

B. BATAS ANTARA PERBUATAN PERSIAPAN DENGAN PERMULAAN


PELAKSANAAN.

Mengenai batas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan, antara ajaran percobaan 
subjektif dan Objektif mengahsilkan kesimpulan yang tidak sama. Karena ukuran yang dipergunakan
oleh kedua ajaraan tersebut berbeda. Oleh sebab itu ajaran subjektif itu menitikberatkan pada niat atau
kehendak untuk melakukan kejahatan, maka setiap perbuatan apapun sebagai upaya untuk melakukan
kejahatan, semua itu sudah dapat dimasukan kedalam perbuatan permulaan pelaksanaan atau bisa juga
perbuatan pelaksanaan. Karena ajaran subjektif ini tidak bisa ditentukan secara tegas mana perbuatan
persiapan, mana permulaan pelaksanaan dan mana pelaksanaan. Bagi ajaran subjektif, yang terpenting
semua perbuatan apapun, misalkan membeli pisau dipasar sudah dapat dimasukan kedalam permulaan
pelaksanaan, jika membeli pisau itu dalam hubungannya dengan niat untuk membunuh seseorang.

C. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU

Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya
perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang -
undang tidak timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat disebabkan
karena tidak mampunya obyek (Misal : mencoba menggugurkan kandungan yang ternyata tidak hamil,
mencoba membunuh orang yang ternyata sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang ternyata
kosong dsb). Atau bisa saja karena tidak mempunyai alat yanf digunakan (Misal : mencoba membunuh
orang dengan gula yang dikirannya racun dsb). Perbedaan antara percobaan mampu dan tidak mampu
ini sebenarnya hanya ada pada mereka yang menganut teori percobaan yang objektif, karena hanya
menitik beratkan pada sifat  berbahayanya perbuatan. 

D. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN.

Telah dikemukankan bahwa menurut sistem KUHP, yang dapat dipidana hanyalah pembuat percobaan
terhadap kejahatan, sedangkan pembuat percobaan pelanggaran tidak dipidana. Dalam hal percobaan
terhadap kejahatan, maka menurut Pasal 53 ayat (2) KUHP maksimum pidana yang dapat dijatuhkan
adalah maksimum pidana untuk kejahatan (Pasal) yang bersangkutan dikurangi sepertiga (⅓). Jadi
misalkan untuk percobaan pembunuhan (53 jo. 338 KUHP), maksimumnya adalah 10 Tahun penjara.
Bagaimanakah apabila kejahatan yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara semur hidup,
seperti halnya dalam Pasal 340 KUHP (Pembunuhan berencana)?? Menurut pasal 53 Ayat (3) KUHP,
maksimum pidana yang dapat  dijatuhkan hanya 15 Tahun Penjara. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila
kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana tambahannya menurut pasal 53 ayat (4)
KUHP adalah sama dengan kejahatan selesai.

Anda mungkin juga menyukai