KESENGAJAAN
Kesengajaan sebagai arah batin yang paling kuat dengan timbulnya perbuatan tidak mempunyai
batasan yang sangat jelas ketika WvS (KUHP) pertama kali di rumuskan tahun 1881. Namun memori
penjelasan MvT menyebutkan bahwa Kesengajaan merupakan Suatu Kehendak untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatan - perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang - Undang.
Secara teoritis kesengajaan tidak hanya merupakan kehendak ( Willens Theorie ) tetapi juga berarti
mengetahui (Voor Stelling Theorie). Sehingga kesengajaan terkait dengan kehendak atau pengetahuan
pelaku akan perbuatan yang dilakukan.
Kesengajaan secara Gradual dapat kami sajikan sebagai berikut :
1. Kesengajaan sebagai maksud (Opzet Als Oogmerk) : mempunyai arti bahwa arah batin pelaku
menuju secara langsung kepada terjadinya akibat. Dengan demikian petindak menghendaki
melakukan perbuatan beserta akibatnya.
2. Kesengajaan sebagai kepastian (Opzet bij zekerheids bewustzijn) : mempunyai arti bahwa
akibat itu sedemikian pastinya sehingga pembuat sebenarnya tidak dapat mengabaikannya dan
kalau dia berbuat juga, maka tidak dapat dikatakan lain daripada dia yang menghendakinya
juga.
3. Kesengajaan sebagai kemungkinan (Dolus eventualis atau opzet bij mogelijkheidsbewustzijn) :
mempunyai arti bahwa pelaku lebih senang melakukan tindakan tersebut meskipun
kemungkinan terjadinya akibat tersebut sangat besar.
Penerapan kesengajaan ini mengenal adanya dua sifat yaitu kesengajaan berwarna (gekleurd)
dan kesengajaan tidak berwarna (kleur loss).
1. Kesengajaan berwarna mensyaratkan bahwa pelaku tidak hanya menghendaki perbuatan,
melainkan pelaku juga harus mengetahui perbuatanya melawan hukum (Dolus Malus). Jadi
pelaku juga harus mengetahui bahwa perbuatan yang melawan hukum. Pandangan ini sudah
banyak ditinggalkan karena akan terjadi beban yang sulit bagi jaksa dan hakim karena harus
membuktikan bahwa pelaku memang menyadari perbuatannya melawan hukum.
2. Kesengajaan tidak berwarna hanya mensyaratkan apabila petindak menghendaki perbuatannya
dan tidak perlu dibuktikan bahwa pelaku mengetahui perbuatannya merupakan perbuatan
melawan hukum.
Penempatan unsur sengaja pada rumusan delik tidak sama, namun terdapat prinsip bahwa semua
unsur yang terletak dibelakang unsur sengaja akan diliputi unsur ini ( MvT), sedangkan yang terletak di
depannya diobjektifkan (tidak perlu dikuasai unsur ini). Prinsip ini berlaku juga terhadap penggunaan
istilah lain dari unsur sengaja misalnya Pasal 167 KUHP (Mengganggu ketentraman rumah)
pengecualian dari prinsip ini adalah Pasal 187 KUHP.
Dari Rumusan unsur Sengaja tersebut, terdapat beberapa istilah yang digunakan antara lain :
1. Opzettelijk (dengan sengaja), antara lain dalam rumusan Pasal 333 KUHP, 338 KUHP, Pasal
372 KUHP dan sebagainya.
2. Watende dat (sedang ia mengetahui), sebagaimana terdapat di dalam Pasal 204,220,279
KUHP.
3. Waarvan hij weet (yang ia ketahui) seperti yang telah dirumuskan pada Pasal 480 KUHP.
4. Met het oogmerk (dengan tujuan) terdapat dalam Pasal 362 KUHP.
5. Tegen beter weten (bertentangan dengan apa yang diketahui) terdapat di dalam Pasal 311
KUHP.
6. Met het kennelijk doel (dengan tujuan yang ia ketahui) seperti pada Pasal 310 KUHP.
Di dalam rumusan unsur sengaja adakalanya berdampingan dengan unsur melawan hukum, dengan
menggunakan kata " dan " dan ada yang tidak. Terhadap rumusan tersebut ada 3 pandangan yaitu :
a. Rumusan yang berbeda itu mempunyai arti yang berbeda. Kata " dan " menunjukan posisi yang
sejajar, sehingga unsur sengaja tidak perlu ditunjukan pada unsur melawan hukumnya
perbuatan. Jadi unsur melawan hukum tersebut di " objektifkan " meskipun terletak dibelakang
unsur sengaja. Penganut pandangan ini adalah Van Hamel, Simons, Pompe dan H.R.
b. Rumusan yang berbeda tersebut tidak mempunyai arti yang berbeda,karena merupakan dua
hal yang terpisah. Pandangan ini tidak banyak di anut.
c. Rumusan yang berbeda itu mempunyai arti berbeda , namun berbeda dengan pandangan yang
pertama diatas. Menurut pandangan ini meskipun ada kata " dan " unsur kesengajaan harus
ditujukan pula kepada unsur melawan hukum sesuai dengan prinsip bahwa semua unsur di
belakang unsur sengaja diliputi oleh unsur tersebut. Penganut pandangan ini adalah Vos,
Langemeyer dan Zevenberger.
Di dalam Ilmu hukum pidana mengenal adanya beberapa jenis kesengajaan yaitu :
a. Dolus peremeditatus ,yaitu kesengajaan yang disertai dengan rencana lebih dahulu ( met
voorbedachte rade ). Dijelaskan bahwa tentang pengertian adanya " rencana lebih dahulu "
diperlukan situasi memikirkan dengan tenang. Jadi sipembuat maupun sebelum atau ketika
melakukan perbuatan tersebut memikirkan secara wajar tentang apa yang dilakukan atau akan
dilakukan.
b. Dolus determinus dan indeterminus, yaitu didasarkan pada obyeknya. Dolus determinus
obyeknya pasti orang tertentu misalnya seorang perempuan, sedangkan dolus indeterminus
sebaliknya tidak menentukan obyek tertentu.
c. Dolus alternatifus yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada salah satu dari obyek yang dipilih.
d. Dolus indirectus dan versari in re illicita menyatakan semua akibat dari perbuatan yang
disengaja, dituju atau tidak , diduga atau tidak dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan
sengaja . Ajaran ini ditolak oleh pembuat Undang - Undang . Sedangkan ajaran yang mirip
dengan ajaran ini adalah versari in re illicita menyebutkan bahwa semua perbuatan terlarang
dipertanggungjawabkan atas semua akibatnya.
e. Dolus directus yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya tetapi juga
kepada akibat dari perbuatanya itu.
f. Dolus genaril yaitu dalam kesengajaan ini maksud petindak betapapun telah tercapai, walaupun
mungkin akibat itu bukan disebabkan perbuatan petindak.
B. KEALPAAN
Dalam KUHP tidak diatur mengenai pengertian kealpaan. Tetapi dalam memorie Van Toelichting
disebutkan bahwa kealpaan disatu pihak berlawanan dengan kesengajaan dilain pihak. Kealpaan
merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan akan tetapi bukan kesengajaan
ringaan. Kealpaan dapat diartikan sebagai kurang penduga - duga atau kurang penghati - hati. Pada
kata yang lain dari kealpaan adalah CULPA ,sembrono, atau nalatigheid.
Perbarengan peraturan atas beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokok yang
sama berat. Dalam hal ini penjatuhan pidananya adalah terhadap salah satu diantara aturan -
aturan itu. Mengenai kemungkinan yang pertama ini, disimpulkan dari kalimat "jika suatu
perbuatan masul dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu
diantara aturan - aturan itu". (Kalimat pertam Ayat 1). Meskipun dalam kalimat itu tidak secara
tegas disebutkan ancaman pidana pokok yang sama beratnya, namun jika dihubungkan dengan
kalimat berikutnya ialah "jika berbeda - beda, yang dikenakan ialah yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat" (Ayat 1), maka tiada lain artinya mengenai pidana dalam
kalimat yang pertama, adalah dalam hal pidana pokok yang sama berat.
Perbarengan peraturan atas beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana pokoknya tidak
sama berat. Dalam hal ini pidana yang dijatuhkan adalah pidana memuat ancaman pidana
pokoknya yang paling berat. Contohnya membunuh dengan memasang bom mobil. Disini satu
perbuatan memasang bom mobil melanggar Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana
dan jika bom meledak maka melanggar Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang. Maka
dalam perbarengan peraturan ini hanya dijatuhkan satu pidana saja yang terberat yakni
terhadap pelanggaran Pasal 340 KUHP tanpa ada pemberatan. Sementara terhadap Pasal 406
telah dianggap terhisap oleh pelanggaran Pasal 340 KUHP.
Perbarengan pertauran dimana satu perbuatan masuk atau diatur dalam suatu aturan pidana
umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus. Maka pidana yang dijatuhkan
adalah pidana yang diancamkan pada aturan pidana yang khusus (Ayat 2). Ketentuan sistem
pemidanaan ini merupakan perwujudan dari asas "Lex Specialis Derogat Legi Generalis"
(berasal dari hukum romawi) yang dianut dalam hukum pidana kita.
Lalu Bagaimana dengan pidana tambahan dalam hal perbarengan peratura?? Untuk menjawab
persoalan ini telah secara tegas ditentukan dalam Pasal 68, yang bunyi rumusannya sebagai berikut :
1.) Berdasarkan hal - hal dalam Pasal 65 dan 66, tentang pidana tambahan berlaku aturan sebagai
berikut :
Pidana - pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, yang lamanya paling sedikit 2 (dua)
tahun dan paling banyak 5 (lima) tahun melebihi pidana pokok atau pidana - pidana pokok yang
dijatuhkan. Jika pidana pokok hanya pidana denda saja, maka lamanya pencabutan hak paling sedikit
2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
Pidana - pidana pencabutan hak yang berlainan dijatuhkan sendiri - sendiri tanpa dikurangi.
Pidana - pidana perampasan barang - barang tertentu , begitu pula halnya dengan pidana kurungan
pengganti karena barang - barang tidak diserahkan, dijatuhi sendiri - sendiri tanpa dikurangi.
2.) Pidana kurungan - kurungan pengganti jumlahnya tidak boleh melebihi 8 (delapan) tahun.
A. Pengertian Penyertaan dan Alasan Dipidananya Pembuat Tindak Pidana Dalam Penyertaan.
Pada dasarnya didalam KUHP, subjek hukum tindak pidana adalah orang. Rumusan tindak pidana
dimulai dengan barangsiapa (hij die) atau diluar KUHP dimulai dengan (setiap orang). Barangsiapa
atau setiap orang adalah orang dan orang tersebut hanya satu orang. Satu orang inilah yang disebut
dader (pembuat tunggal). Pembuat tunggal adalah orang yang melakukan tindak pidana secara pribadi.
Berbuat sendiri dan bertanggungjawab sendiri. Tidak melibatkan seseorang dalam melakukan tindak
pidana. Dalam hal terwujudnya tindak pidana tidak menutup kemungkinan ditimbulkan oleh suatu
perbuatan yang dilakukan oleh beberapa orang. Misalkan, empat orang (A,B,C,dan D) telah bersepakat
untuk membunuh seseorang. Dalam melaksankan pembunuhan itu, suatu malam ketika si korban
tertidur, empat orang itu masuk kedalam rumah korban dengan dengan cara memanjat pagar, dua
Orang (A dan B) menjaga diluar rumah, Satu orang (C) mencongkel pintu, satu orang lagi (D) masuk
rumah menuju kamar korban, dan menikamkan sebuah pisau ke arah perut korban secara terus -
menerus, sehingga menyebabkan korban mengalami luka parah dan meninggal dunia. Dalam
pembunuhan tersebut 4 orang terlibat. Masing - masing perbuatan berbeda - beda, namun antara
perbuatan yang satu saling berkaitan dengan perbuatan lainnya yang mengarah langsung pada satu
tujuan yaitu kematian korban. Pembunuhan tersebut dapat diselesaikan oleh perbuatan masing -
masing orang yang wujudnya tidak sama. Perbuatan masing - masing itulah yang menimbulkan tindak
pidana pembunuhan.
Empat orang tersebut dibebani pertanggungjawaban pidana dan dipidana. Dalam hal untuk
membenani pertanggungjawaban pidana dan menjatuhkan pidana kepada mereka inilah diperlukan
ketentuan penyertaan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 55, 56, 57, 58, 59 dan 60 KUHP.
Tidak cukup dengan ketentuan Pasal 338 KUHP saja. Apabila tidak dibentuk ketentuan penyertaan,
maka orang yang dapat dipidana hanyalah terhadap D saja, karena perbuatan D saja yang memenuhi
semua unsur Pasal 338 KUHP.
Daftar Isi
A. Pengertian Penyertaan dan Alasan Dipidananya Pembuat Tindak Pidana Dalam Penyertaan.
B. Bentuk - Bentuk Penyertaan (Deelneming)
1. Mereka yang melakukan (Pembuat Pelaksana : Pleger).
2. Mereka Yang Menyuruh Melakukan (Pembuat Penyuruh : Doen Pleger).
3. Mereka Yang Turut Serta Melakukan (Pembuat Peserta : Medepleger)
4. Orang Yang Sengaja Menganjurkan (Pembuat Penganjur : Uitlokker).
5. Pembantuan
Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan,dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2). Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja diajurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta
akibat - akibatnya.
Dari kedua Pasal (55 dan 56) tersebut, dapatlah kita ketahui bahwa penyertaan dibedakan dalam dua
kelompok yaitu :
1). Pertama, kelompok orang - orang yang perbuatannya disebutkan dalam Pasal 55 Ayat (1),
yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader) adalah mereka :
Yang melakukan (plegen), orang yang disebut dengan pembuat pekaksana (pleger)
Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orang disebut dengan pembuat penyuruh (doen pleger),
Yang turut serta melakukan (mede plegen), orang yang disebut dengan pembuat peserta (mede
pleger) dan,
Yang sengaja menganjurkan (uitlokken),yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur
(uitlokker).
2). Kedua, yaitu orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahatan, yang
dibedakan menjadi :
Dalam hal ini perlu kami jelaskan bahwa pembuat dalam pengertian dader, telah jelas ialah pembuat
tunggal, dialah yang melakukan tindak pidana secara pribadi, artinya tidak ada orang lain yang terlibat
serta baik fisik (objektif) maupun secara psikhis (subjektif). Sementara pembuat dalam rumusan Pasal
55 Ayat (1) melakukan tindak pidana tidak secara pribadi, melainkan bersama - sama dengan orang
lain dalam mewujudkan tindak pidana. Apabila kita lihat dari sudut perbuatan masing - masing berdiri
sendiri, perbuatan tersebut hanyalah memenuhi syarat/unsur tindak pidana. Semua syarat tindak
pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, akan tetapi oleh rangkaian peristiwa perbuatan
semua peserta.
Oleh sebab itu dapat kita simpulkan bahwa yang sama dengan pembuat (dader), bukanlah perbuatan
masing - masing orang yang terlibat yang disebut dalam Pasal 55 KUHP. Melainkan tanggung
jawabnya. Tanggung jawab si pembuat pelaksana, pembuat penyuruh, pembuat peserta dan pembuat
penganjur adalah sama dengan tanggung jawab pembuat tunggal (dader).
Berikut ini akan kami jelaskan secara terperinci tentang pembuat pelaksana, pembuat penyuruh,
pembuat peserta dan pembuat penganjur sebagai berikut :
1. Mereka yang melakukan (Pembuat Pelaksana : Pleger).
Untuk menentukan seorang pembuat tunggal (dader), tidaklah sukar. Kriteriannya jelas, ialah
perbuatannya telah memenuhi semua unsur tidak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud
perbuatannya ialah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana.
Sementara dalam tindak pidana materiil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat
yang dilarang oleh undang - undang. Jika ada orang lain yang ikut terlibat ke dalam tindak pidana, baik
secara fisik maupun psikhis, apakah syarat dari seorang dader harus juga menjadi syarat seorang
pleger?? Oleh sebab itu seorang pleger merupakan orang yang karena perbuatannya yang
menimbulkan tindak pidana, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksana tindak pidana tidak akan
terwujud, oleh karena itu dari sudut pandang perbuatannya (objektif) syarat seorang pleger harus sama
dengan syarat seorang dader. Perbuatan seorang pleger juga harus memenuhi semua usnur tindak
pidana, sama dengan perbuatan seorang dader. Muncul pertanyaan, Lalu apa bedanya seorang pleger
dan dader?? Bedanya ialah, pleger masih diperlukan keterlibatannya minimal seorang lainnya, baik
secara psikhis, contohnya terlibat dengan seorang pembuat pembuat penganjur atau terlibat dengan
pembuat peserta atau pembuat pembantu. Jadi seorang pleger diperlukan sumbangan dari peserta
lain dalam hal mewujdukan tindak pidana.
2. Mereka Yang Menyuruh Melakukan (Pembuat Penyuruh : Doen Pleger).
Dalam KUHP tidak menerangkan siapa yang dimaksud dengan doen pleger. Dalam mencari
pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh lakukan (doen pleger) banyak ahli hukum merujuk
pada keterangan yang ada di dalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa " yang menyuruh
melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan
dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa
kesengajaan, kealpaan, atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan
atau tunduk pada kekerasaan."
Pada penjelasan atau uraian MvT tersebut dapat kita tarik unsur - unsur dari bentuk pembuat
penyuruh, yaitu :
Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat didalam tangannya,
Orang lain tersebut bebuat, tanpa kesengajaan,
Tanpa Kealpaan,
Tanpa tanggungjawab, oleh sebab keadaan (yang tidak diketahuinya, karena disesatkan, dan
karena tunduk pada kekerasan).
Ada dua orang yang sama - sama bersepakat untuk membakar sebuah kandang kuda milik orang lain.
Mereka berdua masuk kandang kuda itu. Didalam kandang kuda itu ada loteng dan disana ditempatkan
rumput kering (hooi) untuk makanan kuda. Untuk membakar kandang kuda itu dilakukan dengan cara
membakar rumput kering diatas loteng. Untuk pembakaran itu satu orang (A) menaiki sebuah tangga
untuk mencapai loteng, sedangkan (B) memegang tangga. Pada mulanya dengan sebuah korek api (A)
mencoba membakar rumput, namun gagal. Dengan maksud agar mudah terbakar, B mengumpulkan
daun - daun kering yang kemudian diserahkan kepada A. Setelah beberapa kali menyulutkan korek api
pada rumput diloteng, akhirnya berhasil juga si A membakar rumput kering, dan seterusnya api
menjalar dan meluas sehingg terbakarlah seluruh kandang kuda.
Hoge Raad menghukum B karena salahnya telah turut serta (pembuat peserta) melakukan
pembakaran (Pasal 187 KUHP, sedangkan A berkualitas sebagai pembuat pelaksana.
4. Orang Yang Sengaja Menganjurkan (Pembuat Penganjur : Uitlokker).
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur disebut juga auctor intellectualis). Rumusan
selengkapnya dalam Pasal 55 Ayat (1) ke-2 adalah : "mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan".
Apabila rumusan tersebut hendak dirinci, maka unsur - unsurnya adalah :
1. Unsur - Unsur Objektif terdiri dari :
Unsur perbuatan, adalah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan
Dengan memberikan sesuatu
Dengan menjanjikan sesuatu
Dengan menyalahgunakan kekuasaan
Dengan menyalahgunakan martabat
Dengan kekerasan
Dengan ancaman
Dengan penyesatan
Dengan memberi kesempatan
Dengan memberikan sarana
Dengan memberkkan keterangan.
Dari sudut Subjektif : kesengajaan pembuat pembantu dalam dia mewujudkan perbuatan
bantuannya (baik sebelum pelaksanaan maupun sesudah pada saat pelaksanaan kejahatan)
ditujukan pada hal untuk mempermudah atau mempelancar bagi orang lain (pembuat
pelaksana) dalam melaksanakan kejahatan.
Dari sudut Objektif : bahwa wujud apa dari perbuatan yang dilakukan oleh pembuat pembantu
hanyalah bersifat mempermudah atau mempelancar pelaksanaan kejahatan. Mengenai wujud
perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu secara oebjektif berperan
mempermudah atau mempelancar penyelesaian kejahatan, dan tidak menyelesaikan kejahatan.
Penyelesaian kejahatan bergantung pada perbuatan pembuat pelaksananya.
" Mencoba melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata - mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri"
Pasal 53 KHUP tidak menyebutkan apa percobaan itu, akan tetapi hanya menetapkan dalam keadaan apa
percobaan dapat dipidana, yaitu jikalau memenuhi syarat - syarat berikut :
Sangat dipersoalkan apakah niat untuk melakukan kejahatan mempunyai kedudukan yang sama pada
percobaan sebagaimana kedudukan kesengajaan pada delik dolus yang selesai. Dalam yurisprudensi niat
sering disamakan dengan kesengajaan (Anda dapat Melihat Putusan HR 6 Februari 1951).
2. Permulaan Pelaksanaan
Soal berikutnya ialah apakah arti permulaan pelaksanaan?? Nah untuk dapat dipidananya percobaan
diisyaratkan adanya permulaan pelaksanaan. Agar pembuat undang - undang bermaksud bahwa
persiapan belum termasuk bidang percobaan yang dapat dipidana dan baru memasuki kalau perbuatan
yang dilakukan dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan. Batas antara perbuatan persiapan yang belum
dapat dipidana dan perbuatan pelaksanaan yang sudah dipidana, baru ditentukan secara abstrak dalam
pasal 53 KUHP, akan tetapi doktrin dan praktiknya yang harus menarik secara konkret. Dalam litelatur
terdapat dua aliran yang menggunakan tolak ukur yang berbeda untuk memisahkan perbuatan persiapan
dari perbuatan pelaksanaan. Dalam praktiknya,hasilnya tentu saja berbeda. Berhadapanlah ajaran
percobaan yang subjektif dan objektif.
Ajaran yang bersifat Subjektif lebih ke istilah " Permulaan pelaksanaan" dalam Pasal 53 KUHP sebagai
permulaan pelaksanaan dari niat sehingga bertolak dari sikap bathin yang berbahaya dari pembuat dan
menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai setiap perbuatan yang menunjukan bahwa pembuat secara
psikis sanggup melakukannya. Sedangkan ajaran Objektif menafsirkan istilah "Permulaan Pelaksanaan"
dalam pasal 53 KUHP lebih sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan sehingga bertolak dari
bahayanya perbuatan bagi tertib hukum menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai setiap perbuatan
yang membahayakan kepentingan hukum. Pada intinya ajaran Subjektif bertitik tolak dari ukuran batin
si pembuat, sedangkan ajaran objektif bertitik tolak pada sudut wujud perbuatannya.
Undang - undang sendiri tidak memberikan petunjuk yang jelas kemana arah yang harus diikuti untuk
menentukan hal adanya permulaan pelaksanaan. Di dalam MvT mengenai pembentukan Pasal 53 Ayat
(1) ini ada sedikit keterangan yang menyatakan bahwa :
"Poeging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door
een begin van uitvoering geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen"
"Percobaan untuk melakukan kejahatan ialah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang
telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun sesuatu kehendak untuk melakukan suatu
kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan" (1990:511).
Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang objektif materiil, Simons berpendapat bahwa :
Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut
dalam rumusan delik.
Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai atau dilakukan perbuatan
yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang - undang
tanpa memerlukan perbuatan lain.
Pada syarat ketiga ini, ada 3 unsur atau hal yang sangat penting untuk dibahas yaitu :
Mengenai batas antara perbuatan persiapan dengan permulaan pelaksanaan, antara ajaran percobaan
subjektif dan Objektif mengahsilkan kesimpulan yang tidak sama. Karena ukuran yang dipergunakan
oleh kedua ajaraan tersebut berbeda. Oleh sebab itu ajaran subjektif itu menitikberatkan pada niat atau
kehendak untuk melakukan kejahatan, maka setiap perbuatan apapun sebagai upaya untuk melakukan
kejahatan, semua itu sudah dapat dimasukan kedalam perbuatan permulaan pelaksanaan atau bisa juga
perbuatan pelaksanaan. Karena ajaran subjektif ini tidak bisa ditentukan secara tegas mana perbuatan
persiapan, mana permulaan pelaksanaan dan mana pelaksanaan. Bagi ajaran subjektif, yang terpenting
semua perbuatan apapun, misalkan membeli pisau dipasar sudah dapat dimasukan kedalam permulaan
pelaksanaan, jika membeli pisau itu dalam hubungannya dengan niat untuk membunuh seseorang.
Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya
perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut undang -
undang tidak timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat disebabkan
karena tidak mampunya obyek (Misal : mencoba menggugurkan kandungan yang ternyata tidak hamil,
mencoba membunuh orang yang ternyata sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang ternyata
kosong dsb). Atau bisa saja karena tidak mempunyai alat yanf digunakan (Misal : mencoba membunuh
orang dengan gula yang dikirannya racun dsb). Perbedaan antara percobaan mampu dan tidak mampu
ini sebenarnya hanya ada pada mereka yang menganut teori percobaan yang objektif, karena hanya
menitik beratkan pada sifat berbahayanya perbuatan.
Telah dikemukankan bahwa menurut sistem KUHP, yang dapat dipidana hanyalah pembuat percobaan
terhadap kejahatan, sedangkan pembuat percobaan pelanggaran tidak dipidana. Dalam hal percobaan
terhadap kejahatan, maka menurut Pasal 53 ayat (2) KUHP maksimum pidana yang dapat dijatuhkan
adalah maksimum pidana untuk kejahatan (Pasal) yang bersangkutan dikurangi sepertiga (⅓). Jadi
misalkan untuk percobaan pembunuhan (53 jo. 338 KUHP), maksimumnya adalah 10 Tahun penjara.
Bagaimanakah apabila kejahatan yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara semur hidup,
seperti halnya dalam Pasal 340 KUHP (Pembunuhan berencana)?? Menurut pasal 53 Ayat (3) KUHP,
maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 Tahun Penjara. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa KUHP, maksimum pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila
kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana tambahannya menurut pasal 53 ayat (4)
KUHP adalah sama dengan kejahatan selesai.