Anda di halaman 1dari 8

NOTA PEMBELAAN

No. Reg Perkara: 12/Pid.B/12/2020


Atas Nama Terdakwa BIAN bin ANDRA

Kepada Yth.
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara A Quo

Yang bertandatangan dibawah ini,


1. Muhammad Sholahudin Al Ayyubi, S.H.
2. Fikri Ali Zulkifli, S.H.
Kesemuanya adalah advokat pada kantor pengacara Al Ayyubi & Rekan, yang berkantor
di Perumahan Bandung Indah Blok A Nomor 3 RT 1 RW 7 Kota Bandung, dalam hal ini
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 22 Desember 2020 bertindak sebagai Penasihat
Hukum untuk dan atas nama Terdakwa:
Nama : Bian bin Andra
Tempat Lahir : Kediri
Umur/Tanggal Lahir : 35 tahun / 21 Juli 1985
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Perumahan Surya Indah Blok E Nomor 6 RT 2 RW
13, Desa Nanggeleng, Kecamatan Cicaheum, Kota
Bandung
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan Buruh

Dalam Perkara ini Terdakwa didakwa dengan dakwaan yang berbentuk Subsidair –
Kumulatif, dengan uraian sebagai berikut:

KESATU
Primair : Pasal 340 jo.Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)
Subsidair : Pasal 338 jo.Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)
DAN
KEDUA
Pasal 181 joPasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Setelah membaca dan mempelajari Surat Dakwaan dan juga Surat Tuntutan yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa, sesuai
dengan ketentuan Pasal 182 Ayat (1) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), akan mengajukan nota pembelaan dengan resume sebagai berikut.

Dakwaan Pertama
Primair
1. Unsur “Barangsiapa”
Dalam surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan unsur
“barangsiapa” hanya dengan argumentasi bahwa Terdakwa Firman bin Utina dalam
persidangan dalam keadaan sehat dan tidak ada satupun alasan yang ditemukan dalam diri
terdakwa untuk meniadakan atau menghapuskan kesalahan Terdakwa. Tentunya argumentasi
seperti ini kurang pantas untuk disampaikan dalam pengadilan untuk membuktikan unsur
dalam suatu tindak pidana.Tentunya Jaksa Penuntut Umum sebagai seorang sarjana hukum,
dapat memikirkan argumentasi yang lebih cerdas untuk membuktikan unsur tersebut.
Berdasarkan Pasal 340 KUHP, unsur “barangsiapa” bukan merupakan delik
inti, tetapi hanya sebagai elemen delik yang menunjukan subjek hukum yang didakwa
melakukan tindak pidana yang pembuktiannya bergantung kepada pembuktian unsur delik
lainnya.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 951-K/Pid/1982
tertanggal 10Agustus 1983 dengan nama Terdakwa Yojiro Kitajima, yang antara lain
menerangkan bahwa unsur “barangsiapa”hanya merupakan kata ganti orang di mana unsur ini
harus mempunyai makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur pidana lainnya. Oleh karena
itu, haruslah unsur “barangsiapa” dibuktikan dengan unsur-unsur delik lainnya dalam delik
yang didakwakan.
Dengan demikian, hadirnya terdakwa dalam persidangan tidaklah berarti unsur
“barangsiapa” langsung terbukti, tanpa dibuktikannya juga unsur-unsur delik lainnya.Setelah
terbukti unsur-unsur lainnya barulah Jaksa Penuntut Umum dapat menyatakan bahwa unsur
“barangsiapa” telah terbukti.
Dengan demikian unsur “barangsiapa” TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN
MEYAKINKAN.

2. Unsur “Dengan Sengaja Dan Direncanakan Terlebih Dahulu”


Unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana merupakan salah satu unsur yang
terpenting. Berkaitan dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila dalam rumusan tindak
pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut opzettelijk, maka unsur
kesengajaan ini meliputi semua unsur lain yang dibelakangnya harus dibuktikan.
Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukanya itu dilakukan
“dengan sengaja,” terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau menurut
penjelasan MvT (Memorie van Toelechting) bisa disebut dengan willens en wetens. Yang
dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan “dengan sengaja” itu
haruslah memenuhi rumusan willens yaitu harus menghendaki apa yang ia perbuat dan
memenuhi unsur wettens yaitu harus mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Jika dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel, maka dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai “dengan sengaja” adalah kehendak membuat suatu
perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari
pebuatanya tersebut yang menjadi maksud dari dilakukanya perbuatan itu. Maka pembuktian
adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga
perbuatanya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku hanya dikaitkan dengan
keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang
dituduhkan kepadanya tersebut.
Mengenai unsur “direncanakan terlebih dahulu” dalam KUHP sendiri tidak ada
penjelasan tentang apa yang dimaksud sebagai direncakan terlebih dahulu. Namun, penjelasan
tentang unsur direncanakan terlebih dahulu dapat dilihat dalam MvT (Memorie van
Toelichting) yang menyatakan bahwa istilah met voorbedachte rade atau “dengan rencana
terlebih dahulu” menunjuk pada suatu saat untuk menimbang dengan tenang. Istilah tersebut
merupakan kebalikan dari pertumbuhan kehendak yang dengan tiba-tiba.Bahwa tidak ada
ketentuan berapa lamanya harus berlaku diantara saat timbulnya maksud untuk melakukan
perbuatan itu dengan saat dilaksanakanya. Akan tetapi, nyatalah harus ada suatu antara dimana
ia dapat menggunakan pikiranya tentang guna merencanakan segala sesuatunya. Begitupula
menurut R. Soesilo dalam bukunya Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara
Pidana Bagi Penegak Hukum), halaman 203, menyatakan, bahwa saat antara timbulnya
kehendak dengan pelaksanaanya tidak boleh terlalu sempit, tetapi juga sebaliknya tidak perlu
terlalu lama, yang terpenting adalah apakah di dalam tempo itu pelaku sudah memiliki
kesempatan untuk berubah pikiran dan tidak jadi melanjutkan perbuatanya.
Dalam konteks Pasal 340 KUHP, untuk lebih jelasnya lagi, terkandung tiga syarat
yaitu, memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup sejak
timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak itu, dan pelaksanaan kehendak
tersebut dalam suasana tenang. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang mengandung
maksud bahwa memutuskan kehendak dengan tenang. Artinya pada saat pelaku memutuskan
kehendaknya untuk membunuh, keadaan batin orang tersebut dalam keadaan tenang, tidak
berada dalam keadaan tergesa-gesa, tidak dalam keadaan terpaksa dan tidak berada dalam
keadaan emosi tinggi.Maka dari itu kehendak yang diputuskan oleh pelaku merupakan
kehendak yang dilakukan dalam suasana batin yang tenang.
Tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan
kehendak itu. Merupakan syarat yang bersifat relatif. Persoalanya adalah bukan lamanya
waktu.Tersedianya waktu yang cukup mengandung pengertian bahwa dalam tempo waktu
yang tersedia itu, pelaku masih dapat berpikir dengan tenang.Jadi persoalanya tidak pada
masalah lamanya waktu, tetapi persoalan lamanya waktu yang cukup itu lebih mengarah pada
penggunaan waktu yang tersedia itu. Artinya, apakah dalam waktu yang tersedia itu benar-
benar telah dapat untuk berpikir dengan tenang atau tidak. Sekalipun masalah tersedianya
waktu yang cukup itu tidak menunjuk pada persoalan lamanya waktu, tetapi tersedianya waktu
yang cukup tersebut, tidak boleh menunjuk pada suatu waktu yang terlalu singkat. Sebab
apabila terlalu singkat kesempatan untuk berfikir dengan tenang tersebut mungkin tidak terjadi.
Tidak mungkin rasanya seseorang dapat berpikir dengan tenang dalam waktu yang
singkat, biasanya dalam waktu yang sangat singkat itu orang justru berfikir secara tergesa-gesa,
panik dan tidak terencana. Apabila waktu yang tersedia itu tidak cukup dan diikuti pula dengan
perasaan takut, khawatir dan sebagainya. Dalam waktu yang demikian, jelas sama sekali tidak
menggambarkan suasana batin yang tenang.
Berdasarkan uraian tersebut terkait dengan “dengan sengaja”, bisa dikatakan bahwa
jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatanya itu atau
ada hubungan lahir yang merupakan hubungan sebab antara perbuatan pelaku dengan akibat
yang dilarang itu, maka hukum pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan
pidananya itu. Sebab pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya secara jelas dapat
ditimpakan kepada pelaku. Tetapi jika hubungan kausal tersebut tidak ada maka
pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidananya itu tidak dapat ditimpakan kepada
pelakunya itu sehingga hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelakunya itu.
Terkait konteks “dengan rencana terlebih dahulu”, maka apabila pikiran-pikiran untuk
membunuh tersebut dalam keadaan marah, tidak tenang, waktu yang terlalu singkat, yang
berakibat akan berfikir secara tergesa-gesa, panik, dan tidak terencana, dan dalam suatu
suasana kejiwaan yang tidak memungkinkan untuk berfikir dengan tenang, maka disitu tidak
ada unsur perencanaan.
Dengan demikian, unsur “Dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu”, TIDAK
TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.

3. Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”


Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu
haruslah merupakan perbuatan yang positif atau aktif walaupun dengan perbuatan sekecil
apapun. Jadi perbuatan tersebut haruslah diwujudkan secara aktif dengan gerakan sebagian
anggota tubuh. Oleh karenanya perbuatanya dapat berupa bermacam-macam perbuatan.
Dimana perbuatan tersebut berujung dengan timbulnya suatu akibat hilangnya nyawa orang
sebagai persyaratan mutlak.
Dalam unsur “merampas nyawa orang lain” terdapat sifat obyektif dan subyektif, sifat
obyektif yaitu dilihat dari perbuatanya yang menghilangkan nyawa dengan obyek orang lain.
Sifat subyektif yaitu dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat syarat-syarat
yang harus dipatuhi, yaitu adanya wujud perbuatan, adanya suatu kematian orang lain, dan
adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat kematian orang lain.
Terhadap unsur ini, Saudara Penuntut Umum menyatakan Terdakwa telah merampas
nyawa orang lain yaitu korban Ronald Alimudin dan Sri Magdalena. Meskipun demikian
konstruksi hukumnya, kami selaku Penasihat Hukum berbeda pendapat dengan Penuntut
Umum.Hal ini berkaitan dengan perbuatan Terdakwa terhadap Korban yang tidak dapat
dilakukan penuntutan hukuman lagi meskipun dalam faktanya terungkap dari keterangan
terdakwa telah menghilangkan nyawa Korban, namun tanpa didukung saksi yang mengetahui
kejadian secara langsung sehingga meyebabkan potensi terjadinya kesalahan terbuka lebar
untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Dengan Demikian, Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”,TIDAK TERBUKTI
SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
SUBSIDAIR

1. Unsur “Barangsiapa”
Unsur “Barangsiapa” telah diuraikan dalam analisis yuridis Dakwaan Primair diatas.

2. Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”


Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain” telah diuraikan dalam analisis yuridis
Dakwaan Primair diatas.

DAKWAAN KEDUA

1. Unsur “Setiap Orang”


Unsur “Setiap Orang” telah diuraikan dalam analisis yuridis unsur “barangsiapa”
Dakwaan Primair diatas.

2. Unsur “Menyembunyikan Kematian”


Untuk membuktikan unsur ini, harus dititik-beratkan kepada maksud dari Terdakwa
untuk menyembnyikan korban, hal ini juga menunjukan bahwa Terdakwa juga harus memiliki
rencana untuk menyembunyikan mayat korban.
Seperti yang disebutkan dalam penguraian unsur “dengan segaja dan rencana terlebih
dahulu”, istilah dengan rencana menunjuk kepada suatu saat untuk menimbang dengan tenang,
Untuk membuktikan perencanaan itu haruslah ada 3 syarat yang diperhatikan yaitu:
memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya
kehendak sampai dengan pelaksanaannya, dan pelaksanaan kehendak tersebut dalam kondisi
tenang.
Melihat kepada kondisi psikologis Terdakwa pada saat itu yang beradadalam
suasana shock, panik dan sedang berada dalam kondisi emosi tinggi, maka sangatlah tidak
mungkin Terdakwa dapat memenuhi 3 (tiga) syarat tersebut. Sehingga sudah tentu Terdakwa
tidak memiliki rencana, ataupun maksud untuk menyembunyikan kematian.
Oleh karena itu unsur “Menyembunyikan Kematian Korban”, TIDAK TERBUKTI
SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
Karena terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidair - kumulatif, maka dengan tidak
terbuktinya salah satu unsur dsalam dakwaan pertama dan/atau dakwaan kedua, maka seluruh
dakwaan yang diajukan kepada terdakwa, TIDAK TERBUKTI.

PERMOHONAN
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan juga analisis yang telah
kami paparkan, maka kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa dengan segala kerendahan hati
kami, memohon kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara A Qou untuk menjatuhkan Putusan
dengan amar sebagai berikut:

PRIMAIR
1. Menyatakan bahwa Terdakwa Bian bin Andra, tidak bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
2. Membebaskan Terdakwa Bian bin Andra dari seluruh dakwaan dan tuntutan hukum.
3. Memulihkan hak terdakwa dalam hal kemampuan, kedudukan, harkat, dan
martabatnya.
4. Membebankan biaya perkara kepada negara.

SUBSIDAIR
Apabila Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo berpendapat lain, maka kami memohon
agar Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono).

Demikianlah Nota Pembelaan ini kami bacakan dan serahkan pada hari Senin, 28
Desember 2030 di Pengadilan Negeri Bandung.Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati
dan memberikan bimbingan kepada Majelis Hakim, agar dapat menjatuhkan putusan yang
seadil-adilnya dan membawa manfaat bagi semua pihak.
Hormat Kami,
Penasihat Hukum Terdakwa
Al Ayybi & Rekan
Muhammad Sholahudin Al Ayyubi, S.H. Fikri Ali Zulkifli, S.H.

Anda mungkin juga menyukai