Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

DELIK DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Anggota Kelompok:

Honney Saputra Suwanto/04020200386

Alif Adjitama/04020200389

M Yudha Taqiyyah/04020200384

Mujahidin/04020200397

Ridwan/04020200593

Muhammad Naufal Pramudya/04020200431

FAKULTAS HUKUM UMI

2021
KATA PENGANTAR

Pertama kami mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT. Yang maha penolong,
karena berkat pertolongan-Nya lah makalah ini bisa kami susun dan dapat selesai.
Makalah ini disusun agar kita dapat menambah wawasan kita tentang Hukum Pidana.

Makalah ini di buat dalam rangka pembelajaran mata kuliah Hukum Pidana.
Pemahaman tentang Delik dan pertanggungjawaban Pidana dan hal-hal yang
berkaitan dengannya sangat diperlukan. Dengan suatu masalah dapat diselesaikan dan
dihindari kelak. Sekaligus menambah wawasan bagi kita semua.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu selaku Dosen Hukum
Pidana Universitas Muslim Indonesia. Dalam menyususn makalah ini yang berjudul
“Delik dan pertanggungjawaban Pidana” sebagai bahan pembelajaran bagi kami.
Makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karena kami juga masih dalam
tahap pembelajaran. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca.

Penulis

Kelompok 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………..

DAFTAR ISI………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang……………………………………………………………………..

Rumusan Masalah…………………………………………………………………

Tujuan Makalah……………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN

Pengertian dan Unsur-unsur Delik Menurut Beberapa Orang Sarjana Hukum……

Perbuatan Kriminal;Delik………………………………………………………….

Unsur Melawan Hukum dalam Arti Formil dan Materiil………………………….

Perlawanan Hukum Subyektif dan Perlawanan Hukum Obyektif ………………..

Pertanggungjwaban Menurut Hukum Pidana……………………………………..

BAB III

Kesimpulan………………………………………………………………………..

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kalau dipelajari pasal_pasal KUUHP dan undang-undang pidana lain yang
dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia, maka akan ternyata bahwa
tidak ditemukan definisi tentang delik dan pertanggungjawban pidana. Tiap-
tiap pasal undang-undang tersebut menguraikan unsur-unsur delik yang
berbeda-beda, bahkanada pasal KUUHP yang hanya menyebut kualifikasi
delik. Di dalam pasal-pasal KUUHP, Buku II dan III ditemukan unsur-unsur
delik dan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana bercampur baur sehingga
dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat pemidanaan dipersamakan dengan
delik, membawa konsekuensi bahwa unsur_unsur itu harus pula
dibuktikannya di depan siding pengadilan negeri. Hal itu tidak berarti bahwa
hanya unsur yang disebut secara expressis verbis (tegas) di dalam undang-
undang, namun diakui sebagai unsur, misalnya unsur melawan hukum yang
materiel dan tidak adanya dasar pembenar. Unsur-unsur yang tidak dengan
tegas disebut di dalam undang-undang biasa dinamakan unsur diam-diam,
yang tidak perlu dimuat di dalam dakwaan penuntut umum dan tidak perlu
dibuktikan. Unsur diam-diam diterima adanya sebagai asumsi, namun
demikian terdakwa (dan penasihat hukumnya) dapat membuktikan ketiadaan
unsur-unsur itu. Misalnya seorang dukun penyumat di sebuah kampong yang
tidak mempunyai Puskesmas yang diadili karena menyunat orang tanpa izin
praktek, dituntut karena menganiaya, dapat membuktikan bahwa perbuatanya
tidak melawan hukum (materieel), karena profesinya diakui oleh masyarakat
dan oleh karena itu dirasakan tidak tercela.
3

Seorang petinju di suatu pertandingan tinju memukul roboh lawannya sampai


mati atau lawannya memperoleh luka berat tidak akan dipidana
menghilangkan nyawa orang lain atau menganiaya berat orang lain sesuai
dengan pasal 338 atau pasal 359 KUUHP, karena adu orang yang disebagian
besar negara-negara di dunia ini dianggap sekedar olah raga dan kalau ada
orang bertaruh uang tidak juga dianggap delik perjudian menurut pasal 303
bis (1) KUUHP, karena sudah menjadi kebiasaan. Begitu pun Panitia adu tinju
tidak akan dituntut melanggar pasal 303 (1) 2e KUUHP, yaitu mengadakan
atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum. Demikian pun
pengurus dan penjual kupon SDSB, pada hal membeli SDSB adalah termasuk
main judi menurut pasal 303 (3) KUUHP. Sebaliknya, menurut praktek
pelaksanaan hukum pidana di Indonesia, orang bertaruh uang dalam sabung
ayam dan adu ayam (cockfight dan cockboxing) akan dituntut dan diadili,
walaupun menimbulkan pertanyaan: Apakah hak-hak asasi ayam lebih tinggi
nilainya daripada hak-hak asasi manusia? Melawan hukum materieelnya suatu
perbuatan ditentukan oleh pelaksanaan hukum pidana secara de factor, dan
oleh masyarakat secara de jure.

Walaupununsur-unsur tiap-tiap delik berbeda, namun pada umumnya


mempunyai unsur-unsur yang sama, yaitu:
a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif.
b. Akibat (khusus delik-delik yang dirumuskan secara materiel).
c. Melawan hukum formil yang berkaitan dengan asas legalitas, dan
melawan hukum materiel (unsur diam-diam), dan
d. Tidak adanya dasar pembenar.
4

Selain itu, beberapa detik masih mempunyai unsur lain misalnya keadaan
yang secara obyektif memperberat pidana, syarat tambahan untuk dapat
dipidananya terdakwa. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban kriminal
pembuatan delik adalah sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggungjawab.
b. Kesalahan pembuat: kesengajaan dalam tiga coraknya dan culpa lata
dalam dua coraknya.
c. Tak adanya dasar pemaaf.

Tidak semua unsur-unsur perbuatan kriminal dan unsur-unsur


pertanggungjawaban kriminal tersebut dinyatakan secara expressis verbis
(secara tegas) di dalam undang-undang pidana. Misalnya ada kalanya unsur
melawan hukum tidak disebut, demikian pun ketiadaan dasar pembenar. Yang
dinyatakan dengan tegas oleh. Kadang-kadang juga unsur kesalahan tidak
disebut tetapi dapat disimpulkan dari kata kerja yang digunakan oleh undang-
undang misalnya mengambil. Awalan memenunjukan bahwa pengambilan
barang ex pasal 362 KUUHP berarti dengan sengaja memindahkan barang
kedalam kekuasan pembuat delik secara de facto. Kadang-Kadang juga
undang-undang tidak memakai kata sengaja atau lalai. Misalnya dalam pasal
489 KUUHP perkataan “ diketahuinya” mengandung pengertian kesengajaan,
sedangkan perkataan “patut dapat diduganya” mengandung pengertian culpa
lata. Adapun ketiadaan dasar pemaaf tidak juga disebut di dalam uraian delik
di dalam KUUHP.
5

Tidak disebutnya unsur-unsur delik dan unsur-unsur pertanggungjawaban


pembuat delik tersebut di atas, tidaklah berarti bahwa hal itu bukan unsut
konstitutif setiap delik dan pertanggungjawab pembuat. Oleh Hazewinkel-
Suringa (162 – 163) unsur delik yang tidak disebut dengan tegas di dalam
undang-undang pidana dinamakannya kenmerk atau ciri, misalnya melawan
hukumannya perbuatan yang tidak disebut dengan tegas dinamakannya
bestanddeel (bagian inti). Perlu penulis kemukakan, bahwa Hazewinkel-
Suringa sebagaimana halnya dengan para sarjana hukum pidana di Nederland
dan di Indonesia, termasuk pembuat undang-undang pidana, berpandangan
dualistis terhadap delik, Oleh karena itu kemampuan bertanggung jawab dan
ketiadaan dasar pembenar dan dasar pemaaf dimasukkanya kategori ciri delik.
Jonkers (1946:64) menamakan bestanddeel sebagai uitdrukkelijkelement
(unsur yang disebut dengan tegas) dan kenmerk (ciri) dinamakannya
stilzwijgend element, yang dalam karangan ini penulis namakan unsur diam-
diam.

Supaya para pembaca tidak bingung karena digunakannya macam-macam


istilah untuk element (unsur), perlu juga penulis kemukakan bahwa van
Bemmelen (1986:100-102) menyebut element delik yang tidak disebut dengan
tegas, tetapi dianggap hanyalah element (unsur). Jadi berbeda dengan
anggapan umum, yaitu element atau unsur dipandang sebagai bestanddeel
(bagian inti). Pada umumnya para sarjana hukum, antara lain van Bemmelen
(1986:101) berpendapat bahwa syarat dipidana peristiwa (feit) dan pembuat
(deder) yang tidak disebut dengan tegas di dalam pasal-pasal undang-undang,
misalnya kata “melawan hukum” tidak disebut dalam pasal 351 dan 338
KUUHP, tidak perlu ditulis oleh penuntut umum dalam dakwaannya, dan juga
tidak perlu dibuktikannya. Ia dengan sendirinya dianggap telah ada, sampai
terdakwa (atau penasihat hukumnya) membuktikan ketidakadanya.
6

Demikian halnya kemampuan bertanggung jawab, karena setiap orang


terdakwa difiksikan mampu bertanggung jawab sampai dibuktikan
ketidakmampuannya di depan siding pengadilan. Sebagai penjelasan perlu
penulis kemukakan bahwa penulis menggunakan istilah usnur (element) untuk
semua syarat bagi perbuatan yang melawan hukum, dan yang tidak disebut
dengan tegas dalam undang-undang penulis namakan unsur diam-diam
(stizwijgende elementen).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu delik dan unsur-unsur delik menurut beberapa orang sarjana
hukum
2. Pemahaman unsur melawan hukum dalam arti formil dan materiil
3. Pertanggungjwaban menurut hukum pidana

C. Tujuan Makalah
7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan unsur-nsur delik menurut beberapa orang


sarjana hukum.
Pertama pendapat dari Prof. Mr. D. Simons, guru besar ilmu hukum pidana di
Universitas Utrecht, serta Prof. Mr. G.A. van Hamel, guru besar ilmu hukum
pidana Universitas Kerajaan di Leiden. Menurut Simons (Hazewinkel-Suringa.
1973:65), bahwa strafbaar feit (terjemahan harafiah: peristiwa pidana) ialah
perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang
yang mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah
kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan
lalai). Dari rumus tersebut Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana
(criminal act) yang meliputi perebuatan dan sifat melawan hukum perbuatan dan
pertanggungjawaban pidana (criminal liability) yang mencakup kesengajaan,
kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.Van Hamel
(1927:169) menguraikannya sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh
undang-undang, melawan hukum, strafwaardig (patut atau bernilai untuk
dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en an schuld te wijten). Kalau
penulis tidak keliru maka makna kesalahan (schuld) menurut van Hamel lebih
luas lagi dari pada pendapat Simons, karena meliputi kesengajaaan,kealpaan serta
kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab. Sekali gus van Hamel menyatakan
bahwa istilah strafbaar feit tidak tepat,tetapi beliau menggunakan istilah
strafwaardig feit (peristiwa yang bernilai atau patut dipidana).

8
Pendapat tersebut berasal dari Van der Hoeven (Hazewinkel Suringa. 1973:63)
yang sebelum di 1984, berpendapat bahwa pembatlah yang dapat dipidana dan
bukan peristiwa. Yang dimaksud peristiwa di sini meliputi perbuatan aktif dan
perbuatan passif, yang hanya dapat dilarang atau diperintahkan untuk dilakukan
oleh undang-undang. Jadi peristiwa yang bermakna menurut hukum pidana, dan
bukan peristiwa alam atau yang ditimbulkan oleh hewan. Unsur-unsur strafbaar
feit menurut van Hamel meliputi perbuatan; perbuatan itu ditentukan oleh hukum
pidana tertulis (asas legalitas) yang mungkin dapat disejajakan dengan
Tatbestanddalam hukum pidana Jerman; melawan hukum; bernilai atau patut
dipidana yang mugkin sejajar dengan subsocialiteit atau het subsociale ajaran
Prof. Mr. M.P. Vrij, atau barangkali sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum
yang materieel yang akan diuraikan berikut : kesengajaan, kealpaan, atau
kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.
Vos (1950:25) memberikan definisi yang singkat, bahwa strafbaar feit ialah
kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan
diberikan pidana.
Pompe (1959:28) memberikan dua macam definisi, yaitu yang bersifat teoretis
dan yang bersifat perundang-undangan. Definisi teoretis, ialah pelanggaran norm
(kaidah; tatahukum), yang diadakan karena kesalaham pelanggar, dan yang harus
diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tatahukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum.
Definisi tersebut sekaligus menggambarkan tujuan hukum pidana, yaitu
mempertahankan tatahukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum yang
sesuai dengan U.U.D. 1945.

9
Menurut hukum positif, demikian Pompe (loc.cit), peristiwa pidana itu suatu
peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung handeling
(perbuatan) dan nalaten (pengabaian); tidak berbuat; berbuat pasif) biasanya
dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian
perbuatan dan keadaan yang ikut serta, yang disebut gedragstype itulah disebut
uraian delik. Misalnya untuk mengetahui bagian inti suatu delik, yang diberi gelar
pencurian maka haruslah dibaca pasal 362 KUUHPidana, yaitu:
1. Perbuatan mengambil sebagai per buatan delik yang sebenarnya;
2. Pengambilan itu harus menyangkut suatu barang;
3. Barang itu seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain
4. Pengambilan itu dilakukan dengan maksud untuk memilikinya dengan
melawan hukum.

B. Perbuatan Kriminal;Delik
Kelakuan; Perbuatan
Suatu detik dapat diwujudkan dengan kelakukan aktif atau positif, sesuai dengan
uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya mencuri (pasal 362 KUUHPidana)
dan lain-lain. Delik demikian dinamakan delictum commissionis
Ada juga ketentuan undang-undang yang mensyaratkan kelakuan pasif atau
negative, seperti misalnya pasal 164-165, 224, 522, 523, 529, 531 KUUHPidana.
Delik semacam ini terwujuddengan mengabaikan apa yang diperintahkan oleh
undang-undang untuk dilakukan, yang dinamakan delictum atau delicta
omissionis. Di samping itu ada juga delik yang dapat dinamakan delicta
commissionis per omissionem comissa. Delik demikian antara lain diuraikan di
dalam pasal 341 KUUHPidana, yaitu seorang ibu yang dengan sengaja
menghilangkan nyawa anaknya dengan jalan tidak memberikannya makanan.

10
Pasal 194 KUUHPidana juga mengandung delik deikian, yaitu seorang penjaga
pintu kereta api yang dengan sengaja tidak menutup pintu kereta api pada waktu
waktunya, yang menyebabkan terjadinya kecelakan lalu lintas. Delik ini dapat
juga terjadi dengan berbuat positif, yaitu barang siapa yang memasang rintangan
atau melepaskan paku-paku rel jalan kereta api atau trem yang menimbulkan
bahaya lalu lintas umum.

C. Unsur Melawan Hukum dalam Arti Formil dan Materiil


Kalau diteliti pasal-pasal KUUHPidana dan ketentuan-ketentuan perundang-
undangan pidanya diluarnya, maka ternyata bahwa ada pasal dan ketentuan yang
mencantumkan kata melawan hukum, dan ada juga yang tidak. Pada umunta para
sarjana hukum pidana menyatakan, bahwa melawan hukum merupakan unsur tiap
delik-delik, dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Apa sebanya sehingga tidak dicantumkan saja dalam tiap-tiap pasal
KUUHPidana?
Hal itu dilakukan oleh pembuat undang-undang, dalam beberapa hal:
1. Bilamana dari rumus undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah
demikian sudah wajar sikap melawan hukumnya, sehingga tidak perlu
dinyatakan secara eksplisit;
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau
bertentangan dengan kaidah materieel yang berlaku baginya, orang karena itu
sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan
pidana adalah onzinnig, tidak masuk akal; sifat melawan hukumnya perbuatan
merupakan salah syarat pemidanaan (Enschede dan Heijder. 1974:133).

11
Rudolf Stammler dalam tahun 1902 dalam bukunya berjudul Die Lehre von dem
Richtigen Recht telah menyatakan pada penilaian tentang ketepatan suatu kaidah
hukum selalu tergantung pada waktu dan tempat tertentu (van Apeldoorn.
1952:362). Penganut terkemuka freirechtsbewegung, yaitu antara lain Gnaeus
Flavius alias Hermann Kantorowicz (Algra et al.1977:375) menyatakan juga
bahwa undang-undang mengandung banyak kekosongan dan merupakan tugas
hakim untuk mengisinya. Penganut aliran ini membela mati-matian pemakaian
penegertian itikad baik, adat istiadat, pendapat msyarakat.

Berdasarkan pendapat kedua tokoh klasik tersebut, maka sifat melawan hukum itu
dapat diterima. Di bidang hukum pidana kita dianut asas legalitas yang tercantum
didalam pasal 1 ayat 1 KUUHPidana, yang mensyaratkan bahwa di samping
penilaian materiil kita juga diwajibkan untuk menganut paham formeel, d.k.l.
bahwa di samping atau di atas lapangan formil, kita juga harus meninjau
lapangan, sehingga dari perpaduan antara dua segi itu, tentulah isi atau makna
perbuatan pidana (delik), demikian Moeljatno (19832:20).

Dikatakan formeel, karena undang-undang pidana melarang atau memerintahkan


perbuatan itu disertai ancaman sanksi bagi barangsiapa yang melanggar atau
mengabaikannya. Disebut dengan uraian di dalam undang-undang, masih harus
diteliti tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu memang tercela dan
patut dipidana pembuatnya atau tidak tercela, atau pun dipandang sifatnya
terlampau kurang celaannya sehinga pembuatnya tak perlu dijatuhi sanksi hukum
pidana, tetapi cukup dikenakan sanksi kaidah-kaidah hukum lain atau kaidah
sosial lain. Tinjauan demikian menurut Moeljanto sesuai dengan asas
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang merupakan sendi negara (dan bangsa,
pen) kita (198322:35).

12
Pandangan formil terhadap sifat melawan hukum dianut oleh Simons (Simons-
Pompe.1937 dan 1941:273), yang berpendapat, bahwa untuk dapat dipidana maka
peristiwa yang dilakukan harus dicakup oleh uraian undang-undang, sesuai
dengan isi delik berdasarkan ketentuan pidana di dalam undang-undang. Dalam
hal terjadi demikian maka pada umumnya tidaklah lagi tepat untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan hukum. D.k.l. bilamana suatu
perbuatan memenuhi syarat uraian delik, maka per definitionem telah ada
perlawanan hukum.

D. Perlawanan Hukum Subyektif dan Perlawanan Hukum Obyektif


Masih perlu dibedakan antara perlawanan hukum yang subyektif dan perlawanan
hukum yang obyektif.
Moeljatno (19822:26) dalam hubungan ini menyatakan:
Ada atau tidak adanya perbuatan pidana dari apa yang telah dikatakan di atas,
adalah tergantung dari hal, apakah perbuatan sebagai yang dirumuskan dalam
undang-undang dipernilaian sebagai melawan hukum atau tidak. Adapun
pernilaian itu pada dalam batin orang yang melakukan, dimaksud untuk
mewujudkan itu. Dalam hal demikian,maka arah yang menuju ke ditentukan dari
unsur-unsur lahir. Tetapi dari sejarah perumusan perbuatan pidana ternyata
bahwa, yang perlu dilarang adalah bukan saja perbuatan-perbuatan yang dari
keadaan lahirnya ternyata bersifat melawan hukum, bahkan juga perbuatan-
perbuatan yang meskipun menurut sifat lahirnya tidak melawan hukum, tapi
dalambatin orang yang melakukan, dimaksud untuk mewujudkan itu.

13
Dalam hal demikian, maka arah yang menuju ke melawan hukum yang baru ada
didalam hati orang yang melakukan perbuatan, itu dimasukkan dalam pernilaian
pula, sehingga dalam delik-delik macam itu, yang dipernilai bukan saja perbuatan
sebagai telah ternyata dalam alam kenyataan, yaitu kearah mana, atau untuk apa
perbuatan tersebut dimaksudkannya. Unsur batin itu dinamakan “subjektif
(seharusnya: subjektief, pen.) onrechtselement” (unsur melawan hukum yang
subyektif).—tulisan kursif dari pen.---

Menurut Moeljatno (loc.cit.) contohnya terdapat di dalam delik pencurian ex


pasal 362 KUUHPidana dan delik-delik percobaan ex pasal 53 KUUHPidana.
Supaya lebih jelas, penulis cantumkan di bawah ini bunyi pasal 362
KUUHPidana:

“Barangsiapa mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau sebagiannya


termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilikinya secara
melawan hukum, dipersalahkan sebagai pencurian, akan dipidana penjara paling
lama lima tahun atau denda paling banyak 900 rupiah.”

Dari uraian tersebut, terdapat kata dengan maksud, yang dalam ilmu hukum
pidana termasuk sengaja sebagai maksud atau niat, yang andai kata tidak disusul
oleh kata melawan hukum, akan termasuk unsur pertanggungjawaban hukum
pidana. Namun karena antara kedua kata itu tersebut tidak terdapat kata dan,
maka maksud di situ diarahkan ke sifat melawan hukumnya perbuatan, dan
menjelma menjadi melawan hukumnya yang subyektif, karena penilaian dalam
hal ini harus ditunjukkan pada sikap batin pembuatnya untuk melakukan
perbuatan pencurian, dan bukan penilaian obyektif, yaitu penilaian hakim
berdasarkan penilaian masyarakat.
14
Namun demikian perlu penulis ingatkan, bahwa Moeljatno, menurut hemat
penulis juga masih mensyaratkan penilaian obyektif tentang sifat melawan hukum
di samping unsur melawan hukum yang subyektif, hal mana dapat penulis
tangkap dari kata kata beliau “yang dipernilai bukan saja perbuatan sebagai telah
ternyata dalam alam kenyataan. . . . .”. Jadi dalam hal delik pencurian terdapat
unsur melawan hukum subyektif, dan unsur diam-diam (stilzwijgende element),
yaitu unsur melawan hukum yang obyektif. Misalnya dalam kasusjoyriding, yaitu
seorang yang mengambil mobil orang lain dengan maksud untuk mamakainya
berkeliling di dalam kota bersama-sama dengan tiga orang kawan-kawannya. Dari
keterangan terdakwa dan kawan-kawannya yang dijadikan sanksi-sanksi hakim
mengetahui bahwa maksud terdakwa tidak untuk memiliki mobil itu secara
melawan hukum, dan menurut kenyataan memang mobil itu ditinggalkan di tepi
jalan raya. Selain dari sikap batin terdakwa yang harus diteliti oleh hakim, ia juga
mengetahui bahwa perbuatan joyriding memang sering dilakukan oleh anak-anak
nakal, dan hal itu diketahui secara umum dalam masyrakat. Hakim dalam hal ini,
seperti beberapa kali dilakukan di Nederland sebelum berlakunya pasal 37
W.V.V. (Undang-undang Lalu Lintas Jalan) pada tahun 1951 menjatuhkan pidana
kepada joyrider sebagai mencuri bensin dan tidak sebagai mencuri mobil.
Ketentuan semacam pasal 37 W.V.V. belum ada di Indonesia, yang mengancam
pidana bagi barangsiapa dengan sengaja menggunakan kendaraan bermotor orang
lain di jalan raya secara melawan hukum. Pasal W.V.V tersebut dibentuk
berhubungan karena sering konstruksi pencurian bensin tidak memuaskan, dalam
hal joyrider itu mengisi kembali tanki bensin kendaraan itu kepada pemiliknya.

Lain halnya, jikalau undang-undang tidak menghubungkan kata maksud dan


melawan hukum itu, atau di antara kedua kata itu ditempatkan kata dan. Misalnya
pasal 406 KUUHPidana berbunyi:

15
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membuat sehingga tak dapat dipakai atau menghilangkan suatu barang yang
seluruhnya atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain, akan dipidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.

Oleh karena kata ‘dan’ mengantarai kata sengajadan melawan hukum, maka di
situ sengaja merupakan unsur pertanggungjawaban pidana pembuat delik dan
bukan unsur delik, karena kata sengaja itu tidak diarahkan ke sifat melawan
hukum. Unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum disini bukanlah sesuatu
yang bersifat subyektif, tetapi bersifat obyektif, yaitu hakim harus menilainya dari
kejadian yang nyata berdasarkan ukuran penilaian masyarakat, dan ia tidak perlu
menyelidiki sikap batin yang berhubungan dengan sifat melawan hukumnya
perbuatannya. Selain dari itu kata sengaja tersebut lebih luas daripada kata
maksud, karena meliputi tiga macam corak (schakeringen).

E. Pertanggungjwaban Menurut Hukum Pidana


Pertanggungjawaban merupakan salah satu prinsip yang mendasar di dalam
hukum pidana, atau dikenal dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geern
straf zonder schuld). Tetapi, apabila pertanggungjawaban pidana tanpa adanya
kesalahan dalam diri si pelaku tindak pidana disebut leer van het materiele feit.
Sedangkan di dalam KUHP sendiri tidak ada penjelasan mengenai apa yang
dimaksud dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, tetapi asas ini merupakan
hukum tidak tertulis dan berlaku juga di Indonesia. Oleh karena itu,
membicarakan pertanggungjawaban pidana harus diperhatikan pengertian dua hal,
sebagai berikut:
a. Tidak pidana (daad strafrecht)
b. Pelaku tindak pidana (dader strafrecht)
16
Pengertian kedua hal tersebut di atas, harus diperhatikan denga seksama, karena
didalam hukum pidana dikenal prinsip-prinsip bahwa suatu perbuatan yang
telahmemenuhi semua unsur tindak pidana belum tentu si pelakunya dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana. Perlu ditegaskan kembali bahwa
pertanggungjawaban pidana hanya dapat diberlakukan kepada si pelaku tindak
pidana, apabila dirinya mempuyai kesalahan atau dapat disalahkan karena
melakukan tindak pidana.

Unsur kesalahan di dalam diri si pelaku tindak pidana inilah yang akan menjadi
dasar pertimbangan bagi hakim atau syarat umum untuk menjatuhkan pidana
(algemene voorwaarde voor strafbaarheid). Prakteknya asas “tiada pidana tanpa
kesalahan” oleh beberapa negara termasuk indonesia tidak selalu dilaksanakan
secara murni atau yang dikenal dengan asas “pidana tanpa kesalahan” atau “strict
strafrecht”. Apabila “strict strafrecht” yang diikuti, maka penjatuhan pidana tidak
lagi dibutuhkan unsur kesalahan, artinya penjatuhan pidana itu tidak ditentukan
ada atau tidaknya unsur kesalahan, melainkan didasarkan pada perbuatan yang
dilakukan atau akibat dari dari perbuatan yang dilakukan. Akan tetapi, tidak
semua jenis tindak pidana diberlakukan asas strict strafrecht, melainkan beberapa
jenis tindak pidana tertentu terutama jenis tindak pidana yang dikualifikasikan
sebagai tindak pidana berat atau jenis pelanggaran tertentu. Asas “tiada pidana
tanpa kesalahan” sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1930 terutama di negara-
negara yang menganut sistem Anglo Saxon yang dirumuskan sebagai “actus non
facit reum, nisi mens sit rea”. Menurut asas ini bahwa suatuperbuatan belum
dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan kesalahan pelakunya, kecuali
perbuatan yang dilakukan itu didasari niat jahat. Sedangkan rumusan asas “actus
non facit reum, nisi mens sit rea” pada dasarnya terdiri atas dua asas, yaitu
“actusreus” dan “mens rea”.
17

Actus reus, adalah asas kesalahan yang didasarkan karena suatu perbuatan yang
dikehendaki pelaku dan mencocoki rumusan tindak pidana dalam undang-undang
(wederrechtelikheid).
Sedangkan mens rea, adalah asas kesalahan yang menunjukkan keadaan jiwa
yang mendasari seseorang yang dengan sengaja untuk melakukan suatu tindak
pidana. Dengan demikian, sesuatu perbuatan yang telah memenuhi atau
mencocoki unsur-unsur yang dirumuskan sebagai tindak pidana, belumlah cukup
bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada si pelakunya, kecuali si pelakutelah
memenuhi syaratsyarat tertetu untuk disebut mempunyai kesalahan.

Oleh karenanya, bilamana si pelaku dimintai pertanggungjawaban atas tindak


pidana yang dilakukan terlebih dahulu harus dikoreksi keadaan jiwanya, apabila
dirinya dapat disalahkan, maka dirinya pun tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana, artinya meskipun melakukan tindak pidana apabila
dirinya tidak dapat disalahkan karena keadaan jiwanya, maka dirinya tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan

1. Kemampuan bertanggung jawab


Asas "tiada pidana tanpa kesalahan" sering disebut sebagai jantungnya
hukum pidana, karena persoalan pertanggungjawaban pidana berpegang
kepada suatu prinsip, yaitu disyaratkan adanya unsur kesalahan di dalam
diri seseorang. Walaupun, KUHP maupun peraturan-peraturan lain di luar
KUHP tidak secara tegas memberikan penjelasan apa yang dimaksud
dengan kesalahan, prinsip kesalahan ini telah diakui dan menjadi dasar
pertimbangan bagi hakim bilamana akan menjatuhkan pidana kepada
pelaku tindak pidana.
18
Artinya, apabila seseorang itu tidak dapat disalahkan atas tindakpidana
yang dilakukan, konsekuensinya adalah ia tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana berarti pelaku yang dimintai
pertanggungjawaban pidana disyaratkan toerekeningsvatbaarheid
(kemampuan bertanggung jawab). Oleh karena itu, kemampuan
bertanggung jawab tersebut harus diketahui hubungan antara keadaan jiwa
seseorang dan perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Keadaan jiwa
seseorang itu harus sedemikian rupa, sehingga keadaan jiwa itu sebagai
dasar penilaian bahwa ia mempunyai kemampuan bertanggungjawab.
Kemampuan bertanggung jawab itulah yang akan dijadikan alasan
pembenar bilamana seseorang yang melakukan tindak pidana untuk
dimintai pertanggungjawaban pidana.

Sebaliknya, apabila seseorang itu berdasarkan syaratsyarat tertentu yang


menjadi alasan ketidakmampuan untuk bertanggung jawab, maka
ketidakmampuan bertanggungjawab tersebut menjadi alasan pembenar
dirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Jadi,
pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya berpegang pada suatu asas
"tiada pidana tanpa kesalahan".

2. Kesengajaan
Dalam tindak pidana kebanyakan di Indonesia memiliki unsur
kesengajaan atau opzettelijik bukan unsur culpa. Hal ini berkaitan bahwa
orang yang lebih pantas mendapatkan hukuman adalah orang yang
melakukan hal tersebut atau melakukan tindak pidana dengan unsur
kesengajan.

19
Mengenai unsur kesalahan yangdisengaja ini tidak perlu dibuktikan bahwa
pelaku mengetahui bahwa perbuatananya diancam oleh undnag-undang ,
sehingga tidak perlu dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku merupaka perbuatan yang bersifat “jahat”. Sudah cukup dengan
membuktikan bahwa pelaku menghendaki perbuatannya tersebut dan
mengetahui konsekuensi atas perbuataannya. Hal ini sejalan dengan
adagium fiksi, yang menyatakan bahwa seetiap orang dianggap
mengetahui isi undang-undang, sehingga di anggap bahawa seseorang
mengetahui tentang hukum, karena seseorang tidak dapat menghindari
aturan hukum dengan alasan tidak mengetahui hukum atau tidak
mengetahui bahwa hal itu dilarang. Kesengajan telah berkembang dalam
yurisprudensi dan doktrin sehingga umumnya telah diterima beberapa
bentuk kesengajaan, yaitu :
 Sengaja sebagai maksud
Sengaja sebagai maksud dalam kejahatan bentuk ini pelaku benar-
benar menghendaki (willens) dan mengetahui (wetens) atas perbuatan
dan akibat dari perbuatan yang pelaku perbuatan. Diberi contoh A
merasa dipermalukan oleh B, oleh karena itu A memiliki dendam
khusus terhadap B, sehingga A memiliki rencana untuk mencelakai B,
suatu hati A membawa sebilah pisau dan menikam B, menyebabkan B
tewas, makaperbuatan A tersebut dapat dikatakan adalah perbuatan
yang benar-benar ia kehendaki. Matinya B akibat tikaman pisau A
juga dikehndaki olehnya. Hal mengetahui dan menghendaki ini harus
dilihat dari sudut pandang kesalahan normative, yaitu berdasarkan
peristiwa-peristiwa konkret orang-orang akan menilai apakah
perbuuatan tersebut memang dikehendaki dan diketahui oleh
pelakunya. Kesalahan dengan kesengajaan sebagai maksud sipelaku
dapat dipertanggungjawabkan, kesangjaan sebagi maksud ini adalah
bentuk yang mudah dimengerti oleh khalayak masyarakat.
20
Apabila kesengajaan dengan maksud ini ada pada suatu tindak pidana
dimana tidak ada yang menyangkal maka pelaku pantas dikenakan
hukuman pidana yang lebih berat apabila dapat dibuktikan bahwa
dalm perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar bear suatu
perbuataan yang disengaja dengan maksud, dapat dikatan sipelaku
benar-benarmenghendaki dan ingin mencapai akibat yang menjadi
pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana.
 Sengaja sebagi suatu keharusan
Kesangajan semacam ini terjadi apabila sipelaku dengan perbuatannya
tidak bertujuan untuk mencapi akibat dariperbuatanya, tetapi ia
melakukan perbuatan itu sebagai keharusan untuk mencapai tujuan
yang lain. Artinya kesangajan dalam bentuk ini, pelaku menyadari
perbuatan yang ia kehendaki namun pelaku tidak menghendaki akibat
dari perbuatan yang telah ia perbuat. Diberi contoh A ingin mengambil
tas yang berada dibelakang estalase took, untuk mencapai tas tersebut
maka A perlu memecahkan kaca estalase, maka pecahnya kaca
tersebut bukan kehendak utama yang ingin dicapi oleh A,
namunperbuatan itu dilakukannya demi mencapai tujuan yang
lain.kesengajaan menghancurkan kaca merupakan sengaja dengan
kesadaran tenatang keharusan.
 Sengaja Sebagi kemungkinan
Dalam sengaja sebagai kemungkinan, pelaku sebenarnaya tidak
menghendaki akibat perbuatanya itu, tetapi pelaku sebelumnya telah
mengethaui bahwa akibat itu kemungkinan juga dapat terjadi, namun
pelaku tetap melakukan perbuatannya dengan mengambil resiko
tersebut. Scaffrmeister mengemukakan contoh bahwa ada seorang
pengemudi yang menjalankan mobilnya kearah petugas polisi yang
sedang memberi tanda berhenti.
21
Pengemudi tetap memacu mobil dengan harapan petugas kepolisian
tersebut melompatkesamping, padahal pengemudi menyadari resiko
dimanda petugas kepolisian dapat saja tertabrak mati atau melompat
kesamping.

3. Kealpaan (culpa)
Dalam pasal-pasal KUHPidana sendiri tidak memberikan definisi
mengenai apa yang diamksud dengan kealpaan. Sehingga untuk
mengerti apa yang dimaksud dengan kealpaan maka memerlukan
pendapat para ahli hukum. Kelalaian merupakan salah satu bentuk
kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar yang
telah ditentukan, kelalian itu terjadi karena perilaku dari orang itu
sendiri. Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur
gecompliceerd yang disatu sisi mengarah kepada perbuatan seseorang
secara konkret sedangkan disisi lain mengarah kepada keadaan batin
seseorang. Kelalain terbagi menjadi dua yaitu kelalaian yang ia sadari
(alpa) dan kelalain yang ia tidak sadari (lalai).

22
Kelalain yang ia sadari atau alpa adalah kelalain yang ia sadari,
dimana pelaku menyadari dengan adanay resiko namun tetap
melakukan dengan mengambil resiko dan berharap akibat buruk atau
resiko buruk tidak akan terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan
kelalaiam yang tidak disadari atau lalaiadalah seseornag tidak
menyadari adanyaresiko atau kejadian yang burukakibat dari
perbuatan ia lakukan pelaku berbuat demikian dikarenan anatar lain
karena kurang berpikir atau juga bisa terjadi karena pelaku lengah
denagn adanya resiko yang buruk.
Kelalain yang disadari adalah kelalaian yang disadri oleh seseorang
apabila ia tidak melakukan suatu perbuatan maka akan timbul suatu
akibat yang dilarang oleh hukum pidana, sedangkan yang dimaksud
dengan kealpaan yang ia tidak sadri adalah pelaku tidak memikirkan
akibat dari perbuatan yang ia lakukan dan apabila ia memikirkan
akibat dari perbuatan itu maka ia tidak akan melakukannya.
23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari rumus tersebut Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan
pidana (criminal act) yang meliputi perebuatan dan sifat melawan
hukum perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability)
yang mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan
bertanggungjawab.
Unsur-unsur strafbaar feit menurut van Hamel meliputi perbuatan;
perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas legalitas)
yang mungkin dapat disejajakan dengan Tatbestand dalam hukum
pidana Jerman; melawan hukum; bernilai atau patut dipidana yang
mugkin sejajar dengan subsocialiteit atau het subsociale ajaran Prof.
Mr. M.P.
Menurut hukum positif, demikian Pompe (loc.cit), peristiwa pidana itu
suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung
handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian); tidak berbuat; berbuat
pasif) biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan
bagian suatu peristiwa.
Unsur Melawan Hukum dalam Arti Formil dan Materiil Kalau diteliti
pasal-pasal KUUHPidana dan ketentuan-ketentuan perundang-
undangan pidanya diluarnya, maka ternyata bahwa ada pasal dan
ketentuan yang mencantumkan kata melawan hukum, dan ada juga
yang tidak.
24
Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang
melanggar atau bertentangan dengan kaidah materieel yang berlaku
baginya, orang karena itu sendirinya berarti bahwa memidana orang
yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah onzinnig, tidak masuk
akal; sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah syarat
pemidanaan (Enschede dan Heijder).
Disebut dengan uraian di dalam undang-undang, masih harus diteliti
tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu memang tercela
dan patut dipidana pembuatnya atau tidak tercela, atau pun dipandang
sifatnya terlampau kurang celaannya sehinga pembuatnya tak perlu
dijatuhi sanksi hukum pidana, tetapi cukup dikenakan sanksi kaidah-
kaidah hukum lain atau kaidah sosial lain.
Pandangan formil terhadap sifat melawan hukum dianut oleh Simons
(Simons-Pompe.1937 dan 1941:273), yang berpendapat, bahwa untuk
dapat dipidana maka peristiwa yang dilakukan harus dicakup oleh
uraian undang-undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan ketentuan
pidana di dalam undang-undang.
Perlawanan Hukum Subyektif dan Perlawanan Hukum Obyektif
Masih perlu dibedakan antara perlawanan hukum yang subyektif dan
perlawanan hukum yang obyektif.
Moeljatno (19822:26) dalam hubungan ini menyatakan: Ada atau tidak
adanya perbuatan pidana dari apa yang telah dikatakan di atas, adalah
tergantung dari hal, apakah perbuatan sebagai yang dirumuskan dalam
undang-undang dipernilaian sebagai melawan hukum atau tidak.

25
Tetapi dari sejarah perumusan perbuatan pidana ternyata bahwa, yang
perlu dilarang adalah bukan saja perbuatan-perbuatan yang dari
keadaan lahirnya ternyata bersifat melawan hukum, bahkan juga
perbuatan-perbuatan yang meskipun menurut sifat lahirnya tidak
melawan hukum, tapi dalam batin orang yang melakukan, dimaksud
untuk mewujudkan itu.
Dalam hal demikian, maka arah yang menuju ke melawan hukum yang
baru ada di dalam hati orang yang melakukan perbuatan, itu
dimasukkan dalam pernilaian pula, sehingga dalam delik-delik macam
itu, yang dipernilai bukan saja perbuatan sebagai telah ternyata dalam
alam kenyataan, yaitu ke arah mana, atau untuk apa perbuatan tersebut
dimaksudkannya.
Dari uraian tersebut, terdapat kata dengan maksud, yang dalam ilmu
hukum pidana termasuk sengaja sebagai maksud atau niat, yang andai
kata tidak disusul oleh kata melawan hukum, akan termasuk unsur
pertanggungjawaban hukum pidana.
Namun karena antara kedua kata itu tersebut tidak terdapat kata dan,
maka maksud di situ diarahkan ke sifat melawan hukumnya perbuatan,
dan menjelma menjadi melawan hukumnya yang subyektif, karena
penilaian dalam hal ini harus ditunjukkan pada sikap batin pembuatnya
untuk melakukan perbuatan pencurian, dan bukan penilaian obyektif,
yaitu penilaian hakim berdasarkan penilaian masyarakat.
Namun demikian perlu penulis ingatkan, bahwa Moeljatno, menurut
hemat penulis juga masih mensyaratkan penilaian obyektif tentang
sifat melawan hukum di samping unsur melawan hukum yang
subyektif, hal mana dapat penulis tangkap dari kata kata beliau “yang
dipernilai bukan saja perbuatan sebagai telah ternyata dalam alam
kenyataan.

26
Oleh karena kata ‘dan’ mengantarai kata sengaja dan melawan hukum,
maka di situ sengaja merupakan unsur pertanggungjawaban pidana
pembuat delik dan bukan unsur delik, karena kata sengaja itu tidak
diarahkan ke sifat melawan hukum.
Unsur melawan hukum disini bukanlah sesuatu yang bersifat
subyektif, tetapi bersifat obyektif, yaitu hakim harus menilainya dari
kejadian yang nyata berdasarkan ukuran penilaian masyarakat, dan ia
tidak perlu menyelidiki sikap batin yang berhubungan dengan sifat
melawan hukumnya perbuatannya.
Pertanggungjwaban Menurut Hukum Pidana Pertanggungjawaban
merupakan salah satu prinsip yang mendasar di dalam hukum pidana,
atau dikenal dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geern straf
zonder schuld).
Sedangkan di dalam KUHP sendiri tidak ada penjelasan mengenai apa
yang dimaksud dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, tetapi asas
ini merupakan hukum tidak tertulis dan berlaku juga di Indonesia.
Oleh karena itu, membicarakan pertanggungjawaban pidana harus
diperhatikan pengertian dua hal, sebagai berikut: a. Tidak pidana (daad
strafrecht) b. Pelaku tindak pidana (dader strafrecht) Pengertian kedua
hal tersebut di atas, harus diperhatikan denga seksama, karena didalam
hukum pidana dikenal prinsip-prinsip bahwa suatu perbuatan yang
telah memenuhi semua unsur tindak pidana belum tentu si pelakunya
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

27
Apabila “strict strafrecht” yang diikuti, maka penjatuhan pidana tidak
lagi dibutuhkan unsur kesalahan, artinya penjatuhan pidana itu tidak
ditentukan ada atau tidaknya unsur kesalahan, melainkan didasarkan
pada perbuatan yang dilakukan atau akibat dari dari perbuatan yang
dilakukan.
Sedangkan mens rea, adalah asas kesalahan yang menunjukkan
keadaan jiwa yang mendasari seseorang yang dengan sengaja untuk
melakukan suatu tindak pidana.
Dengan demikian, sesuatu perbuatan yang telah memenuhi atau
mencocoki unsur-unsur yang dirumuskan sebagai tindak pidana,
belumlah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada si
pelakunya, kecuali si pelakutelah memenuhi syaratsyarat tertetu untuk
disebut mempunyai kesalahan.
Oleh karenanya, bilamana si pelaku dimintai pertanggungjawaban atas
tindak pidana yang dilakukan terlebih dahulu harus dikoreksi keadaan
jiwanya, apabila dirinya dapat disalahkan, maka dirinya pun tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, artinya meskipun
melakukan tindak pidana apabila dirinya tidak dapat disalahkan karena
keadaan jiwanya, maka dirinya tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan
Mengenai unsur kesalahan yang disengaja ini tidak perlu dibuktikan
bahwa pelaku mengetahui bahwa perbuatananya diancam oleh
undnag-undang , sehingga tidak perlu dibuktikan bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku merupaka perbuatan yang bersifat “jahat”.
Hal ini sejalan dengan adagium fiksi, yang menyatakan bahwa seetiap
orang dianggap mengetahui isi undang-undang, sehingga di anggap
bahawa seseorang mengetahui tentang hukum, karena seseorang tidak
dapat menghindari aturan hukum dengan alasan tidak mengetahui
hukum atau tidak mengetahui bahwa hal itu dilarang.
28
Apabila kesengajaan dengan maksud ini ada pada suatu tindak pidana
dimana tidak ada yang menyangkal maka pelaku pantas dikenakan
hukuman pidana yang lebih berat apabila dapat dibuktikan bahwa
dalm perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar bear suatu
perbuataan yang disengaja dengan maksud, dapat dikatan sipelaku
benar-benarmenghendaki dan ingin mencapai akibat yang menjadi
pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana.
Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaiam yang tidak disadari atau
lalaiadalah seseornag tidak menyadari adanyaresiko atau kejadian
yang buruk akibat dari perbuatan ia lakukan pelaku berbuat demikian
dikarenan anatar lain karena kurang berpikir atau juga bisa terjadi
karena pelaku lengah denagn adanya resiko yang buruk.
Kelalain yang disadari adalah kelalaian yang disadri oleh seseorang
apabila ia tidak melakukan suatu perbuatan maka akan timbul suatu
akibat yang dilarang oleh hukum pidana, sedangkan yang dimaksud
dengan kealpaan yang ia tidak sadri adalah pelaku tidak memikirkan
akibat dari perbuatan yang ia lakukan dan apabila ia memikirkan
akibat dari perbuatan itu maka ia tidak akan melakukannya.

30

Anda mungkin juga menyukai