Anggota Kelompok:
Alif Adjitama/04020200389
M Yudha Taqiyyah/04020200384
Mujahidin/04020200397
Ridwan/04020200593
2021
KATA PENGANTAR
Pertama kami mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT. Yang maha penolong,
karena berkat pertolongan-Nya lah makalah ini bisa kami susun dan dapat selesai.
Makalah ini disusun agar kita dapat menambah wawasan kita tentang Hukum Pidana.
Makalah ini di buat dalam rangka pembelajaran mata kuliah Hukum Pidana.
Pemahaman tentang Delik dan pertanggungjawaban Pidana dan hal-hal yang
berkaitan dengannya sangat diperlukan. Dengan suatu masalah dapat diselesaikan dan
dihindari kelak. Sekaligus menambah wawasan bagi kita semua.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu selaku Dosen Hukum
Pidana Universitas Muslim Indonesia. Dalam menyususn makalah ini yang berjudul
“Delik dan pertanggungjawaban Pidana” sebagai bahan pembelajaran bagi kami.
Makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karena kami juga masih dalam
tahap pembelajaran. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas
kepada pembaca.
Penulis
Kelompok 1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………..
DAFTAR ISI………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang……………………………………………………………………..
Rumusan Masalah…………………………………………………………………
Tujuan Makalah……………………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN
Perbuatan Kriminal;Delik………………………………………………………….
BAB III
Kesimpulan………………………………………………………………………..
2
BAB I
PENDAHULUAN
Selain itu, beberapa detik masih mempunyai unsur lain misalnya keadaan
yang secara obyektif memperberat pidana, syarat tambahan untuk dapat
dipidananya terdakwa. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban kriminal
pembuatan delik adalah sebagai berikut:
a. Kemampuan bertanggungjawab.
b. Kesalahan pembuat: kesengajaan dalam tiga coraknya dan culpa lata
dalam dua coraknya.
c. Tak adanya dasar pemaaf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu delik dan unsur-unsur delik menurut beberapa orang sarjana
hukum
2. Pemahaman unsur melawan hukum dalam arti formil dan materiil
3. Pertanggungjwaban menurut hukum pidana
C. Tujuan Makalah
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
Pendapat tersebut berasal dari Van der Hoeven (Hazewinkel Suringa. 1973:63)
yang sebelum di 1984, berpendapat bahwa pembatlah yang dapat dipidana dan
bukan peristiwa. Yang dimaksud peristiwa di sini meliputi perbuatan aktif dan
perbuatan passif, yang hanya dapat dilarang atau diperintahkan untuk dilakukan
oleh undang-undang. Jadi peristiwa yang bermakna menurut hukum pidana, dan
bukan peristiwa alam atau yang ditimbulkan oleh hewan. Unsur-unsur strafbaar
feit menurut van Hamel meliputi perbuatan; perbuatan itu ditentukan oleh hukum
pidana tertulis (asas legalitas) yang mungkin dapat disejajakan dengan
Tatbestanddalam hukum pidana Jerman; melawan hukum; bernilai atau patut
dipidana yang mugkin sejajar dengan subsocialiteit atau het subsociale ajaran
Prof. Mr. M.P. Vrij, atau barangkali sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum
yang materieel yang akan diuraikan berikut : kesengajaan, kealpaan, atau
kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.
Vos (1950:25) memberikan definisi yang singkat, bahwa strafbaar feit ialah
kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan
diberikan pidana.
Pompe (1959:28) memberikan dua macam definisi, yaitu yang bersifat teoretis
dan yang bersifat perundang-undangan. Definisi teoretis, ialah pelanggaran norm
(kaidah; tatahukum), yang diadakan karena kesalaham pelanggar, dan yang harus
diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tatahukum dan menyelamatkan
kesejahteraan umum.
Definisi tersebut sekaligus menggambarkan tujuan hukum pidana, yaitu
mempertahankan tatahukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum yang
sesuai dengan U.U.D. 1945.
9
Menurut hukum positif, demikian Pompe (loc.cit), peristiwa pidana itu suatu
peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung handeling
(perbuatan) dan nalaten (pengabaian); tidak berbuat; berbuat pasif) biasanya
dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian
perbuatan dan keadaan yang ikut serta, yang disebut gedragstype itulah disebut
uraian delik. Misalnya untuk mengetahui bagian inti suatu delik, yang diberi gelar
pencurian maka haruslah dibaca pasal 362 KUUHPidana, yaitu:
1. Perbuatan mengambil sebagai per buatan delik yang sebenarnya;
2. Pengambilan itu harus menyangkut suatu barang;
3. Barang itu seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain
4. Pengambilan itu dilakukan dengan maksud untuk memilikinya dengan
melawan hukum.
B. Perbuatan Kriminal;Delik
Kelakuan; Perbuatan
Suatu detik dapat diwujudkan dengan kelakukan aktif atau positif, sesuai dengan
uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya mencuri (pasal 362 KUUHPidana)
dan lain-lain. Delik demikian dinamakan delictum commissionis
Ada juga ketentuan undang-undang yang mensyaratkan kelakuan pasif atau
negative, seperti misalnya pasal 164-165, 224, 522, 523, 529, 531 KUUHPidana.
Delik semacam ini terwujuddengan mengabaikan apa yang diperintahkan oleh
undang-undang untuk dilakukan, yang dinamakan delictum atau delicta
omissionis. Di samping itu ada juga delik yang dapat dinamakan delicta
commissionis per omissionem comissa. Delik demikian antara lain diuraikan di
dalam pasal 341 KUUHPidana, yaitu seorang ibu yang dengan sengaja
menghilangkan nyawa anaknya dengan jalan tidak memberikannya makanan.
10
Pasal 194 KUUHPidana juga mengandung delik deikian, yaitu seorang penjaga
pintu kereta api yang dengan sengaja tidak menutup pintu kereta api pada waktu
waktunya, yang menyebabkan terjadinya kecelakan lalu lintas. Delik ini dapat
juga terjadi dengan berbuat positif, yaitu barang siapa yang memasang rintangan
atau melepaskan paku-paku rel jalan kereta api atau trem yang menimbulkan
bahaya lalu lintas umum.
11
Rudolf Stammler dalam tahun 1902 dalam bukunya berjudul Die Lehre von dem
Richtigen Recht telah menyatakan pada penilaian tentang ketepatan suatu kaidah
hukum selalu tergantung pada waktu dan tempat tertentu (van Apeldoorn.
1952:362). Penganut terkemuka freirechtsbewegung, yaitu antara lain Gnaeus
Flavius alias Hermann Kantorowicz (Algra et al.1977:375) menyatakan juga
bahwa undang-undang mengandung banyak kekosongan dan merupakan tugas
hakim untuk mengisinya. Penganut aliran ini membela mati-matian pemakaian
penegertian itikad baik, adat istiadat, pendapat msyarakat.
Berdasarkan pendapat kedua tokoh klasik tersebut, maka sifat melawan hukum itu
dapat diterima. Di bidang hukum pidana kita dianut asas legalitas yang tercantum
didalam pasal 1 ayat 1 KUUHPidana, yang mensyaratkan bahwa di samping
penilaian materiil kita juga diwajibkan untuk menganut paham formeel, d.k.l.
bahwa di samping atau di atas lapangan formil, kita juga harus meninjau
lapangan, sehingga dari perpaduan antara dua segi itu, tentulah isi atau makna
perbuatan pidana (delik), demikian Moeljatno (19832:20).
12
Pandangan formil terhadap sifat melawan hukum dianut oleh Simons (Simons-
Pompe.1937 dan 1941:273), yang berpendapat, bahwa untuk dapat dipidana maka
peristiwa yang dilakukan harus dicakup oleh uraian undang-undang, sesuai
dengan isi delik berdasarkan ketentuan pidana di dalam undang-undang. Dalam
hal terjadi demikian maka pada umumnya tidaklah lagi tepat untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan hukum. D.k.l. bilamana suatu
perbuatan memenuhi syarat uraian delik, maka per definitionem telah ada
perlawanan hukum.
13
Dalam hal demikian, maka arah yang menuju ke melawan hukum yang baru ada
didalam hati orang yang melakukan perbuatan, itu dimasukkan dalam pernilaian
pula, sehingga dalam delik-delik macam itu, yang dipernilai bukan saja perbuatan
sebagai telah ternyata dalam alam kenyataan, yaitu kearah mana, atau untuk apa
perbuatan tersebut dimaksudkannya. Unsur batin itu dinamakan “subjektif
(seharusnya: subjektief, pen.) onrechtselement” (unsur melawan hukum yang
subyektif).—tulisan kursif dari pen.---
Dari uraian tersebut, terdapat kata dengan maksud, yang dalam ilmu hukum
pidana termasuk sengaja sebagai maksud atau niat, yang andai kata tidak disusul
oleh kata melawan hukum, akan termasuk unsur pertanggungjawaban hukum
pidana. Namun karena antara kedua kata itu tersebut tidak terdapat kata dan,
maka maksud di situ diarahkan ke sifat melawan hukumnya perbuatan, dan
menjelma menjadi melawan hukumnya yang subyektif, karena penilaian dalam
hal ini harus ditunjukkan pada sikap batin pembuatnya untuk melakukan
perbuatan pencurian, dan bukan penilaian obyektif, yaitu penilaian hakim
berdasarkan penilaian masyarakat.
14
Namun demikian perlu penulis ingatkan, bahwa Moeljatno, menurut hemat
penulis juga masih mensyaratkan penilaian obyektif tentang sifat melawan hukum
di samping unsur melawan hukum yang subyektif, hal mana dapat penulis
tangkap dari kata kata beliau “yang dipernilai bukan saja perbuatan sebagai telah
ternyata dalam alam kenyataan. . . . .”. Jadi dalam hal delik pencurian terdapat
unsur melawan hukum subyektif, dan unsur diam-diam (stilzwijgende element),
yaitu unsur melawan hukum yang obyektif. Misalnya dalam kasusjoyriding, yaitu
seorang yang mengambil mobil orang lain dengan maksud untuk mamakainya
berkeliling di dalam kota bersama-sama dengan tiga orang kawan-kawannya. Dari
keterangan terdakwa dan kawan-kawannya yang dijadikan sanksi-sanksi hakim
mengetahui bahwa maksud terdakwa tidak untuk memiliki mobil itu secara
melawan hukum, dan menurut kenyataan memang mobil itu ditinggalkan di tepi
jalan raya. Selain dari sikap batin terdakwa yang harus diteliti oleh hakim, ia juga
mengetahui bahwa perbuatan joyriding memang sering dilakukan oleh anak-anak
nakal, dan hal itu diketahui secara umum dalam masyrakat. Hakim dalam hal ini,
seperti beberapa kali dilakukan di Nederland sebelum berlakunya pasal 37
W.V.V. (Undang-undang Lalu Lintas Jalan) pada tahun 1951 menjatuhkan pidana
kepada joyrider sebagai mencuri bensin dan tidak sebagai mencuri mobil.
Ketentuan semacam pasal 37 W.V.V. belum ada di Indonesia, yang mengancam
pidana bagi barangsiapa dengan sengaja menggunakan kendaraan bermotor orang
lain di jalan raya secara melawan hukum. Pasal W.V.V tersebut dibentuk
berhubungan karena sering konstruksi pencurian bensin tidak memuaskan, dalam
hal joyrider itu mengisi kembali tanki bensin kendaraan itu kepada pemiliknya.
15
Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membuat sehingga tak dapat dipakai atau menghilangkan suatu barang yang
seluruhnya atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain, akan dipidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
Oleh karena kata ‘dan’ mengantarai kata sengajadan melawan hukum, maka di
situ sengaja merupakan unsur pertanggungjawaban pidana pembuat delik dan
bukan unsur delik, karena kata sengaja itu tidak diarahkan ke sifat melawan
hukum. Unsur melawan hukum. Unsur melawan hukum disini bukanlah sesuatu
yang bersifat subyektif, tetapi bersifat obyektif, yaitu hakim harus menilainya dari
kejadian yang nyata berdasarkan ukuran penilaian masyarakat, dan ia tidak perlu
menyelidiki sikap batin yang berhubungan dengan sifat melawan hukumnya
perbuatannya. Selain dari itu kata sengaja tersebut lebih luas daripada kata
maksud, karena meliputi tiga macam corak (schakeringen).
Unsur kesalahan di dalam diri si pelaku tindak pidana inilah yang akan menjadi
dasar pertimbangan bagi hakim atau syarat umum untuk menjatuhkan pidana
(algemene voorwaarde voor strafbaarheid). Prakteknya asas “tiada pidana tanpa
kesalahan” oleh beberapa negara termasuk indonesia tidak selalu dilaksanakan
secara murni atau yang dikenal dengan asas “pidana tanpa kesalahan” atau “strict
strafrecht”. Apabila “strict strafrecht” yang diikuti, maka penjatuhan pidana tidak
lagi dibutuhkan unsur kesalahan, artinya penjatuhan pidana itu tidak ditentukan
ada atau tidaknya unsur kesalahan, melainkan didasarkan pada perbuatan yang
dilakukan atau akibat dari dari perbuatan yang dilakukan. Akan tetapi, tidak
semua jenis tindak pidana diberlakukan asas strict strafrecht, melainkan beberapa
jenis tindak pidana tertentu terutama jenis tindak pidana yang dikualifikasikan
sebagai tindak pidana berat atau jenis pelanggaran tertentu. Asas “tiada pidana
tanpa kesalahan” sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1930 terutama di negara-
negara yang menganut sistem Anglo Saxon yang dirumuskan sebagai “actus non
facit reum, nisi mens sit rea”. Menurut asas ini bahwa suatuperbuatan belum
dapat digunakan sebagai dasar untuk menyatakan kesalahan pelakunya, kecuali
perbuatan yang dilakukan itu didasari niat jahat. Sedangkan rumusan asas “actus
non facit reum, nisi mens sit rea” pada dasarnya terdiri atas dua asas, yaitu
“actusreus” dan “mens rea”.
17
Actus reus, adalah asas kesalahan yang didasarkan karena suatu perbuatan yang
dikehendaki pelaku dan mencocoki rumusan tindak pidana dalam undang-undang
(wederrechtelikheid).
Sedangkan mens rea, adalah asas kesalahan yang menunjukkan keadaan jiwa
yang mendasari seseorang yang dengan sengaja untuk melakukan suatu tindak
pidana. Dengan demikian, sesuatu perbuatan yang telah memenuhi atau
mencocoki unsur-unsur yang dirumuskan sebagai tindak pidana, belumlah cukup
bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada si pelakunya, kecuali si pelakutelah
memenuhi syaratsyarat tertetu untuk disebut mempunyai kesalahan.
2. Kesengajaan
Dalam tindak pidana kebanyakan di Indonesia memiliki unsur
kesengajaan atau opzettelijik bukan unsur culpa. Hal ini berkaitan bahwa
orang yang lebih pantas mendapatkan hukuman adalah orang yang
melakukan hal tersebut atau melakukan tindak pidana dengan unsur
kesengajan.
19
Mengenai unsur kesalahan yangdisengaja ini tidak perlu dibuktikan bahwa
pelaku mengetahui bahwa perbuatananya diancam oleh undnag-undang ,
sehingga tidak perlu dibuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku merupaka perbuatan yang bersifat “jahat”. Sudah cukup dengan
membuktikan bahwa pelaku menghendaki perbuatannya tersebut dan
mengetahui konsekuensi atas perbuataannya. Hal ini sejalan dengan
adagium fiksi, yang menyatakan bahwa seetiap orang dianggap
mengetahui isi undang-undang, sehingga di anggap bahawa seseorang
mengetahui tentang hukum, karena seseorang tidak dapat menghindari
aturan hukum dengan alasan tidak mengetahui hukum atau tidak
mengetahui bahwa hal itu dilarang. Kesengajan telah berkembang dalam
yurisprudensi dan doktrin sehingga umumnya telah diterima beberapa
bentuk kesengajaan, yaitu :
Sengaja sebagai maksud
Sengaja sebagai maksud dalam kejahatan bentuk ini pelaku benar-
benar menghendaki (willens) dan mengetahui (wetens) atas perbuatan
dan akibat dari perbuatan yang pelaku perbuatan. Diberi contoh A
merasa dipermalukan oleh B, oleh karena itu A memiliki dendam
khusus terhadap B, sehingga A memiliki rencana untuk mencelakai B,
suatu hati A membawa sebilah pisau dan menikam B, menyebabkan B
tewas, makaperbuatan A tersebut dapat dikatakan adalah perbuatan
yang benar-benar ia kehendaki. Matinya B akibat tikaman pisau A
juga dikehndaki olehnya. Hal mengetahui dan menghendaki ini harus
dilihat dari sudut pandang kesalahan normative, yaitu berdasarkan
peristiwa-peristiwa konkret orang-orang akan menilai apakah
perbuuatan tersebut memang dikehendaki dan diketahui oleh
pelakunya. Kesalahan dengan kesengajaan sebagai maksud sipelaku
dapat dipertanggungjawabkan, kesangjaan sebagi maksud ini adalah
bentuk yang mudah dimengerti oleh khalayak masyarakat.
20
Apabila kesengajaan dengan maksud ini ada pada suatu tindak pidana
dimana tidak ada yang menyangkal maka pelaku pantas dikenakan
hukuman pidana yang lebih berat apabila dapat dibuktikan bahwa
dalm perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar bear suatu
perbuataan yang disengaja dengan maksud, dapat dikatan sipelaku
benar-benarmenghendaki dan ingin mencapai akibat yang menjadi
pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana.
Sengaja sebagi suatu keharusan
Kesangajan semacam ini terjadi apabila sipelaku dengan perbuatannya
tidak bertujuan untuk mencapi akibat dariperbuatanya, tetapi ia
melakukan perbuatan itu sebagai keharusan untuk mencapai tujuan
yang lain. Artinya kesangajan dalam bentuk ini, pelaku menyadari
perbuatan yang ia kehendaki namun pelaku tidak menghendaki akibat
dari perbuatan yang telah ia perbuat. Diberi contoh A ingin mengambil
tas yang berada dibelakang estalase took, untuk mencapai tas tersebut
maka A perlu memecahkan kaca estalase, maka pecahnya kaca
tersebut bukan kehendak utama yang ingin dicapi oleh A,
namunperbuatan itu dilakukannya demi mencapai tujuan yang
lain.kesengajaan menghancurkan kaca merupakan sengaja dengan
kesadaran tenatang keharusan.
Sengaja Sebagi kemungkinan
Dalam sengaja sebagai kemungkinan, pelaku sebenarnaya tidak
menghendaki akibat perbuatanya itu, tetapi pelaku sebelumnya telah
mengethaui bahwa akibat itu kemungkinan juga dapat terjadi, namun
pelaku tetap melakukan perbuatannya dengan mengambil resiko
tersebut. Scaffrmeister mengemukakan contoh bahwa ada seorang
pengemudi yang menjalankan mobilnya kearah petugas polisi yang
sedang memberi tanda berhenti.
21
Pengemudi tetap memacu mobil dengan harapan petugas kepolisian
tersebut melompatkesamping, padahal pengemudi menyadari resiko
dimanda petugas kepolisian dapat saja tertabrak mati atau melompat
kesamping.
3. Kealpaan (culpa)
Dalam pasal-pasal KUHPidana sendiri tidak memberikan definisi
mengenai apa yang diamksud dengan kealpaan. Sehingga untuk
mengerti apa yang dimaksud dengan kealpaan maka memerlukan
pendapat para ahli hukum. Kelalaian merupakan salah satu bentuk
kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar yang
telah ditentukan, kelalian itu terjadi karena perilaku dari orang itu
sendiri. Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur
gecompliceerd yang disatu sisi mengarah kepada perbuatan seseorang
secara konkret sedangkan disisi lain mengarah kepada keadaan batin
seseorang. Kelalain terbagi menjadi dua yaitu kelalaian yang ia sadari
(alpa) dan kelalain yang ia tidak sadari (lalai).
22
Kelalain yang ia sadari atau alpa adalah kelalain yang ia sadari,
dimana pelaku menyadari dengan adanay resiko namun tetap
melakukan dengan mengambil resiko dan berharap akibat buruk atau
resiko buruk tidak akan terjadi. Sedangkan yang dimaksud dengan
kelalaiam yang tidak disadari atau lalaiadalah seseornag tidak
menyadari adanyaresiko atau kejadian yang burukakibat dari
perbuatan ia lakukan pelaku berbuat demikian dikarenan anatar lain
karena kurang berpikir atau juga bisa terjadi karena pelaku lengah
denagn adanya resiko yang buruk.
Kelalain yang disadari adalah kelalaian yang disadri oleh seseorang
apabila ia tidak melakukan suatu perbuatan maka akan timbul suatu
akibat yang dilarang oleh hukum pidana, sedangkan yang dimaksud
dengan kealpaan yang ia tidak sadri adalah pelaku tidak memikirkan
akibat dari perbuatan yang ia lakukan dan apabila ia memikirkan
akibat dari perbuatan itu maka ia tidak akan melakukannya.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rumus tersebut Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan
pidana (criminal act) yang meliputi perebuatan dan sifat melawan
hukum perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability)
yang mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan
bertanggungjawab.
Unsur-unsur strafbaar feit menurut van Hamel meliputi perbuatan;
perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas legalitas)
yang mungkin dapat disejajakan dengan Tatbestand dalam hukum
pidana Jerman; melawan hukum; bernilai atau patut dipidana yang
mugkin sejajar dengan subsocialiteit atau het subsociale ajaran Prof.
Mr. M.P.
Menurut hukum positif, demikian Pompe (loc.cit), peristiwa pidana itu
suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung
handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian); tidak berbuat; berbuat
pasif) biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan
bagian suatu peristiwa.
Unsur Melawan Hukum dalam Arti Formil dan Materiil Kalau diteliti
pasal-pasal KUUHPidana dan ketentuan-ketentuan perundang-
undangan pidanya diluarnya, maka ternyata bahwa ada pasal dan
ketentuan yang mencantumkan kata melawan hukum, dan ada juga
yang tidak.
24
Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang
melanggar atau bertentangan dengan kaidah materieel yang berlaku
baginya, orang karena itu sendirinya berarti bahwa memidana orang
yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah onzinnig, tidak masuk
akal; sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah syarat
pemidanaan (Enschede dan Heijder).
Disebut dengan uraian di dalam undang-undang, masih harus diteliti
tentang penilaian masyarakat apakah perbuatan itu memang tercela
dan patut dipidana pembuatnya atau tidak tercela, atau pun dipandang
sifatnya terlampau kurang celaannya sehinga pembuatnya tak perlu
dijatuhi sanksi hukum pidana, tetapi cukup dikenakan sanksi kaidah-
kaidah hukum lain atau kaidah sosial lain.
Pandangan formil terhadap sifat melawan hukum dianut oleh Simons
(Simons-Pompe.1937 dan 1941:273), yang berpendapat, bahwa untuk
dapat dipidana maka peristiwa yang dilakukan harus dicakup oleh
uraian undang-undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan ketentuan
pidana di dalam undang-undang.
Perlawanan Hukum Subyektif dan Perlawanan Hukum Obyektif
Masih perlu dibedakan antara perlawanan hukum yang subyektif dan
perlawanan hukum yang obyektif.
Moeljatno (19822:26) dalam hubungan ini menyatakan: Ada atau tidak
adanya perbuatan pidana dari apa yang telah dikatakan di atas, adalah
tergantung dari hal, apakah perbuatan sebagai yang dirumuskan dalam
undang-undang dipernilaian sebagai melawan hukum atau tidak.
25
Tetapi dari sejarah perumusan perbuatan pidana ternyata bahwa, yang
perlu dilarang adalah bukan saja perbuatan-perbuatan yang dari
keadaan lahirnya ternyata bersifat melawan hukum, bahkan juga
perbuatan-perbuatan yang meskipun menurut sifat lahirnya tidak
melawan hukum, tapi dalam batin orang yang melakukan, dimaksud
untuk mewujudkan itu.
Dalam hal demikian, maka arah yang menuju ke melawan hukum yang
baru ada di dalam hati orang yang melakukan perbuatan, itu
dimasukkan dalam pernilaian pula, sehingga dalam delik-delik macam
itu, yang dipernilai bukan saja perbuatan sebagai telah ternyata dalam
alam kenyataan, yaitu ke arah mana, atau untuk apa perbuatan tersebut
dimaksudkannya.
Dari uraian tersebut, terdapat kata dengan maksud, yang dalam ilmu
hukum pidana termasuk sengaja sebagai maksud atau niat, yang andai
kata tidak disusul oleh kata melawan hukum, akan termasuk unsur
pertanggungjawaban hukum pidana.
Namun karena antara kedua kata itu tersebut tidak terdapat kata dan,
maka maksud di situ diarahkan ke sifat melawan hukumnya perbuatan,
dan menjelma menjadi melawan hukumnya yang subyektif, karena
penilaian dalam hal ini harus ditunjukkan pada sikap batin pembuatnya
untuk melakukan perbuatan pencurian, dan bukan penilaian obyektif,
yaitu penilaian hakim berdasarkan penilaian masyarakat.
Namun demikian perlu penulis ingatkan, bahwa Moeljatno, menurut
hemat penulis juga masih mensyaratkan penilaian obyektif tentang
sifat melawan hukum di samping unsur melawan hukum yang
subyektif, hal mana dapat penulis tangkap dari kata kata beliau “yang
dipernilai bukan saja perbuatan sebagai telah ternyata dalam alam
kenyataan.
26
Oleh karena kata ‘dan’ mengantarai kata sengaja dan melawan hukum,
maka di situ sengaja merupakan unsur pertanggungjawaban pidana
pembuat delik dan bukan unsur delik, karena kata sengaja itu tidak
diarahkan ke sifat melawan hukum.
Unsur melawan hukum disini bukanlah sesuatu yang bersifat
subyektif, tetapi bersifat obyektif, yaitu hakim harus menilainya dari
kejadian yang nyata berdasarkan ukuran penilaian masyarakat, dan ia
tidak perlu menyelidiki sikap batin yang berhubungan dengan sifat
melawan hukumnya perbuatannya.
Pertanggungjwaban Menurut Hukum Pidana Pertanggungjawaban
merupakan salah satu prinsip yang mendasar di dalam hukum pidana,
atau dikenal dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geern straf
zonder schuld).
Sedangkan di dalam KUHP sendiri tidak ada penjelasan mengenai apa
yang dimaksud dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, tetapi asas
ini merupakan hukum tidak tertulis dan berlaku juga di Indonesia.
Oleh karena itu, membicarakan pertanggungjawaban pidana harus
diperhatikan pengertian dua hal, sebagai berikut: a. Tidak pidana (daad
strafrecht) b. Pelaku tindak pidana (dader strafrecht) Pengertian kedua
hal tersebut di atas, harus diperhatikan denga seksama, karena didalam
hukum pidana dikenal prinsip-prinsip bahwa suatu perbuatan yang
telah memenuhi semua unsur tindak pidana belum tentu si pelakunya
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
27
Apabila “strict strafrecht” yang diikuti, maka penjatuhan pidana tidak
lagi dibutuhkan unsur kesalahan, artinya penjatuhan pidana itu tidak
ditentukan ada atau tidaknya unsur kesalahan, melainkan didasarkan
pada perbuatan yang dilakukan atau akibat dari dari perbuatan yang
dilakukan.
Sedangkan mens rea, adalah asas kesalahan yang menunjukkan
keadaan jiwa yang mendasari seseorang yang dengan sengaja untuk
melakukan suatu tindak pidana.
Dengan demikian, sesuatu perbuatan yang telah memenuhi atau
mencocoki unsur-unsur yang dirumuskan sebagai tindak pidana,
belumlah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada si
pelakunya, kecuali si pelakutelah memenuhi syaratsyarat tertetu untuk
disebut mempunyai kesalahan.
Oleh karenanya, bilamana si pelaku dimintai pertanggungjawaban atas
tindak pidana yang dilakukan terlebih dahulu harus dikoreksi keadaan
jiwanya, apabila dirinya dapat disalahkan, maka dirinya pun tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, artinya meskipun
melakukan tindak pidana apabila dirinya tidak dapat disalahkan karena
keadaan jiwanya, maka dirinya tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan
Mengenai unsur kesalahan yang disengaja ini tidak perlu dibuktikan
bahwa pelaku mengetahui bahwa perbuatananya diancam oleh
undnag-undang , sehingga tidak perlu dibuktikan bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku merupaka perbuatan yang bersifat “jahat”.
Hal ini sejalan dengan adagium fiksi, yang menyatakan bahwa seetiap
orang dianggap mengetahui isi undang-undang, sehingga di anggap
bahawa seseorang mengetahui tentang hukum, karena seseorang tidak
dapat menghindari aturan hukum dengan alasan tidak mengetahui
hukum atau tidak mengetahui bahwa hal itu dilarang.
28
Apabila kesengajaan dengan maksud ini ada pada suatu tindak pidana
dimana tidak ada yang menyangkal maka pelaku pantas dikenakan
hukuman pidana yang lebih berat apabila dapat dibuktikan bahwa
dalm perbuatan yang dilakukan oleh pelaku benar bear suatu
perbuataan yang disengaja dengan maksud, dapat dikatan sipelaku
benar-benarmenghendaki dan ingin mencapai akibat yang menjadi
pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana.
Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaiam yang tidak disadari atau
lalaiadalah seseornag tidak menyadari adanyaresiko atau kejadian
yang buruk akibat dari perbuatan ia lakukan pelaku berbuat demikian
dikarenan anatar lain karena kurang berpikir atau juga bisa terjadi
karena pelaku lengah denagn adanya resiko yang buruk.
Kelalain yang disadari adalah kelalaian yang disadri oleh seseorang
apabila ia tidak melakukan suatu perbuatan maka akan timbul suatu
akibat yang dilarang oleh hukum pidana, sedangkan yang dimaksud
dengan kealpaan yang ia tidak sadri adalah pelaku tidak memikirkan
akibat dari perbuatan yang ia lakukan dan apabila ia memikirkan
akibat dari perbuatan itu maka ia tidak akan melakukannya.
30