Anda di halaman 1dari 14

SIFAT MELAWAN HUKUM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana yang diampu oleh Dr.
Rehnalemken Ginting S.H., M.H.

Disusun oleh Kelompok Pidana Topik 10 Kelas O:

1. Imraatu Justiqanna Andini (E0021201)


2. Indah Aprilliyani (E0021202)
3. Isnaini Wahyuningsih (E0021206)
4. Karenina Maheswari Wihita (E0021221)
5. Kinanthi Ing Gusti (E0021233)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

PROGRAM SARJANA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan
banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun tugas makalah Hukum Pidana yang berjudul “Sifat
Melawan Hukum” dengan baik.

Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya.

Kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik uang membangun
dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
yang membacanya.

Surakarta, 17 Mei 2022

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I .............................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1

1.3 Tujuan ............................................................................................................................. 1

1.4 Manfaat ........................................................................................................................... 2

BAB II ............................................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 3

2.1 Pengertian Sifat Melawan Hukum ............................................................................... 3

2.2 Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil................................................... 4

BAB III......................................................................................................................................... 10

PENUTUP.................................................................................................................................... 10

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 10

3.2 Saran.............................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehadiran hukum ditengah-tengah masyarakat memiliki tujuan untuk menjamin dan
menciptakan keamanan dan ketertiban dalam setiap interaksi masyarakat. Adanya hukum
menciptakan rasa aman dari segala macam perbuatan yang merugikan hak dan kepentingan
setiap manusia. Berbagai macam hukum berlaku di dalam masyarakat, salah satunya adalah
Hukum Pidana.

Hukum Pidana pada dasarnya merupakan hukum atau ketentuan-ketentuan mengenai


kejahatan dan pidana. Hukum Pidana memiliki sanksi yang bersifat khusus yang
membedakannya dengan lapangan hukum yang lain. Hukum Pidana dan sanksi pidana
dianggap sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk melindungi
dirinya dari perbuatan atau perilaku yang dapat membahayakan masyarakat.

Dalam hukum pidana, dikenal adanya istilah tindak pidana. Tindak pidana sendiri memiliki
arti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Perbuatan yang masuk kedalam
tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan yaitu perbuatan manusia,
melanggar UU, bersifat melawan hukum, adanya kesalahan, dan kemampuan untuk
bertanggung jawab.

Unsur-unsur dari tindak pidana tersebut menarik untuk dikaji secara lebih lanjut, salah
satunya adalah sifat melawan hukum. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai
sifat melawan hukum dalam hukum pidana.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari sifat melawan hukum?
2. Apakah yang dimaksud dengan ajaran sifat melawan hukum formil dan materiil?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari sifat melawan hukum
2. Mengetahui ajaran sifat melawan hukum formil dan materiil

1
1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai sifat melawan hukum dalam
hukum pidana.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sifat Melawan Hukum


Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur tindak pidana yang merupakan suatu
penilaian objektif terhadap suatu perbuatan dan bukan terhadap yang berbuat. Suatu perbuatan
disebut melawan hukum pidana bilamana perbuatan tersebut masuk dalam rumusan delik
sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang (tatbestandsmaszig).1 Artinya untuk
mengetahui suatu perbuatan bersifat melawan hukum dalam lapangan hukum pidana dapat
dilihat dari KUHP sebagai sumber hukum pidana Indonesia dan perundang-undangan lain
yang mengatur tentang tindak pidana khusus, seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan sebagainya.

Akan tetapi, perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak senantiasa bersifat melawan
hukum, karena mungkin ada alasan pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukumnya
perbuatan. Misalnya, regu penembak yang menembak mati seseorang yang telah dijatuhi
pidana mati, perbuatan regu penembak tersebut memenuhi unsur-unsur delik pada Pasal 338
KUHP, tetapi perbuatan mereka tidak melawan hukum karena menjalankan perintah jabatan
yang sah sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) KUHP.

Unsur sifat melawan hukum dalam KUHP dirumuskan dalam beberapa istilah yang
berbeda yaitu:

1. Unsur tersebut dicantumkan secara tegas dengan penggunaan istilah “melawan hukum”
yang terdapat dalam Pasal 167, 168, 335 ayat (1), 522, 526 KUHP dan sebagainya.
2. Unsur sifat melawan hukum dirumuskan dengan istilah lain seperti “tanpa mempunyai hak
untuk itu” yang terdapat dalam Pasal 303, 548, 549 KUHP. Istilah lain lagi yaitu “dengan

1
Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1A, (Malang: Bagian Penerbitan, dan Biro Perpustakaan dan Penerbitan, Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Brawijaya, 1974), hal.83

3
melampaui kewenangannya”, yang terdapat dalam Pasal 430 KUHP. Berikutnya istilah
“tanpa ijin, atau tidak dengan setahu yang punya” dalam Pasal 469 dalam 510.

Berbagai istilah dari sifat melawan hukum ini memiliki makna atau arti. Simons
mengartikannya sebagai “bertentangan dengan hukum”. Kemudian Noyon mengartikannya
sebagai “bertentangan dengan hak orang lain”, dan oleh Hoogerechtshof diartikan sebagai
“tanpa kewenangan atau tanpa hak; hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum”.
Sedangkan Bemmelen memberikan dua macam pengertian dari “melawan hukum”, yaitu
bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain
atau barang dan bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang.2

Sifat melawan hukum ini penting dirumuskan dalam undang-undang agar orang yang
berhak, atau berwenang melakukan perbuatan sebagaimana ditentukan tersebut tidak
dipidana.3 Konsekuensi dicantumkan secara tegas adalah harus dibuktikan. Sementara itu
bilamana tidak dicantumkan secara tegas (secara diam-diam dianggap melawan hukum), maka
pembuktiannya dibebankan pada penuntut umum.

2.2 Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil


1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil
Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai
melawan hukum apabila bertentangan dengan perundang-undangan (tertulis), demikian
juga sifat melawan bukum perbuatan tersebut hanya bisa dihapus dengan alasan pembenar
yang dirumuskan dalam perundang-undangan (tertulis) atau dapat juga disebut sebagai
dekriminalisasi. Dalam ajaran sifat melawan hukum formil untuk mengkualifikasi suatu
perbuatan sebagai melawan hukum maupun untuk menghapuskan sifat melawan hukum
harus berdasar perundang-undangan (tertulis), sehingga hukum tidak tertulis sama sekali
tidak mendapat tempat dalam hukum pidana.4
Dalam hal melawan hukum formil, maka yang dijadikan sebagai acuan adalah undang-
undang di mana suatu perbuatan hanya akan dianggap salah dan melawan hukum apabila

2
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Materiil Bagian umum), (Bandung: Binacipta, 1984), hlm. 150
3
Sudarto, Op.Cit., hal. 92
4
Prastowo, RB Budi. "Delik formil/materiil, sifat melawan hukum formil/materiil dan pertanggungjawaban pidana
dalam tindak pidana korupsi." Jurnal hukum pro Justitia 24, no. 3 (2006): 215

4
telah diatur dalam hukum yang tertulis saja.5 Maka setiap perbuatan yang walaupun
dianggap jahat oleh masyarakat, tetapi tidak diatur dalam hukum positif tidak dapat
dikatakan melawan hukum berdasarkan ajaran sifat melawan hukum formil.

Terdapat beberapa catatan dalam menentukan perbuatan yang melanggar hukum


formil, apakah akibatnya atau penyebabnya yang dilarang dalam hukum tertulis. Dalam
menentukan perbuatan yang melanggar hukum formil diperlukan kecermatan agar tidak
terjadi salah penafsiran undang-undang. Dengan artian, perlu adanya pengamatan pada
perbuatan yang melawan hukum formil, pada bagian mana perbuatan tersebut melawan
hukum formil.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian dari ajaran sifat melawan hukum formil ini
meliputi dua hal, yang pertama menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat disebut melawan
hukum apabila perbuatan tersebut telah ada dan dirumuskan dalam undang-undang sebagai
tindak pidana kemudian perbuatan tersebut harus memiliki sanksi pidana. Hal yang kedua
menyatakan bahwa menurut ajaran melawan hukum formil, sifat melawan hukumnya
perbuatan yang telah ada dan dirumuskan dalam undang-undang sebagai suatu tindak
pidana, sifat melawan hukumnya kemudian hanya dapat dihapuskan oleh undang-undang
melalui proses pencabutan oleh undang-undang atau yang dikenal dengan istilah
dekriminalisasi.6

Contoh dari ajaran sifat melawan hukum formil yaitu polisi menahan seseorang yang
diduga telah melaksanakan suatu perbuatan pidana. Perbuatan polisi ini sesungguhnya
telah memenuhi ketentuan Pasal 333 KUHP. Tetapi karena perbuatan itu tidak dapat
dikatakan bersifat melawan hukum karena polisi menjalankan kewajibannya berdasarkan
Undang - Undang hukum acara pidana. Dan oleh sebab itu sifat melawan hukumnya hapus
karena ketentuan Pasal 50 KUHP.

Contoh lainnya adalah regu penembak yang menembak mati seseorang yang telah
dijatuhi pidana mati, perbuatan regu penembak tersebut memenuhi unsur-unsur delik pada

5
Eleanora, Fransiska Novita. "Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Penyuapan." Jurnal
Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat 9, no. 2 (2016). Hlm. 207
6
Wedanti, I. Gusti Ayu Jatiana Manik, and AA Ketut Sukranatha. "Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 362 KUHP
Tentang Tindak Pidana Pencurian." Jurnal Kertha Semaya 1, no. 03 (2013). Hlm.3

5
Pasal 338 KUHP, tetapi perbuatan mereka tidak melawan hukum karena menjalankan
perintah jabatan yang sah sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) KUHP.

2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil


Ajaran sifat melawan hukum memahami bahwa suatu perbuatan harus dilarang
berdasarkan ukuran tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan dilakukan. Titik
pemahaman dalam ajaran sifat melawan hukum berada pada ukuran apa yang digunakan
dalam menilai suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang.
Munculnya ajaran sifat melawan hukum materiil ini dari pemikiran Rudgers
sebagaimana dikutip Utrecht yang menekankan taatbestandmassigkeit dalam perbuatan
pidana berkembang menjadi pemikiran van Bemmelen yang menekankan “idee”
wesenschau dalam perbuatan pidana. Berbeda dengan pandangan tersebut, van Bemmelen
sebagaimana dikutip Utrecht berpandangan bahwa suatu perbuatan lebih dapat dinilai
sebagai perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut “dem Wesen nach” dalam arti sifat
dari perbuatan (wesen) sesuai dengan makna atau inti dari ketentuan hukum pidana yang
dimaksudkan.”7
Berdasarkan makna dari sifat melawan hukum tersebut, ajaran sifat melawan hukum
materiil pada dasarnya diletakkan pada ada atau tidaknya kepentingan hukum yang
dilanggar. Ukuran dari keberadaan melawan hukum perbuatan tidak terletak pada
pengaturan perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (sifat melawan
hukum formil) melainkan adanya kepentingan hukum yang dilanggar (sifat melawan
hukum materiil).
Pemberlakuan ajaran sifat melawan hukum materiil bermula dari pemikiran Von Liszt
dan Zu Dohna. Von Liszt sebagaimana dikutip Utrecht menegaskan bahwa tiap perbuatan
yang anti-sosial merupakan wederrechtelijkheid.8 Zu Dohna pun memberikan pemahaman
bahwa perbuatan yang sudah memenuhi rumusan ketentuan hukum pidana (formeel
wederrechtelijkheid) tetapi secara materiil tidak merupakan wederrechtelijkheid. Tinjuan
dari sisi ruang lingkup perbuatan yang dapat dikenakan terhadap ketentuan hukum,

7
Utrecht., E. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Hlm.261-263
8
Utrecht, E. Op.cit., Hlm. 268-269

6
pemberlakuan ajaran sifat melawan hukum materiil menunjukkan perluasan melawan
hukum secara tidak hanya melawan hukum yang tertulis akan tetapi melawan hukum yang
tidak tertulis, yaitu melawan asas-asas hukum umum (algemene beginselen van recht).
Contoh dari ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu seorang dokter hewan di kota
Huizen dengan sengaja memasukan sapi - sapi yang sehat ke dalam kandang yang berisi
sapi-sapi yang sudah terjangkit penyakit mulut dam kuku,sehingga membahayakan sapi-
sapi yang sehat tersebut. Perbuatan dokter hewan itu tegas-tegas melanggar Pasal 28
Undang-Undang ternak, yaitu "dengan sengaja menempatkan ternak dalam keadaan
membahayakan". Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan bahwa apa yang
dilakukannya itu untuk kepentingan peternakan. Putusan Mahkamah Agung Belanda: Pasal
82 Undang-Undang Ternak tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu, dengan
pertimbangan bahwa: “Tidak dapat dikatakan bahwa seorang yang melakukan perbuatan
yang diancam pidana itu mesti di pidana, apabila undang-undang sendiri tidak dengan
tegas-tegas menyebut adanya alasan-alasan penghapus pidana. Karena dalam hal ini sifat
melawan hukumnya perbuatan tidak ada, sehingga oleh karena pasal yang bersangkutan
tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara tegas memenuhi unsur delik."
Terkait dengan ukuran yang digunakan oleh ajaran sifat melawan hukum materiil
terdapat beberapa istilah yang digunakan antara lain:
1. Asas-asas hukum umum
2. Kepentingan hukum
3. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi pada saat aturan ditetapkan (schutznorm).

Perbedaan penggunaan istilah tersebut memiliki dampak yang luas pada penerapan
sifat melawan hukum materiil. Pengunaan istilah asas-asas hukum umum memberikan
ruang lingkup yang sangat luas terhadap ukuran sifat melawan hukum materiil. Pengertian
asas-asas hukum umum meliputi semua asas hukum yang berlaku dalam semua bidang
hukum, tidak hanya hukum pidana. Artinya, ruang lingkup dari sifat melawan hukum
materiil pun tidak hanya dibatasi pada pemahaman sifat dan fungsi dari hukum pidana itu
sendiri.

Penggunaan istilah kedua “kepentingan hukum” memiliki perbedaan makna dengan


istilah ketiga “kepentingan hukum yang hendak dilindungi pada saat aturan ditetapkan”.

7
Istilah “kepentingan hukum” dijelaskan oleh Schaffmeister dengan menunjuk pada
kepentingan umum yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang melalui pembentukan
norma perilaku menjadi norma hukum. Berdasarkan pemahaman ini maka pemahaman
terhadap norma perilaku yang dijadikan dasar atau acuan penilaian perbuatan pidana sangat
bergantung pada pemaknaan norma tersebut pada tiap perkembangan masyarakat. Berbeda
halnya dengan penggunaan istilah “kepentingan hukum yang hendak dilindungi pada saat
aturan ditetapkan” memberikan batasan pemaknaan kepentingan hukum yang ditegaskan
dalam norma perilaku yang ditunjuk melalui sebuah penafsiran tekstual undang-undang.
Pemahaman terhadap pemaknaan norma perilaku yang ditetapkan sebagai norma hukum
harus didasarkan pada pemahaman tujuan pembentuk undang-undang membuat
pengaturan ketentuan hukum pidana tersebut.

Terkait dengan ukuran penilaian terhadap sifat melawan hukum materiil ini perlu
dibedakan:

1. Dalam fungsinya yang negatif


Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui
kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat
melawan hukumya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Jadi hal
tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum,
2. Dalam fungsinya yang positif
Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif
menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai satu delik, meskipun tidak nyata diancam
dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau
ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang
tertulis sebagai sumber hukum yang positif.9

Dari pembahasan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara pandangan
material dengan pandangan formal yaitu:

1. Pandangan materiil mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan


hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan tidak tertulis; sedangkan

9
Sudarto. 2018. Hukum Pidana 1 Edisi Revisi. Semarang: Yayasan Sudarto

8
pandangan yang formil hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-
undang saja.
2. Pandangan materiil menganggap sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap
perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebutkan unsur-unsur
tersebut; sedangkan bagi pandangan yang formil, sifat tersebut tidak selalu menjadi
unsur dari perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-
nyata, barulah menjadi unsur delik.10

10
Moeljatno, S. H. "Asas-asas Hukum Pidana." Rineka Cipta, Jakarta (2002).

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur tindak pidana yang merupakan suatu
penilaian objektif terhadap suatu perbuatan dan bukan terhadap yang berbuat. Apabila
suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, hal itu merupakan indikasi bahwa perbuatan itu
bersifat melawan hukum. Namun sifat melawan hukum ini dapat diterobos dengan adanya
alasan pembenar.
2. Ajaran sifat melawan hukum formil menganggap bahwa suatu perbuatan bersifat melawan
hukum apabila bertentangan dengan hukum tertulis. Sedangkan ajaran sifat melawan
hukum materiil menganggap bahwa suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila
bertentangan dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Sehingga menurut
ajaran sifat melawan hukum formil, alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan hanya dapat diambil dari hukum tertulis. Sedangkan
menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, alasan pembenar dapat diambil dari luar
hukum yang tertulis.

3.2 Saran
Sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur dari tindak pidana harus dibuktikan agar
seseorang dapat dipidana. Kemudian sifat melawan hukum ini penting dirumuskan dalam
undang-undang agar orang yang berhak atau berwenang melakukan perbuatan sebagaimana
ditentukan itu tidak dipidana.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, V. (1984). Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Materiil Bagian umum). Bandung:
Binacipta.

Eleanora, F. N. (2016). Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana
Penyuapan. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat, 9(2).

Mertha, I.K. dkk. (2016). Buku Ajar Hukum Pidana. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas
Udayana

Moeljatno. (2015). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Prastowo, R. B. (2006). Delik formil/materiil, sifat melawan hukum formil/materiil dan


pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Jurnal hukum pro Justitia,
24(3).

Sudarto. (1974). Hukum Pidana Jilid 1A. Malang: Bagian Penerbitan, dan Biro Perpustakaan dan
Penerbitan, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Brawijaya.

Sudarto. (2018). Hukum Pidana 1 Edisi Revisi. Semarang: Yayasan Sudarto.

Utrecht., E. (1986). Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Wedanti, I. G. A. J. M., & Sukranatha, A. K. (2013). Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 362
KUHP Tentang Tindak Pidana Pencurian. Jurnal Kertha Semaya, 1(03).

11

Anda mungkin juga menyukai