Anda di halaman 1dari 24

PENAFSIRAN

DALAM HUKUM
PIDANA
RAHMANIDAR.SH,.MH.
PENAFSIRAN =
INTERPRETASI
PENAFSIRAN
 Menurut R. Soeroso, penafsiran adalah mencari atau menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam peraturan perundang-
undangan sesuai dengan yang dikehendaki serta yg dimaksud oleh
pembuat UU.

 Menurut Logemann, dalam melakukan penafsiran hukum, seseorang


diwajibkan mencari maksud dan kehendak pembuat UU sedemikian rupa
sehingga tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat UU
itu.
 Penafsiran/ interpretasi merupakan salah satu cara
atau metode penemuan hukum yg memberi penjelasan
gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang
lingkup kaedahnya dapat diterapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu.
ALASAN
DILAKUKANNYA PENAFSIRAN

1. Hukum tertulis bersifat statis yang sering tidak dapat mengikuti


perkembangan masyarakat yang diaturnya. Oleh karena itu, hukum
selalu ketinggalan, untuk mengikuti perkembangan tersebut dalam
praktiknya sering diperlukan suatu penafsiran;

2. Undang-Undang itu tidak sempurna. Ketika hukum tertulis dibentuk, ada


hal-hal yang tidak diatur karena tidak menjadi perhatian pembentuk
undang-undang. Meskipun demikian peraturan itu harus tetap
dilaksanakan. Namun setelah uu terbentuk dan dijalankan, baru muncul
persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi.
3. Kata yg menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam uu itu sendiri
tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata penting dalam
pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya
rumusan ketentuan hukum pidana

4. Sering suatu norma dirumuskan secara singkat dan bersifat sangat


umum, sehingga kurang jelas maksud dan artinya sehingga akan
menimbulkan kesulitan dalam menerapkannya.
Yang Dapat Melakukan
Penafsiran
 Menafsirkan / menemukan hukum tidak hanya dapat dilakukan

hakim saja,
 Tetapi juga

para ilmuwan sarjana


hukum,
dan juga para yustisiabel

yg mempunyai
kepentingan dengan perkara di Pengadilan yaitu

Pengacara ataupun jaksa.


CARA PENAFSIRAN

1. Dalam pengertian subyektif dan obyektif


dalam pengertian subyektif adalah apabila penafsiran
dilakukan seperti yg dikehendaki oleh pembuat UU
dalam pengertian obyektif yaitu apabila penafsiran
lepas dari pendapat pembuat UU dan sesuai dengan
adat, bahasa sehari-hari.
Lanjutan...

2. Dalam pengertian sempit dan luas


dalam pengertian sempit yaitu apabila dalil yg
ditafsirkan diberi pengertian yg sangat dibatasi.
dalam pengertian luas yaitu apabila dalil yg
ditafsirkan diberi pengertian yg seluas-luasnya
Metode Penafsiran
 Dalam peraturan perundang-undangan tidak ditentukan bagaimana cara
melakukan penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
yg ada.

 Cara-cara penafsiran tsb dapat ditemukan di dalam doktrin hukum yg ada.


Lanjutan...

 Berbagai macam metode penafsiran yg ada al :

1. Penafsiran Gramatikal / tata bahasa;


2. Penafsiran Historis/ Sejarah;
3. Penafsiran Sistematis;
4. Penafsiran Sosiologis/ keadaan
masyarakat;
5. Penafsiran Otentik;
6. Penafsiran Perbandingan;
7. Penafsiran analogis.
1.Penafsiran Gramatikal /
tata bahasa
 Yg dimaksud dgn penafsiran gramatikal adalah

penafsiran yang menurut bahasa sehari-hari yg


digunakan oleh masyarakat yg bersangkutan.
 Bahasa merupakan alat bagi pembuat undang-undang
untuk menyatakan maksud dan kehendaknya. Untuk itu
hakim harus mencari arti kata-kata tsb dalam kamus
atau minta penjelasan dari ahli bahasa, atau bisa
mencari sejarah penggunaan kata-kata tsb.
 Contoh :
1. larangan memarkir kendaraan. Apakah yg dimaksud kendaraan itu
tidak dijelaskan. Apakah hanya kendaraan bermesin saja atau
termasuk dokar, sepeda, gerobak dan sebagainya?
2. Frase “dipercayakan” dalam Pasal 432 KUHP ditafsirkan sebagai
“diserahkan”
3. Frase “meninggalkan” dalam Pasal 305 KUHP ditafsirkasn sebagai
“menelantarkan”.
2. Penafsiran Historis/
Sejarah
 Penafsiran dengan cara ini adalah meneliti sejarah daripada undang-
undang ybs. Tiap ketentuan perundang-undangan tentu mempunyai
sejarah dan dari sejarah perundang-undangan ini hakim dapat mengetahui
maksud dari pembuatnya.
 Ada dua macam penafsiran historis, yi :
a. Penafsiran menurut sejarah pembuatan undang-undang
(wetshistorische interpretatie)
b. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechthistorische interpretatie)
a. Penafsiran menurut sejarah pembuatan undang-undang adalah
penafsiran yang dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap
maksud pembuat UU dlm menetapkan peraturan perUUan atau siapa yg
membuat rancangan UU, apa dasarnya, apa yg diperdebatkan dalam
sidang pembentukannya sehingga UU itu dapat ditetapkan secara resmi.
b. Penafsiran menurut sejarah hukum adalah penafsiran yg menyelidiki
apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yg dahulu pernah
berlaku atau dari sistem hukum lain yg masih berlaku.
3. Penafsiran Sistematis

 Penafsiran sistematis adalah penafsiran yg


menghubungkan pasal yg satu dgn pasal yg lain dlm
suatu peraturan perUUan ybs, atau pada perUUan
hukum lainnya, atau membaca penjelasan suatu
PerUUan sehingga dapat dimengerti apa yg
dimaksudkan.

Misalnya “ketentuan paling
menguntungkan” dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP
apabila dihubungkan dengan rumusan Pasal 1 (1) KUHP yang merumuskan
“suatu perbuatan dapat dipidana keculai bedasarkan kekuatan ketentuan
peundang-undangan pidana yang telah ada”.
 Artinya semula perbuatan tertentu dipidana, kemudian menurut ketentuan
yang baru menjadi tidak dapat dipidana.
Misalnya sebulan yang lalu A melakukan perbuatan pidana yang dapat
dihukum, kemudian hari ini muncul UU yang mengatur perbuatan pidana
tesebut tidak dapat dihukum. Dengan demikian yang diberlakukan adalah UU
pidana baru yang menguntungkan
4. Penafsiran Sosiologis/
keadaan masyarakat
 Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yg disesuaikan dengan keadaan
sosial di dalam masyarakat agar penerapan hukum dapat sesuai dengan
tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masyarakat.
 keadaan sosial masyarakat ketika UU itu dibuat sudah berbeda dengan
keadaan sosial pada waktu UU itu diterapkan. Dengan kata lain UU nya
sudah usang/ tidak sesuai lagi tapi tetap berlaku dan diterapkan pada
peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini. Untuk itu
diperlukan penyesuaian dengan keadaan baru tsb.
 Contoh :
Pasal 362 KUHP yg melarang untuk mencuri barang kepunyaan orang lain.
apa yg dimaksud dgn barang?
mula-mula pengertiannya terbatas pada segala yg bisa dilihat, diraba, dan
dirasakan secara riil keberadaannya.
pada saat itu listrik tidak termasuk sebagai barang dan pencuri listrik
tidak dapat dihukum dengan 362 KUHP.
kemudian dilakukan penafsiran, bahwa listrik dapat dianggap sebagai
barang karena mempunyai nilai tertentu. sehingga pencurian listrik bisa
dihukum.
5. Penafsiran Otentik

 Penafsiran ini adalah penafsiran secara resmi yang dilakukan oleh


pembuat undang-undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan dan tidak boleh oleh siapapun dan
pihak manapun.
 Penafsiran ini terdapat dalam Penjelasan pasal demi pasal dari PerUUan
sebagai lampiran atau tambahan lembaran negara dari UU ybs.
6. Penafsiran Perbandingan
 Adalah suatu penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama
dengan hukum positif yang berlaku saai ini, antara hukum nasional dengan
hukum asing dan hukum kolonial.

 Contoh hukum lama dengan hukum positif saat ini, mungkin hukum lama
cocok untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. umpamanya
beberapa hukum dan asas hukum adat, yg menggambarkan unsur
kekeluargaan dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
7. Penafsiran analogis
 Penafsiran ini adalah penafsiran dari pada suatu peraturan hukum dengan
memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas
hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tsb.

 Adanya analogi dikarenakan dibutuhkannya perluasan hukum dengan


menyesuaikan tempat, waktu dan situasi. Menganologi merupakan
menciptakan konstruksi baru, mempunyai kesamaan permasalahan dengan
anasir yg berlainan.
 Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-masalah
hukum perdata terutama hukum perikatan. Sedangkan
hukum publik/ pidana yg sifatnya memaksa tidak boleh
diberlakukan analogi karena terikat pada Pasal 1 ayat
(1) KUHP.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai