Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS YURIDIS

KESATU:

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut


Pasal 340 jo. 53 Ayat (1) jo. 55 Ayat (1) KUHP yang mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:

1. Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana


1) Barangsiapa

Bahwa yang dimaksud dengan barangsiapa menurut ketentuan pasal ini


adalah subjek hukum yang dalam hal ini adalah perorangan (natuurlijke persoon)
yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana;

Subjek hukum merupakan sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang


untuk melakukan perbuatan hukum atau segala sesuatu yang memiliki hak dan
kewajiban dalam melakukan perbuatan hukum. Dari penjabaran di atas, berikut ini
pengertian dari subjek hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli, meliputi:

- Prof. Subekti, menyebutkan bahwa subjek hukum merupakan pendukung


dari hak dan kewajiban yang ada.
- Prof. Sudikno, subjek hukum merupakan segala sesuatu yang mendapat
hak an kewajiban dari hukum
- Riduan Syahrani, subjek hukum merupakan pembawa hak atau subjek di
dalam hukum.

Subjek Hukum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Subjek Hukum Manusia, yaitu setiap orang mempunyai kedudukan yang sama
selaku pendukung hak dan kewajiban. Syarat cakap hukum dalam subjek
hukum manusia yaitu:
- Seseorang yang sudah dewasa berumur 21 tahun
- Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah

Ada juga gologan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karena tidak
cakap dalam melakukan perbuatan hukum (personae miserabile) yaitu:

- Anak yang dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah.


- Orang yang dalam pengampunan (curatele) yaitu orang yang sakit ingatan,
pemabuk, dan pemboros.
2. Subjek Hukum Badan Hukum (Recht Person), yaitu perkumpulan atau lembaga
yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek
hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
hukum teori kekayaan yang bertujuan:
- Memiliki kekayaan yang terpisah dan kekayaan anggotanya.
- Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para
anggotanya.

Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa subjek hukum adalah
pemegang kekuasaan dari hak dan kewajiban yang berlaku menurut hukum.
Dalam hukum Indonesia, yang menjadi subjek hukum ialah manusia.

“Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi serta keterangan terdakwa di


Persidangan maka dapat diperoleh fakta bahwa benar terdakwa adalah orang
yang didakwa melakukan perbuatan sebagaimana yang tercantum dalam surat
dakwaan Penuntut Umum”

Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak sependapat


dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa berdasarkan keterangan semua saksi
tidak sepenuhnya menyetujui bahwa Terdakwa adalah orang yang didakwa
melakukan perbuatan sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dakwaan
Penuntut Umum dan berdasarkan keterangan saksi dari Penasihat Hukum
menyangkal jika Terdakwa adalah orang yang melakukan perbuatan sebagiman
yang tercantum dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum. Menurut Pasal 1
butir 26 KUHAP.

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna


kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri”

Maka unsur “barangsiapa” tidak terpenuhi dan tidak terbukti secara


sah dan meyakinkan.

2) Dengan sengaja

Kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan bahwa pada dasarnya


yang dimaksud unsur “Dengan Sengaja” sama dengan kata “Terencana” yang
mengacu kepada subjek hukum pelaku tindak pidana yang dapat bertanggung
jawab atas perbuatan atau tindakannya.
Penuntut Umum dalam analisis yuridisnya yang menguraikan unsur “Setiap
Orang” dengan argumen yang kami kutip sebagai berikut:
“Bahwa TERDAKWA Yansen Caprin dari awal sudah berniat secara dalam
keadaan sadar dengan sengaja untuk melakukan suatu perampasan kemedekaan
serta mengetahui akibat yang terjadi jika TERDAKWA melakukan tersebut,
dengan terbuktinya saksi-saksi yang telah dihadirkan serta barang bukti yang
dihadirkan dalam persidangan."

Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak sependapat


dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa Terdakwa tidak sadar “Dengan Sengaja”
melakukan suatu perampasan kemerdekaan serta mengetahui akibat yang terjadi
dan Terdakwa juga memiliki saksi-saksi yang berpendapat bahwa Terdakwa tidak
melakukan kejahatan dalam merampas kemerdekaan seseorang. Menurut
Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah :
”Seseorang. Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Orang
yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan
tersebut diketahuinya tidak benar.”

Maka unsur “Dengan Sengaja” tidak terpenuhi dan tidak terbukti


secara sah dan meyakinkan.

3) Dengan rencana lebih dahulu

Kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan tidak sependapat


dengan Surat Tuntutan dari Penuntut Umum yang menyatakan bahwa pada
dasarnya yang dimaksud dengan unsur “Dengan Rencana Lebih Dahulu” sama
dengan kata “Sudah di Persiapkan” yang mengacu kepada subjek hukum pelaku
tindak pidana yang dapat bertanggung jawab atas perbuatan atau tindakannya.

Penuntut Umum dalam analisis yuridisnya yang menguraikan unsur “Dengan


Rencana Lebih Dahulu” dengan argumen yang kami kutip sebagai berikut:
”Bahwa TERDAKWA yang sudah berada di acara penghargaan Desainer
Award padda tangggal 2 febuari 2019 semakin merasa kesal dan sangat
cemburu karena wartawan terus memberikan pertanyaan tentang kedekatan
NABILA FARAH dan PANDA SALIM sekalipun faktanya PANDA SALIM hanya
bersandiwara dalam menjalani hubungan tersebut.Selain itu, TERDAKWA juga
merasa kehadirannya tidak dihargai. Dengan emosi yang membara tebersit
dibenak TERDAKWA untuk membunuh NABILA.Ketika KRISNA RIANDRU
menghubungi TERDAKWA, TERDAKWA kemudian memerintahkan KRISNA
RIANDRU untuk membunuh NABILA FARAH.”
Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak sependapat
dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa sebenarnya Terdakwa menghubungi
KRISNA RIANDRU bukan untuk menyuruhnya membunuh NABILA FARAH
melainkan Terdakwa menyuruh KRISNA RIANDRU untuk menjemput NABILA
FARAH dan PANDA SALIM untuk mengantarkan mereka ke acara Award
Desainer.
“Bahwa di waktu yang sama, TERDAKWA juga memerintahkan KRISNA
RIANDRU membeli alat-alat yang dibutuhkan untuk mengeksekusi NABILA
FARAH, antara lain koper dan alat kebersihan seperti alat pel, ember. Kemudian,
KRISNA RIANDRU memerintahkan FAJAR BIMA untuk membeli semua
keperluan tersebut.”

Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak sependapat


dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa Terdakwa tidak menyuruh KRISNA
RIANDRU membeli alat-alat yang dibutuhkan untuk meenksekusi NABILA
FARAH malinkan menuruhnya membeli makanan untuk NABILA FARAH dan
KRISNA RIANDRU.

”Bahwa beberapa saat kemudian, TERDAKWA kembali menghubungi KRISNA


RIANDRU melalui chat WhatsApp berisi perintah untuk teracuni NABILA
FARAH menggunakan cairan tetrodotoxin yang merupakan racun dari ikan
buntal, dengan tujuan agar NABILA FARAH merasa tersiksa sebelum ditembak
mati. Tetrodotoxin tersebut rencananya akan dicampurkan ke dalam air mineral
yang nantinya akan diberikan kepada NABILA FARAH.”

Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak


sependapat dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa TERDAKWA menghubungi
KRISNA RIANDRU melalui via telfon dan saat itu KRISNA RIANDRU tidak
mengangkat telfon dari TERDAKWA saat acara Desain Award berlangsung.

Maka daripada itu, bagaimana bisa Penuntut Umum dapat menyimpulkan unsur
“dengan rencana lebih dahulu” pada Terdakwa, sedangkan unsur lain yang
dijelaskan dalam poin-poin analisis yuridis lainnya belum memenuhi unsur
rumusan delik. Dengan demikian, unsur “dengan rencana lebih dahulu” yang
diuraikan oleh Penuntut Umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Menurut Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah :

“Seseorang menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Orang
yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut
diketahuinya tidak benar.”
Maka unsur “dengan rencana lebih dahulu” tidak terpenuhi dan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan.

4) Mencoba merampas nyawa orang lain

Sebagian pakar mempergunakan istilah “Merampas jiwa orang lain”. Setiap


perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan / merampas jiwa
orang lain adalah pembunuhan.

Perbuatan yang mana yang dapat merampas/menghilangkan jiwa orang lain,


menimbulkan beberapa pendapat yakni:

- Teori Aequivalensi dari Von Buri yang disebut juga Teori Conditio Sine Qua Non
yang menyamaratakan semua factor yang turut serta menyebabkan suatu akibat.
- Teori Adaequate dari Van Kries yang juga disebut dengan teori keseimbangan
yakni perbuatan yang seimbang dengan akibat.
- Teori Individualis dan Teori Generalis dari Dr. T. Trager yang pada dasarnya
mengutarakan bahwa yang paling menentukan terjadinya akibat tersebut itulah
yang menyebabkan, sedang menurut Teori Generalisasi, berusaha memisahkan
setiap aktor yang menyebabkan akibat tersebut.

”Sebelum itu, TERDAKWA memerintahkan KRISNA RIANDRU untuk menyimpan pistol


revolver dengan merk Ruger LCR yang ia temukan dibalik jubah NABILA FARAH, yang
nantinya akan TERDAKWA gunakan untuk menembak NABILA FARAH.”

Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak sependapat


dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa sebenarnya Terdakwa memerintahkan
KRISNA RIANDRU untuk menyimpan pistol revolver karena Terdakwa tahu jika
membawa senjata api itu dilarang di negara Indonesia dan Terdakwa juga tahu jika
NABILA FARAH tidak mempunyai surat izin dari pihak berwajib bahwa NABILA
FARAH membawa senjata api, dan juga Terdakwa tidak mau jika sahabtanya itu
dipidanakan karna membawa senjata api. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Darurat
No. 12 Tahun 1951 disebutkan :

“Barangsiapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima,


mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai,
membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya,
menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau
mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, munisi atau sesuatu bahan
peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup
atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.”

Maka unsur “Mencoba merampas nyawa orang lain” telah terpenuhi


dan terbukti secara sah dan meyakinkan.

2. Pasal 53 Ayat (1) tentang Percobaan Tindak Pidana

Beberapa sarjana beranggapan bahwa niat dalam kaitannya dengan


percobaan adalah sama dengan semua bentuk kesengajaan (kesengajaan sebagai
maksud, kesengajaan berinsyaf kepastian, dan kesadaran berinsyaf kemungkinan).
Pendapat demikian dianut antara lain oleh D. Hazewinkel-Suringa, van Hammel,
van Hattum, Jonkers, dan van Bemmelen.

Menurut Memori Penjelasan KUHP Belanda (MvT) niat sama dengan


kehendak atau maksud. Hazeinkel-Suringa mengemukakan bahwa niat adalah
kurang lebih suatu rencana untuk mengadakan suatu perbuatan tertentu dalam
keadaan tertentu pula. Dalam rencana itu selalu mengandung suatu yang
dikehendaki mungkin pula mengandung bayangan-bayangan tentang cara
mewujudkannya yaitu akibat-akibat tambahan yang tidak dikehendaki, tetapi
dapat direka-reka akan timbul. Maka jika rencana tadi dilaksanakan dapat menjadi
kesengajaan sebagai maksud, tetapi mungkin pula menjadi kesengajaan dalam
corak lain (sengaja sebagai keinsyafan kepastian ataupun sengaja sebagai
keinsyafan kemungkinan). (Santoso, 2000:153)

Dalam Memori Penjelasan (MvT) mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1)


KUHP, telah diberikan beberapa penjelasan yaitu antara lain:

a. Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang
telah dapat dihukum itu terdapat diantara apa yang disebut
voorbereidingshandelingen (tindakan-tindakan persiapan) dengan apa yang
disebut uitvoeringshandelingen (tindakan-tindakan pelaksanaan);
b. Yang dimaksud dengan voorbereidingshandelingen dengan
uitvoeringshandelingen itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai
hubungan sedemikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk
dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya;
c. Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang
batas-batas antara uitvoeringshandelingen seperti dimaksud di atas
(Lamintang, 1984: 528).
3. Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang Penyertaan

Kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan sependapat dengan Surat


Tuntutan dari Penuntut Umum yang menyatakan bahwa pada dasarnya yang
dimaksud dengan unsur “Pasal 55 ayat (1)” yang mengacu kepada subjek hukum
pelaku tindak pidana yang dapat bertanggung jawab atas perbuatan atau
tindakannya.
Penuntut Umum dalam analisis yuridisnya yang menguraikan unsur “Pasal 55
ayat (1)” dengan argumen yang kami kutip sebagai berikut:
Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau
turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing
peserta tindak pidana adalah sama.

Turut mengerjakan sesuatu yaitu:

a. Mereka memenuhi semua rumusan delik;


b. Salah satu memenuhi rumusan delik;
c. Masing-masing hanya memenuhi sebahagian rumusan delik.

Syarat adanya medepleger, antara lain:

a. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama dilakukan secara sengaja untuk
kerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang;
b. Adanya pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik
yang bersangkutan.
c. Berdasarkan analisis yuridis Penuntut Umum pada Surat Tuntutan, kami tidak
sependapat atas dalil-dalil yang dikemukakan. Kami berpendapat

bahwa tindakan Penuntut Umum merupakan tindakan yang dianggap


premature dalam mendudukkan Terdakwa sebagai subjek yang telah memenuhi
unsur “Pasal 55 ayat (1)”, karena hanya dengan dalil-dalil yang dikemukakan di
atas.
Dalam analisis kami, di mana terlebih dahulu kami akan mendalami fakta-fakta
yang terungkap di persidangan serta tak lupa mengkombinasikannya dengan
argumen hukum. Setelah itu di akhir kami akan membuktikan unsur setiap orang
pada bagian kesimpulan. Kami akan memaparkan argumen hukum secara
mendetail yang akan tercermin dalam cara kami menguraikan unsur selanjutnya.
Pastinya kami juga akan membuktikan bahwa Terdakwa sama sekali tidak
memiliki kesalahan atas dasar fakta-fakta serta teori hukum yang berlaku positif.
Kami akan membuktikan bahwa Terdakwa bukan merupakan unsur “Pasal 55
ayat (1)” yang dimaksud. Maka dari itu, kami akan membuktikan unsur a quo
dengan dalil dan uraian demi untuk mencari kebenaran materiil.

Penuntut Umum dalam analisis yuridisnya pada poin kesatu, memberikan


argumen dan pendapatnya mengenai unsur “Pasal 55 ayat (1)” yaitu
sebagai berikut:

- Turut Serta Melakukan

Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat
atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-
masing peserta tindak pidana adalah sama.

Turut mengerjakan sesuatu yaitu:

a. Mereka memenuhi semua rumusan delik;


b. Salah satu memenuhi rumusan delik;
c. Masing-masing hanya memenuhi sebahagian rumusan delik.

Syarat adanya medepleger, antara lain:

a. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama dilakukan secara sengaja untuk
kerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang;
b. Adanya pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik
yang bersangkutan.
c. Berdasarkan analisis yuridis Penuntut Umum pada Surat Tuntutan, kami tidak
sependapat atas dalil-dalil yang dikemukakan. Kami berpendapat

Terdakwa Tidak Memenuhi Syarat Pemidanaan

Maka daripada itu, bagaimana bisa Penuntut Umum dapat menyimpulkan unsur
“Pasal 55 ayat (1)” pada Terdakwa, sedangkan unsur lain yang dijelaskan dalam
poin-poin analisis yuridis lainnya belum memenuhi unsur rumusan delik. Dengan
demikian, unsur “Pasal 55 ayat (1)” yang diuraikan oleh Penuntut Umum tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan.

KEDUA:

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut


Pasal 333 Ayat (1) jo. 55 Ayat (1) jo. 65 Ayat (1) KUHP yang mengandung unsur-
unsur sebagai berikut:

1.Pasal 333 Ayat (1) KUHP tentang Perampasan Kemerdekaan Seseorang


1) Barangsiapa
Bahwa yang dimaksud dengan barangsiapa menurut ketentuan pasal ini
adalah subjek hukum yang dalam hal ini adalah perorangan (natuurlijke persoon)
yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana;

Subjek hukum merupakan sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang


untuk melakukan perbuatan hukum atau segala sesuatu yang memiliki hak dan
kewajiban dalam melakukan perbuatan hukum. Dari penjabaran di atas, berikut ini
pengertian dari subjek hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli, meliputi:

- Prof. Subekti, menyebutkan bahwa subjek hukum merupakan pendukung


dari hak dan kewajiban yang ada.
- Prof. Sudikno, subjek hukum merupakan segala sesuatu yang mendapat
hak an kewajiban dari hukum
- Riduan Syahrani, subjek hukum merupakan pembawa hak atau subjek di
dalam hukum.

Subjek Hukum dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

3. Subjek Hukum Manusia, yaitu setiap orang mempunyai kedudukan yang sama
selaku pendukung hak dan kewajiban. Syarat cakap hukum dalam subjek
hukum manusia yaitu:
- Seseorang yang sudah dewasa berumur 21 tahun
- Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah

Ada juga gologan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karena tidak
cakap dalam melakukan perbuatan hukum (personae miserabile) yaitu:

- Anak yang dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah.


- Orang yang dalam pengampunan (curatele) yaitu orang yang sakit ingatan,
pemabuk, dan pemboros.
4. Subjek Hukum Badan Hukum (Recht Person), yaitu perkumpulan atau lembaga
yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek
hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
hukum teori kekayaan yang bertujuan:
- Memiliki kekayaan yang terpisah dan kekayaan anggotanya.
- Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para
anggotanya.
“Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi serta keterangan terdakwa di
Persidangan maka dapat diperoleh fakta bahwa benar terdakwa adalah orang
yang didakwa melakukan perbuatan sebagaimana yang tercantum dalam surat
dakwaan Penuntut Umum”
Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak
sependapat dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa berdasarkan
keterangan semua saksi tidak sepenuhnya menyetujui bahwa Terdakwa
adalah orang yang didakwa melakukan perbuatan sebagaimana yang
tercantum dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum dan berdasarkan
keterangan saksi dari Penasihat Hukum menyangkal jika Terdakwa adalah
orang yang melakukan perbuatan sebagiman yang tercantum dalam Surat
Dakwaan Penuntut Umum. Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP.
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”
”Bahwa selama proses persidangan TERDAKWA mampu mengikuti persidangan
dengan baik, mampu menjawab serta menanggapi segala pertanyaan dengan baik,
maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa adalah orang yang sehat
jasmani dan rohani sehingga dinilai sebagai orang yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.”
- Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak
sependapat dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa Terdakwa mempunyai
penyakit Lupus yang sampai saat persidangan berlangsung, Terdakwa belum
sembuh dari penyakitnya.

Maka unsur “barangsiapa” tidak terpenuhi dan tidak terbukti secara


sah dan meyakinkan.

2. Dengan sengaja

Kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa menyatakan bahwa pada dasarnya


yang dimaksud unsur “Dengan Sengaja” sama dengan kata “Terencana” yang
mengacu kepada subjek hukum pelaku tindak pidana yang dapat bertanggung
jawab atas perbuatan atau tindakannya.
`Penuntut Umum dalam analisis yuridisnya yang menguraikan unsur “Setiap
Orang” dengan argumen yang kami kutip sebagai berikut:
“Bahwa TERDAKWA Yansen Caprin dari awal sudah berniat secara dalam keadaan
sadar dengan sengaja untuk melakukan suatu perampasan kemedekaan serta
mengetahui akibat yang terjadi jika TERDAKWA melakukan tersebut, dengan
terbuktinya saksi-saksi yang telah dihadirkan serta barang bukti yang dihadirkan
dalam persidangan."
Berdasarkan analisis yuridis tersebut, kami Penasihat Hukum tidak sependapat
dengan dalil tersebut dikarenakan bahwa Terdakwa tidak sadar “Dengan Sengaja”
melakukan suatu perampasan kemerdekaan serta mengetahui akibat yang terjadi
dan Terdakwa juga memiliki saksi-saksi yang berpendapat bahwa Terdakwa tidak
melakukan kejahatan dalam merampas kemerdekaan seseorang. Menurut
Pasal 311 ayat (1) KUHP adalah :
”Seseorang. Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan. Orang
yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut
diketahuinya tidak benar.”
Maka unsur “dengan sengaja” telah terpenuhi dan terbukti secara sah
dan meyakinkan.

3) Melawan Hukum

Dalam Memorie van toelichting atau Sejarah Pembentukan KUHP di Belanda


tidak ditemukan apakah yang dimaksudkan dengan kata “hukum” dalam frasa
“melawan hukum”. Jika merujuk pada postulat contra legem facit qui id facit quod
lex prohibit; in fraudem vero qui, salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit,
maka dapat diartikan bahwa seseorang dinyatakan melawan hukum ketika
perbuatan yang dilakukan adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum.

Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat
melawan hukum. Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada Pasal 1
Ayat (1) KUHP. Dalam bahasa Belanda melawan hukum itu adalah
wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Dalam
menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undangundang menjadikan
sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan
undang-undang akan menjadi terlampau luas.

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum
pidana di samping asas legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan
hukum yang formal dan materiil. Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam
hukum pidana Indonesia terdapat hukum tidak tertulis, yaitu hukum adat.
Meskipun demikian pengakuan dan penerapan ajaran sifat melawan hukum
materiil baru dilakukan pada tahun 1965 dan implikasi yang lebih jauh adalah
lolosnya para koruptor karena telah membayar unsur kerugian negara dalam
perkara korupsi. Dalam perkembangannya, ajaran sifat melawan hukum ini
kemudian diformalkan kedudukannya dalam perundang-undangan seperti UU No.
31 Tahun 1999 dan rancangan KUHP.
Maka unsur “melawan hukum” tidak terpenuhi dan tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan.

4) Merampas Kemerdekaan Seseorang

Tindak pidana perampasan kemerdekaan, menurut Sianturi S.R.,


perampasan kemerdekaan adalah meniadakan atau membatasi kebebasan
seseorang bergerak meninggalkan suatu tempat untuk pergi ke tempat lainnya
yang diinginkan.

Merampas kemerdekaan seseorang bisa diartikan adalah perbuatan untuk


membatasi hak seseorang. Kemerdekaan menurut Pasal 333 ayat (1) hanya
melindungi kemerdekaan badan seseorang, bukan kemerdekaan jiwa.

Perampasan kemerdekaan banyak bentuknya, seperti menahan orang secara


tidak sah, menculik, menyandera, dan sebagainya. Apabila seseorang telah
dikurung di suatu ruangan dan berhasil lari bukan melalui jalan yang disediakan
dan tanpa melakukan kekerasan atau mengalami kekerasan, maka orang itu telah
dirampas kemerdekaannya (Hoge Raad, 9 April 1900, W.7427).

Kemerdekaan yang dimaksud disini adalah kemerdekaan bergerak, demikian


diputuskan oleh Hoge Raad, 3 Januari 1921. Hambatan terhadap kemerdekaan
bergerak bukan saja berupa pengurungan dan penawanan, tetapi juga paksaan
psikologis adalah cukup, asalkan dengan itu kemerdekaan bergerak seseorang
dihambat. Pengertian “Ruangan” di dalam ayat terakhir pasal ini harus diartikan
luas, meliputi pula mobil. Tidak termasuk perampasan kemerdekaan, jika seorang
dengan sukarela dengan memakai nama orang lain yang telah dijatuhi pidana
hilang kemerdekaan, masuk ke dalam penjara. Dalam rumusan pasal ini tidak
disebutkan unsur kekerasan dan ancaman kekerasan karena dengan sengaja dan
melawan hukum itu pada umumnya delik ini dilakukan dengan paksa, walaupun
dapat juga tanpa kekerasan, misalnya seseorang yang telah ditahan berdasarkan
undang-undang, tetapi setelah habis masa tahanannya ia tetap ditahan atau
diteruskan masa penahanannya.

Menurut R. Soesilo, tidak perlu pengekangan fisik yang ketat melainkan


sudah merupakan perampasan kemerdekaan jika seorang disuruh tinggal dalam
suatu rumah yang luas tetapi dijaga dan dibatasi kebebasan hidupnya.

Sedangkan menculik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah


melarikan orang lain dengan maksud tertentu di bawah kekuasaannya. Menurut
Black Law Dictionary, penculikan atau kidnapping adalah kejahatan mengenai
menguasai atau mengambil orang secara paksa ataupun secara tipu muslihat,
biasanya untuk menahan orang tersebut sebagai tawanan untuk meminta sesuatu
dari keluarganya, yang mempekerjakannya. Hal ini merupakan penculikan dalam
arti sempit karena hanya dibatasi pada tujuan untuk mendapatkan keuntungan
saja, padahal penculikan itu sendiri juga dapat betujuan untuk menempatkan
seseorang dibawah kekuasaannya atau bisa juga untuk dijual.

Maka unsur “merampas kemerdekaan seseorang” tidak terpenuhi dan


tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

2. Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang Penyertaan

Pelaku adalah orang yang melakukan seluruh isi delik. Apabila dua orang
bersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan
pelaku sendiri-sendiri tidak menghasilkan kejahatan itu dapat terjadi “turut
melakukan”. Sedangkan menurut MvT, Pompe, Hazewinkle, Suringa, Van Hattum,
dan Mulyanto bahwasanya yang dimaksud dengan pelaku adalah tiap orang yang
melakukan/ menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan delik. Pelaku/orang
yang melakukan (pleger) dikategorikan sebagai peserta hal ini karena pelaku
tersebut dipandang sebagai salah seorang yang terlibat dalam peristiwa tindak
pidana dimana terdapat beberapa orang peserta.

Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan


orang lain, sedangkan perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan
demikian ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus manistra/auctor
physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis).

Unsur-unsur pada doenpleger adalah:

a. Alat yang dipakai adalah manusia;


b. Alat yang dipakai berbuat;
c. Alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan hal-hal yang menyebabkan alat (pembuat materil) tidak dapat


dipertanggungjawabkan adalah :

a. Bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (pasal 44);


b. Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48);
c. Bila ia berbuat karena perintah jabatan yang tidak sah (pasal 51 Ayat (2));
d. Bila ia sesat (keliru) mengenai slaah satu unsur delik;
e. Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang disyaratkan untuk kejahatan
yang bersangkutan.

Medepleger menurut MvT adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau
turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Oleh karena itu, kualitas masing-masing
peserta tindak pidana adalah sama.

Turut mengerjakan sesuatu yaitu:

a. Mereka memenuhi semua rumusan delik;


b. Salah satu memenuhi rumusan delik;
c. Masing-masing hanya memenuhi sebahagian rumusan delik.

Syarat adanya medepleger, antara lain:

a. Adanya kerja sama secara sadar, kerja sama dilakukan secara sengaja untuk
kerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang;
b. Adanya pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik
yang bersangkutan.

Menurut E.Y. Kanter dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya”, perbuatan yang tergolong dalam hukum pidana ialah peristiwa
pidana, di mana peristiwa pidana tersebut berarti sebagai perbuatan salah dan
melawan hukum, yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab.

Kemudian, Simons menunjukkan unsur-unsur dari perbuatan pidana antara lain:


perbuatan manusia; perbuatan manusia itu harus melawan hukum; perbuatan itu
diancam dengan pidana oleh undang-undang; pelakunya harus orang yang mampu
bertanggungjawab; perbuatan itu terjadi karena kesalahan pembuat.

3. Pasal 65 Ayat (1) KUHP tentang Perbarengan Tindak Pidana

Menurut Simons berdasarkan Memorie van Toelichting dalam Putusan PN


Masamba Nomor 109/Pid.B/2020/Pn Msb, dalam hal terjadi concursus realis,
maka perlu mengikuti tussenstelsel atau sistem antara. Artinya, dengan
diterapkannya Pasal 65 KUHP, maka pembentuk undang-undang bermaksud
membedakan kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang
sejenis dan kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis. Selanjutnya, menurut Simons, terdapat 5 (lima) stelsel pemidanaan terkait
hal ini, di antaranya:

a. Pertama, eenvoudige cummulatiestelsel atau sistem hukuman yang bersifat


sederhana, artinya bagi setiap perbuatan pidana, Hakim dapat menjatuhkan
pidana seperti yang telah diancamkan oleh undang-undang;
b. Kedua, absorptiestelsel atau sistem penyerapan dari pidana yang berlainan,
dalam hal ini Hakim dapat menjatuhkan pidana maksimum terhadap kejahatan
yang paling berat;
c. Ketiga, beperkte cummulatiestelsel atau reductiestelsel atau stelsel kumulasi,
yang dalam hal ini Hakim dapat menjatuhkan pidana untuk setiap perbuatan
pidana, namun beratnya hukuman harus dibatasi;
d. Keempat, verscherpingstelsel atau exasperatiestelsel atau sistem pemberatan
hukuman yang terberat. Artinya, Hakim hanya menjatuhkan pidana yang
paling berat ditambah dengan pemberatan; dan
e. Kelima, zuivere cummulatiestelsel atau sistem kumulasi murni yang berarti
terhadap setiap pelanggaran yang terjadi dalam concursus realis, Hakim
menjatuhkan pidana tanpa pengurangan.

Anda mungkin juga menyukai