Anda di halaman 1dari 13

KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SAKSI MAHKOTA (KROON GETUIGE) DALAM

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DI PERSIDANGAN

IGO DWI PUTRA

igodwiputra160@gmail.com

ABSTRAK

Fungsi hukum dalam negara hukum adalah sebagai “Social Control” (Pengendalian tingkah
laku masyarakat), yang maksudnya hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, guna menciptakan suasana yang tertib, teratur
dan tenteram. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
pengaturan keterangan saksi (mahkota) dalam hukum acara pidana di Indonesia, untuk
mengetahui dan menganalisis kategori keterangan saksi (mahkota) dalam praktik
penegakkan hukum tindak pidana pencurian. Pengaturan keterangan saksi (mahkota) dalam
Hukum Acara Pidana Indonesia tidak diatur dalam ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana. Kategori keterangan saksi (mahkota) dalam proses
penegakkan hukum tindak pidana pencurian adalah saksi mahkota digunakan dalam hal
terjadi penyertaan (deelneming), di mana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap
terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim, dan hal ini
dimaksud untuk mempermudah pembuktian.

Kata kunci : Saksi Mahkota, Hukum Acara Pidana, Pencurian.

A. PENDAHULUAN
Hukum adalah sebagai “Social Control” (Pengendalian tingkah laku masyarakat), yang
maksudnya hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, guna menciptakan suasana yang tertib, teratur dan tenteram
(Conclin, 1975). Sebagai negara hukum, negara Indonesia memiliki beberapa macam hukum
untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana. Hukum pidana
ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum acara pidana yang mengatur cara-
cara bagaimana negara menggunakan haknya untuk melakukan penghukuman dalam perkara-
perkara pidana yang terjadi (hukum pidana formal).Kejahatan apapun jenis dan bentuknya,
mulai dari street crime, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, penganiayaan sampai
pada apa yang disebut sebagai white collar crime atau yang dikenal dengan istilah kejahatan
kerah putih seperti korupsi dan sebagainya, selalu menimbulkan reaksi yang keras dari
masyarakat.
Kejahatan dipandang dari sudut formil (menurut hukum) adalah suatu perbuatan yang
oleh negara diberi pidana. Salah satu upaya menanggulangi kejahatan adalah melalui hukum
pidana. Penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana)Walaupun
penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan kejahatan bukan merupakan satu-

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 1


satunya tumpuan harapan, namun keberhasilannya sangat diharapkan karena pada bidang
penegakan hukum inilah dipertaruhkan makna dari “negara berdasarkan atas hukum”.
Penegak hukum seringkali menghadapi halangan tambahan dalam menyelidiki dan menuntut
kasus besar yang sensitif. Selain itu, kejahatan besar yang kerap terjadi ini seringkali nampak
diatur secara vertikal, dengan partisipasi dari para pejabat di tingkat yang lebih tinggi yang
mempunyai posisi cukup kuat untuk membujuk pejabat yang berada di tingkat yang lebih
rendah agar tidak bekerjasama, atau sebaliknya untuk menghalangi penyidikan Dikarenakan
masalah-masalah yang melekat pada kasus-kasus seperti inilah, maka penegak hukum di
beberapa negara sangat bergantung pada kerjasama dari terdakwa yang memiliki pengetahuan
langsung mengenai kejahatan yang dilakukan dan melibatkan mereka didalamnya

Pentingnya saksi yang juga pelaku kejahatan yang merupakan “orang dalam” (inner-cicle
criminal) karena dianggap mempunyai potensi dalam membuka tabir kejahatan. Kadangkala
"orang dalam" ini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan. Ia dapat menyediakan bukti
yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana
kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan. Selain dari memberikan
petunjuk bagi para penyidik, orang dalam ini kadangkala berpartisipasi dalam penyidikan.
Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang
berbentuk penyertaan, dan terhadap pidana tersebut telah di lakukan pemisahan (splitsing)
sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan di
gunakannya saksi mahkota dalam pidana yang di lakukan pemisahan tersebut didasarkan
alasan karena kurangnya alat bukti yang di ajukan oleh penuntut umum.1
Berdasarkan teori pembuktian dalam hukum acara pidana, keterangan yang diberikan
oleh saksi di persidangan dipandang sebagai alat bukti yang penting dan utama. Hampir
semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi
sekalipun keterangan saksi bukan satu-satunya alat bukti namun sekurang-kurangnya di
samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian
dengan alat bukti keterangan saksi.
Saksi yang juga seorang pelaku dalam perkara yang sama dalam praktik disebut dengan
saksi mahkota. Bahkan dalam berita berita mengenai saksi mahkota di berbagai media cetak
dan elektronik. Berita mana di antaranya menyebutkan bahwa saksi mahkota adalah saksi
yang juga berkedudukan sebagai tersangka, ketentuan perlindungan terhadap saksi bukan
sekedar memberikan kepastian hukum tetapi juga menjamin perlindungan terhadap saksi
yang juga berkedudukan sebagai tersangka atau terdakwa yang membantu dalam
mengungkap kejahatan dengan memberikannya penghargaan atas kesaksiannya tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka akan dilihat bagaimana pengaturan
keterangan saksi (mahkota) dalam Hukum acara Pidana di Indoneia.
Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban serta putusan-putusan pengadilan.
Bahan hokum sekunder yang terdiri dari karya ilmiah yang berupa buku teks, jurnal hukum
yang menyangkut dan berhubungan dengan materi saksi mahkota. penelitian ini
menggunakan metode penafsiran ekstensif. Penafsiran ekstensif yaitu memperluas pengertian
atau istilah yang ada di dalam undang-undang.

1
M. Yahya Harahan. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.321.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 2


B. TINJAUAN PUSTAKA
Pidana adalah nestapa yang di berikan kepada seseorang yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang–undang (hukum pidana), sengaja agar di rasakan nestapa,
pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja di kenakan kepada seorang pelanggar
undang-undang tidak lain dimaksutkan untuk membuat orang itu merasa jera. Hukum pidana
sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang diakui oleh
hukum. Sangsi yang tajam inilah yang mebedakan dengan hukum-hukum yang lain. Iyalah
sebsbnya hukum pidana harus dianggap sebagai sarana paling akhir apabila sangsi-sangsi
atau upaya -upaya pada bidang lain tidak memadai. Pidana berwujud suatu nestapa, yang
diberikan oleh negara, kepada pelanggar, berupa ancama atau pidana.
Menurut van hamel yang di kutip dari bukunya P.A.F lamintang, pidana menurut hukum
positif dewasa ini adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah di ajukan oleh
kekuasaan untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari
ketertiban umum bagi seorang pelanggar, yakni semata mata karena orang tersebut telah
melanggar suatu peraturan hukum yang telah di tegakkan oleh pemerintah.2
Tindang pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dan oleh karena
itu memahami tindak pidana sangat penting. Tindak pidana merupakan suatu pengertian
yuridis, lain halnya dengan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis ataupun kriminologis.
Istilah tindak pidana adalah terjemahan dari Bahasa belanda yaitu strafbaarfeit ataudelict.
Adajuga undang-undang yang mendukung tindak pidana atau proses pimidanaan yaitu,
pasal 362 tentang tindak pidana pencurian, Undang undang nomor 2 tahun 2002 tentang
kepolisian republic Indonesia, Peraturan kepada kepolisian negara republic Indonesia nomor
6 tahun 2019 tentang penyidikan tindak pidana, Undang-undang nomor 18 tahun 2003
tentang pengangkatan, sumpah, status, penindakan, pemberhentian advokat, pengawasan, hak
dan kewajiban, honorarium, bantuan hukum cuma-cuma, advokat asing, atribut, kode etik
Dewan Kehormatan Advokat, organisasi advokat dan ketentuan pidana dalam profesi
advokat, Undang undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan republic Indonesia,
undang- undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korbang, dan juga
Undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
Mengenai penggunaan saksi mahkota di tentukan dalam yudisprudensi mahkamah agung
tanggal 3 mei 1995 menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi sebaiknya tidak di
lakukan karena itu bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip
prinsip hak asasi manusia (HAM). Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini
penulis mencoba untuk membahas mengenai permasalahan tentang eksistensi saksi mahkota
sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Adapun pokok permbahasan yang bersifat terbatas,
yaitu menganalisis hanya terhadap pokok permasalahan tentang dibolehkan atau tidaknya
penggunaan saksi mahkota menurut ketentuan perundang – undangan yang berlaku
khususnya yang mengatur tentang perlindungan hak asasi terhadap terdakwa,

2
P.A.F. Lamintang. 2007. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 34.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 3


Pidana lebih tepat di definisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau
di berikan dari negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum(sangsi)
baginya atas perbuatan-perbuatan yang telah melanggar larangan hukum pidana.3
Menurut wirdjono projodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah situasi
perbuatan yang pelakunya dapat di kenakan hukuman pidana. Strafbaar feit adalah suatu
tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang yang dapat di
pertanggungjawabkan atas tindakannya yang di nyatakan sebagai dapat di hukum
(wederrechteelijk) yang berhubungan dengan kesenjangan atau kesalahan yang di lakukan
oleh orang yang dapat di pertanggungjawabkan.4
Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis tertarik melakukan penelitian dengan
judul:
kekuatan hukum alat bukti mahkota (kroon getuige) dalam pembuktian tindak pidana
pencurian di pengadilan.

Permasalahan penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
Apa yang menjadi dasar keterangan saksi mahkota (kroon getuige) sebagai pendukung
pertimbangan majelis hakim dalam pembuktian tindak pidana pencurian di persidangan ?
Bagaimana kekuatan hukum alat bukti saksi mahkota (kroon getuige) dalam pembuktian
tindak pidana pencurian di persidangan?

Ruang lingkup penelitian


Berdasarkan uraian pada permasalahan di atas, maka membutuhkan pembatasan, yakni
pembatasan pada kajian hukum pidana pada ruang lingkup penelitian ini adalah:
Dasar keterangan saksi mahkota (kroon getuige) sebagai pendukung pertimbangan majelis
hakim dalam pembuktian tindak pidana pencurian di persidangan
Kekuatan hukum alat bukti saksi mahkota (kroon getuige) dalam pembuktian tindak
pidana pencurian di persidangan. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar keterangan saksi mahkota (kroon
getuige) sebagai pendukung pertimbangan majelis hakim dalam pembuktian tidak pidana
pencurian di persidangan.
Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis kekuatan hukum alat bukti saksi
mahkota (kroon getuige) dalam pembuktian tindak pidana pencurian di persidanga.

3
Yan Pramadya Puspa. 2008. Kamus Hukum Belanda-Indonesia-Inggris. Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 470.
4
Wirdjono Prodjodikoro. 2004. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Eresco,Jakarta, hlm. 50.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 4


C. METODE
Pendekatan masalah
Pendekatan masalah yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normative dan pendekatan empiris
Pendekatan yuridis normative
Pendekatan dengan melihat masalah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif ini di lakukan study kepustakaan
(library research) terhadap hal hal yang bersifat teoritis yaitu suatu pendekatan yang di
lakukan dengan mempelajari asas asas hukum dalam teori/pendapat sarjana dan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Pendekatan empiris
Pendekatan yang di lakukan dengan cara melihat dan mengamati secara langsung
terhadap obyek penelitian mengenai kekuatan hukum alat bukti saksi mahkota (kroon
getuige) dalam pembuktian tindak pidana pencurian di persidangan.
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat. Dalam penulisan ini, bahan
hukum primer yang di gunakan adalah :
a. Undang undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 hasil amandemen
b. Undang undang nomor 1 tahun 1946 jo. Undang undang nomor 73 tahun 1958
tentang pemberlakuan kitab undang undang hukum pidana (KUHP).
c. Undang undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP)
d. Undang undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia
e. Undang undang nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian republic Indonesia
f. Undang undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan republic Indonesia
g. Undang undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
Korban.
h. Undang undang nomor 48 tahun 2009 tentang perubahan atas undang
undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman republic
Indonesia
i. Peraturan pemerintah nomor 92 tahun 2015 tentang perubahan kedua
peraturan pemerintah nomor 58 tahun 2010 jo. Peraturan pemerintah
nomor 27 tahun 1983 tentang pedoman pelaksanaan hukum acara pidana
(KUHAP).
j. Peraturan mahkamahh agung nomor 2 tahun 2012 tentang penyelesaian
Batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP.
k. Undang undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat
l. Peraturan kepada kepolisian negara republic Indonesia nomor 6 tahun 2019
tentang penyidikan tindak pidana.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 5


D. PEMBAHASAN
KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SAKSI MAHKOTA (KROON GETUIGE) DALAM PEMBUKTIAN
TINDAK PIDANA PENCURIAN DI PERSIDANGAN

1. dasar keterangan saksi mahkota (kroon getuige) sebagai pendukung


pertimbangan majelis hakim dalam pembuktian tindak pidana pencurian di
persidangan
Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal
proses peradilan pidana. Terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berasal
dari informasi masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai
pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim
dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan. 10 Selain
tersangka dan korban yang sering diabaikan hak-haknya satu lagi yang berperan penting
dalam mengungkap kebenaran suatu tindak pidana adalah saksi.
Saksi mahkota adalah saksi yang berasal atau di ambil dari salah satu tersangka atau
terdakwa lainnya yang Bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana
kepada saksi tersebut di berikan mahkota. Adapun mahkota yang di berikan kepada saksi
yang bersetatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap
perkaranya atau diberikannya sesuatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya di
limpahkan ke pengadilan atau di maafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Ini terlihat
dalam yudisprudensi mahkamah agung nomor : 1986K/Pid/1989, tanggal 21 maret 1990
bahwa “ jaksa penuntut umum dapat mengajukan teman terdakwa yang ikut serta dalam
pidana sebagai saksi dengan syarat tidak masuk dalam berkas terdakwa pertama”.5
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana akan sangat bergantung pada alat bukti yang
berhasil dimunculkan dalam persidangan, salah satunya adalah keterangan saksi. Saat ini
tidak sedikit kasus yang kandas ditengah jalan karena ketiadaan saksi untuk membantu tugas
aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana. Keberadaan saksi jelas
merupakan elemen yang sangat menentukan dalam suatu proses peradilan pidana, namun
perhatian terhadap peran saksi sampai saat ini masih jauh dari perhatian masyarakat dan
aparat penegak hukum. Keengganan dari saksi dalam memberikan keterangan dan
informasi telah membuat pemberitaan-pemberitaan di media tentang suatu tindak pidana
menguap begitu saja jauh dari penyelesaian.
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi
yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya tindak pidana dalam upaya
mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat
menghadirkan saksi disebabkan adanya ancaman baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.

5
Lailatul Khoiriyah. 2015. Penggunaan Saksi Mahkota Dalam Pembuktian Tindak Pidana Perjudian Di
Pengadilan Negeri Bangkalan. Jurnal Hukum Pidana Islam Volume1 , Nomor 1. Univers, hlm. 6.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 6


Mengenai definisi saksi mahkota sendiri, penulis mengutip alasan pemohon kasasi
(kejaksaan) dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan
bahwa: Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi
mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif empiris maka Saksi mahkota
didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau
Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana
kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi
yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap
perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya
dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.6
Persoalan yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah banyaknya saksi
yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang
sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai atas perlindungan maupun
mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor bahkan sering mengalami
intimidasi ataupun tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Tidak
sedikit pula saksi yang akhirnya menjadi tersangka dan bahkan terpidana karena dianggap
mencemarkan nama baik pihak- pihak yang dilaporkan yang telah diduga melakukan suatu
tindak pidana.Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu saksi perlu merasa aman dan bebas saat
diperiksa dimuka persidangan. Saksi tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang
sebenarnya walau mungkin keterangannya itu memberatkan si terdakwa.
KUHAP telah memiliki rumusan pembuktian sendiri. Adapun rumusan pembuktian
tersebut adalah untuk mendukung tujuan dari pada hukum acara pidana, yaitu untuk mencari
dan memperoleh atau setidak tidaknya mendekati kebenaran materil dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan
untuk mencari pelaku yang dapat di dakwa melakukan pelanggaran hukum, meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
tindak pidana yang telah di lakukan, dan apakah orang yang di dakwakan ini dapat di
persalahkan. Guna mendukung rumusan system pembuktian tersebut harus berpedoman pada
asas asas yang berlaku dalam proses peradilan pidana, seperti asas praduga tak bersalah
(presumption of innocence), asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan
asas pemeriksa akusator. Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah, maka dalam pasal
66 KUHAP di tegaskan bahwa tersangka atau terdakwa sebagai obyek dalam tingkatan
pemeriksaan tidak di bebani dengan kewajiban pembuktian. Hal tersebut bentuk dari
perlindungan hak asasi terdakwa sebagai konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan
akusator dalam KUHAP.
Dalam proses pemeriksaan, menurut ratna nurul afiah menggunakan dua cara pembuktian yaitu:
1. pembuktian secara langsung (direct bewijs)
pembuktian secara langsung yaitu pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang
dapat menjelaskan peristiwa atau keadaan langsung mengenai perbuatan yang di tuduhkan.
Sedangkan pembuktian secara tidak langsung yaitu pembuktian yang di lakukan dengan
berdasarkan suatu peristiwa atau keadaan secara langsung terhadap perbuatan yang di

6
Muhandar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin. 2009. Perlindingan Saksi dan Korban Dalam System Peradilan
Pidana. Putra Media Nusantara, Surabaya, hlm. 1.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 7


tuduhkan dalam hal ini bisa berupa keterangan saksi, pengakuan terdakwa maupun surat-
surat.
2. Pembuktian secara tidak langsung (indiect bewijs)
Pembuktian secra tidak langsung dapat terjadi ketika alat-alat bukti yang ada hanya dapat
menjelaskan beberapa peristiwa atau keadaan saja dan tidak langsung mengenai perbuatan
yang di tuduhkan, sehingga tugas hakim lebih sulit karenahakkim harus mencari hubungan
antara peristiwa-peristiwa dan keadaan-keadaan tersebut dengan mengolah,
mengombinasikan sebab akibatnya dan menarik kesimpulan yang logis berdasarkan
keyakinan dan ilmu pengetahuannya.7

Sebagai objek dalam pemeriksaan, terdakwa diberikan kebebasan untuk melakukan


pembelaan diri atas dakwaan yang di tunjukan pada dirinya. Menurut pasal 52 KUHAP
menyebutkan bahwa “dalam pemeriksaan tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau
terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
Saksi mahkota adalah saksi yang juga sebagai pelaku kriminal yang membongkar
kejahatan. Polemik terjadi manakala ada upaya memperkenalkan kolaborasi antara pelaku
kriminalitas dan penegak hukum yang dikenal sebagai saksi mahkota.Perlindungan kepada
seseorang yang pada saat bersamaan adalah saksi dan juga sebagai terdakwa namun
bekerjasama dengan penegak hukum adalah memberi kekebalan dari penuntutan dan
pengurangan hukuman tetapi harus sesuai dengan asas hukum nasional tiap negara peserta.
Pelaku kejahatan saat ini sudah sedemikian rapi dan terorganisir dalam melakukan
perbuatannya, bahkan akibat perkembangan kejahatan itu, kita mengenal istilah white collar
crime (kejahatan kerah putih), kejahatan korporasi dan kejahatan secara terorganisir
(berjamaah). Pelaku kejahatan itu dapat berasal dari individu yang memiliki intelektual dan
memiliki strata sosial yang tinggi dimasyarakat, pejabat publik, badan hukum bahkan mafia
yang paling ditakuti dan dihormati di masyarakat.
Jenis kejahatan sebagaimana disebut di atas, yakni terorganisir dan modus operandi
yang cukup canggih tentunya hanya diketahui oleh orang dalam untuk mengungkapkan fakta
perbuatan pidana dimaksud di persidangan atau kepada publik ketika proses hukum
terjadi, mengungkap dan membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi tidaklah mudah
karena kecerdikan dan kelihaian pelaku dalam memutarbalikkan fakta sebenarnya atau
menghilangkan dokumen (surat-surat) sebagai barang bukti.
Perubahan taktik dalam strategi memenangkan perang terhadap korupsi ini antara lain,
memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku suap (penerima atau pemberi) yang
pertama melaporkan kepada penegak hukum tentang terjadinya penyuapan dengan tujuan
yang lebih besar yaitu mengungkapkan jaringan korupsi yang sudah sistematik dan
meluas. Pemberian perlindungan hukum ini sudah tentu harus selektif dan penuh kehati-
hatian sehingga hanya orang yang tepat termasuk yang sudah teruji baik, yang berhak
menerimanya.

mengumpulkan alat bukti berupa saksi yang melihat sendiri,mendengar sendiri atau
mengalami sendiri suatu tindak pidana dimana para pelaku melakukan perbuatannya dengan
rapi dan terorganisir.

7
Ratna Nurul Afiah. 1998. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 123.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 8


2. Kekuatan hukum alat bukti saksi mahkota (kroon getuige) dalam pembuktian
tindak pidana pencurian di persidangan
Kekuatan hukum alat bukti saksi mahkota (kroon getuige) dalam tindak pidana
pencurian di persidangan terletak di pembuktiannya, yang mana pembuktian merupakan
masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.
Melalui proses pembuktian dapat di tentukan nasib terdakwa apakah kesalahan terdakwa
dapat di hukum atau sebaliknya, maka KUHAP telah memiliki rumusan pembuktian
tersendiri, yaitu terdapat dalam pasal 183 sampai pasal 202 KUHAP.
Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan
pemeriksaan pada tingkatan dakam pengadilan maka perihal pembuktian merupakan factor
yang juga sangat menentukan bagi hakim dalam mendukung pembentukan factor keyakinan
hakim. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam ketentuan pasal 183 KUHAP yang pada
pokonya menjelaskan bahwa dalam menjatuhkan pidana pada terdakwa harus di dasarkan
minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang terbentuk berdasarkan pada alat
bukti yang sah tersebut. Oleh karena itu tata cara pembuktian harus dilakukan dengan benar
dan tidak boleh di lakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar hak asasi terdakwa.8
aturan positif tentang perlindungan saksi yaitu dengan disahkanya Undang-Undang No.
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Tanggal 11 Agustus 2006,
namun hingga pada saat ini belum berjalan sebagaiman yang diharapkan khususnya lembaga
perlindungan saksi dan korban yang diberikan kewenangan memberikan perlindungan
terhadap saksi dan korban. Saat ini lagi hangat dibicaralkan soal saksi yang juga
merupakan pelaku tindak pidana yang mau bekerjsama dengan aparat penegak hukum
untuk mengungkapkan suatu kejahatan atau yang dikenal dengan saksi mahkota.
Dalam kapasitasnya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan
dan penerapan ketentuan hukum materil maka KUHAP sebagai hukum formil telah memiliki
sistem pembuktian tersendiri yang mengacu pada alat bukti yang sah sebagaimana
diterangkan dalam pasal 184 KUHAP, yaitu yang dimaksud alat bukti yang sah adalah :
a).keterangan saksi ; b).keterangan ahli ; c). surat ; d). petunjuk dan e). keterangan terdakwa.
Sedangkan istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia yaitu UU Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Walaupun demikian istilah saksi mahkota sering
ditemui pada praktik hukum acara pidana.
Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang
berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan
(splitsing). Pemisahan perkara merupakan wewenang dari jaksa yang diatur dalam Pasal 142
KUHAP, yang menyebutkan bahwa dalam hal penuntut umum menerima satu berkas
perkara yang memuat beberapa tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang
terdakwa yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.

8
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan. 1995. Perbandingan KUHAP, HIR dan Komentar. Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm.194.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 9


Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana, menurut
moeljatno dalam bukunya ahmad rifai mengatakan bahwa di lakukan dengan beberapa tahap
yaitu :
1. Tahap menganalisis perbuatan pidana pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa
melakukan tindakan pidana atau tidak, yang di pandang primer adalah segi
masyarakat, yaitu perbuatan tersebut sebagai dalam rumusan suatu aturan pidana.
2. Tahap menganalisis tanggung jawab pidana jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti
melakukan tindakan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis
apakah terdakwa dapat di nyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang
dilakukannya.
3. Tahap penentuan pemidanaan hakim akan menjatuhkan pidana apabila unsur-unsur
telah di penuhi dengan melihat pasal undang-undang yang di langgar oleh pelaku.
Dengan dijatuhkannya pidana, pelaku sudah jelas sebagai terdakwa.9
Dalam yurisprudensi nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 tersebut
dijelaskan bahwa Mahkamah Agung tidak melarang apabila jaksa penuntut umum
mengajukan saksi mahkota di persidangan dengan syarat bahwa saksi ini dalam
kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan
terdakwa yang diberikan kesaksian. Selain itu, dalam yurisprudensi tersebut juga telah
diberikan suatu definisi tentang saksi mahkota yaitu teman terdakwa yang melakukan tindak
pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum,
yang perkara diantaranya dipisah karena kurangnya alat bukti. Berdasarkan hal tersebut,
maka pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada
kondisi-kondisi tertentu., yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan
dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme
pemisahan (splitsing), serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih
terdapat kekurangan alat bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan
agar terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan
pidana.
Saksi mahkota adalah adalah saksi yang diambil dari salah seorang
tersangka/terdakwa yang kepadanya diberikan suatu mahkota. Dengan demikian, berdasarkan
visi praktek peradilan, asasnya saksi mahkota itu mempunyai dimensi sebagai berikut :
a. Bahwa saksi mahkota adalah juga seorang saksi. Dalam konteks ini berarti
saksi mahkota orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri (Pasal 1 angka 26 KUHAP).

b. Bahwa saksi mahkota diambil dari salah seorang tersangka/terdakwa. Dengan


demikian seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 14 KUHAP) atau
terdakwa yaitu tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di siding pengadilan
(Pasal 1 angka 15 KUHAP). Hal ini mengandung penegrtian bahwa saksi mahkota
hanya ada pada satu tindak pidana sehingga pelakunya/tersangkanya atau

9
Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 96.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 10


terdakwanya lebih dari seorang dan saksi itu adalah salah seorang diantara
tersangka/terdakwa yang perananya paling kecil artinya bukan pelaku utama.

c. Bahwa saksi tersebut kemudian diberikan mahkota. Dalam konteks ini


berarti bahwa saksi diberikan : kehormatan berupa perlakuan istimewa yaitu dituntut
atas tindak pidana dimana ia sebenarnya merupakan salah satu pelakunya atau ia
dimaafkan atas Kesalahannya.

E. KESIMPULAN
Pengajuan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana didasarkan pada
kondisi-kondisi tertentu, yaitu dalam hal adanya perbuatan pidana dalam bentuk penyertaan
dan terhadap perbuatan pidana bentuk penyertaan tersebut diperiksa dengan mekanisme
pemisahan (splitsing). serta apabila dalam perkara pidana bentuk penyertaan tersebut masih
terdapatkekurangan alai bukti, khususnya keterangan saksi. Hal ini tentunya bertujuan agar
terdakwa tidak terbebas dari pertanggungjawabannya sebagai pelaku perbuatan pidana.Masih
terdapat banyak perbedaan pendapat dikalangan para praktisi dan akademisi yang menilai
bahwa perlindungan terhadap saksi mahkotayang secara eksplisit diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU - BUKU
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan. 1995. Perbandingan KUHAP, HIR dan Komentar. Ghalia
Indonesia, Jakarta.

Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum. Sinar Grafika, Jakarta.

Wirdjono Prodjodikoro. 2004. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Eresco,Jakarta.

Bambang Waluyo. 2004. Pidana Dan Pemidanaan. Sinar Grafika, Jakarta.

P.A.F. Lamintang. 2007. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

M. Yahya Harahap. 1995. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAPJilid II.


Pustaka Kartini, Jakarta.

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 11


-----------. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta.

Muhadar, Edi Abdullaah dan Husni Trhamrin. 2009. Perlindungan Saksi dan Korban Dalam
Sistem Peradilan Pidana. Putra Media Nusantara, Surabaya.

Ratna Nurul Afiah. 1998. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Sinar Grafika, Jakarta.

Yan Pramadya Puspa. 2008. Kamus Hukum Belanda-Indonesia-Inggris. Aneka Ilmu,


Semarang.

B. PERUNDANG – UNDANGAN

Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Undang- Undang Nomor 13Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia

Undang undang nomor 18 tahun 2003 tentang advokat

C. SUMBER LAIN

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 12


Dwi tania wista yuliantari. 2018. Tinjauan yuridis mengenai perlindungan hukum terhadap
saksi mahkota dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi. Jurnal ilmiah. Fakultas
hukum universitas mataram, mataram.

Lailatul khoiriyah. 2015. Penggunaan saksi mahkota dalam pembuktian tindak pidana
perjudian di pengadilan negeri bangkalan. Jurnal hukum pidana islam volume1,
nomor 1. univers

PRANATA HUKUM | volume 18 No. 1 January 2023 13

Anda mungkin juga menyukai