Anda di halaman 1dari 19

PERLINDUNGAN HUKUM OLEH LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN (LPSK) TERHADAP PERAN JUSTICE


COLLABORATOR DALAM MENGUNGKAP KEJAHATAN

Mega Astria, Hudi Yusuf, S.H., M.H.


Fakultas Hukum, Universiyas Bung Karno
megaastriya123@gmail.com

Abstrak
Justice Collaborator memiliki peranan penting dalam mengungkap kejahatan
yang terorganisir. Kurangnya perhatian terhadap justice collaborator serta tidak
adanya jaminan secara pasti dalam penyelesaian sistem peradilan pidana membuat
saksi pelaku enggan untuk bekerjasama. UU No. 3o Tahun 2014 memberikan
amanat kepada LPSK untuk menjalankan dan melaksanakan perlindungan terhadap
para saksi yang bekerjasama untuk memberikan rasa aman dari acaman dari para
pelaku tindak pidana yang diungkap. Maka dari itu, penelitian ini berfokus pada
permasalahan bagaimana perlindungan hukum yang lakukan oleh Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) kepada seorang justice collaborator
serta implikasinya terhadap peran justice collaborator dalam pengungkapan
kejahatan. Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis
empiris, melelui pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Sumber data
diperolah melalui metode pengumpulan data yang dilakukan melalui studi
dokumen yang kemudian dipaparkan secara deskritif analitis. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa Perlindungan hukum yang dilakukan kepada justice
collaborator berupa Perlindungan hak Prosedural, perlindungan fisik dan psikis,
perlindungan hukum, penanganan secara khusus, dan Perlindungan dalam bentuk
penghargaan. Implikasi Perlindungan hukum terhadap peran justice collaborator
dalam mengungkap kejahatan berdampak pada cara bagaimana justice collaborator
memberikan keterangan pada semua tahap pemeriksaan (penyidikan, penuntutan
dan persidangan) hingga tahap pelaksaan putusan pengadilan
Kata Kunci: LPSK, Perlindungan, Justice Collaborator.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem yang
digunakan dalam suatu masyarakat untuk menangani kejahatan dan menjaga
ketertiban. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mengendalikan kejahatan agar tetap
berada dalam batas-batas toleransi yang telah ditentukan.1 Menurut Romli
Atmasasmita sistem peradilan pidana sebagai suatu istilah yang menunjukkan
mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
pendekatan sistem. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Remington dan Ohlin
yang menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.
Peradilan pidana sendiri merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-
undangan, praktik administrasi, dan sikap atau tingkah laku sosial. Namun, menurut
Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana masih terlalu fokus pada
permasalahan dan peran pelaku kejahatan (offender-centered). Hal ini
menyebabkan kurangnya perlindungan hukum yang memadai bagi saksi dan korban
kejahatan. Saksi kejahatan sering kali hanya ditempatkan sebagai alat bukti yang
memberikan keterangan terhadap adanya suatu tindakan pidana, sehingga
kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keadilan dan memperjuangkan
haknya menjadi sangat kecil. 2
Sistem peradilan pidana memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan
dan menangani kejahatan. Salah satu alat bukti yang sah dalam sistem peradilan
pidana adalah keterangan saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
KUHAP. Kekuatan alat bukti, termasuk keterangan saksi, dapat membantu
membuktikan kesalahan tersangka dan dapat digunakan untuk mengembangkan
penyelidikan terhadap tersangka baru. Kekuatan alat bukti ini akan mendukung
putusan hakim dalam memutuskan suatu perkara di pengadilan. Eksistensi saksi

1
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, 84-85.
2
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, 16.
dalam sistem peradilan pidana sangat penting, karena putusan pengadilan yang
berkualitas tidak dapat terlepas dari pertimbangan kuantitas dan kualitas keterangan
saksi. Perlindungan saksi merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh penegak
hukum untuk memberikan pemenuhan dan bantuan kepada saksi dan/ atau korban.
Tujuan dari perlindungan ini adalah untuk memberikan rasa aman, baik secara fisik
maupun mental, kepada saksi dan korban dari ancaman, teror, atau kekerasan yang
mungkin dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945, menjamin perlindungan tersebut sebagai tanggung
jawab negara, terutama pemerintah. Perlindungan hukum melibatkan pengayoman
terhadap hak asasi manusia yang dirugikan oleh perbuatan orang lain. Hal ini juga
merupakan upaya agar masyarakat dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum. Perlindungan hukum juga berperan dalam memberikan rasa aman,
baik secara pikiran maupun fisik, kepada individu dan keluarga mereka dari
gangguan dan ancaman oleh pihak manapun. Dalam sistem peradilan pidana, saksi
memiliki kedudukan penting dan strategis dalam penyelesaian kasus tindak pidana.
Keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban menjadi alat bukti sah karena
mereka menyaksikan dan mengalami sendiri kasus yang terjadi. Namun, seringkali
saksi dan korban kejahatan enggan mengungkapkan kejadian sebenarnya karena
kurangnya jaminan perlindungan. Mereka sering mengalami ancaman dan
intimidasi dari pihak terkait agar tidak melaporkan atau mengungkapkan kejahatan
yang mereka alami kepada aparat penegak hukum. Oleh karena itu, perlindungan
bagi saksi dan korban menjadi sangat penting untuk memastikan terpenuhinya rasa
keadilan.3
Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) didasarkan pada
pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban oleh DPR RI pada tahun 2006. Undang-Undang ini kemudian diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. Berlakunya Undang-Undang ini
dianggap sebagai terobosan yang diharapkan dapat menutupi kelemahan dalam

3
Siswanto Sumarsono,Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban
sistem hukum Indonesia terkait perlindungan saksi dan korban dalam proses
peradilan pidana. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan
kemudian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, sistem hukum Indonesia lebih
banyak mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan
perlindungan dari pelanggaran hak asasi manusia. Perlindungan terhadap elemen-
elemen saksi dan korban dalam sistem peradilan pidana belum diatur secara khusus
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). LPSK merupakan
lembaga yang bertugas dan berwenang memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada saksi dan/atau korban. Keberadaan LPSK sangat penting dalam
menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya agar dapat bekerja secara sinergi
dengan lembaga penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana.
Justice collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerjasama) adalah istilah baru dalam
penegakan hukum di Indonesia. Justice collaborator merujuk pada ketentuan bahwa
seorang tersangka, terdakwa, atau terpidana dapat bekerja sama dengan penegak
hukum untuk mengungkap kejahatan yang terjadi. Justice collaborator memberikan
identitas kepada pelaku kejahatan yang bersedia bekerjasama dengan aparat
penegak hukum dalam mengungkap kejahatan yang diketahuinya. Keberadaan
justice collaborator merupakan paradigma baru dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia dan merupakan subjek perlindungan yang dilakukan oleh LPSK.
Kontribusi justice collaborator adalah memberikan informasi tentang aktor, struktur
organisasi kejahatan, aktivitas, aliran, dan catatan dana yang diperlukan untuk
membongkar kelompok kejahatan terorganisasi. Namun dalam menjalankan
tugasnya, justice collaborator seringkali sulit untuk mendapatkan informasi
dikarenakan kerahasiaan kelompok kejahatan tersebut dan kemungkinan adanya
oknum aparat yang korupsi. Sedangkan dalam praktek peradilan, seringkali terdapat
kendala dalam menghadirkan saksi-saksi dalam proses hukum, baik itu kendala
yuridis maupun non-yuridis.
Oleh karena itu, penting bagi LPSK untuk memberikan perlindungan dan
keamanan kepada justice collaborator. Hal ini meliputi perlindungan terhadap
keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda justice collaborator. Selain itu, LPSK
juga harus memberikan kebebasan dan hak-hak lain yang menjadi konsekuensi dari
peran dan pengorbanan yang dilakukan oleh justice collaborator. LPSK juga
bertanggung jawab untuk memberikan rasa aman kepada justice collaborator terkait
dengan kesaksian yang diberikan. Upaya perlindungan terhadap justice collaborator
ini sangat penting agar mereka merasa aman dan terjamin dalam membantu proses
penegakan hukum.4
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum yang dilakukan Lembaga Perlindungan
Saksi Dan Korban (LPSK) kepada seorang justice collaborator?
2. Bagaimana implikas perlindungan hukum terhadap peran justice
collaborator dalam mengungkap suatu kejahatan?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis-empiris
dengan menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Metode ini digunakan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendalam tentang perlindungan hukum yang diberikan kepada
justice collaborator oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta
implikasinya terhadap peran justice collaborator dalam pengungkapan kejahatan.
Adapun sumber data untuk penelitian ini diperoleh melalui metode pengumpulan
data studi dokumen. Data yang diperoleh dari studi dokumen akan dipaparkan
secara deskriptif-analitis
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1. Perlindungan Hukum yang Dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) Kepada Justice Collaborator
Perlindungan hukum merupakan upaya yang dilakukan oleh individu atau
lembaga, baik pemerintah maupun swasta, untuk mengamankan, menguasai, dan
memenuhi hak-hak asasi sesuai dengan prinsip hukum. Terdapat empat unsur
rumusan perlindungan hukum, yaitu adanya perlindungan dari pemerintah terhadap

4
Abdul Haris Semendawai, Penetapan Status Justice Collaborator Bagi Tersangka Atau Terdakwa
Dalam Perspekif Hak Asasi Manusi, Jurnal Padjajaran Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 3.
warganya, jaminan kepastian hukum, kaitannya dengan hak-hak warga negara, dan
adanya sanksi hukuman bagi pelanggar hukum. 5
Menurut Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
perlindungan saksi dan korban, perlindungan adalah segala upaya untuk memenuhi
hak dan memberikan bantuan guna memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban yang dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lain sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Sementara itu, justice collaborator atau saksi pelaku yang
bekerjasama, seperti yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat (2), merujuk pada
tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum
untuk mengungkap tindak pidana dalam kasus yang sama.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi perlindungan kepada saksi, saksi pelaku,
dan korban, Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) tidak membedakan
perlakuan antara saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dengan saksi
biasa atau korban lainnya. Perlindungan yang diberikan oleh LPSK merata dan
sama. Namun, mengingat undang-undang yang mengatur perlindungan saksi dan
korban merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur justice
collaborator, LPSK perlu memberikan perhatian lebih agar perlindungan yang
diberikan kepada justice collaborator dapat dilaksanakan dengan baik. Adapun
program perlindungan yang diberikan LPSK yaitu :6
1. Perlindungan hak prosedural mencakup pemberian keterangan tanpa
tekanan, fasilitasi penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat,
pemberian nasihat hukum, dan/atau pendampingan. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa saksi pelaku yang bekerja sama tetap memiliki hak-
haknya terjamin selama mengikuti proses peradilan.
2. Perlindungan hukum dilakukan oleh LPSK untuk memastikan bahwa saksi,
korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum,
baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang diberikan.

5
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, 61.
6
Laporan Tahunan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban 2021.
Program ini penting untuk melindungi mereka dari tuduhan keterangan
palsu atau perlindungan hukum terhadap tindakan balik yang mungkin
dilakukan oleh pihak lain.
3. Perlindungan fisik dilakukan dengan memberikan perlindungan atas
keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda terlindung. LPSK menjadi
lembaga yang berwenang mengelola Rumah Aman dalam perlindungan
saksi dan/atau korban. Pengamanan persidangan merupakan salah satu
bentuk perlindungan fisik yang dilakukan oleh LPSK.
4. Bantuan medis diberikan kepada korban yang mengalami luka fisik akibat
peristiwa pidana. LPSK memberikan bantuan medis seperti biaya
perawatan, obat-obatan, dan tindakan medis sesuai dengan penilaian dokter.
LPSK juga bekerja sama dengan BPJS Kesehatan khusus untuk kasus
pelanggaran HAM yang berat.
5. Bantuan psikologis diberikan melalui kerja sama dengan psikolog, rumah
sakit, dan lembaga profesi psikolog. Petugas LPSK yang memiliki keahlian
di bidang psikologi memberikan bantuan rehabilitasi psikologis kepada
saksi pelaku yang bekerja sama yang mengalami dampak psikologis akibat
tekanan dalam proses pengungkapan fakta. Tujuan dari rehabilitasi
psikologis adalah agar mereka dapat mengikuti proses hukum yang sedang
berjalan dan dapat memulai kehidupan normal pasca pembebasan.
6. Rehabilitasi psikososial merupakan pelayanan dan bantuan psikologis serta
sosial yang ditujukan untuk meringankan, melindungi, dan memulihkan
kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban. LPSK bekerja sama
dengan instansi terkait untuk memberikan bantuan pemenuhan sandang,
pangan, pekerjaan, atau kelangsungan pendidikan.
7. Bantuan hidup sementara berupa penggantian penghasilan terlindung
selama berada dalam program perlindungan. Hal ini meliputi penggantian
biaya kebutuhan sandang, pangan, pendidikan, pengobatan, atau biaya
lainnya sesuai dengan keputusan LPSK.
Perlindungan terhadap Justice Collaborator merupakan hasil dari penerapan
konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, yang menjadi tanggung jawab
negara sebagai negara hukum. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak
asasi setiap warganya, termasuk justice collaborator. Perlindungan hukum terhadap
justice collaborator harus berlaku secara menyeluruh, baik selama proses peradilan
maupun setelahnya. Hal ini mencerminkan perhatian negara terhadap harkat dan
martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh
subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Negara memberikan perlindungan fisik dan psikis kepada Justice Collaborator
untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan mereka. Ini termasuk perlindungan
terhadap ancaman, teror, kekerasan, tekanan, gangguan terhadap diri, jiwa, dan
harta mereka, baik dari pihak manapun. Perlindungan ini juga harus meliputi
jaminan perlindungan fisik dan psikis bagi keluarga Justice Collaborator. Hal ini
bertujuan agar Justice Collaborator dapat melaksanakan tugasnya dengan aman,
tenang, nyaman, dan tanpa beban selama proses peradilan.
Mekanisme pemberian perlindungan fisik dan psikis bagi justice
collaborator diberikan oleh LPSK atas inisiatif permintaan perlindungan yang
diajukan langsung dari individu justice collaborator yang bersangkutan/kuasanya
kepada LPSK, atau kepada aparat penegak hukum sesuai tahap penanganannya
(penyidik, penuntut umum, atau hakim) untuk kemudian diteruskan kepada LPSK.
Dalam hal ini, perlindungan hukum bagi Justice Collaborator dapat diberikan
setelah dikeluarkannya surat penetapan oleh LPSK yang berisi rekomendasi
penetapan dan jenis perlindungan yang akan diberikan sesuai dengan hak-haknya
sebagai Justice Collaborator yang diatur dalam undang-undang. Perlindungan
tersebut meliputi perlindungan fisik, perlindungan psikis, perlindungan hukum,
penanganan khusus, dan perlindungan dalam bentuk penghargaan 7
Bentuk Perlindungan fisik merupakan perlindungan yang paling banyak
dilakukan kepada justice collaborator yaitu berupa pengamanan dan pengawalan
persidangan. Hal ini dilakukan karena kasus-kasus yang melibatkan justice
collaborator memiliki potensi ancaman yang tinggi terhadap keselamatan mereka.

7
Aristo M.A Pangaribuan , dkk, Pengantar Hukum Acara Pidana di Inodnesia,227.
LPSK merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk mengelola
Rumah Aman, tempat perlindungan fisik bagi justice collaborator dan keluarganya.
Selain perlindungan fisik, justice collaborator juga mendapatkan perlindungan non-
fisik. Mereka diberikan bantuan rohaniawan, psikologis, dan rehabilitasi
psikososial untuk membantu mengatasi guncangan emosional atau trauma yang
mereka alami.
Perlindungan hukum bagi justice collaborator diatur dalam Pasal 10 dan
Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 10 menyatakan
bahwa justice collaborator yang memberikan keterangan dengan itikad baik tidak
dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata. Tujuan dari perlindungan hukum
ini adalah untuk memberikan imunitas kepada justice collaborator sehingga mereka
dapat memberikan informasi yang akurat dan berkualitas kepada aparat penegak
hukum. Apabila terdapat tuntutan hukum terhadap justice collaborator atas
kesaksiannya, tuntutan tersebut harus ditunda hingga kasus tersebut diputuskan
oleh pengadilan.
Perlindungan yang diberikan oleh LPSK merupakan upaya preventif dari
pemerintah untuk membatasi subjek hukum dalam memenuhi kewajibannya dan
memberikan peringatan terhadap pelanggaran. Perlindungan ini juga bertujuan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan sanksi bagi mereka yang
melanggar. Namun, perlindungan ini juga tidak serta merta diberikan kepada semua
saksi pelaku, karena jika justice collaborator memberikan keterangan palsu, mereka
dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 242 KUHP dan Pasal 174
KUHP. Dalam kondisi ini, perlindungan yang diberikan dapat dibatalkan sesuai
dengan ketentuan Pasal 11 Peraturan Bersama LPSK Nomor 4 Tahun 2011 dan
Pasal 32 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban Tahun 2014.
Selama menjalankan tugasnya, justice collaborator akan menghadapi beban
yang berat dalam mengungkap informasi tentang pelaku lain dalam suatu peristiwa
pidana. Untuk itu, mereka diberikan perlindungan khusus seperti pemisahan tempat
penahanan, pemisahan berkas, dan kesaksian di persidangan tanpa berhadapan
langsung dengan terdakwa. Pemberian perlindungan khusus tersebut dilakukan
dengan koordinasi antara LPSK, kepolisian, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Kerjasama ini penting dalam memberikan perlakuan yang sesuai bagi justice
collaborator.
Bentuk perlindungan yang diberikan kepada Justice Collaborator
selanjutnya adalah pemberian penghargaan. Penghargaan ini memiliki peran
penting dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk pengungkapan tindak
pidana terorganisasi dengan melibatkan Justice Collaborator. Memberikan
penghargaan kepada Justice Collaborator adalah bentuk apresiasi atas kontribusi
mereka dalam upaya penegakan hukum, dengan harapan bahwa pelaku tindak
pidana lain juga terdorong untuk membantu aparat penegak hukum dalam
membongkar kejahatan lainnya.
Pasal 10A ayat (3) menjelaskan bahwa penghargaan atas kesaksian Justice
Collaborator dapat berupa keringanan pidana, pembebasan bersyarat, remisi
tambahan, dan hak-hak narapidana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Proses pemberian perlindungan berupa
penghargaan kepada Justice Collaborator dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Bersama. Permohonan penghargaan diajukan oleh pelaku atau kuasanya
kepada penuntut umum. LPSK dapat memberikan rekomendasi terhadap saksi
pelaku yang bekerja sama, yang kemudian dipertimbangkan oleh Jaksa Agung.
Permohonan tersebut mencantumkan identitas Justice Collaborator, alasan
pemberian penghargaan, dan bentuk penghargaan yang diharapkan. Keputusan
untuk memberikan atau menolak penghargaan dilakukan oleh Jaksa Agung sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Untuk penghargaan berupa remisi dan grasi, Jaksa
Agung memberikan pertimbangan kepada Menteri Hukum dan HAM dan Presiden.
Dengan denimikan, perlindungan terhadap justice collaborator merupakan
suatu langkah yang penting untuk melindungi individu yang bekerja sama dengan
sistem peradilan dalam mengungkap kejahatan. Maka perlindungan ini harus
komprehensif dan berlaku pada semua tahap peradilan, mulai dari tahap pelaporan,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, hingga tahap persidangan.
Bahkan setelah proses peradilan selesai, perlindungan masih perlu diberikan. Pada
beberapa kasus tindak pidana tertentu, ada ancaman dan teror yang masih mengikuti
justice collaborator setelah proses peradilan pidana selesai. Salah satu program
yang dapat membantu melindungi keluarga justice collaborator adalah Rumah
Aman yang disediakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam
beberapa kasus, anggota keluarga justice collaborator seperti orang tua, saudara
kandung, istri, dan anak-anak dapat mengalami ancaman atau kekerasan sebagai
cara untuk mengintimidasi justice collaborator yang sedang dilindungi. Keamanan
dan kenyamanan keluarga justice collaborator ini sangat penting karena dapat
mempengaruhi ketenangan dan kenyamanan justice collaborator dalam
menjalankan tugasnya sebagai pengungkap fakta. Pemindahan tempat tinggal
justice collaborator beserta keluarganya menjadi hal yang tidak mudah, karena
mereka harus meninggalkan segalanya dan pindah ke tempat baru dengan
menggunakan identitas baru. Pemindahan ini juga berarti terpisah dari keluarga
besar mereka. Namun, hal ini perlu dilakukan untuk melindungi mereka dari
ancaman dan bahaya yang mungkin datang dari terdakwa atau terpidana yang
merasa dendam. Perlindungan terhadap justice collaborator juga harus
memperhatikan aspek keadilan yang berarti tidak memihak, mengedepankan
kebenaran, dan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dari institusi atau individu
terhadap masyarakat atau individu lainnya. Prinsip keadilan adalah bahwa setiap
individu memiliki kedudukan yang setara dan tidak boleh ada diskriminasi antara
satu orang dengan yang lainnya. Dengan kata lain, semua orang harus mendapatkan
keadilan yang sama. Hal ini berlaku dalam pembagian hak dan kewajiban
fundamental serta pembagian keuntungan dari kerjasama sosial dalam masyarakat.8

1.2. Implikasi Perlindungan Hukum Terhadap Peran Justice Collaborator


Dalam Mengungkap Kejahatan.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merupakan sebuah lembaga
yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki peran aktif dalam melaksanakan
perlindungan dan pengawalan terhadap saksi dan korban yang membutuhkan
perlindungan. LPSK bertugas untuk memberikan perlindungan baik secara fisik

8
M. Yahya Harahap Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Penyididkan Dan
Penuntutan, 34.
maupun perlindungan lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi yang diatur dalam
undang-undang perlindungan saksi dan korban.
Perlindungan yang diberikan oleh LPSK sangat penting dalam penanganan
kasus saksi pelaku yang bekerjasama atau justice collaborator, karena peran mereka
diharapkan dan diinginkan oleh masyarakat Indonesia untuk mencapai keadilan dan
persamaan dalam hukum. Meskipun undang-undang tidak mengkategorikan LPSK
sebagai lembaga penegak hukum, namun LPSK tetap menjalankan dan menjamin
perlindungan dan penegakan hukum sesuai dengan amanat UUD NRI 1945 Pasal
28D Ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum.
Dengan perkembangan hukum yang ada, LPSK semakin diperlukan dalam
pengungkapan tindak pidana, terutama kasus-kasus serius yang berdampak pada
kepentingan umum dan merusak rasa keadilan masyarakat umum. Peran LPSK
dalam penegakan hukum adalah memastikan pemenuhan dan perlindungan
terhadap hak-hak saksi dan korban dapat direalisasikan dalam sistem peradilan
pidana. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai acuan pelaksanaan
LPSK tidak dapat berdiri sendiri dalam melaksanakan perlindungan. Oleh karena
itu, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan yudikatif mengeluarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 tahun 2011 tentang perlakuan bagi
Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice
Collaborator) dalam perkara tindak pidana tertentu. Surat edaran ini memberikan
panduan kepada para penegak hukum, terutama hakim, dalam mengambil
keputusan selama proses persidangan.
Perlindungan yang diberikan oleh LPSK merupakan dukungan bagi penegak
hukum agar proses peradilan pidana dapat berjalan dengan adil dan memberikan
jaminan keadilan bagi saksi dan korban. Tugas dan fungsi LPSK terkait dengan
memberikan layanan perlindungan terutama kepada saksi yang bekerjasama.
Perlindungan ini juga berimplikasi pada kondisi justice collaborator dalam
mengungkap kejahatan, terutama kejahatan yang terorganisir. Dukungan
perlindungan yang diberikan oleh LPSK juga dapat diartikan sebagai upaya untuk
mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Sistem ini melibatkan
koordinasi fungsional dan instansional antara subsistem satu dengan lainnya, sesuai
dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing, guna menegakkan hukum
pidana yang berlaku dan menciptakan keadilan yang merata. Sistem peradilan
pidana terpadu ini mencakup proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
persidangan, hingga pelaksanaan putusan hakim.9
1.2.1. Implikasi Implikasi Terhadap Proses Penyelidikan, Penyidikan
Tahap penyelidikan dan penyidikan merupakan tahap awal dari proses
pemeriksaan perkara pidana. Keberhasilan pada tahap ini sangat menentukan tahap-
tahap selanjutnya. Pada tahap penyelidikan dan penyidikan, yang paling penting
adalah mencari dan menemukan fakta-fakta kebenaran materiil yang terkait dengan
peristiwa kejahatan, termasuk mencari tahu siapa pelaku kejahatan dan motifnya.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam penyelidikan adalah menerima
laporan, mencari keterangan dan barang bukti, memeriksa orang yang dicurigai,
dan memeriksa tanda pengenal. Dalam tahap penyidikan, penyidik dapat
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara, memanggil dan
memeriksa tersangka dan saksi, serta melakukan upaya paksa yang diperlukan.
Namun, terkadang dalam mengungkap suatu kejahatan, terutama kejahatan yang
terorganisir, menghadapi kesulitan untuk menemukan fakta-fakta yang
mengandung kebenaran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti sulitnya
mengetahui pelaku utama kejahatan, keterlibatan orang-orang yang mengetahui
kejahatan dalam kejahatan tersebut, dan sulitnya menemukan bukti fisik.
Dalam kasus-kasus yang berat, terutama yang melibatkan kelompok
intelektual, mencari dan menemukan fakta kebenaran menjadi sulit. Oleh karena
itu, kehadiran justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama dengan
penyelidik dan penyidik sangat membantu dalam mengungkap fakta-fakta yang
semula tertutup. Justice collaborator membantu kepolisian dalam mencari dan
menemukan fakta-fakta yang terkait dengan kejahatan sebelum dan sesudah

9
Kadri Husain dan Budi Rizki Husain, Sitem peradiln pidana di Indonesia, 91-92.
kejahatan dilakukan. Perlindungan yang diberikan kepada justice collaborator
memberikan keberanian bagi mereka untuk mengungkap kejahatan dan
mengidentifikasi orang-orang yang terlibat. Keberanian justice collaborator ini juga
berdampak pada keterangan-keterangan yang dikumpulkan oleh penyidik, yang
dapat mengubah berita acara pemeriksaan yang sudah ada dan melengkapi
informasi yang belum jelas. Keberanian justice collaborator juga berdampak pada
penuntutan oleh kejaksaan. Penuntutan didasarkan pada berita acara pemeriksaan
yang sudah lengkap yang disampaikan oleh penyidik. Informasi yang diberikan
justice collaborator sangat penting dalam menyusun dakwaan yang tepat dan akurat,
sehingga dapat meminimalisir kesalahan dalam penuntutan. Informasi ini juga
berguna dalam memastikan bahwa terdakwa tidak bisa lepas dari jeratan hukum.10
1.2.2. Implikasi Terhadap Pemerikasaan di Pengadilan
Proses pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan bertujuan
untuk mencari kebenaran materiil terhadap suatu perkara yang disangkakan kepada
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Aparat penegak hukum
melakukan berbagai usaha untuk mencari, memperoleh, dan mengumpulkan bukti
yang diperlukan untuk mengungkap perkara pada tahap pemeriksaan penyidikan,
penuntutan, dan persidangan. Pada sidang pengadilan, pemeriksaan dimulai dengan
penetapan majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menangani
perkara yang diserahkan penuntut umum. Selanjutnya, pemeriksaan akan berlanjut
pada tahap pembuktian yang merupakan tahap paling krusial dalam proses perkara
pidana. Proses pembuktian akan menentukan apakah terdakwa terbukti bersalah
atas dakwaan jaksa penuntut umum atau tidak, yang akan berdampak pada putusan
hakim.
Dalam pemeriksaan saksi-saksi, baik yang diajukan penuntut umum maupun
terdakwa, ketentuan Pasal 166 KUHAP memberikan perlindungan dengan tidak
memperbolehkan pertanyaan yang bersifat menjerat kepada terdakwa atau saksi.

10
Lilik Mulyadi, Dkk, Perlindungan Hukum Terhadap Whistelblower Dan Justice
Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, 49.
Proses pembuktian tidak selalu berjalan mulus, terutama dalam perkara yang
bernilai tinggi, berdampak luas, merugikan negara, dan terorganisir. Proses ini
seringkali menimbulkan persoalan rumit, seperti sulitnya pembuktian, keterangan
saksi yang bervariasi, dan ketidaksesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti
atau barang bukti. Dalam konteks ini, kehadiran dan kontribusi justice collaborator
dalam sistem peradilan pidana sangat membantu dalam pengungkapan kejahatan,
terutama dalam kasus organized crime. Peran justice collaborator sebagai saksi
kunci dan keterangannya didukung oleh saksi lain serta alat bukti lain memberikan
keyakinan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.
Perlindungan yang diberikan kepada justice collaborator bertujuan untuk
memastikan keamanan mereka pasca persidangan, mencegah tekanan psikologis,
dan menjaga kemurnian kesaksian serta keterangan yang diberikan. Dalam tindak
pidana korupsi, justice collaborator juga membantu dalam pengungkapan tindak
pidana korupsi yang terjadi dalam institusi atau korporasi. Penghargaan kepada
justice collaborator merupakan bentuk pemberian penghargaan terhadap partisipasi
mereka dalam pengungkapan tindak pidana dengan menjadikannya sebagai
pertimbangan pengurangan pidana. Ini juga mendorong partisipasi masyarakat
dalam mengungkap tindak pidana. Sema nomor 4 tahun 2011 memberikan
perlindungan fisik dan psikis kepada justice collaborator, serta pemisahan tempat
ruang tahanan untuk memastikan keamanan mereka pasca persidangan. Dengan
demikian, perlindungan yang diberikan kepada justice collaborator merupakan
upaya untuk memastikan keamanan, kebenaran kesaksian, dan partisipasi mereka
dalam pengungkapan tindak pidana.11
1.2.3. Implikasi Terhap Proses Pelaksanaan Putusan
Dalam KUHAP, pelaksanaan putusan pengadilan diatur mulai dari Pasal 270
hingga Pasal 276. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Tahap pelaksanaan
putusan menempatkan tahap ini sebagai tahap akhir dalam sistem peradilan pidana

11
Kadri Husain dan Budi Rizki Husain, Sitem peradiln pidana di Indonesia, 125.
yang dilakukan oleh subsistem Pemasyarakatan. Harapan dan tujuan dari subsistem
ini adalah berupa aspek pembinaan dari penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang
disebut narapidana. Lembaga Pemasyarakatan menjadi tempat penggodokan para
terpidana, guna menjalani dan mempertanggungjawabkan atas apa yang telah
diputuskan oleh pengadilan terhadap dirinya. Berhasil atau tidaknya tujuan
peradilan pidana terlihat dari hasil yang telah ditempuh dan dikeluarkan oleh
lembaga pemasyarakatan dalam keseluruhan proses peradilan pidana.
Pembinaan merupakan kegiatan yang bersifat kontinyu dan intensif. Melalui
pembinaan, terpidana diarahkan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri,
dan tidak melakukan tindak pidana lagi. Pembinaan tidak dimaksudkan untuk
menderitakan, dan terpidana tetap diakui hak-hak asasinya sebagai manusia.
Selanjutnya, dalam posisi yang demikian, terpidana harus dibina agar dapat kembali
menjadi warga masyarakat yang taat hukum. Lembaga pemasyarakatan diberikan
wewenang untuk menilai sikap, perilaku terpidana, dan menentukan langkah apa
yang akan dijalankan dalam proses pembinaan. Upaya-upaya yang meringankan
terpidana selama menjalani pemidanaan dalam lembaga pemasyarakatan berupa
pemberian remisi atau pelepasan bersyarat, yang kesemuanya mengarah agar
terpidana tidak berbuat jahat lagi nantinya.
Pada tahap ini, perlindungan untuk justice collaborator diberikan dalam
bentuk pemisahan tempat justice collaborator menjalani pidana serta diberikan
remisi tambahan. Justice collaborator yang telah mendapat pidana dan sedang
menjalani pidananya, mengingat jasa dan kontribusi dalam proses perkara dan
membantu pengungkapannya pelaku yang bekerjasama tersebut, hakim dalam
menentukan pidana yang dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal yang
memungkinkan untuk dijatuhkan pidana. Selain itu, LPSK juga memiliki peran
dalam memberikan rekomendasi kepada pihak penegak hukum terkait penghargaan
justice collaborator yang dinilai pantas dan kesaksiannya penting untuk
membongkar dan membuat terang suatu peristiwa kejahatan yang terorganisasi
(organized crime) serta merekomendasikan penghargaanya (reward) berupa
pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.12
Dengan demikian, perlindungan hukum tersebut sebagai penghargaan
(reward) atas partisipasi saksi pelaku sebagai warga negara yang baik dalam
membantu penegak hukum dalam mengungkap terjadinya tindak pidana.
Penghargaan oleh negara yang diberikan kepada saksi yang juga tersangka
dimaksud harus dipandang sebagai keadilan karena di dalamnya terdapat
keseimbangan (balancing) antara kontribusi pengungkapan kejahatan dan
pengurangan pidana terhadap kesalahan. Maka pantas jika justice collaborator
diberikan perlindungan penghargaan (reward) berdasarkan Pasal 10 ayat (3) karena
partisipasinya dalam mengungkap tindak pidana, dan sebagai tersangka/terdakwa
ia telah mendapat perlindungan hukum berdasarkan KUHAP sehingga ketentuan
yang demikian itu telah cukup memberikan keadilan substantif bagi justice
collaborator.
PENUTUP
Kesimpulan
1. Perlindungan hukum yang dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi Dan
Korban (LPSK) kepada justice collaborator berupa Perlindungan hak
Prosedural yang meliputi pemberian keterangan tanpa tekanan, fasilitasi
penerjemah, bebas dari pertanyaan yang menjerat, pemberian nasihat hukum
(pendampingan) serta hak mengetahui perkembangan kasus. Perlindungan
fisik dan psikis berupa pengamanan dan pengawalan pada saat persidangan
pemberian rumah aman kepada keluarganya justice collaborator. Perlindungan
hukum, berupa tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata
atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telahdiberikannya dan
penundaan tuntutan jika terjadi penuntutan hingga kasus yang dijalankan telah
diputus dan kekuatan hukum tetap. Penanganan secara khusus, berupa

12
Rusli Muhammad, Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower Dan Justice Collaborar
Dalam Sistem Peradilan Pidana. 17.
Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku
dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak
pidananya,pemisahan pemberkasan,serta memberikan kesaksian didepan
persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap
tindak pidananya. Perlindungan dalam bentuk penghargaan (reword) dalam
bentuk keringanan penjatuhan pidana, pembebasan bersyarat, remisi tambahan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian
Perlindungan hukum kepada justice collaborator selalu bekersama dan
berkoordinasi dengan lembaga pengak hukum pada setiap penanganan
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan sebagai sub
sistem lembaga pembinaan narapidana) guna optomalnya suatu perlindungan
yang dilakukan.
2. Implikasi Perlindungan Hukum Terhadap Peran justice collaborator Dalam
Mengungkap Kejahatan sangat erat kaitannya pada psikologis justice
collaborator. Adanya perlindungan fisik dan psikis serta penanganan secara
khusus memberikan keberanian justice collaborator untuk memberikan
keterangan dan membuat terang suatu kejahatan dan mengungkap
dalang/actor intelektual kejatan serta memberikan fakta fakta yang sebenarnya
terkait kejahatan yang dilakukan. Perlindungan yang diberikan akan
mempengaruhi cara justice collaborator memberikan keterangan pada semua
tahap pemeriksaan (penyidikan, penuntutan dan persidangan) sampai pada
tahap pelaksaan putusan pengadilan, sehingga atas keteranganya tersebut
penegak hukum akan mudah mendalilkan dan menjerat pelaku lainnya.
Sementara itu pemberian perlindungan dalam bentuk pengharagaan (reword)
terhadap justice collaborator juga berimplikasi kepada saksi pelaku lain untuk
berpastisipasi dalam pengungkapan kejahatan terkhusus kejahatan yang
organisir.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris Semendawai, Penetapan Status Justice Collaborator Bagi Tersangka
Atau Terdakwa Dalam Perspekif Hak Asasi Manusi, Jurnal Padjajaran Ilmu
Hukum, Vol. 3, No. 3.
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, 61.
Aristo M.A Pangaribuan, dkk, Pengantar Hukum Acara Pidana di Inodnesia,227.
Kadri Husain dan Budi Rizki Husain, Sitem peradiln pidana di Indonesia, 125.
Kadri Husain dan Budi Rizki Husain, Sitem peradiln pidana di Indonesia, 91-92.
Laporan Tahunan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban 2021.
Lilik Mulyadi, Dkk, Perlindungan Hukum Terhadap Whistelblower Dan Justice
Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, 49.
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, 84-85.
M. Yahya Harahap Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap Penyididkan
Dan Penuntutan, 34.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, 16.
Rusli Muhammad, Pengaturan dan Urgensi Whistle Blower Dan Justice
Collaborar Dalam Sistem Peradilan Pidana. 17.
Siswanto Sumarsono,Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban

Anda mungkin juga menyukai