Anda di halaman 1dari 16

SPERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN HAK

KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA MELALUI


MEKANISME WHISTLEBLOWING DAN JUSTICE
COLLABORATOR DI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT

Adrian Maharaja Herlambang, Aiga Dwiyandury Nabilla, Josua A. F Silaen,


Sasi Kirana Zahrani, Zulfan Hudaya Sadida

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya


Jalan MT. Haryono, No. 164 Malang, Jawa TimurIndonesia
Telepon : (0341) 553898 atau Fax (0341) 566505
Email: aigadnabilla@gmail,com

Disubmit: | Diterima:

Abstract

Keywords:

Abstrak

Kata Kunci:

1
2

A. Latar Belakang
Konstitusi menurut seorang tokoh, M. Laica Marzuki diartikan sebagai
permakluman tertinggi yang menetapkan hal-hal mengenai antara lain pemegang
kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan,
kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga negara serta hak-
hak warga negara.1 Sehingga dalam hal ini, konstitusi yang berkedudukan sebagai
hukum tertinggi dan hukum dasar dari sebuah negara berisikan institusi, hak asasi,
dan identitas negara. Terdapat keterkaitan mengenai hak asasi dengan konstitusi,
dimana konstitusi negara mengatur mengenai hak asasi manusia warga negaranya,
dalam hal ini dapat disebut sebagai hak konstitusional warga negara. Diterangkan
pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
bahwasannya pengertian daripada hak konstitusional warga negara Indonesia 2
adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.3
Negara yang menganut prinsip demokrasi seperti Indonesia dan Amerika
Serikat sudah sepatutnya memberikan jaminan perlindungan mengenai hak-hak
konstitusional warga negaranya berdasarkan pengaturan konstitusi negara, dimana
jaminan perlindungan tersebut dapat dinyatakan secara tegas melalui peraturan
tertulis maupun secara tersirat. Hak konstitusional warga negara jelas terdapat
dalam konstitusi negara, sehingga dalam hal ini setiap bagian dari lembaga
kekuasaan negara wajib menghormatinya karena sudah menjadi bagian dari
konstitusi itu sendiri. Perlindungan mengenai hak konstitusional warga negara
berkaitan pula dengan perlindungan terhadap pelaku Justice Collabolator dan
Whistleblower. Mengutip Pasal 28D ayat (1) Bab XA Undang-Undang Dasar
1945, “Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” 4 sudah secara pasti
menerangkan bahwa setiap warga negara memiliki hak dalam mendapatkan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil di mata hukum, tidak terkecuali
kepada pelaku Justice Collaborator dan Whistleblower.

1
Laica Marzuki, HM., “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 4,
(Agustus 2010).
2
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4
Pasal 28D ayat (1) Bab XA Undang-Undang Dasar 1945.
3

Whistleblower pernah diartikan oleh Quentin Dumpster sebagai orang yang


mengungkapkan fakta kepada publik mengenai suatu skandal, bahaya malpraktik,
atau korupsi5, pengertian tersebut sama dengan pengertian Whistleblower oleh
Mardjono Reksodiputro bahwa Whistleblower dapat disebut sebagai pembocor
rahasia atau pengadu.6 Sedangkan Justice Collaborator diartikan dalam Surat
Keputusan Bersama antara Lembafa Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, sebagai seorang
saksi yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerja sama dengan penegak
hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset
hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Amerika Serikat melalui Whistleblower Act 1989 mengatur bahwasannya
pelaku Whistleblower dilindungi terhadap tindakan pemecatan, penurunan
pangkat, pemberhentian sementara, ancaman, gangguan, dan tindakan
diskriminasi. Di Indonesia, segala peraturan mengenai Whistleblower dan Justice
Collaborator diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Namun pada praktiknya, telah diaturnya
peraturan mengenai perlindungan kepada pelaku Whistleblower dan Justice
Collaborator tetap belum menjamin kepastian perlindungan sesuai dengan
peraturan yang telah diundangkan tersebut. Dalam beberapa kasus, pelaku
Whistleblower dan Justice Collaborator masih seringkali mengalami pemecatan
pekerjaan hingga kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru dan memerlukan
pertolongan psikiatris serta medis akibat tekanan yang dialaminya sebagai
pengadu. Dari adanya hal ini, pelaku Whistleblower dan Justice Collaborator
mengalami penurunan kualitas hidup akibat dari ketidakadaan perlindungan
kepada pelaku pengungkap fakta.
Dilihat dari kenyataan tersebut, masih ditemukan permasalahan mengenai
perlindungan terhadap pelaku Whistleblower dan Justice Collaborator dalam
praktik peradilan mulai dari pengajuan, proses, hingga berakhirnya peradilan. Hal
ini berimplikasi pada ketidaksesuaian konstitusi yang secara tegas menyatakan

5
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator Dalam Perspektif Hukum, (Jakarta:
Penaku, 2012), hlm. 7.
6
Mardjono Reksodiputro, Pembocor Rahasia/Whistleblowers dan Penyadapan (Wiretapping,
Electronic Interception) Dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia, (Wacana
Goverminyboard, 2011), Hlm. 13.
4

memberikan perlindungan hak konstitusional warga negaranya. Dengan demikian,


tulisan ini bermaksud mencari perbandingan hukum perlindungan hak
konstitusional warga negara melalui mekanisme Whistleblowing dan Justice
Collaborator di Indonesia dan Amerika Serikat, pemilihan perbandingan dari
kedua negara ini dikarenakan sistem hukum yang dianut hampir sama.

B. Rumusan Masalah
Sehingga dalam penelitian ini, ditemukan rumusan masalah dalam mencari
perbandingan pengaturan sistem Whistleblower dan Justice Collaborator di
Indonesia dan Amerika Setikat serta mencari perbandingan perlindungan hak
konstitusional warga negara pada sistem Whistleblower dan Justice Collaborator
di Indonesia dan Amerika Serikat. Tujuan daripada penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisis: pertama, menemukan perbedaan dalam peraturan
mengenai sistem Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia dan
Amerika serikat. Kedua, menganalisis perbedaan perlindungan hak konstitusional
warga negara pada sistem Whistleblower dan Justice Collaborator di Indonesia
dan Amerika Serikat.

C. Metode Penelitian
Pada penelitian ini digunakan metode penelitian menggunakan yuridis
normatif, yang mana metode ini menekankan penelitian pada analisis hukum
dengan bahan pustaka atau data sekunder.7 Metode penelitian yuridis normatif
pada dasarnya menggunakan apa yang telah tertulis pada peraturan perundang-
undangan atau kaidah serta norma sebagai dasar peraturan berperilaku dalam
lingkungan masyarakat yang kemudian dianalisis. Pendekatan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan perbandingan (comparative law), yang mana data atau
bahan yang telah ada tersebut dibandingkan untuk kemudian ditemukan analisis
mengenai perbedaan yang telah ada.

7
Soekanto, dkk, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo,
2003), hlm. 13.
5

Pembahasan
Pengaturan Mengenai Sistem Justice Collaborator dan Whistleblower di
Indonesia dan Amerika Serikat

Peran seorang saksi dan/atau korban untuk memberikan keterangan yang


sejujur-jujurnya di hadapan persidangan sebagai saksi merupakan langkaj
keberhasilan penegak hukum dalam mengungkap dan membuktikan suatu
kejahatan. Eksistensi Justice Collaborator lahir sebagai salah satu sarana untuk
membongkar suatu kasus yang tergolong memiliki dampak yang besar bagi
negara. Perkembangan modus kejahatan menunjukkan skala yang meluas dan
semakin canggih. Kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime) jelas
membutuhkan penanganan yang luar biasa (extraordinary measures/extra
ordinary enforcement).8 Seseorang yang terlibat dalam proses pengungkapan
rahasia yang terjadi dalam organisasi kriminal memiliki resiko yang jauh lebih
besar, maka sangat diperlukan pengaturan terkait perlindungan hukum bagi para
pembocor rahasia terhadap kegiatan yang melawan hukum tersebut.

Sutiono menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah tindakan atau


upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh
penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban
dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya
sebagai manusia.9 Menurut Abdul Haris Semendawai, urgensi perlindungan
hukum terhadap Justice Collaborator adalah kaitannya dengan suatu organisasi
kejahatan, membuat aturan yang keras memberi sanksi tegas (mati) terhadap
anggotanya yang membocorkan rahasia organisasi tersebut kepada aparat penegak
hukum atau public (code of silence) akibatnya sulit untuk membongkar kejahatan
yang serius. Di berbagai negara, bentuk pengaturan dan perlindungan hukum
terhadap Justice Collaborator dan Westleblower berlaku dan tunduk pada aturan
yang penjabarannya berbeda-beda. Istilah ‘pembocor rahasia’ dan ‘peniup pluit’
yang mau bekerja sama dengan aparatur penegak hukum tertuju pada Justice

8
Nasrullah Umar Harahap, “Pengaturan Justice Collaborator Dalam Tindak Pidana Narkotika Di
Indonesia Dan Amerika Serikat”, JOM Fakultas Hukum Universitas Riau Volume VI Edisi 2, (Juli-
Desember 2019), hlm. 2.
9
Setiono, Rule of law Supremasi Hukum, Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana,
(Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2004).
6

Collaborator atau Participant Whistleblower. Secara pengertiannya, Justice


Collaborator adalah salah satu tersangka dalam sebuah tindak pidana yang bukan
merupakan pelaku utama dan dapat bekerjasama dalam mengungkap suatu tindak
pidana beserta orang-orang yang terlibat. Para kolaborator keadilan di Indonesia
dalam dunia hukum Justice Collaborator diartikan sebagai saksi pelaku yang
bekerjasama.

Di Indonesia, Justice Collaborator sendiri secara resmi barulah disebut


dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (WhistleBlower) dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.
Tentu saja dilihat dari Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Surat Edaran
(SE) ini bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan, karena sifatnya
yang internal di lingkup peradilan di bawah Mahkamah Agung, oleh sebab itu
surat edaran ini ditujukan kepada ketua pengadilan tinggi dan ketua Pengadilan
Negeri.10 Walaupun demikian, Surat Edaran Mahkamah Agung dalam dunia
praktik tetap merupakan hal yang signifikan. Di SEMA inilah istilah Justice
Collaborator digunakan secara resmi untuk merujuk hal yang sama sebagaimana
saksi pelaku dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban11. Terdapapt beberapa pengaturan Justice Collaborator dalam
perundang-undangan di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(UU PSK);
3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang

10
Nasrullah Umar Harahap, op.cit. hlm. 3.
11
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor
Tindak Pidana (WhistleBlower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di
dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
7

Bekerjasama (Justice Colllaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana


Tertentu;
4. Peraturan Bersama yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa
Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantrasan
Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor
M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER045/A/JA/12/2011, Nomor 1
Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01- 55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011
tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama.

Perlindungan untuk saksi pelaku (Justice Collaborator) merupakan hal


penting dalam membuktikan kebenaran suatu peristiwa pidana dalam penegakan
hukum. KUHP mengadopsi norma yang termuat dalam Universal Declaration of
Human Right (1945) dan International Convention on Civil and Political Right. 12
Beberapa persyaratan untuk mendapatkan perlindungan sebagai Justice
Collaborator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (2) UU No. 31 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, sebagai berikut13:

a. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam


kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK); sifat pentingnya keterangan yang
diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak
pidana;
b. bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang
diungkapkannya;
c. kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana
yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
d. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya
ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku

12
International Organization for Migration, Pedoman Untuk Penyidik dan Penuntut Tindak Pidana
Trafiking dan Perlindungan Terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum, 2015, hlm. 12.
13
Rizky P.J, “Hak Sebagai Justice Collaborator”, https://hukumexpert.com/hak-sebagai-justice-
collaborator/?detail=ulasan#_ftn3m, diakses pada 9 Maret 2023.
8

atau keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut


keadaan yang sebenarnya.

Justice Collaborator juga mendapatkan penanganan khusus sebagaimana


diatur dalam Pasal 10A Ayat (1) UUPSK berupa14:

1. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara


Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana
yang diungkap tindak pidananya;
2. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas
tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan
atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
3. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan
langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Justice Collaborator pertama kali muncul dan diperkenalkan konsepnya


dengan penegak hukum di Amerika Serikat pada sekitar tahun 1970-an.
Keberadaan sarana tersebut bertujuan untuk menghadapi para mafia yang sejak
lama telah menerapkan sumpah tutup mulut yang merupakan hukum tertua dalam
dunia Mafioso Sisilia atau disebut dengan ‘omerta’. 15 Hal tersebut membuat
Departemen Kehakiman Amerika Serikat meyakini bahwa program Perlindungan
Saksi harus dijadikan suatu lembaga. Pada dasarnya, praktik perlindungan Justice
Collaborator di Amerika Serikat mengenal 4 (empat) model perlindungan dan
reward untuk melawan kejahatan terorganisir, yaitu16:

1) Mekanisme surat nontarget


Surat nontarget yang diberikan jaksa kepada calon saksi berfungsi
untuk meyakinkan saksi yang akan diperiksa. Dalam suatu
penyidikan terdapat subyek hukum menurut penuntut umum, yaitu
seseorang telah melakukan tindak pidana melawan hukum
14
Ibid.
15
Lilik Mulyadi, “Menggagas Konsep Dan Model Ideal Perlindungan Hukum Terhadap
Whistleblower Dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di
Indonesia Masa Mendatang”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 3, Nomor 2, Pengadilan
Negeri Jakarta Utara, (Juli 2014), hlm. 103.
16
Supriyadi Widodo Eddyono, “Prospek Perlindungan Justice Collaborator di Indonesia,
Perbandingannya di Amerika dan Eropa, Jurnal Saksi dan Korban Perlindungan”, Volume 1 No. 1,
2011, hlm. 98,
9

berdasarkan bukti yang cukup. Surat tersebut biasanya digunakan


pada awal penyelidikan dan hanya untuk mereka yang berperan
kecil dalam kejahatan tersebut. Terutama dalam kasus multi-pihak,
beberapa saksi yang mengetahui sesuatu tentang kejadian tersebut,
meskipun mereka memiliki sedikit atau tidak bersalah, mungkin
enggan bekerja sama dengan pihak berwenang karena takut terlibat
dalam penuntutan.17
2) Kesepakatan tanpa tuntutan atau tidak bersyarat
Model ini diartikan sebagai kesepakatan untuk tidak meminta saksi
tindak pidana apapun dengan imbalan kerja sama penuh dan
kesaksian yang jujur. Perjanjian tanpa penuntutan biasanya
digunakan dalam situasi di mana keterlibatan saksi dalam
kejahatan minimal dan diperlukan kerja sama dengan pihak-pihak
yang memiliki kepentingan lebih besar dalam kejahatan tersebut.18
3) Kekebalan dalam berbagai keadaan tertentu
Terdapat penghargaan bagi seorang saksi yang berada di bawah
sumpa, baik di depan juri, penyidik yang disebut dewan juri
maupun dalam persidangan. Kesaksian informant witness tidak
dapat digunakan untuk menuntut yang bersangkutan dalam sebuah
kejahatan dan ia terlibat di dalamnya. Mekanisme ini digunakan
dalam hal kesaksian yang ragu untuk bersaksi yang memiliki
informasi berharga mengenai kejahatan yang sedang diselidiki
tetapi juga terlibat sedikit dengan tingkat tanggung jawab yang
lebih rendah atau sebagai pemain kecil dalam kejahatan tersebut.19
4) Kesepakatan bersama (plea aggrement) sebagai bagian dari tawar
menawar (plea bargain)
Dalam hal ini, terdakwa harus terlebih dahulu mengaku bersalah
atas satu atau lebih tindak pidana kriminal yang dilakukan dan
bertanggung jawab dalam perkara pidana. Sebagai bagian dari
kesepakatan tersebut, terdakwa memberikan persetujuan untuk

17
Ibid.
18
Ibid, hlm. 99.
19
Ibid.
10

bekerjasama secara penuh dan sejujurnya dengan jaksa, termasuk


mengungkapkan informasi dan bersedia memberikan kesaksian di
pengadilannya.20

Whistleblower dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2000 Tentang


Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai
orang yang memberi informasi kepada penegak hukum atau komisi mengenai
terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor. Kemudian, dalam UU
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya disebut
sebagai “pengungkap fakta” tanpa memberi pengertiannya. Quentin Dempster
menyebut Whistleblower sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik
mengenai sebuah skandal, bahaya malpraktik, atau korupsi21, sedangkan Mardjono
Reksodiputro menyebutnya sebagai pembocor rahasia atau pengadu.22

Selain turunan “peniup peluit” yang berasal dari terjemahan Bahasa


Inggris Whistleblower, apabila diartikan sesuai perannya, adanya Whistleblower
menandakan sebuah pengungkapan fakta telah terjadinya pelanggaran sehingga
dalam konteks ini dimaknai juga sebagai orang yang mengungkapkan fakta
kepada publik terkait adanya sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi,
dan yang membongkar kejahatan (saksi mahkota). 23 Dalam perkembangannya,
Whistleblower telah berkembang di berbagai negara, baik negara Anglo-Saxon dan
Eropa Kontinental maupun negara quasi-Anglo-Saxon dan Eropa Kontinental,
termasuk Amerika Serikat melalui Whistleblower Act of 1989, di mana
Whistleblower dilindungi terhadap pemecatan, penurunan pangkat, pembebasan
sementara, ancaman, pelecehan dan diskriminasi24 serta pada Undang-Undang
Reformasi Keamanan Saksi Tahun 1984 (Witness Protection Act 1984).
Di Indonesia, praktik perlindungan Whistleblower dan Justice
Collabolator dilakukan terhadap Vincentius Amin Sutanto, Agus Condro Prayitno,

20
Ibid.
21
Firman Wijaya, loc.cit.
22
Mardjono Reksodiputro, loc.cit.
23
Lilik Mulyadi, op.cit, hlm. 102.
24
Ibid.
11

Yohanes Waworuntu, Susno Duadji, dan Endin Wahyudin 25.Kemudian di negara


asing, misalnya pada Colen Rowey (Amerika Serikat), Jeffrey Wigand (Amerika
Serikat), Shanmughan Manjunath (India), Yoichi Mitzuni (Jepang)26, dan lain
sebagainya. Berdasarkan peraturan perundang-undangan masa kini (ius
constitutum), baik seorang Justice Collaborator maupun Whistleblower dapat
melaporkan kepada LPSK, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Komisi Yudisial, Ombudsman Republik Indonesia, PPATK, Komisi Kepolisian
Nasional dan Komisi Kejaksaan.
Justice Collaborator di Amerika Serikat berlindung di bawah pengawasan
dan kendali Bureau of Prisons dan US Marshal Service. Mereka bertugas
memantau dan mengendalikan saksi yang berstatus tahanan atau terpidana serta
menyiapkan kebutuhan administrasi.27 Dalam sistem peradilan pidana negara,
Jaksa Agung berwenang untuk menilai dan mengevaluasi permohonan bagi
Justice Collaborator. Lebih lanjut, Bureau of Prisons berwenang melakukan
persetujuan dan penetapan terhadap permohonan perlindungan saksi. Sedangkan
US Marshal Service bertindak melakukan evaluasi saksi yang dikategorikan ke
dalam program perlindungan keadaan mendesak.28

25
Vincentius Amin Sutanto, mantan financial controller di Asina Agri Group, melakukan
pembobolan uan Asian Agri dengan membuat dua aplikasi transfer fiktif dari PT Asian Agri Oils
and Fats Ltd ke Bank Fortis, Singapura dengan memalsukan tanda tangan dan kemudian memberi
keterangan tentang penggelapan yan dilakukan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Kemudian
Agus Condro Prayitno dalam kasus dugaan suap B kepada Hamka Yandu, Yohanes Waworuntu
mengenai masalah Sisminbankum dan Endin Wahyudi tentang kasus yang melibatkan suap
terhadap tiga hakim agung.
26
Colen Rowey, seorang agen khusus FBI, mengungkapkan kelambanan FBI yang mungkin
menyebabkan terjadnya serangan teroris pada tanggal 11 September 2001 di World Trade Center
dan pentagon Jeffrey Wigand seorang direksi di Bagian Riset dan Pengembangan (1988-1993)
perusahaan rokok Brown and Williamson Tobacoo Coorporation yang memberi laporan atau
kesaksian atas praktik manipulasi kadar nikotin rokok yang diduga terjadi diperusahaan itu
kemudian kisah ini diangkat dilayar lebar (1996) dengan judul film ”The Insider” dimana film
tersebut memenangi Piala Oscar 1996. Shanmughan Manjunath seorang manajer di perusahaan
minyak milik negara India yang mengungkapkan skema penjualan bensin tidak murni, dan Yoichi
Mitzutani seorang presiden direktur perusahaan penyimpanan Nishinomiya Reizo di Jepang yang
melaporkan mengenai penipuan yang dilakukan oleh Snow Brand Food Co. Snow telah
melakukan pelabelan palsu.
27
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya
Penanggulangan Organized Crime, (Bandung: PT. Alumni, 2017), hlm. 5.
28
Ibid.
12

Konsep Hak Konstitusional Warga Negara antara Indonesia dan Amerika


Serikat beserta Pengaturannya

Secara umum, hak konstitusional adalah hak atau kumpulan hak yang
dilindungi oleh konstitusi. Penggunaan kata “dilindungi” adalah karena
bagaimana konstitusi merupakan kehendak rakyat yang menyerahkan kedaulatan
individualnya kepada negara melalui konstitusi, artinya negara wajib ‘melindungi’
hak atau kumpulan hak tersebut atas dasar kehendak rakyat. Kehendak rakyat
akan perlindungan suatu hak inilah yang menjadi dasar ‘social contract’ versi
John Locke; bahwa perlindungan hak merupakan mandat dari rakyat untuk negara
yang apabila tidak dipenuhi maka negara kehilangan legitimasinya29.

Satu hal yang berkaitan dengan hak konstitusional biasanya adalah hak
asasi manusia. Sesuai dengan paham John Locke, seperti dikemukakan
sebelumnya, beberapa hak adalah hak inheren yang dimiliki manusia tanpa perlu
persetujuan atau pengakuan negara30. Atas dasar ‘social contract’ maka negara
diberikan wewenang untuk melakukan perlindungannya dan negara pula dapat
dilengserkan apabila mengabaikannya31. Adapun anggapan bahwa dalam konteks
dan konsep negara modern, pengakuan, perlindungan dan penegakannya adalah
salah satu ciri negara hukum. Anggapan tersebut sama halnya berarti negara yang
tidak menginkorporasikan hak asasi manusia tidak dapat dikualifikasikan sebagai
negara hukum.

Hak konstitusional warga negara di Indonesia sangat erat kaitannya


dengan hak asasi manusia yang ada pada Undang-Undang Dasar. Apabila dilihat
bagian-bagiannya maka dapat dipahami ada beberapa hal yang menjadi hak warga
negara, pertama apabila negara memberikan hak tersebut secara eksplisit seperti
hak asasi manusia yang tercantum di pasal 28A hingga 28J UUD NRI 1945 serta
yang tersebar. Kedua apabila negara memberi dirinya sendiri melalui pemerintah
suatu kewajiban contoh seperti Pasal 31 ayat (2) tentang kewajiban warga negara

29
Wijaya, Daya Negri. "Kontrak Sosial Menurut Thomas Hobbes dan John Locke." Jurnal
Sosiologi Pendidikan Humanis 1, no. 2 (2016): 183-193. Hlm. 188.
30
Rhona K.M. Smith et alia. “Hukum Hak Asasi Manusia”. Yogyakarta: PUSHAM UII.
2008. Hlm. 12.
31
Ibid.
13

untuk mengikuti pendidikan dasar dan kewajiban negara/pemerintah untuk


membiayainya.

Dengan ditelisik secara penggunaan bahasa dalam hukum, apabila kita


melihat pasal 28I ayat (5) UUD NRI 1945 yang berbunyi:

“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan


prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan.”

maka kata “dalam” menimbulkan arti yaitu setiap yang menjadi hak asasi manusia
dan tercantum di dalam konstitusi haruslah dihormati dan diimplementasikan ke
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih bawah32. Adapun, lebih lanjut,
hal yang bisa kita tarik dari pasal tersebut adalah kata “dan” yang artinya unsur-
unsur yang disebutkan bersifat kumulatif atau harus digunakan, ditakar, dan/atau
diimplementasikan secara bersamaan (simultaneous); pelaksanaan hak asasi
manusia, atau implementasi praktisnya, menjadi kewajiban negara untuk
menjamin, mengatur dan menuangkannya ke semua jenjang peraturan perundang-
undangan yang ada.

Perkembangan doktrin ketatanegaraan dalam kategori Civil Law salah


satunya adalah adanya pengadilan konstitusi, di Indonesia dibuat sebagai
Mahkamah Konstitusi seperti tertuang pada Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD
NRI 1945. Salah satu perkembangan yang menarik adalah kewenangan dari
pengadilan konstitusi itu sendiri yaitu constitutional complaint yang pokoknya
adalah pengaduan terhadap pelanggaran hak konstitusional. Tetapi disayangkan
karena konstitusi Indonesia belum memberikan kewenangan itu kepada
Mahkamah Konstitusi33 sesuai Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2). Apabila kita
kaitkan dengan mekanisme Justice Collaborator dan Whistleblower maka dapat
dikatakan bahwa kedua mekanisme itu tidak mempunyai proses penguatan lagi.
Penguatan yang dimaksud adalah semisal JC dan WB dikaitkan dengan Pasal 28D
ayat (1) tentang perlakuan sama di hadapan hukum dan Pasal 28H ayat (2) tentang

32
Wiratraman, Herlambang Perdana. "Hak-Hak konstitusional warga Negara setelah
amandemen UUD 1945: konsep, pengaturan dan dinamika implementasi." Jurnal Hukum
Panta Rei 1, no. 1 (2007): 1-18. Hlm. 13.
33
Ibid. Hlm. 15.
14

pencapaian persamaan dan keadilan yang merupakan hak konstitusional dan dapat
ditegakkan melalui constitutional complaint.

Selayaknya perbedaan historis dan sistem hukum yang dianut, Amerika


Serikat dan Indonesia memiliki perbedaan sistemis dalam kewenangan pengadilan
konstitusi untuk memeriksa perkara. Konsep yang paling berdekatan dengan
constitutional complaint di Indonesia adalah judicial review dan di Amerika
Serikat pun memiliki konsep yang sama. Perbedaan antara pengadilan konstitusi
kedua negara tersebut adalah dari kewenangan kekuasaan kehakiman secara
umum yang mana di Indonesia menganut centralized model dalam pengujian
terhadap konstitusinya sedangkan Amerika Serikat menganut decentralized
model34. Berbalik dari Indonesia yang mengumpulkan setiap permasalahan
konstitusional ke Mahkamah Agung, pengadilan di Amerika Serikat baik di
tingkat federal yaitu Supreme Court of the United States maupun di tingkat negara
bagian dan daerah pemerintahannya yang lebih kecil memiliki wewenang untuk
melakukan judicial review35 dan pada gilirannya juga termasuk constitutional
complaint.

Patut diketahui bahwa Supreme Court of the United States adalah


Mahkamah Agung Amerika Serikat. Sejalan dengan ketiadaan Pengadilan Tata
Usaha Negara maka Amerika Serikat tidak mempunyai pengadilan yang dedicated
terhadap konstitusi. Itulah mengapa secara umum kewenangan untuk melakukan
judicial review dan constitutional complaint melekat pada kekuasaan kehakiman
secara menyeluruh. Hakim secara ex officio mempunyai tanggung jawab untuk
memeriksa apakah suatu peraturan perundang-undangan, dalam jenjang apapun,
bertentangan dengan konstitusi federal Amerika Serikat36.

Hak konstitusional sesuai namanya sudah barang tentu termuat di dalam


konstitusi suatu negara. Di Amerika Serikat, amandemen konstitusi yang sering
digaungkan oleh warga AS adalah Amandemen Kedua (Second Amendment)
khususnya hak untuk menyandang senjata (right to bear arms) yang ‘undangkan’
34
Nasir, Cholidin. "Judicial Review Di Amerika Serikat, Jerman, dan Indonesia." Jurnal Hukum
Progresif 8, no. 1 (2020): 67-80. Hlm. 68-69.
35
Ibid. Hlm. 69-70.
36
Ibid. Hlm 70-71.
15

pada 1791. Amandemen Kedua merupakan kumpulan sepuluh perubahan


konstitusi yang secara kolektif kemudian disebut Bill of Rights. Selain hak untuk
menyandang senjata, dimuat pula hak-hak sipil lainnya seperti kebebasan
beragama, kebebasan berbicara, kebebasan pers, proses hukum yang jujur dan hak
untuk berkumpul secara damai disamping hak-hak lainnya37.

Pemerintah yang kuat adalah pemerintah yang menghargai hak-hak


konstitusional dan hak asasi yang termuat di dalam konstitusi, tanpa penghargaan-
penghormatan terhadapnya maka pemerintah dan negara memerintah dengan
lemah tanpa dukungan dari rakyat38.

Keterkaitan Perlindungan Hak Konstitusi Dengan Sistem Whistle Blower


dan Justice Collaborator

Perlindungan Hak Konstitusional sebagai hak yang didapatkan oleh warga


negara yang sesuai dan dijamin oleh konstitusi yang berlaku atau dapat
disimpulkan sebagai hak yang dimiliki seseorang sebagai warga negara dari
sebuah negara, tentunya dijamin dan dilindungi oleh negara sebagai penguasa
yang menjalankan pemerintahan.

Apabila dikaitkan antara Hak Konstitusional dengan konsep Whistle Blower dan
Justice Collaborator , maka perlu dilihat dengan meninjau dari tujuan dari adanya
Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam upaya penegakan hukum yaitu
untuk membongkar atau mengungkap fakta terhadap suatu kasus yang tergolong
besar/berdampak bagi warga negara. Berdasarkan tujuan tersebut, maka dapat
dilihat bahwa peran dari Whistle Blower dan Justice Collaborator sangat vital dan
bahkan rawan, mengingat dengan keterangan yang dia berikan akan mengungkap
kebohongan atau skenario dari para pelaku/terdakwa yang berimplikasi secara
positif dalam pengungkapan kasus, dan bisa berimplikasi negatif pula bagi
kehidupannya pribadi yaitu adanya potensi ancaman/tekanan dari berbagai pihak
khususnya pihak pelaku/terdakwa. Dengan melihat kemungkinan tersebut, sudah
seharusnya dan memang seharusnya Whistle Blower dan Justice Collaborator
37
Marzuki, Laica. "Konstitusionalisme dan Hak Asasi Manusia." Jurnal Konstitusi 8, no. 4 (2011):
479-488. Hlm. 481.
38
Ibid. Hlm. 486.
16

mendapatkan perhatian khusus dengan negara mengambil peran dalam


melindungi para Whistle Blower dan Justice Collaborator.

Apabila ditinjau dari Hukum Indonesia, maka perlindungan terhadap Whistle


Blower dan Justice Collaborator adalah manifestasi dari perlindungan hak
konstitusional warga negara yang telah diatur didalam UUD NRI 1945, khususnya
pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa: (1) Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan rumusan pasal tersebut,
dapat dilihat bahwa dalam upaya perlindungan tersebut, negara telah menerbitkan
aturan teknis yang melindungi yaitu dalam UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban yang didalamnya mengatur mengenai hak yang harus didapatkan seperti
hak mendapatkan perlindungan hukum yaitu tidak dapat dituntut secara hukum,
baik pidana maupun perdata atas kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya, kecuali kesaksian tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
Selain itu, teradapat juga perlakuan khusus sseperti pemisahan tempat penahanan,
pemisahan pemberkasan, hingga pemberian kesaksian yang dilaksanakan tanpa
berhadapan langsung dengan terdakwa. Selain daripada perlindungan hukum dan
perlakuan khusus tersebut, terdapat pula perlindungan terhadap kepastian hukum
yang adil bagi Justtice Collaborator, yaitu berupa penghargaan dengan bentuk
keringanan pidana serta pembebasan bersyarat. Selain daripada perlindungan
hukum, penanganan khusus dan penghargaan, terdapat pula perlindungan fisik dan
psikis.

Anda mungkin juga menyukai