Anda di halaman 1dari 12

LAYANAN BANTUAN DARI LEMBAGA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

(LPSK)TERHADAP KORBAN KASUS

KEKERASAN SEKSUAL

Elvira Vania Zachra

Universitas Bung Karno

elviraavaniaz@gmail.com

Ratu Sharah Amanda

Universitas Bung Karno

ratusharah16@gmail.com

Abstrak

Indonesia ialah sebuah negara yang berprinsip pada pemerintahan yang didasarkan

pada kekuasaan hukum. Penjelasan ini ada dalam bagian umum Dasar Penjelasan

Undang-Undang 1945 dalam bentuk yang paling spesifik. Hal yang perlu

ditekankan mengenai hukum adalah bahwa hukum merupakan kumpulan peraturan

dan kewajiban untuk memberlakukan hak asasi manusia serta memastikan

kesetaraan perlakuan terhadap semua individu dalam suatu negara (kesetaraan di

bawah hukum). Tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan tersebut sering kali

merusak implementasi hukum. Contoh yang dapat digunakan untuk menjelaskan

adalah perlakuan yang menyakiti seseorang yang diduga melakukan tindak pidana
berdasarkan penggunaan paksa pengakuan, ancaman, pemerasan, manipulasi, dan

lain sebagainya. Para korban juga memiliki keyakinan bahwa hak-hak mereka yang

lain, seperti hak untuk mendapatkan kompensasi dan hak-hak lainnya, diabaikan,

seperti yang terbukti oleh tuduhan yang tidak kuat dan tuntutan yang tidak tegas

yang diberikan terhadap mereka. Dibutuhkan dorongan untuk melindungi saksi

agar mereka dapat memberikan informasi tentang aktivitas kriminal kepada

pemerintah dan DPR. Hal ini diperlukan agar pemerintah dan DPR dapat bersama-

sama mengembangkan undang-undang yang dapat mendukung perlindungan bagi

para saksi. Seorang individu yang menjadi saksi di dalam proses peradilan pidana

wajib diberikan perlindungan hukum berdasarkan konsep kesetaraan dalam

kehadapan hukum, yang merupakan salah satu karakteristik utama dari sistem

hukum. Perlindungan terhadap saksi di dalam sistem peradilan pidana Indonesia

masih belum mendapatkan perhatian yang memadai. Pasal 184 KUHP mengatur

tentang beragam jenis bukti yang termasuk diantaranya meliputi informasi yang

diberikan oleh terdakwa dan saksi, keterangan dari ahli, serta surat, instruksi, dan

informasi. Dalam rangka menciptakan peraturan yang mengatur proteksi saksi yang

memiliki informasi mengenai korupsi di pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat

harus mengajukan tuntutan yang relevan. Seorang saksi dalam sistem peradilan

pidana perlu mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan prinsip kesetaraan di

hadapan hukum (equality before the law), yang sudah menjadi salah satu karakteristik

utama hukum. Undang-Undang Nomor 13 Pada tanggal 11 Agustus 2006, disahkanlah

undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban setelah 13 tahun 2006 diundangkan.

Meski Undang-Undang tersebut tetap berlaku, Meskipun Undang-Undang No. 13tetap

berjalan, Meski ada Undang-Undang No. 13 yang harus diikuti, Terlepas dari
keberlakuan Undang-Undang No. 13, UU Perlindungan Saksi dan Korban, yang

diberlakukan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 11 Agustus 2006, dianggap

sebagai bentuk perlindungan yang paling menyeluruh bagi saksi dan korban di

Indonesia, meskipun terdapat beberapa ketidaksesuaian. Tidak mengherankan bahwa

undang-undang ini disusun dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan masyarakat

dan berpotensi menghentikan proses debat selama lima tahun di DPR. Peran lembaga

yang bertanggung jawab dalam melindungi saksi dan korban dalam perkara yang

melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, sejalan dengan Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Berbagai topik yang diuji

mencakup prosedur pengajuan, faktor-faktor yang memengaruhi keberadaan

Lembaga, serta berbagai macam bentuk perlindungan yang diberikan kepada korban

perkosaan oleh pemerintah.

Kata Kunci : LPSK, Perlindungan

Abstract

Indonesia is a country whose principle is that government is based on the rule of

law. This explanation is in the general section of the Basic Explanation of the 1945

Law in the most specific form. The thing that needs to be emphasized regarding law

is that law is a collection of regulations and obligations to enforce human rights

and ensure equal treatment of all individuals in a country (equality under the law).

Actions that are inconsistent with these goals often undermine the implementation

of the law. An example that can be used to explain is treatment that hurts someone

suspected of committing a criminal act based on the use of forced confessions,

threats, blackmail, manipulation, and so on. Victims also believe that their other

rights, such as the right to compensation and other rights, are being ignored, as
evidenced by the flimsy accusations and vague charges brought against them.

Encouragement is needed to protect witnesses so that they can provide information

about criminal activities to the government and the DPR. This is necessary so that

the government and the DPR can jointly develop laws that can support the

protection of witnesses. An individual who is a witness in a criminal justice process

must be given legal protection based on the concept of equality before the law,

which is one of the main characteristics of the legal system. Protection of witnesses

in the Indonesian criminal justice system still does not receive adequate attention.

Article 184 of the Criminal Code regulates various types of evidence, including

information provided by defendants and witnesses, statements from experts, as well

as letters, instructions and information. In order to create regulations governing

the protection of witnesses who have information about corruption in government,

the House of Representatives must submit relevant demands. A witness in the

criminal justice system needs to receive legal protection based on the principle of

equality before the law, which has become one of the main characteristics of law.

Law Number 13 On August 11 2006, the Witness and Victim Protection Law was

passed after 13 of 2006 was promulgated. Even though the law remains in effect,

even though Law no. 13 continues to operate, even though there is Law no. 13 which

must be followed, regardless of the enactment of Law no. 13, the Witness and Victim

Protection Law, which was enacted by the Indonesian government on 11 August

2006, is considered the most comprehensive form of protection for witnesses and

victims in Indonesia, although there are some inconsistencies. It is not surprising

that this law was drafted with the main aim of meeting the needs of the community
and has the potential to stop the five-year debate process in the DPR. The role of

institutions responsible for protecting witnesses and victims in cases involving

human rights violations is in line with Law Number 13 of 2006 concerning

Protection of Witnesses and Victims. The various topics examined include

application procedures, factors influencing the existence of the Institute, as well as

various forms of protection provided to rape victims by the government.

Keywords: LPSK, protection

I. Pendahuluan

Perlindungan adalah suatu tugas yang harus dilakukan oleh pihak penegak

hukum dengan tujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan korban tindak

pidana. Melalui perlindungan ini, mereka terbebas dari ancaman kekerasan yang

mungkin dilakukan oleh para pelaku tindak pidana. Perlindungan ini meliputi aspek

fisik dan juga mental. Landasan untuk melindungi saksi dan korban dinyatakan

dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal ini menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk

republik, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sesuai dengan UUD,

serta negara Indonesia harus melindungi warganya, termasuk saksi dan korban.1

Peranan yang sangat penting dari saksi dan korban dalam suatu kasus menjadikan

1 Dr. H. Ruslan Abdul Gani, S.H., M.H & Dr.Supeno. S.H., M.H. , Peranan Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Anak
Sebagai Korban Kekerasan Seksual, Universitas Batanghari Repository, Jambi, 2022.
kedudukan mereka memiliki strategis yang menuntut kebutuhan akan peran

mereka. Keterangan dari saksi dan korban pada proses persidangan dianggap

sebagai bukti yang sah karena mereka secara langsung menyaksikan dan

mengalami kejadian yang terjadi. Hal ini pasti mengharuskan saksi korban untuk

memberikan keterangan yang jujur dan akurat dalam proses persidangan.

Pada tahun 1999, beberapa kelompok sosial mengusulkan penyusunan

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan saksi dan korban.

Hukum yang terkait dengan melindungi saksi di dalam proses pengadilan pidana

kemudian menjadi fokus penelitian di dunia akademis. Pada tahun 2001, Keputusan

MPR No. VIII mewajibkan pembuatan undang-undang yang melindungi hak-hak

perempuan. Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di tahun 2001 adalah sebuah peraturan yang

memberikan petunjuk tentang cara mengatasi dan mencegah korupsi, kolusi, dan

nepotisme. RUU Perlindungan Saksi dan Korban telah mendapatkan tanda tangan

dari empat puluh anggota Partai Demokrat yang berasal dari berbagai fraksi, dan

diajukan sebagai RUU usulan inisiatif. Badan Legislatif DPR telah mendapatkan

penghargaan dari DPR pada bulan Juni 2002. Pada bulan Juni 2005, Pimpinan DPR

akhirnya mengajukan sebuah surat kepada Presiden yang memperkenalkan

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Saki dan Korban.

Lanjutnya, pada tanggal 30 Agustus 2005, Presiden mengangkat sekelompok

perwakilan untuk melakukan perundingan mengenai Rancangan UU tentang

Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam pembahasan Rancangan UU ini,


perwakilan pemerintah yang ditunjukan adalah Mentri Hukum dan Hak Asasi

Manusia. Pemerintah secara resmi melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia mengirimkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Daftar Informasi tentang Perkara yang terkait dengan Rancangan Undang-

Undang Perlindungan terhadap Saksi dan Korban di bulan Januari tahun 2006.

Sebuah tim kerja dengan 22 anggota telah dibentuk oleh Komisi III DPR RI untuk

membicarakan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan

Korban. Mengakhiri proses pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia dalam Rapat Paripurna, Undang-Undang Perlindungan Saksi akhirnya

disahkan. Pada bulan Juli 2006, disahkanlah Undang-Undang Perlindungan Saksi

dan Korban yang menegaskan perlunya melindungi para korban. Undang-undang

ini mendapat dukungan dari sepuluh fraksi di DPR RI. Undang-undang yang

diberlakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu Proklamasi

Presiden Nomor 64 pada tanggal 11 Agustus 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban, telah ditandatangani. Membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban (LPSK) merupakan salah satu syarat yang diatur dalam Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban. Selama tanggal 8,

Pada bulan Agustus 2008, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

didirikan sebagai tahapan berikutnya.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam

memberi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.


Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian yuridis

normatif. Hal ini dilakukan karena penelitian ini bertujuan untuk mempelajari

peraturan-peraturan perundangan yang berlaku dan fakta-fakta hukum yang harus

dikembangkan untuk memenuhi hak restitusi dan layanan bantuan untuk anak

korban tindak pidana kekerasan seksual.

Metode penelitian hukum normatif adalah suatu metode penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara mengkaji bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian

hukum normatif juga dikenal dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian

ini fokus pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya. Untuk

mendukung data sekunder, dapat dikaji fakta-fakta yang terjadi pada upaya

melindungi saksi serta korban.

II. Hasil dan Pembahasan

Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)


dalam Menyediakan Perlindungan Hukum bagi Korban
dalam Kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peran

dalam menyediakan perlindungan hukum bagi korban dalam kasus tindak

pidana kekerasan seksual. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006,

LPSK bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak

kepada korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual


Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peran

krusial dalam melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia. Salah satu

tugas utamanya adalah memberikan perlindungan dan pendampingan kepada

korban agar mereka dapat menghadapi proses hukum dengan lebih aman dan

adil.

LPSK menyediakan fasilitas penampungan sementara, menjaga

kerahasiaan identitas korban, dan memberikan dukungan psikososial. Dengan

demikian, korban kekerasan seksual dapat merasa lebih aman dan termotivasi

untuk melaporkan kejadian tersebut kepada aparat penegak hukum.

Selain itu, LPSK juga berperan dalam memberikan informasi kepada

korban mengenai hak-hak mereka, proses hukum yang akan dihadapi, dan

dukungan yang dapat diterima selama proses tersebut. Ini membantu korban

merasa lebih terinformasi dan memiliki kendali atas situasi yang dihadapi.

LPSK juga melakukan advokasi untuk kepentingan korban dalam sistem

hukum. Mereka berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk

memastikan bahwa hak-hak korban dihormati dan keadilan terwujud. Dalam

hal ini, LPSK menjadi suara yang membela korban kekerasan seksual di

tingkat kebijakan.

Secara keseluruhan, peran LPSK melibatkan perlindungan fisik dan

psikologis korban, memberikan informasi yang dibutuhkan, dan memastikan

bahwa kepentingan korban dihormati dalam sistem hukum. Upaya ini


bersama-sama membantu menciptakan lingkungan yang mendukung korban

kekerasan seksual untuk mengatasi trauma dan mencari keadilan

Beberapa layanan perlindungan yang disediakan oleh LPSK meliputi

memberikan perlindungan, kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada korban,

serta melakukan pemindahan atau relokasi terlindung ke lokasi yang lebih

aman. LPSK juga mendampingi saksi dan/atau korban dalam proses peradilan

serta menilai jumlah ganti rugi yang diberikan dalam bentuk restitusi dan

kompensasi

Dengan demikian, LPSK memainkan peran penting dalam memberikan

perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual melalui berbagai layanan

dan tindakan yang sesuai dengan undang-undang.

Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam melindungi

korban kekerasan seksual adalah penting untuk menjamin hak asasi korban dan

membantu mereka dalam mengatasi traumatik yang diakibatkan kekerasan seksual.

Berikut adalah beberapa peran LPSK dalam melindungi korban kekerasan seksual:

Pemeriksaan substantif: LPSK melakukan pemeriksaan substantif terhadap

permohonan Restitusi, yang disertai dengan Keputusan LPSK, pertimbangan, dan

rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan

Perlindungan kepada korban: LPSK memberikan perlindungan kepada korban

sesuai Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban Pengembangan program dan pelayanan: LPSK bekerja sama
dengan lembaga swadaya, seperti Yayasan Komunitas Perlindungan Perempuan

dan Anak Nusantara (KOPPATARA), untuk mengembangkan program dan

pelayanan yang membantu korban kekerasan seksual Pengembangan kasus: LPSK

melakukan pengembangan kasus terhadap anak korban kekerasan seksual, untuk

mengembangkan program dan pelayanan yang efektif Pengembangan

kemahasiswaan: LPSK bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk

mengembangkan kemahasiswaan yang membantu korban kekerasan seksual

Dengan melakukan peran-peran ini, LPSK berusaha untuk melindungi korban

kekerasan seksual dan membantu mereka dalam mengatasi traumatik yang

diakibatkan kekerasan seksual. 2

Kesimpulan

Perlindungan adalah tugas yang harus dilakukan oleh pihak penegak hukum

dengan tujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan korban tindak pidana.

Perlindungan ini meliputi aspek fisik dan mental. Landasan untuk melindungi saksi

dan korban dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Keterangan dari saksi dan korban pada proses persidangan

dianggap sebagai bukti yang sah karena mereka secara langsung menyaksikan dan

mengalami kejadian yang terjadi. Hal ini pasti mengharuskan saksi korban untuk

memberikan keterangan yang jujur dan akurat dalam proses persidangan. ni

mengusulkan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang

perlindungan saksi dan korban. Keputusan MPR No. VIII mewajibkan pembuatan

2 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Sinar Grafika, Jakarta, 2018.
undang-undang yang melindungi hak-hak perempuan. Rekomendasi Arah

Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di

tahun 2001 adalah sebuah peraturan yang memberikan petunjuk tentang cara

mengatasi dan mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Saran

Untuk memastikan peranan LPSK dapat berjalan lebih efektif, disarankan

agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendirikan kantor cabang

di berbagai wilayah. Dengan demikian, pihak-pihak terkait yang menjadi korban

atau membutuhkan bantuan dari LPSK akan lebih mudah mengakses layanan yang

disediakan oleh lembaga tersebut. Agar orang yang memiliki kepentingan terhadap

LPSK dapat mengunjungi langsung lembaga tersebut dan mengajukan

permohonan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

karena LPSK tidak memerlukan pengeluaran yang besar untuk membawa timnya

dari Jakarta, serta mengurangi risiko agar penanganan kasus yang terjadi juga

berlangsung dengan cepat.

Daftar Pustaka

Gani, Dr. H. Ruslan Abdul, S.H., M.H & Dr.Supeno. S.H., M.H. , Peranan
Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) Dalam Memberikan
Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Seksual,
Universitas Batanghari Repository, Jambi, 2022.

Nuraeny, Henny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Sinar Grafika, Jakarta, 2018.

Anda mungkin juga menyukai