Arranged by:
Faculty of Law
2023
1. PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem hukum di dalamnya.
Sebagai negara hukum tentunya sudah menjadi hal yang wajar saat segala aktivitas
dan kegiatan setiap individu maupun bernegaranya telah diatur sesuai dengan aturan
hukum. Pada bidang hukum dikenal hukum pidana, dimana biasanya hukum pidana
akan dipahami sebagai hukum publik. Maksudnya adalah hukum pidana akan
mengatur hubungan antara individu dengan menitiik beratkan pada kepentingan
publik dan umum. Hukum pidana adalah hukum yang memiliki karakteristik sanksi
khusus. Di dalamnya diatur tentang apa yang harus dan tidak dapat dilakukan, serta
akibatnya.
Dalam rangka menciptakan hukum, secara khusus hukum pidana yang lebih
baik lagi. Maka diperlukan penegak hukum, aturan hukum, proses hukum, dan segala
aspek yang ada pada hukum untuk menjadi lebih baik. Kesatuan ini seharusnya
mampu bekerja dalam harmoni yang baik pula. Segala aspek ini telah diatur dalam
sistem peradilan pidana.1
1
S.H.M.Si Prof.Dr.Teguh Prasetyo, HUKUM PIDANA, Revisi. (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2017).
2
Ibid.
bahwa sistem peradilan pidana mampu memengaruhi keputusan hukum yang adil
yang nantinya mampu menciptakan keselarasan dalam proses hukum.3
Menurut salah satu pakar hukum pidana, sistem eradilan pidana pada
umumnya memiliki tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang. Dimana tujuan jangka pendek ini adalah agar
terciptanya resoliasasi terpidana, tujuan jangka menengah adalah terciptanya
pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka panjang adalah agar terciptanya
kesejahteraan.4
3
Ahmad Rofiq, Hari Sutra Disemadi, and Nyoman Serikat Putra Jaya, “Criminal Objectives
Integrality in the Indonesian Criminal Justice System,” Al-Risalah 19, no. 2 (2019): 179.
4
Prof.Dr.Teguh Prasetyo, HUKUM PIDANA.
2. PEMBAHASAN
5
Reksodiputro, M. (2007). Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana: Kumpulan
karangan buku ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h
Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.
6
Atmasasmita, R. (2010). Sistem peradilan pidana kontemporer. Jakarta: Kencana.
7
LL.M Prof.Dr.Romli Atmasasmita,S.H., SISTEM PERADILAN PIDANA KONTEMPORER,
pertama. (Jakarta: KENCANA, 2010).
Kelembagaan dari peradilan pidana internasional sendiri terdiri dari beberapa
organ, yaitu divisi pra peradian, divisi peradilan, divisi banding, divisi kepresidenan,
kantor penuntut umum, dan kepaniteraan.
a. Lembaga Kepresidenan
Lemabaga ini bertujuan untuk mengordiniasikan administrasi pada peradilan
pidana internasional. Lembaga ini diisi oleh Presiden dan dua orang wakil
yang masing-masing dipilih oleh hakim-hakim peradilan pidana internasional
yang telah dipilih oleh negara anggota untuk menjabat selama waktu 3 tahun
atau hingga berakhir jabatan mereka sebagai hakim.
b. Divisi Pra Peradilan, divisi peradilan, dan divisi banding
Divisi ini memiliki tujuan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara8
2.1.1 DEFINISI
Pada faktanya sistem peradilan pidana yang merupakan bagian dari sistem
hukum pidana ini memerlukan keterpaduan dalam setiap komponennya.
2.2.2 TUJUAN
8
Sarah Sarmila Begem, Nurul Qamar, and Hmaza Baharuddin, “SISTEM HUKUM
PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) BERAT MELALUI MAHKAMAH
PIDANA INTERNASIONAL,” SIGn Jurnal Hukum 1, no. 1 (2019).
9
Prof.Dr.Teguh Prasetyo, HUKUM PIDANA.
kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan sebagai suatu sistem dalam penegakan
hukum.
Prinsip
Asas
10
Reksodiputro, M. (2007). Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana: Kumpulan
karangan buku ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h
Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.
11
Salman Luthan, “Relevansi Peradilan Pidana Intemasional Bagi Perlindungan Hak Asasi
Manusia,” Jurnal Hukum 7, no. 15 (2000): 73–91.
Untuk asas sendiri terdapat beberapa, seperti:
Presumption Of Innocence
Seseorang yang melakukan kejahatan harus dianggap tidak bersalah terlebih
dahulu sebelum adanya pembuktian dan putusan bersalah dari pengadilan
Penghormatan terhadap hak-hak terdakwa
Perlindungan korban dan saksi serta partisipasi dalam pemeriksaan. 12
2.2.4 SEJARAH
Sistem Peradilan Pidana dibagi menjadi beberapa sub sistem, yaitu sistem
pengadilan, sistem penjara, yang kemudian sistem tersebut dipetakan dengan sistem
lain, seperti sistem imigrasi, sistem kesejahteraan masyarakat, dan lain-lain.
Gagasan megenai sistem peradilan pidana telah ada sejak tahun 1920an
hingga 1930an, namun dalam perkembangannya pada saat war crimes tahun 1900-
1925 saat tingkat pembunuhan tengah marak maka hal ini makin mendorong gagasan
sistem peradilan pidana internasional.
2.2 KORBAN
Posisi korban seperti yang diatur sekarang ini memiliki hubungan historis
dengan perkembangan organisasi negara modern di Eropa dan desain sistem
peradilan pidananya. Melalui penjajahan Belanda, sistem peradilan pidana modern
tersebut masuk ke Indonesia dan menggusur secara perlahan-lahan sistem peradilan
tradisional yang berurat-berakar dalam masyarakat (adat). Dalam sistem yang baru
tersebut, korban kejahatan dikatakan sebagai “orang yang terlupakan” karena hukum
pidana dan sistem peradilan pidana secara terencana dan sistematik meninggalkan
korban kejahatan. Negara mengambil alih semua reaksi terhadap kejahatan dalam
rangka untuk menjaga proses yang adil terhadap pelanggar. Negara kemudian
memainkan peranan yang dominan dalam proses peradilan dan menghapuskan
partisipasi korban kejahatan sebagai orang yang menderita dan dirugikan karena
kejahatan. Penderitaan yang dialami oleh korban kejahatan hanya relevan untuk
dijadikan instrumen pembuktian dan penjatuhan pidana kepada pelanggar dan
penderitaan dialami oleh pelanggar karena pemidanaan tersebut tidak ada
relevansinya dengan penderitaan korban kejahatan. Adanya pidana penjara membatasi
kebebasan pelanggar tetapi itu juga mereduksi pertanggungjawabannya, pelanggar
tidak diwajibkan untuk menghadapi apa yang mereka telah lakukan dan efeknya pada
korban atau untuk mengganti kerugian pada korban atau publik.
Herbert L Parcker “The limits of the criminal sauction” yang dikutip Rusli
Muhammad mengemukakan adanya dua model yakni apa yang disebut Crime
Control Model (CCM) dan Due process model (DPM). Kedua model ini menurut
Packer akan memungkinkan kita memahami suatu anatomi yang normatif hukum
pidana. Model ini tidak menyebutkan mengenai apa kenyataannya dan apa yang
seharusnya. Kedua model ini bukankah suatu polarisasi yang absolute.14 Sebenarnya
kedua model yang diajukan oleh Parcker itu sangat erat hubungannya satu sama
lainnya karena DPM itu sendiri pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap CCM,
dan keduanya beroperasi dalam sistem peradilan pidana atau beroperasi didalam
adversary system (sistem perlawanan) yang berlaku di Amerika. Ada beberapa Model
Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan yaitu :
Berbeda dengan CCM yang didasarkan pada Presumption Of Guilt maka pada
DPM didasarkan pada Persumption Of Innocence sebagai dasar nilai sistem peradilan
oleh DPM dituntut adanya suatu proses penyelidikan terhadap suatu kasus secara
formal dengan menemukan fakta secara objektif dimana kasus seorang tersangka atau
terdakwa didengar secara terbuka dimuka persidangan dan penilaan atas tuduhan
penuntut umum baru akan dilaksanakan setelah terdakwa memperoleh kesempatan
sepenuhnya untuk mengajukan fakta yang membantah atau menolak tuduhan
kepadanya. Jadi yang penting ialah pembuktian dalam pengadilan dengan tuntutan
bagaimana akhir dari suatu proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting dalam
DPM.
14
Rusli Muhamad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press Jogyakarta 2011
Kedua model tersebut memiliki karakteristik masing-masing yakni Crime
Control Model yang ditandai oleh tindakan reprepresif terhadap seorang penjahat
merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan. Perhatian pertama harus di
tujukan kepada efisiensi dari suatu penegakkan hukum untuk menyeleksi tersangka,
menetapkan kesalahannya dan menjamin hak tersangka dalam proses peradilan.
Penegakkan hukum dilakukan sesuai dengan prinsip peradilan cepat dan tuntas. Asas
praduga tidak bersalah atau presumption of guilt guna menjadikan sistem ini efisien.
Proses penegakkan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan- temuan
fakta administratif sehingga temuan tersebut berguna bagi a) pembebasan seorang
tersangka dari penuntutan atau b) kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah
(plead of guilty). Sementara itu Due Process Model memiliki nilai-nilai kemungkinan
adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi. Menekankan pada pencegahan dan
menghapuskan sejauh mungkin mekanisme administrasi peradilan.model ini
beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan utama didalam proses
peradilan dan konsep pembatasan wenang-wenang formal, sangat memperhatikan
kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang diangap merupakan pencabutan
hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh Negara.
Sistem Peradilan Pidana sebagai bagian dari politik kriminal atau kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana pada prinsipnya
bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar tetap berada dalam batas-
batas toleransi yang dapat diterima. Empat komponen utama dalam Sistem Peradilan
Pidana adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang
diharapkan saling terintergrasi dan berkoordinasi satu sama lain dalam rangka
mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut. Persoalan yang kemudian
muncul adalah Sistem Peradilan Pidana yang diharapkan mampu menanggulangi
kejahatan kerap kali justru menjadi penyebab munculnya kejahatan itu sendiri (faktor
kriminogen).
Efektivitas dari Sistem Peradilan Pidana akan sangat tergantung pada banyak
hal dan salah satunya tentunya adalah profesionalisme aparat penegak hukum. Tidak
profesionalnya aparat penegak hukum akan berimplikasi pada banyak hal, mulai dari
berkurangnya dugaan tindak pidana yang dapat dideteksi (hidden criminal) terutama
dalam kaitannya dengan high profile crime, munculnya mafia peradilan sampai
dengan terjadinya penyiksaan selama proses hukum berjalan.
Berikutnya, overkriminalisasi (crisis of overreach of criminal law) sebagai
situasi dimana terlalu banyak perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana
(kriminalisasi) juga menjadi persoalan lain dalam Sistem Peradilan Pidana.
Kecermatan para pembentuk hukum dalam melakukan kriminalisasi menjadi satu
persoalan sentral agar jangan sampai daya paksaan psikis hukum pidana dan
wibawanya mengalami penurunan sehingga malah menjadi tidak efektif dalam
menanggulangi kejahatan.
Selama ini kita terkadang terlalu fokus terhadap sistem peradilan pidana di
Indonesia, padahal nyatanya sistem peradilan pidana internasional memiliki peran
yang cukup besar juga dalam berlakunya sistem peradilan pidana di Indonesia.
bagaimanapun Indonesia masih seringkali merujuk pada aturan internasional.
Perlu diketahui bahwa statuta Roma menjadi salah satu faktor terbesar pada
berlakunya sistem peradilan pidana Internasional, dimana hal ini dimulai dengan
adanya Mahkamah Pidana Internasional (Statute of International Criminal Court)
yang telah berlaku secara aktf sejak tanggal 17 Juli tahun 2002. Hal ini dimulai
dengan adanya penguatan pada pelaksanaan peradilan pidana internasional yang
bersifat ad hoc pada salah satu kasus yang terjadi di daerah bekas Yugoslavia
mengenai Hak Asasi berat pada tahun 1993 dan Rwanda pada tahun 1996.
15
Rofiq, Disemadi, and Putra Jaya, “Criminal Objectives Integrality in the Indonesian Criminal
Justice System.”
16
Ibid.
17
J Shapland;, J Willmore;, and P Duff, Victims in the Criminal Justice System. (Cambridge
Study in Criminology, 1985).
18
Martin Symonds, “The ‘Second Injury’ to Victims of Violent Acts,” The American Journal of
Psychoanalysis 70, no. 1 (March 8, 2010): 34–41,
http://link.springer.com/10.1057/ajp.2009.38.
19
Patricia A. Resick, “Psychological Effects of Victimization: Implications for the Criminal
Justice System,” Crime & Delinquency 33, no. 4 (October 5, 1987): 468–478,
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0011128787033004004.
Selain itu sistem peradilan pidana internasional juga telah berkembang dengan
salah satu gagasannya mengenai peradilan pidana “semi internasional” atau dikenal
sebagai hybrid court pada tahun 2000 yang dilaksaknakan di Sierra Leone, selain itu
juga dilaksanakan di Timor Leste pada tahun 2002, dan Kamboja pada tahun 2007
Lembagai ini telah diatur oleh statuta Roma, khususnya pada pasal 1 Statuta
Roma 1998 yang menyatakan bahwa “Mahkamah Pidana Internasional merupakan
suatu lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan
yuridiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
internasional dan merupakan lembaga pelengkap terhadap yuridiksi peradilan pidana
nasional”.
Fungsi dari lembaga ini sendiri adala huntuk mengadili pelaku, mencegah
terhadinya kejahatan-kejahatan berulang, mengakhir kejahatan tersebut, dan
mencegah adanya impunity. Impunity adalah situasi dimana bebasnya pelaku
kejahatan dari tuntutan hukum.
a. Uganda; i. Georgia;
b Repubik Demokratik Konggo j. Burundi;
. (DRC),
c. Darfur (Sudan); k. Bangladesh/Myanmar;
d Kenya; l. Afghanistan;
.
e. Libya; m. Palestina;
f. Pantai Gading; n. Filipina;
g Republik Afrika Tengah; o. Venezuela; dan
.
h Mali; p. Ukraina.
.
Sembilan panggilan untuk hadir dan semua hadir secara sukarela di hadapan
Mahkamah Pidana Internasional dan mereka tidak dalam tahanan Mahkamah Pidana
Internasional.
Salah satu kasus yang sudah diputus oleh Mahkamah Pidana Internasional
adalah kasus Al-Mahdi dengan nomor register perkara ICC-01/12-01/15. Dalam
kasus tersebut yang menjadi terpidana adalah Ahmad Al Faqi Al Mahdi. Al-Mahdi
lahir kira-kira tahun 1975 di Agoune, Mali, yang berjarak 97 km sebelah barat
Timbuktu. Pada 2011, dia menjadi pegawai negeri sipil di pemerintah Mali. Dia
adalah seorang etnis Tuareg dan selama konflik Mali Utara, yang dimulai pada tahun
2012, dia adalah anggota Ansar Dine. Al-Mahdi bekerja erat dengan para pemimpin
Ansar Dine dan al-Qaeda di Maghreb Islam, ketika kedua kelompok itu menguasai
Timbuktu. Secara khusus, dia menegakkan keputusan Pengadilan Agama Timbuktu
dan dari Mei hingga September 2012, dia menjalankan "Manners Brigade".
Dijelaskan dalam surat perintah penangkapan, bahwa dari sekitar 30 Juni 2012
hingga 10 Juli 2012 di Timbuktu, al-Mahdi melakukan kejahatan perang dengan
sengaja mengarahkan serangan terhadap monumen atau bangunan bersejarah yang
didedikasikan untuknya. untuk agama. Kasus terhadap al-Mahdi mewakili pertama
kalinya, Mahkamah Pidana Internasional telah mendakwa seseorang atas kejahatan
perang dengan menyerang bangunan keagamaan atau monumen bersejarah dan itu
adalah kasus pertama, sebelum Mahkamah Pidana Internasional muncul dari situasi di
Mali. Surat perintah penangkapan mencantumkan sepuluh monumen di Timbuktu,
setidaknya salah satunya adalah Situs Warisan Dunia, yang diserang al-Mahdi.
Penjarahan dan penghancuran struktur dan objek masa perang dengan makna
budaya — secara kolektif disebut sebagai "harta budaya" atau "warisan budaya" yang
sudah ada sejak zaman kuno.22 Sebagai warisan budaya suatu bangsa sudah
sepatutnya mendapatkan perlindungan yang baik.
Pada 27 September 2016, panel tiga hakim dengan suara bulat dari Pengadilan
menerima pengakuan bersalah Al Mahdi, menghukumnya atas kejahatan perang
karena melakukan serangan bersama terhadap situs yang dilindungi dan
menghukumnya sembilan tahun penjara. Terlepas dari pengakuan Al Mahdi, majelis
hakim menemukan serangkaian fakta yang mendukung pengakuan Al Mahdi.
Setiap Negara Pihak Statuta Roma dapat meminta Jaksa Mahkamah Pidana
Internasional untuk melakukan penyelidikan.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) juga dapat
merujuk suatu situasi kepada Jaksa Mahkamah Pidana Internasional. Rujukan
DK PBB juga dapat memberikan yurisdiksi kepada Pengadilan atas Negara-
negara yang bukan Pihak Statuta Roma;
Jaksa Mahkamah Pidana Internasional dapat membuka penyelidikan atas
prakarsanya sendiri setelah mendapat izin dari para hakim. Jaksa Mahkamah
Pidana Internasional tidak dapat, atas mosinya sendiri, memulai penyelidikan
sehubungan dengan Negara yang bukan Pihak Statuta Roma kecuali masalah
tersebut melibatkan warga negara dari Negara Pihak yang diduga terlibat
dalam melakukan kejahatan Statuta Roma di wilayah bukan Negara Pihak
yang bersangkutan.
Sebagai pengecualian, Negara dapat menerima yurisdiksi berdasarkan ad hoc,
dengan mengajukan deklarasi sesuai dengan pasal 12(3) Statuta Roma.
Dalam situasi di Mali secara terkhusus kasus Al Mahdi, tata cara pelaksanaan
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sebagai negara pihak Statuta Roma
dilakukan atas dasar permintaan Kementerian Kehakiman Mali pada pada 13 Juli
2012. Sehingga berdasarkan kewenangan tersebut. Kantor Jaksa Mahkamah Pidana
Interasional memiliki yurisdiksi untuk melakukan penyelidikan atas situasi yang
terjadi di Mali. Melalui tahapan praperadilan, Kantor Jaksa mahkamah menilai
apakah situasi yang terjadi di Mali memiliki alasan yang kuat untuk dilakukan
penyelidikan. Kemudian setelah memiliki alasan yang cukup kuat untuk
dilaksanakannya penyelidikan, Kantor Jaksa Mahkamah akan melakukan penelusuran
bukti yang mendukung, dan Berdasarkan bukti yang dikumpulkan selama
penyelidikan, Kantor Jaksa Mahkamah dapat mengajukan permintaan kepada hakim
Mahkamah Pidana Internasional, meminta mereka untuk mengeluarkan surat perintah
penangkapan atau panggilan untuk hadir. Setelah diberikannya surat panggilan
otoritas Nigeria menyerahkan Al Mahdi kepada Mahkamah untuk diadili.
Yang menjadi menarik dalam kasus Al Mahdi adalah sebelum adanya surat
perintah penangkapan yang diterbitkan oleh Mahkamah terhadapnya, Al Mahdi telah
didakwa atas terorisme oleh pemerintah Nigeria. Berdasarkan pasal 17 Statuta Roma,
suatu kasus tidak dapat diterima apabila sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu
negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali jika negara tersebut
benar-benar tidak mau atau tidak dapat melakukan investigasi atau penuntutan.
Dalam kasus Al Mahdi, kasus terorismenya sedang ditangani oleh otoritas setempat,
sehingga bukanlah suatu tindakan yang dapat dikatakan tidak mau ataupun tidak
mampu melakukan investigasi dan penuntutan. Namun, sejak diterbitkannya surat
perintah penahanan oleh mahkamah, otoritas Nigeria justru menyerahkan Al Mahdi
kepada mahkamah untuk diadili. Hal ini dikarenakan, kasus yang ditangani oleh
otoritas Nigeria merupakan tindak pidana terorisme, yang mana tindak pidana
tersebut tidak termasuk kejahatan paling serius yang diatur dalam Pasal 5 Statuta
Roma dan bukanlah kewenangan dari Mahkamah Pidana Internasional. Berdasarkan
hal tersebut, penanganan dan penerbitan surat perintah penahanan oleh Mahkamah
atas kejahatan Al Mahdi terhadap tindakan pengerusakan situs cagar budaya tidak
melanggar ketentuan yang berlaku dan Mahkamah tetaplah berwenang untuk
menangani kasus Al Mahdi.
23
https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085 diakses pada tanggal 15 April 2023,
Pukul 10.00 WIB.
24
Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FH UI, Jakarta, hlm. 2.
dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa
perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan / tekanan25.
25
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana¸Alumni, Bandung, hlm. 77-
78.
26
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 98.
the consience of humanity) dan telaH mengancam perdamaian, keamanan dan
kesejahteraan dunia (well-being or the world).
Karena sifat kejahatannya yang luar biasa (extra-ordinary) dan akibatnya yang
sangat serius maka yang menjadi tujuan pembentukan ICC adalah: a. menghukum
pelaku kejahatan; b. mencegah terulangnya lagi kejahatan-kejahatan itu; c.
mengakhiri dan mencegah adanya "impunity" ("kebebasannya dari hukuman").
Maka untuk mencapai tujuan itu harus dijamin adanya penuntutan yang
efektif (eJective prosecution) dengan mengambil tindakan-tindakan l1ukum dalam
tingkat nasional dan dengan meningkatkan kerjasama internasional.
Oleh karena setiap kejahatan itu sudah dapat dipastikan terjadi di suatu
wilayah negara nasional (negara pihak) dan dilakukan oleh warga negara dari suatu
negara nasional (negara pihak), maka berdasarkan azas kedaulatan negara tindakan
hukum di tingkat nasional haruslah dilakukan lebih dahulu, tetapi karena sifat
kejahatan dan akibatnya yang mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan
dunia maka kerjasama internasional diperlukan.
3. PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
Dalam hal ini beberapa permasalahan dan kendala yang timbul, memerlukan suatu
pembaharuan. Penulis memberikan beberapa saran dalam rangka mencapai cita hukum yang
diinginkan oleh masyarakat terhadap peranan pengadilan pidana internasional terhadap
kejahatan internasional, sebagai berikut:
Tanggung jawab dan kewajiban dari suatu negara sangat diperlukan bagi ICC untuk
melaksanakan perannya dalam menyelesaikan kejahatan internasional. Tanggung jawab dan
kewajiban negara ini harus dipertegas oleh ICC, agar setiap negara melaksanakan peranya
dalam menyelesaikan kejahatan internasional. Sehingga tidak ada negara yang tidak
menanggapi permintaan ini, jika perlu diadakannya suatu aturan yang mengatur tentang
hukuman bagi negara yang tidak menanggapi permintaan kerja sama oleh ICC sebagai
bentuk kerja sama dalam menyelesaikan kejahatan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Hari Sutra Disemadi, and Nyoman Serikat Putra Jaya,
“Criminal Objectives Integrality in the Indonesian Criminal Justice
System,” Al-Risalah 19, no. 2 (2019): 179.
Atmasasmita, R. (2010). Sistem peradilan pidana kontemporer. Jakarta:
Kencana
Begem, Sarah Sarmila, Nurul Qamar, and Hmaza Baharuddin. “SISTEM
HUKUM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA (HAM) BERAT MELALUI MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL.” SIGn Jurnal Hukum 1, no. 1 (2019).
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.
Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FH UI,
Jakarta,
https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085 diakses pada
tanggal 15 April 2023, Pukul 10.00 WIB.
Luthan, Salman. “Relevansi Peradilan Pidana Intemasional Bagi
Perlindungan Hak Asasi Manusia.” Jurnal Hukum 7, no. 15 (2000): 73–
91.
Maulana, Irvan, and Mario Agusta. "Konsep dan Implementasi Restorative
Justice di Indonesia." Datin Law Jurnal 2, no. 11 (2021): 46-70.
Martin Symonds, “The ‘Second Injury’ to Victims of Violent Acts,” The
American Journal of Psychoanalysis 70, no. 1 (March 8, 2010): 34–41,
http://link.springer.com/10.1057/ajp.2009.38.
Martowirono, Suwardi. "Azas Pelengkap Statuta Roma 1998 Tentang
Pengadilan Pidana Lnternasional." Jurnal Hukum & Pembangunan 31,
no. 4 (2017): 339-356.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori Dan Kebijakan
Pidana¸Alumni, Bandung
Patty Gerstenblith, Protecting Cultural Heritage in Armed Conflict: Looking
Back, Looking Forward, 7 CARDOZO PUB. L. POL’Y & ETHICS J.
677, 677–79 (2009).
Prof.Dr.Romli Atmasasmita,S.H., LL.M. SISTEM PERADILAN PIDANA
KONTEMPORER. Pertama. Jakarta: KENCANA, 2010.
Prof.Dr.Teguh Prasetyo, S.H.M.Si. HUKUM PIDANA. Revisi. Depok: PT
Raja Grafindo Persada, 2017.
Reksodiputro, M. (2007). Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana:
Kumpulan karangan buku ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.
Resick, Patricia A. “Psychological Effects of Victimization: Implications for
the Criminal Justice System.” Crime & Delinquency 33, no. 4 (October
5, 1987): 468–478.
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0011128787033004004.
Rusli Muhamad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press Jogyakarta
2011
Rofiq, Ahmad, Hari Sutra Disemadi, and Nyoman Serikat Putra Jaya.
“Criminal Objectives Integrality in the Indonesian Criminal Justice
System.” Al-Risalah 19, no. 2 (2019): 179.
Shapland;, J, J Willmore;, and P Duff. Victims in the Criminal Justice System.
Cambridge Study in Criminology, 1985.
Symonds, Martin. “The ‘Second Injury’ to Victims of Violent Acts.” The
American Journal of Psychoanalysis 70, no. 1 (March 8, 2010): 34–41.
http://link.springer.com/10.1057/ajp.2009.38.
Statuta Roma