Anda di halaman 1dari 27

ANALISIS SISTEM PERADILAN PIDANA PERSPEKTIF

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Arranged by:

Layla Putri Aulya (8111420093)

Christopher Theovinno Adhi (8111420344)

Destashya Wisna Diraya Putri (8111420367)

Asyaffa Ridzqi Amandha (8111420396)

Faculty of Law

Universitas Negeri Semarang

2023
1. PENDAHULUAN

Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem hukum di dalamnya.
Sebagai negara hukum tentunya sudah menjadi hal yang wajar saat segala aktivitas
dan kegiatan setiap individu maupun bernegaranya telah diatur sesuai dengan aturan
hukum. Pada bidang hukum dikenal hukum pidana, dimana biasanya hukum pidana
akan dipahami sebagai hukum publik. Maksudnya adalah hukum pidana akan
mengatur hubungan antara individu dengan menitiik beratkan pada kepentingan
publik dan umum. Hukum pidana adalah hukum yang memiliki karakteristik sanksi
khusus. Di dalamnya diatur tentang apa yang harus dan tidak dapat dilakukan, serta
akibatnya.

Ilmu hukum terus berkembang dan masyarakat semakin tertarik dengan


bagaimana hukum berlaku. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini kesadaran
masyarakat akan pentingnya hukum semakin tinggi. Banyaknya dinamika
ketertarikan masyarakat pada hukum maka semakin besar tanggung jawab penegakan
huku bagi aparat penegak hukum. Masyarakat mulai menyuarakan adanya upaya law
enforcement di Indonesia.

Dalam rangka menciptakan hukum, secara khusus hukum pidana yang lebih
baik lagi. Maka diperlukan penegak hukum, aturan hukum, proses hukum, dan segala
aspek yang ada pada hukum untuk menjadi lebih baik. Kesatuan ini seharusnya
mampu bekerja dalam harmoni yang baik pula. Segala aspek ini telah diatur dalam
sistem peradilan pidana.1

Harmonisasi yang dimaksud dalam sistem peradilan pidana memerlukan


sinkronisasu, dimana isi dari sinkronisasi ini akan mengatur tentang aspek substansi,
aspek struktur, dan aspek budaya di dalamnya. Dimana keseluruhan aspek ini harus
mampu bersinkronisasi satu sama lain untuk berintegrasi dalam aspek subtansial.
Kemudian aspek struktur mampu berfungsi untuk law enforcement pada penegak
hukum, seperti dalam tahapan penyidikan, penuntutan atau pra peradilan , dan
peradilan, bahkan hingga tahapan pelaksanaan putusan. Tahapan ini juga disebut
sebagai sistem peradilan pidana2. Keseluruhan aspek ini sangat penting menginat

1
S.H.M.Si Prof.Dr.Teguh Prasetyo, HUKUM PIDANA, Revisi. (Depok: PT Raja Grafindo Persada,
2017).
2
Ibid.
bahwa sistem peradilan pidana mampu memengaruhi keputusan hukum yang adil
yang nantinya mampu menciptakan keselarasan dalam proses hukum.3

Menurut salah satu pakar hukum pidana, sistem eradilan pidana pada
umumnya memiliki tujuan utama yang ingin dicapai, yaitu jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang. Dimana tujuan jangka pendek ini adalah agar
terciptanya resoliasasi terpidana, tujuan jangka menengah adalah terciptanya
pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka panjang adalah agar terciptanya
kesejahteraan.4

1.1 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Sistem Peradilan Pidana Nasional dan Internasional?


2. Bagaimana Perbandingan SPP Indonesia dengan SPP Internasional?

1.2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengunakan metode Yuridis Normatif, yaitu penelitian hukum


yang meletakkan hukum sebagai sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, serta doktrin (ajaran). Penelitian dengan metode Yuridis Normatif
dilakukan dengan cara menelaah pendekatan teori-teori, konsep-konsep, mengkaji
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan penelitian ini atau
pendekatan perundang-undangan.

3
Ahmad Rofiq, Hari Sutra Disemadi, and Nyoman Serikat Putra Jaya, “Criminal Objectives
Integrality in the Indonesian Criminal Justice System,” Al-Risalah 19, no. 2 (2019): 179.
4
Prof.Dr.Teguh Prasetyo, HUKUM PIDANA.
2. PEMBAHASAN

2.1 SISTEM PERADILAN PIDANA

Bekerjanya lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga


pemasyarakatan dipahami sebagai bekerjanya sistem peradilan pidana dalam suatu
proses penegakan hukum. Menurut Reksodiputro, sistem peradilan pidana adalah
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Pengertian
menanggulangi dimaksudkan sebagai usaha untuk mengendalikan kejahatan agar
berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. 5 Sistem yang bekerja untuk
pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana.

Menurut Atmasasmita, sistem peradilan pidana sebagai suatu istilah yang


menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan dasar pendekatan sistem. Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang
disampaikan Remington & Ohlin mengenai sistem peradilan pidana sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan
peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang- undangan, praktik administrasi, dan sikap atau tingkah laku sosial. 6

Pada dasarnya sistem peradilan pidana interasional adalah puncak dalam


perkembangan kekuasaan kehakimal secara formal internasional yang ,ama peran dan
kedudukan lembaga mahkamah akan sejajar dan dapat berhubungan secara langsung
dengan negara. Seperti kita etahui bahwa sebuah negara memiliki kedaulatan, bahkan
dapat menjadi subjek hukum internasional juga.7

Menurut pasal 1 hingga pasal 3 peradilan pidana internasional adalah lembaga


pelengkap yang memiliki peran melengkapi bagi sistem peradilan pidana domestik
yang telah dimiliki setiap warga negara.

5
Reksodiputro, M. (2007). Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana: Kumpulan
karangan buku ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h
Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.
6
Atmasasmita, R. (2010). Sistem peradilan pidana kontemporer. Jakarta: Kencana.
7
LL.M Prof.Dr.Romli Atmasasmita,S.H., SISTEM PERADILAN PIDANA KONTEMPORER,
pertama. (Jakarta: KENCANA, 2010).
Kelembagaan dari peradilan pidana internasional sendiri terdiri dari beberapa
organ, yaitu divisi pra peradian, divisi peradilan, divisi banding, divisi kepresidenan,
kantor penuntut umum, dan kepaniteraan.

a. Lembaga Kepresidenan
Lemabaga ini bertujuan untuk mengordiniasikan administrasi pada peradilan
pidana internasional. Lembaga ini diisi oleh Presiden dan dua orang wakil
yang masing-masing dipilih oleh hakim-hakim peradilan pidana internasional
yang telah dipilih oleh negara anggota untuk menjabat selama waktu 3 tahun
atau hingga berakhir jabatan mereka sebagai hakim.
b. Divisi Pra Peradilan, divisi peradilan, dan divisi banding
Divisi ini memiliki tujuan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara8

2.1.1 DEFINISI

Pada faktanya sistem peradilan pidana yang merupakan bagian dari sistem
hukum pidana ini memerlukan keterpaduan dalam setiap komponennya.

Menurut Hagan Sistem Peradilan pidana sebagai interkoneksi antara


keputusan masing-masing lembaga yang terlibat dalam proses pidana. Sedangkan
menurut Mardjono Reksodipoetro sistem peradilan pidana adalah sistem
pengandalian kejahatan yang terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan dan penjara.9

2.2.2 TUJUAN

Sistem peradilan pidana memiliki tujuan, yaitu: a) mencegah masyarakat


menjadi korban kejahatan; b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c)
mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
kejahatannya.10 Ketiga tujuan tersebut akan tercapai dengan bekerjanya kepolisian,

8
Sarah Sarmila Begem, Nurul Qamar, and Hmaza Baharuddin, “SISTEM HUKUM
PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) BERAT MELALUI MAHKAMAH
PIDANA INTERNASIONAL,” SIGn Jurnal Hukum 1, no. 1 (2019).
9
Prof.Dr.Teguh Prasetyo, HUKUM PIDANA.
kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan sebagai suatu sistem dalam penegakan
hukum.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu sistem karena di dalam sistem


peradilan pidana tersebut terdiri dari komponen-komponen atau lembaga yang
masing-masing mempunyai wewenang dan tugas sesuai bidangnya serta peraturan
yang melatarbelakanginya masing-masingnya. Meskipun terbagi ke dalam
komponen-komponen, namun komponen tersebut bekerja sama untuk mencapai
tujuan yang sama, yaitu menanggulangi dan mencegah kejahatan

2.2.3 PRINSIP DAN ASAS

Prinsip

1. Nullum Crimen Sine Lege


Maknanyan adalah seseorang tidak akan bertanggung jawab di hadapa pidana
apabila menurut dan yang telah diatur pada stauta, kecuali perbuatan tersebut
menurut yurodiksi peradilan
2. Nula Poena sine lege
Maknanya adalah seseorang akan dihukum oleh pengadilan hanya dapat
dilakukan dengan ketentuan yang terdapat dalam statuta
3. Non Retroactive ratione personel
Maknanya adalah seseorang tidak akan bertanggungjawab apabila perbuatan
tersebut belum masuk ketentuan statuta roma
4. Jika terjadi perubahan perundang-undangan terhadap kasus yang melanggar,
maka yang digunakan yang menguntungkan
5. Pertanggungjawaban pelaku bersifat individual
Maknanya adalah tidak membedakan status personal berdasarkan kapasitas
ofisialnya
6. nebis in idem
maknanya adalah seseorang tidak akan dituntut atas perkara yang sama11

Asas

10
Reksodiputro, M. (2007). Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana: Kumpulan
karangan buku ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h
Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.

11
Salman Luthan, “Relevansi Peradilan Pidana Intemasional Bagi Perlindungan Hak Asasi
Manusia,” Jurnal Hukum 7, no. 15 (2000): 73–91.
Untuk asas sendiri terdapat beberapa, seperti:

 Presumption Of Innocence
Seseorang yang melakukan kejahatan harus dianggap tidak bersalah terlebih
dahulu sebelum adanya pembuktian dan putusan bersalah dari pengadilan
 Penghormatan terhadap hak-hak terdakwa
 Perlindungan korban dan saksi serta partisipasi dalam pemeriksaan. 12

2.2.4 SEJARAH

Sistem Peradilan Pidana dibagi menjadi beberapa sub sistem, yaitu sistem
pengadilan, sistem penjara, yang kemudian sistem tersebut dipetakan dengan sistem
lain, seperti sistem imigrasi, sistem kesejahteraan masyarakat, dan lain-lain.

Sistem peradilan pidana internasional adalah satu kesatuan terpadu atas


seperangkat komponen lembaga, proses, dan aktor (aparat penegak hukum, pelaku
kejahatan, dan korban) yanhg berinteraksi satu sama lain melalui berbagai struktur
dan proses relasional untuk secara kolektif untk melakukan beberapa fungsi.

Gagasan megenai sistem peradilan pidana telah ada sejak tahun 1920an
hingga 1930an, namun dalam perkembangannya pada saat war crimes tahun 1900-
1925 saat tingkat pembunuhan tengah marak maka hal ini makin mendorong gagasan
sistem peradilan pidana internasional.

Kemudian yang mendorong pengadopsian “sistem” dalam criminal law adalah


karena pada saat itu penggunaan pendekatan “sistem” sedang marak digunakan,
seperti di bidang ekonomi dan politik. Sehingga criminal law pun mulai mengadopsi
“system approach” juga dalam pemberlakuannya. 13

2.2 KORBAN

2.2.1. PENGABAIAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERHADAP


KEPENTINGAN KORBAN

Permasalahan tentang korban kejahatan dalam hukum pidana (materiil dan


formil) adalah mengapa para korban kejahatan yang dirugikan dan menderita akibat
kejahatan/pelanggaran hukum pidana, baik materiil dan immateriil, tidak menjadi
perhatian oleh sistem peradilan pidana, sementara keadilan dalam proses peradilan
12
Ibid.
13
Ibid.
dan pemidanaan justru ditujukan kepada pelanggar hukum pidana? Bahkan
pelanggaran hukum pidana yang diajukan ke pengadilan dianggap sebagai ‘pencari
keadilan’ dalam hukum pidana. Polisi dan jaksa yang memproses perkara pidana
dilakukan bukan atas nama dan untuk membela kepentingan korban kejahatan.
Hubungan antar keduanya (polisi dan korban) tidak diatur secara tegas oleh peraturan
hukum. Kasus ‘Udin”8 di Yogyakarta sebagai contoh fenomena korban kejahatan
pada umumnya berhadapan dengan sistem peradilan pidana dalam posisi yang ada
sekarang korban justru disibukkan oleh urusannya dengan polisi dan jaksa daripada
dengan pelanggar hukum pidana.

Posisi korban seperti yang diatur sekarang ini memiliki hubungan historis
dengan perkembangan organisasi negara modern di Eropa dan desain sistem
peradilan pidananya. Melalui penjajahan Belanda, sistem peradilan pidana modern
tersebut masuk ke Indonesia dan menggusur secara perlahan-lahan sistem peradilan
tradisional yang berurat-berakar dalam masyarakat (adat). Dalam sistem yang baru
tersebut, korban kejahatan dikatakan sebagai “orang yang terlupakan” karena hukum
pidana dan sistem peradilan pidana secara terencana dan sistematik meninggalkan
korban kejahatan. Negara mengambil alih semua reaksi terhadap kejahatan dalam
rangka untuk menjaga proses yang adil terhadap pelanggar. Negara kemudian
memainkan peranan yang dominan dalam proses peradilan dan menghapuskan
partisipasi korban kejahatan sebagai orang yang menderita dan dirugikan karena
kejahatan. Penderitaan yang dialami oleh korban kejahatan hanya relevan untuk
dijadikan instrumen pembuktian dan penjatuhan pidana kepada pelanggar dan
penderitaan dialami oleh pelanggar karena pemidanaan tersebut tidak ada
relevansinya dengan penderitaan korban kejahatan. Adanya pidana penjara membatasi
kebebasan pelanggar tetapi itu juga mereduksi pertanggungjawabannya, pelanggar
tidak diwajibkan untuk menghadapi apa yang mereka telah lakukan dan efeknya pada
korban atau untuk mengganti kerugian pada korban atau publik.

2.3 SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PERKEMBANGAN

Herbert L Parcker “The limits of the criminal sauction” yang dikutip Rusli
Muhammad mengemukakan adanya dua model yakni apa yang disebut Crime
Control Model (CCM) dan Due process model (DPM). Kedua model ini menurut
Packer akan memungkinkan kita memahami suatu anatomi yang normatif hukum
pidana. Model ini tidak menyebutkan mengenai apa kenyataannya dan apa yang
seharusnya. Kedua model ini bukankah suatu polarisasi yang absolute.14 Sebenarnya
kedua model yang diajukan oleh Parcker itu sangat erat hubungannya satu sama
lainnya karena DPM itu sendiri pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap CCM,
dan keduanya beroperasi dalam sistem peradilan pidana atau beroperasi didalam
adversary system (sistem perlawanan) yang berlaku di Amerika. Ada beberapa Model
Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan yaitu :

2.3.1 CRIME CONTROL MODEL

Crime Control Model (CCM) didasarkan pada pernyataan bahwa


tingkah laku criminal harusnya ditindak, dan proses peradilan pidana
merupakan jaminan positif bagi ketertiban umum. Untuk tujuan mencapai
tujuan yang amat tinggi ini maka CCM menyatakan bahwa perhatian utama
haruslah ditugaskan pada effisiensi ini adalah diatas segalanya. Effisiensi ini
mencakup kecepatan dan ketelitian dan daya guna administratif didalam
memproses pelaku tindak pidana.

2.3.2 DUE PROCESS MODEL

Model ini merupakan reaksi terhadap CCM pada hakekatnya menitik


beratkan pada hak-hak individu dengan berusaha melakukan pembatasan-
pembatasan terhadap wewenang penguasa dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa proses pidana harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh hak-hak asasi
manusia dan tidak hanya ditekankan pada maksimal efisiensi belaka seperti
dalam CCM melainkan pada prosedur penyelesaian perkara.

Berbeda dengan CCM yang didasarkan pada Presumption Of Guilt maka pada
DPM didasarkan pada Persumption Of Innocence sebagai dasar nilai sistem peradilan
oleh DPM dituntut adanya suatu proses penyelidikan terhadap suatu kasus secara
formal dengan menemukan fakta secara objektif dimana kasus seorang tersangka atau
terdakwa didengar secara terbuka dimuka persidangan dan penilaan atas tuduhan
penuntut umum baru akan dilaksanakan setelah terdakwa memperoleh kesempatan
sepenuhnya untuk mengajukan fakta yang membantah atau menolak tuduhan
kepadanya. Jadi yang penting ialah pembuktian dalam pengadilan dengan tuntutan
bagaimana akhir dari suatu proses terhadap suatu kasus tidak begitu penting dalam
DPM.

14
Rusli Muhamad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press Jogyakarta 2011
Kedua model tersebut memiliki karakteristik masing-masing yakni Crime
Control Model yang ditandai oleh tindakan reprepresif terhadap seorang penjahat
merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan. Perhatian pertama harus di
tujukan kepada efisiensi dari suatu penegakkan hukum untuk menyeleksi tersangka,
menetapkan kesalahannya dan menjamin hak tersangka dalam proses peradilan.
Penegakkan hukum dilakukan sesuai dengan prinsip peradilan cepat dan tuntas. Asas
praduga tidak bersalah atau presumption of guilt guna menjadikan sistem ini efisien.
Proses penegakkan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan- temuan
fakta administratif sehingga temuan tersebut berguna bagi a) pembebasan seorang
tersangka dari penuntutan atau b) kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah

(plead of guilty). Sementara itu Due Process Model memiliki nilai-nilai kemungkinan
adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi. Menekankan pada pencegahan dan
menghapuskan sejauh mungkin mekanisme administrasi peradilan.model ini
beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan utama didalam proses
peradilan dan konsep pembatasan wenang-wenang formal, sangat memperhatikan
kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang diangap merupakan pencabutan
hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh Negara.

2.4 SISTEM PERADILAN PIDANA FAKTOR KRIMINOGEN

Sistem Peradilan Pidana sebagai bagian dari politik kriminal atau kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana pada prinsipnya
bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar tetap berada dalam batas-
batas toleransi yang dapat diterima. Empat komponen utama dalam Sistem Peradilan
Pidana adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang
diharapkan saling terintergrasi dan berkoordinasi satu sama lain dalam rangka
mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut. Persoalan yang kemudian
muncul adalah Sistem Peradilan Pidana yang diharapkan mampu menanggulangi
kejahatan kerap kali justru menjadi penyebab munculnya kejahatan itu sendiri (faktor
kriminogen).

Efektivitas dari Sistem Peradilan Pidana akan sangat tergantung pada banyak
hal dan salah satunya tentunya adalah profesionalisme aparat penegak hukum. Tidak
profesionalnya aparat penegak hukum akan berimplikasi pada banyak hal, mulai dari
berkurangnya dugaan tindak pidana yang dapat dideteksi (hidden criminal) terutama
dalam kaitannya dengan high profile crime, munculnya mafia peradilan sampai
dengan terjadinya penyiksaan selama proses hukum berjalan.
Berikutnya, overkriminalisasi (crisis of overreach of criminal law) sebagai
situasi dimana terlalu banyak perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana
(kriminalisasi) juga menjadi persoalan lain dalam Sistem Peradilan Pidana.
Kecermatan para pembentuk hukum dalam melakukan kriminalisasi menjadi satu
persoalan sentral agar jangan sampai daya paksaan psikis hukum pidana dan
wibawanya mengalami penurunan sehingga malah menjadi tidak efektif dalam
menanggulangi kejahatan.

Sementara itu, teori pemidanaan mengalami perkembangan mulai dari tujuan


pemidanaan yang sifatnya pembalasan (retributif) dimana penjatuhan pidana
dipandang sebagai penderitaan/nestapa yang harus diberikan pada pelaku
kejahatan (backward looking), bergeser menjadi tujuan pemidanaan yang sifatnya
menimbulkan efek jera (deterrence), dan saat ini mulai bergeser menuju tujuan
pemidanaan yang sifatnya rehabilitatif. Tujuan pemidanaan ini menjadi penting untuk
dirumuskan secara tegas dalam undang-undang agar tidak menimbulkan keragu-
raguan dan perbedaan penerapan hukum sebagai implikasi dari perbedaan persepsi
masing-masing penegak hukum dan tentunya agar tujuan Sistem Peradilan Pidana
tersebut dapat tercapai.

Persoalan lain yang juga muncul adalah disparitas pidana, yaitu penerapan


pidana yang berbeda-beda terhadap pelaku tindak pidana yang sama, pelaku tindak
pidana yang berbeda-beda tetapi berat ringan ancaman pidananya dapat
diperbandingkan atau terhadap pelaku peserta tindak pidana. Situasi ini juga menjadi
faktor yang dapat mengurangi penghargaan baik pelaku maupun masyarakat terhadap
pengadilan sebagai bagian dari Sistem Peradilan Pidana karena penjatuhan putusan
yang dianggap tidak adil.
Selanjutnya, dalam Sistem Peradilan Pidana, hak dan kewajiban korban
diserap habis atau diambil alih negara dan dijalankan oleh aparat negara (polisi, jaksa
dan hakim) sehingga sesungguhnya korban tidak punya banyak peran, padahal korban
adalah pihak yang paling mengalami kerugian sebagai akibat dari terjadinya suatu
tindak pidana. Ketika upaya untuk memperkuat prinsip due process of law dalam
menjalankan Sistem Peradilan Pidana demi menjamin hak-hak Tersangka terus
dilakukan, korban kerap kali luput dari perhatian (kurangnya perhatian terhadap
korban kejahatan). Hal paling buruk yang dapat menimpa korban adalah secondary
victimization dimana korban kejahatan menjadi korban untuk kedua kalinya sebagai
akibat dari bekerjanya Sistem Peradilan Pidana yang tidak berorientasi pada
kepentingan korban.

Stigma sosial adalah persoalan berikutnya. Dalam labelling theory yang


dikenal dalam Kriminologi, penyebab orang menjadi kriminal untuk yang kedua
kalinya (secondary deviant) adalah karena mereka pernah diberi stigma atau label
“jahat” oleh Sistem Peradilan Pidana dan masyarakat secara luas. Mereka
menerima criminal self-image terhadap dirinya dan akhirnya makes a commitment to
criminal career karena keberadaan mereka tidak diterima oleh masyarakat.
Stigmatisasi atau labelling ini sering disebut reactive definition of crime karena
kejahatan tidak sendirinya menjadi signifikan, namun justru reaksi sosial atasnyalah
yang jauh lebih penting dalam menentukan pandangan individu pada diri mereka
sendiri dan tingkah laku berikutnya.

Persoalan terakhir yang tidak kalah kompleks adalah prisonisasi. Penjara


sebagai sistem sosial tersendiri dengan proses sosialisasi yang berlangsung
didalamnya apabila tidak dipantau dan tidak diimbangi dengan program pembinaan
yang baik akan menimbulkan kontaminasi perilaku yang cenderung
menghasilkan recidivist. Kita menemukan banyak fakta bahwa kejahatan justru
terjadi dibalik Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari Sistem Peradilan
Pidana. Kita mengenal istilah prison as school of crime.

PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INTERNASIONAL TERHDAP


KORBAN

Sistem Peradilan Pidana Internasional berpandangan bahwa otoritas


kepolisian dan pengadilan memiliki peran yang sangat penting yang dapat memeuhi
kebutuhan korban. Bagaimanapun polisi adalah aparat penegak hukum yang biasanya
sering menjadi agen pertama yang melakukan kontak dengan korban setelah mereka
menjadi korban. Sisitem Peradilan Pidana internasional nmenghimbau bahwa polisi
dapat memberikan dukungan emosional kepada para korban dan memberikan
perhatian yang dibutuhkan korban. Perhatian ini tidak hanya dapat memulihkan
psikologis korban, atau hanya memenuhi kepuasan polisi atau lembaga peradilan,
tetapi hal ini dapat menjadi pra syarat untuk akses ke banyak hal lain dalam
penyelesaian kasus.15

Tidak dapat dipungkiri bahwa terkadang sistem peradilan pidana memberikan


dampak buruk pada viktimisasi, hal ini terlihat selama tahun 1970an. 16 Perilaku tidak
simpatik yang diberikan polisi dan pengadilan seringkali mempertinggi penderitaan
korban1718

Hal ini biasanya disebut sebagai secondary victimzation atau viktimisasi


sekunder untuk korban kejahatan yang sudah memiliki masalah dengan ketakutan,
depresi, kecemasan, atau hal lainnya. Terkadang proses peradilan pidana saja sudah
dapat membuat korban merasa bingung dan kadang melemahkan semangat dari
korban.19

2.5 PERKEMBANGAN SISTEM PERADILAN PIDANA INTERNASIONAL

Selama ini kita terkadang terlalu fokus terhadap sistem peradilan pidana di
Indonesia, padahal nyatanya sistem peradilan pidana internasional memiliki peran
yang cukup besar juga dalam berlakunya sistem peradilan pidana di Indonesia.
bagaimanapun Indonesia masih seringkali merujuk pada aturan internasional.

Perlu diketahui bahwa statuta Roma menjadi salah satu faktor terbesar pada
berlakunya sistem peradilan pidana Internasional, dimana hal ini dimulai dengan
adanya Mahkamah Pidana Internasional (Statute of International Criminal Court)
yang telah berlaku secara aktf sejak tanggal 17 Juli tahun 2002. Hal ini dimulai
dengan adanya penguatan pada pelaksanaan peradilan pidana internasional yang
bersifat ad hoc pada salah satu kasus yang terjadi di daerah bekas Yugoslavia
mengenai Hak Asasi berat pada tahun 1993 dan Rwanda pada tahun 1996.

15
Rofiq, Disemadi, and Putra Jaya, “Criminal Objectives Integrality in the Indonesian Criminal
Justice System.”
16
Ibid.
17
J Shapland;, J Willmore;, and P Duff, Victims in the Criminal Justice System. (Cambridge
Study in Criminology, 1985).
18
Martin Symonds, “The ‘Second Injury’ to Victims of Violent Acts,” The American Journal of
Psychoanalysis 70, no. 1 (March 8, 2010): 34–41,
http://link.springer.com/10.1057/ajp.2009.38.
19
Patricia A. Resick, “Psychological Effects of Victimization: Implications for the Criminal
Justice System,” Crime & Delinquency 33, no. 4 (October 5, 1987): 468–478,
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0011128787033004004.
Selain itu sistem peradilan pidana internasional juga telah berkembang dengan
salah satu gagasannya mengenai peradilan pidana “semi internasional” atau dikenal
sebagai hybrid court pada tahun 2000 yang dilaksaknakan di Sierra Leone, selain itu
juga dilaksanakan di Timor Leste pada tahun 2002, dan Kamboja pada tahun 2007

Dengan adanya perkembangan pada sistem peradilan pidana maka akhirnya


masalah-masalah yang sering terjadi telah membawa lahirnta beberapa peradilan
khusus yang secara khusus mengkaji isu dan masalah tersebut, contohnya adalah
peradilan anak, peradilan pelanggaran undang-undang perpajakan, dan peradilan
perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia.20

2.6 MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL

Lembagai ini telah diatur oleh statuta Roma, khususnya pada pasal 1 Statuta
Roma 1998 yang menyatakan bahwa “Mahkamah Pidana Internasional merupakan
suatu lembaga permanen dan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan
yuridiksinya atas orang-orang untuk kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
internasional dan merupakan lembaga pelengkap terhadap yuridiksi peradilan pidana
nasional”.

Fungsi dari lembaga ini sendiri adala huntuk mengadili pelaku, mencegah
terhadinya kejahatan-kejahatan berulang, mengakhir kejahatan tersebut, dan
mencegah adanya impunity. Impunity adalah situasi dimana bebasnya pelaku
kejahatan dari tuntutan hukum.

Statuta Roma telah mengatur Kejahatan yang dapat diselesaikan pada


mahkamah pidana internasional adalah kejahatan yang berkaitan dengan kejahatan
genosida (genoside), kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity), dan kejahatan agresi aggression)

Menurut padal 13 statuta Roma 1998, yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional


akan berlaku saat:

1. Kasus dilimpahkan kepada penuntut umum oleh negara Pihak


2. Kasus dilimpahkan kepada penuntut umum oleh dewan keamanan PBB
3. Penuntut umum berinisiatif memulai penyelidikan proprio motu.21
20
Prof.Dr.Romli Atmasasmita,S.H., SISTEM PERADILAN PIDANA KONTEMPORER.
21
Begem, Qamar, and Baharuddin, “SISTEM HUKUM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK
ASASI MANUSIA (HAM) BERAT MELALUI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL.”
2.6.1 PENANGANAN KASUS OLEH MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL

Sejak berdirinya International Crimminal Court (ICC) atau Mahkamah


Pidana Internasional pada tanggal 02 Juli 2002, Terhitung dari tahun 2003 hingga
Tahun 2023 Mahkamah Pidana Internasional tercatat telah menangani kurang lebih
tiga puluh satu (31) Kasus. Tiga puluh satu kasus tersebut terdiri dari berbagai
tahapan, mulai dari yang telah diputus oleh mahkamah sampai dengan kasus yang
masih berjalan. Berdasarkan data Mahkamah Pidana Internasional, saat ini terdapat
tujug belas (17) kasus dalam tahap penyelidikan, meliputi situasi yang terjadi di
negara sebagai berikut:

a. Uganda; i. Georgia;
b Repubik Demokratik Konggo j. Burundi;
. (DRC),
c. Darfur (Sudan); k. Bangladesh/Myanmar;
d Kenya; l. Afghanistan;
.
e. Libya; m. Palestina;
f. Pantai Gading; n. Filipina;
g Republik Afrika Tengah; o. Venezuela; dan
.
h Mali; p. Ukraina.
.

Kemudian dalam tahapan pemeriksaan pendahuluan, Kantor Kejaksaan


memantau situasi di Nigeria dan Venezuela. Kantor Kejaksaan juga telah
mengirimkan 40 surat perintah penangkapan dimana diantaranya 21 surat perintah
telah dilaksanakan dan 6 surat perintah ditarik setelah kematian tersangka. Kemudian
terdapat 31 kasus telah diproses di Pengadilan Negara sebelum akhirnya dibawa ke
Mahkamah Pidana Internasional.

Sembilan panggilan untuk hadir dan semua hadir secara sukarela di hadapan
Mahkamah Pidana Internasional dan mereka tidak dalam tahanan Mahkamah Pidana
Internasional.

Kemudian tujuh orang dalam tahanan yaitu:


a. Republik Afrika Tengah: Mahamat Said Abdel Kani, Alfred Yekatom, Patrice-
Edouard Ngaïssona dan Maxime Jeoffroy Eli Mokom Gawaka
b. Mali: Al Hassan Ag Abdoul Aziz Ag Mohamed Ag Mahmoud
c. Uganda: Dominic Ongwen
d. Darfur (Sudan): Ali Muhammad Ali Abd –Al-Rahman

2.6.2 PUTUSAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL TERHADAP


KASUS AL MAHDI

Salah satu kasus yang sudah diputus oleh Mahkamah Pidana Internasional
adalah kasus Al-Mahdi dengan nomor register perkara ICC-01/12-01/15. Dalam
kasus tersebut yang menjadi terpidana adalah Ahmad Al Faqi Al Mahdi. Al-Mahdi
lahir kira-kira tahun 1975 di Agoune, Mali, yang berjarak 97 km sebelah barat
Timbuktu. Pada 2011, dia menjadi pegawai negeri sipil di pemerintah Mali. Dia
adalah seorang etnis Tuareg dan selama konflik Mali Utara, yang dimulai pada tahun
2012, dia adalah anggota Ansar Dine. Al-Mahdi bekerja erat dengan para pemimpin
Ansar Dine dan al-Qaeda di Maghreb Islam, ketika kedua kelompok itu menguasai
Timbuktu. Secara khusus, dia menegakkan keputusan Pengadilan Agama Timbuktu
dan dari Mei hingga September 2012, dia menjalankan "Manners Brigade".

Mahkamah Pidana Internasional membuka penyelidikan formal di Mali,


setelah menyerahkan situasi oleh Mali kepada Jaksa, pada 16 Januari 2013 untuk
menyelidiki dugaan kejahatan, yang terjadi sejak Januari 2012 dalam konteks konflik
bersenjata di bagian utara negara tersebut. Mahkamah Pidana Internasional
mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk al-Mahdi pada 18 September 2015.

Dijelaskan dalam surat perintah penangkapan, bahwa dari sekitar 30 Juni 2012
hingga 10 Juli 2012 di Timbuktu, al-Mahdi melakukan kejahatan perang dengan
sengaja mengarahkan serangan terhadap monumen atau bangunan bersejarah yang
didedikasikan untuknya. untuk agama. Kasus terhadap al-Mahdi mewakili pertama
kalinya, Mahkamah Pidana Internasional telah mendakwa seseorang atas kejahatan
perang dengan menyerang bangunan keagamaan atau monumen bersejarah dan itu
adalah kasus pertama, sebelum Mahkamah Pidana Internasional muncul dari situasi di
Mali. Surat perintah penangkapan mencantumkan sepuluh monumen di Timbuktu,
setidaknya salah satunya adalah Situs Warisan Dunia, yang diserang al-Mahdi.

Al Mahdi dituduh, berdasarkan pasal 25(3)(a) (perbuatan dan perbuatan


bersama); pasal 25(3)(b) (meminta, membujuk); pasal 25(3)(c) (membantu,
bersekongkol atau dengan cara lain membantu) atau pasal 25(3)(d) (berkontribusi
dengan cara lain) Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional.

Berdasarkan bangunan yang diserang oleh Al Mahdi, maka Al Mahdi


didakwakan berdasarkan pasal 8(2)(e)(iv) yaitu secara sengaja melakukan serangan
terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan dan
monumen bersejarah, dimana di tempat tersebut bukan objek militer dan tidak
digunakan demi keuntungan militer.

Tuduhan tersebut menyangkut kejahatan yang diduga dilakukan di Timbuktu


antara sekitar 30 Juni 2012 dan sekitar 11 Juli 2012. Sidang mengindikasikan bahwa
bangunan yang ditargetkan dianggap dan dilindungi sebagai bagian penting dari
warisan budaya Timbuktu dan Mali dan bukan merupakan tujuan militer. Mereka
secara khusus diidentifikasi, dipilih dan ditargetkan dengan tepat mengingat dan
karena karakter agama dan sejarah mereka. Akibat serangan itu, mereka hancur total
atau rusak parah. Kehancuran mereka dianggap sebagai masalah serius oleh
penduduk setempat.

Penjarahan dan penghancuran struktur dan objek masa perang dengan makna
budaya — secara kolektif disebut sebagai "harta budaya" atau "warisan budaya" yang
sudah ada sejak zaman kuno.22 Sebagai warisan budaya suatu bangsa sudah
sepatutnya mendapatkan perlindungan yang baik.

Dalam Kasus AL Mahdi, pada 13 Juli 2012, Kementerian Kehakiman Mali


meminta Jaksa Mahkamah Pidana Internasional Fatou Bensouda untuk memulai
penyelidikan atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang
dilakukan sejak awal konflik. Pada September 2015, ICC mengeluarkan surat
perintah penangkapan Al Mahdi, dan otoritas Nigeria menyerahkan Al Mahdi ke
pengadilan. Pada bulan Desember 2015, Kantor Kejaksaan mendakwa Al Mahdi
dengan satu dakwaan kejahatan perang yaitu menyerang objek yang dilindungi
berdasarkan Pasal 8(2)(e)(iv) Statuta Roma. Tentang tindakan kejahatan perang yang
dituduhkan oleh Penuntut Umum mengenai dengan sengaja mengarahkan serangan
terhadap gedung-gedung berikut:

1) makam Sidi Mahamoud Ben Omar Mohamed Aquit, 2) makam Sheikh


Mohamed Mahmoud Al Arawani, 3) makam Sheikh Sidi Mokhtar Ben Sidi
Muhammad Ben Sheikh Alkabir, 4) makam Alpha Moya, 5) makam Sheikh Sidi
22
Patty Gerstenblith, Protecting Cultural Heritage in Armed Conflict: Looking Back, Looking
Forward, 7 CARDOZO PUB. L. POL’Y & ETHICS J. 677, 677–79 (2009).
Ahmed Ben Amar Arragadi, 6) makam Sheikh Muhammad El Mikki, 7) makam
Sheikh Abdoul Kassim Attouaty, 8) makam Ahmed Fulane, 9) makam Bahaber
Babadié, dan 10) masjid Sidi Yahia (pintu).

Sembilan dari sepuluh bangunan yang dihancurkan dalam serangan yang


diinisiasi oleh Al Mahdi merupakan warisan budaya UNESCO, sehingga tidak hanya
menyebabkan kerusakan pada masyarakat mali pada khususnya, akan tetapi
mengakibatkan kerugian bagi masyarakat internasional secara umum.

Pada 27 September 2016, panel tiga hakim dengan suara bulat dari Pengadilan
menerima pengakuan bersalah Al Mahdi, menghukumnya atas kejahatan perang
karena melakukan serangan bersama terhadap situs yang dilindungi dan
menghukumnya sembilan tahun penjara. Terlepas dari pengakuan Al Mahdi, majelis
hakim menemukan serangkaian fakta yang mendukung pengakuan Al Mahdi.

2.6.3 ANALISIS KASUS AL MAHDI

Kasus Al Mahdi merupakan kasus yang menjadi dobrakan baru dalam


penegakan hukum pidana internasional, dalam hal ini kejahatan peperangan yang
terjadi dalam konflik bersenjata nasional. Beberapa hal yang menjadi catatan dalam
kasus tersebut dan bagi perkembangan hukum pidana internasional antara lain
mengenai pengakuan yang dilakukan oleh Al Mahdi dan terhadap sebagai kasus yang
memberikan pidana bagi pelaku kejahatan peperangan yaitu penghancuran terhadap
bangunan sipil secara spesifik warisan budaya suatu bangsa. Mali merupakan negara
pihak Statuta Roma, tercatata sejak tanggal 16 Agustus 2000 dan merujuk situasi di
wilayahnya sejak Januari 2012 ke ICC. ICC dapat menjalankan yurisdiksinya atas
kejahatan yang tercantum dalam Statuta Roma yang dilakukan di wilayah Mali atau
oleh warga negaranya mulai 1 Juli 2002 dan seterusnya.

Jaksa Mahkamah Pidana Internasional atau Office of The Prosecutor of ICC


merupakan organ independen mahkamah yang bertanggung jawab untuk memeriksa
situasi di bawah yurisdiksi Pengadilan di mana genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi tampaknya telah dilakukan, dan melakukan
penyelidikan dan penuntutan terhadap orang-orang yang dianggap paling
bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.
Berdasarkan pasal 13 Statuta Roma, ada tiga cara pelaksanaan yurisdiksi
Mahkamah dapat dipicu di mana kejahatan di bawah yurisdiksi Mahkamah telah
dilakukan:

 Setiap Negara Pihak Statuta Roma dapat meminta Jaksa Mahkamah Pidana
Internasional untuk melakukan penyelidikan.
 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) juga dapat
merujuk suatu situasi kepada Jaksa Mahkamah Pidana Internasional. Rujukan
DK PBB juga dapat memberikan yurisdiksi kepada Pengadilan atas Negara-
negara yang bukan Pihak Statuta Roma;
 Jaksa Mahkamah Pidana Internasional dapat membuka penyelidikan atas
prakarsanya sendiri setelah mendapat izin dari para hakim. Jaksa Mahkamah
Pidana Internasional tidak dapat, atas mosinya sendiri, memulai penyelidikan
sehubungan dengan Negara yang bukan Pihak Statuta Roma kecuali masalah
tersebut melibatkan warga negara dari Negara Pihak yang diduga terlibat
dalam melakukan kejahatan Statuta Roma di wilayah bukan Negara Pihak
yang bersangkutan.
 Sebagai pengecualian, Negara dapat menerima yurisdiksi berdasarkan ad hoc,
dengan mengajukan deklarasi sesuai dengan pasal 12(3) Statuta Roma.

Dalam situasi di Mali secara terkhusus kasus Al Mahdi, tata cara pelaksanaan
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sebagai negara pihak Statuta Roma
dilakukan atas dasar permintaan Kementerian Kehakiman Mali pada pada 13 Juli
2012. Sehingga berdasarkan kewenangan tersebut. Kantor Jaksa Mahkamah Pidana
Interasional memiliki yurisdiksi untuk melakukan penyelidikan atas situasi yang
terjadi di Mali. Melalui tahapan praperadilan, Kantor Jaksa mahkamah menilai
apakah situasi yang terjadi di Mali memiliki alasan yang kuat untuk dilakukan
penyelidikan. Kemudian setelah memiliki alasan yang cukup kuat untuk
dilaksanakannya penyelidikan, Kantor Jaksa Mahkamah akan melakukan penelusuran
bukti yang mendukung, dan Berdasarkan bukti yang dikumpulkan selama
penyelidikan, Kantor Jaksa Mahkamah dapat mengajukan permintaan kepada hakim
Mahkamah Pidana Internasional, meminta mereka untuk mengeluarkan surat perintah
penangkapan atau panggilan untuk hadir. Setelah diberikannya surat panggilan
otoritas Nigeria menyerahkan Al Mahdi kepada Mahkamah untuk diadili.

Yang menjadi menarik dalam kasus Al Mahdi adalah sebelum adanya surat
perintah penangkapan yang diterbitkan oleh Mahkamah terhadapnya, Al Mahdi telah
didakwa atas terorisme oleh pemerintah Nigeria. Berdasarkan pasal 17 Statuta Roma,
suatu kasus tidak dapat diterima apabila sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu
negara yang memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut, kecuali jika negara tersebut
benar-benar tidak mau atau tidak dapat melakukan investigasi atau penuntutan.
Dalam kasus Al Mahdi, kasus terorismenya sedang ditangani oleh otoritas setempat,
sehingga bukanlah suatu tindakan yang dapat dikatakan tidak mau ataupun tidak
mampu melakukan investigasi dan penuntutan. Namun, sejak diterbitkannya surat
perintah penahanan oleh mahkamah, otoritas Nigeria justru menyerahkan Al Mahdi
kepada mahkamah untuk diadili. Hal ini dikarenakan, kasus yang ditangani oleh
otoritas Nigeria merupakan tindak pidana terorisme, yang mana tindak pidana
tersebut tidak termasuk kejahatan paling serius yang diatur dalam Pasal 5 Statuta
Roma dan bukanlah kewenangan dari Mahkamah Pidana Internasional. Berdasarkan
hal tersebut, penanganan dan penerbitan surat perintah penahanan oleh Mahkamah
atas kejahatan Al Mahdi terhadap tindakan pengerusakan situs cagar budaya tidak
melanggar ketentuan yang berlaku dan Mahkamah tetaplah berwenang untuk
menangani kasus Al Mahdi.

2.7 RESTORATIVE JUSTICE


2.7.1 RESTORATIVE JUSTICE MENURUT PARA AHLI
Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam
perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana
Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian
keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses
peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang
berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan
keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari
perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat Sistem Hukum Pidana Indonesia
memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang
ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam
perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan
setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif
(restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan
pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).
Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat23.

Berikut adalah pendapat mengenai pengertian restorative justice24:

a) Dalam buku berjudul Keadilan Restoratif, Eva Achjani Zulfa menyatakan


bahwa restorative justice atau yang sering diterjemahkan sebagai keadilan
restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak era tahun
1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan keadilan
restoratif menekankan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan
masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Inimerupakan hal yang
membedakannya dengan pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan
pidana konvensional, sehingga secara teoritis pendekatan ini masih
diperdebatkan. Namun pada kenyataannya pandangan ini berkembang dan
banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.
b) Tony Marshall, restorative justice is a process whereby parties with a stake in a
specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the
offence and its implications for the future. Di sini Marshall mengartikan
keadilan restoratif sebagai sebuah proses dimana semua pihak yang
berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk
menyelesaikan secara bersama bagaimana menyelesaikan akibat dari
pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan. Berdasarkan definisi-
definisi di atas, menurut Eva Achjani Zulfa berusaha mendefinisikan keadilan
restoratif sebagai sebuah konsep pencapaian keadilan yang menekankan pada
pemulihan atas kerusakan yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana,
dengan melibatkan korban, pelaku, masyarakat terkait serta pihak-pihak yang
berkepentingan. Yang dimaksud dengan pemulihan di sini bukan hanya kepada
diri korban, tetapi juga diri pelaku dan masyarakat yang turut merasakan akibat
kejahatan.
c) Menurut Muladi, keadilan yang dilandasi perdamaian (peace) pelaku, korban
dan masyarakat itulah yang menjadi moral etik restorative justice, oleh karena
itu keadilannya dilakukan sebagai “Just Peace Principle”. Prinsip ini
mengingatkan kita bahwa keadilan dan perdamaian pada dasarnya tidak

23
https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085 diakses pada tanggal 15 April 2023,
Pukul 10.00 WIB.
24
Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FH UI, Jakarta, hlm. 2.
dipisahkan. Perdamaian tanpa keadilan adalah penindasan, keadilan tanpa
perdamaian adalah bentuk baru penganiayaan / tekanan25.

2.7.2 IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA


Dalam penerapan restorative justice ditemukan fakta pemberlakuannya hanya
pada kasus-kasus tertentu saja, contohnya saja terhadap kasus anak dan pelanggaran
lalu lintas.Kasus-kasus tersebut dilihat dapat diambil jalan tengahnya dan
menemukan titik kesepakatan atau perdamaian antara pelaku dan korban.Dengan
demikian saya memandang bahwa apabila kasus masih dapat diadakan musyawarah
maka sebaiknya dilakukan guna mempertimbangkan hal-hal yang menguntung diatas
tadi.Keadilan restorasi ini dapat dilakukan pada kasus yang memungkinkan adanya
“jalan tengah”.

Bagir Manan, dalam tulisannya menguraikan tentang substansi ”restorative


justice” Terhadap kasus tindak pidana yang di lakukan oleh anak, maka restorative
justice sistem setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki /memulihkan (to
restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat
bagi anak, korban dan lingkungannya yang melibatkan mereka secara langsung
(reintegrasi dan rehabilitasi) dalam penyelesaian masalah, dan berbeda dengan cara
penanganan orang dewasa, yang kemudian akan bermuara pada tujuan dari pidana itu
sendiri yang menurut Barda Nawawi Arief tujuan pemidanaan bertitik tolak kepada
“perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak
pidana26.

2.8 STATUTA ROMA DAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC)


ICC sebagai badan peradilan pidana yang bersifat tetap (permanent) dan
untuk masa depan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas
seseorang yang telah melakukan kejahatan berat yang merupakan kejahatan yang
sangat serius yang menjadi keprihatinan seluruh masyarakat internasional (the most
serious crimes of concern to the international community as a whole), karena
dilakukan dengan sangat keji/kejam yang tidak dapat dibayangkan dan yang sangat
menggoncangkan hati nurani kemanusiaan (unimaginable atrocities that deeply shock

25
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana¸Alumni, Bandung, hlm. 77-
78.
26
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 98.
the consience of humanity) dan telaH mengancam perdamaian, keamanan dan
kesejahteraan dunia (well-being or the world).

Adapun kejahatan-kejahatan yang dimaksudkan itu adalah sebagaimana


tercantum dalam pasal 5, 6, 7 dan 8 Statuta Roma 1998, yang terdiri dari:

a. the crime of genocide;


b. crimes against humanity;
c. war crimes;
d. the crimes of aggression.

Karena sifat kejahatannya yang luar biasa (extra-ordinary) dan akibatnya yang
sangat serius maka yang menjadi tujuan pembentukan ICC adalah: a. menghukum
pelaku kejahatan; b. mencegah terulangnya lagi kejahatan-kejahatan itu; c.
mengakhiri dan mencegah adanya "impunity" ("kebebasannya dari hukuman").

Maka untuk mencapai tujuan itu harus dijamin adanya penuntutan yang
efektif (eJective prosecution) dengan mengambil tindakan-tindakan l1ukum dalam
tingkat nasional dan dengan meningkatkan kerjasama internasional.

Oleh karena setiap kejahatan itu sudah dapat dipastikan terjadi di suatu
wilayah negara nasional (negara pihak) dan dilakukan oleh warga negara dari suatu
negara nasional (negara pihak), maka berdasarkan azas kedaulatan negara tindakan
hukum di tingkat nasional haruslah dilakukan lebih dahulu, tetapi karena sifat
kejahatan dan akibatnya yang mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan
dunia maka kerjasama internasional diperlukan.

Dalam rangka kerjasama internasional itulah diterapkan complementary


principle (azas pelengkap) dalam arti apabila proses peradilan yang efektif melalui
tindakan hukum di tingkat nasional tidak dapat berjalan baru dilaksanakan yurisdiksi
ICC.

Dengan demikian maka pelaksanaan yurisdiksi ICC dalam ani kewenangan


ICC mengadili, didasarkan pada azas dasar. Namun demikian berlakunya yurisdiksi
ICC atas ke-empat jenis kejahatan tersebut tanpa persetujuan negara pihak terlebih
dahulu, karena bcrdasarkan statuta setiap negara yang telah menjadi negara pihak
dengan sendirinya (otomatis) menerima berlakunya yurisdiksi ICC atas ke-empat
jenis kejahatan itu. Ketentuan ini didasarkan pada azas melekat (ini1erefll I automatic
principle) yang juga merupakan azas dasar sebagaimana dijabarkan dalam pasal 12,
13, 14 dan 15 Statuta27.

3. PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pada dasarnya sistem peradilan pidana interasional adalah puncak dalam


perkembangan kekuasaan kehakimal secara formal internasional yang mana peran
dan kedudukan lembaga mahkamah akan sejajar dan dapat berhubungan secara
langsung dengan negara. Sistem peradilan pidana internasional juga telah
berkembang dengan salah satu gagasannya mengenai peradilan pidana “semi
internasional” atau dikenal sebagai hybrid court pada tahun 2000 yang dilaksaknakan
di Sierra Leone, selain itu juga dilaksanakan di Timor Leste pada tahun 2002, dan
Kamboja pada tahun 2007. Adapun model sistem peradilan pidana dalam
perkembangan ialah Crime Control Model dan Due Process Model. Ada beberapa
model yang berkembang baik dinegara continental maupun dinegara anglosaxon.
Model ini tidak dapat dilihat sebagai suatu yang absolut atau bagian dari kenyataan
hidup yang harus dipilih melainkan harus dilihat sebagai sistem nilai yang bias
dibedakan dan secara bergantian dapat dipilih sebagai prioritas didalam proses
peradilan pidana.

Pada prinsipnya peradilan internasional merupakan pelengkap


(complementary) dan hanya dibentuk jika mekanisme penegakan melalui hukum
nasional tidak dapat berjalan secara efektif. Peran ICC dalam penyelesaian kasus AL
Mahdi telah melakukan beberapa tindakan. Dalam penyelesaian kejahatan
internasional ICC yang terjadi di Agoune, Mali ini memerlukan suatu tanggung jawab
dan kewajiban negara dalam penegakan hukumnya. Prinsip pertanggung jawaban
negara yang terjadi dalam kasus Al Mahdi merupakan prinsip oroginal responsibility
yang mana pertanggung jawaban negara yang lahir karena adanya tindakan individu
yang dilarang oleh hukum. Tindakan tersebut merupakan tindakan yang lahir dari
para pejabat negara atau pemerintah itu sendiri sehingga dalam hukum pidana
internasional hak impunitas tidak berlaku, karena semua orang mempunyai
kedudukan yang sama di depan hukum. Sejatinya pertanggung jawaban negara dan
kewajiban negara tidak dapat dituntut secara pidana hanya berlaku kepada individu
atau perseorangan, tetapi pertanggung jawaban dan kewajiban tersebut dapat dimintai
27
Martowirono, Suwardi. "Azas Pelengkap Statuta Roma 1998 Tentang Pengadilan Pidana
Lnternasional." Jurnal Hukum & Pembangunan 31, no. 4 (2017): 339-356.
dengan cara ICC meminta kerja sama kepada negara pihak atau negara terkait yang
diatur dalam pasal-pasal Statuta Roma. Kerja sama tersebut merupakan kerja sama
dalam penyerahan seseorang yang diduga melakukan kejahatan serta melakukan
penahanan terhadap tersangka.

3.2 SARAN

Dalam hal ini beberapa permasalahan dan kendala yang timbul, memerlukan suatu
pembaharuan. Penulis memberikan beberapa saran dalam rangka mencapai cita hukum yang
diinginkan oleh masyarakat terhadap peranan pengadilan pidana internasional terhadap
kejahatan internasional, sebagai berikut:

1. Dalam penyelesaian kejahatan internasional, ICC harus melaksanakan perannya


sesuai dengan yang diatur dalam Statuta Roma. Bahkan ICC harus meluruskan dan
memperbaiki sistem peradilannya dan mempertergas setiap aturan yang telah
termaktub dalam Statuta Roma sehingga memberikan peradilan yang adil dan
mempunyai putusan yang mengikat. Sehingga tidak adanya kendala dalam setiap
proses yang akan dilakukan.

Tanggung jawab dan kewajiban dari suatu negara sangat diperlukan bagi ICC untuk
melaksanakan perannya dalam menyelesaikan kejahatan internasional. Tanggung jawab dan
kewajiban negara ini harus dipertegas oleh ICC, agar setiap negara melaksanakan peranya
dalam menyelesaikan kejahatan internasional. Sehingga tidak ada negara yang tidak
menanggapi permintaan ini, jika perlu diadakannya suatu aturan yang mengatur tentang
hukuman bagi negara yang tidak menanggapi permintaan kerja sama oleh ICC sebagai
bentuk kerja sama dalam menyelesaikan kejahatan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Hari Sutra Disemadi, and Nyoman Serikat Putra Jaya,
“Criminal Objectives Integrality in the Indonesian Criminal Justice
System,” Al-Risalah 19, no. 2 (2019): 179.
Atmasasmita, R. (2010). Sistem peradilan pidana kontemporer. Jakarta:
Kencana
Begem, Sarah Sarmila, Nurul Qamar, and Hmaza Baharuddin. “SISTEM
HUKUM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA (HAM) BERAT MELALUI MAHKAMAH PIDANA
INTERNASIONAL.” SIGn Jurnal Hukum 1, no. 1 (2019).
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.
Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FH UI,
Jakarta,
https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4085 diakses pada
tanggal 15 April 2023, Pukul 10.00 WIB.
Luthan, Salman. “Relevansi Peradilan Pidana Intemasional Bagi
Perlindungan Hak Asasi Manusia.” Jurnal Hukum 7, no. 15 (2000): 73–
91.
Maulana, Irvan, and Mario Agusta. "Konsep dan Implementasi Restorative
Justice di Indonesia." Datin Law Jurnal 2, no. 11 (2021): 46-70.
Martin Symonds, “The ‘Second Injury’ to Victims of Violent Acts,” The
American Journal of Psychoanalysis 70, no. 1 (March 8, 2010): 34–41,
http://link.springer.com/10.1057/ajp.2009.38.
Martowirono, Suwardi. "Azas Pelengkap Statuta Roma 1998 Tentang
Pengadilan Pidana Lnternasional." Jurnal Hukum & Pembangunan 31,
no. 4 (2017): 339-356.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori Dan Kebijakan
Pidana¸Alumni, Bandung
Patty Gerstenblith, Protecting Cultural Heritage in Armed Conflict: Looking
Back, Looking Forward, 7 CARDOZO PUB. L. POL’Y & ETHICS J.
677, 677–79 (2009).
Prof.Dr.Romli Atmasasmita,S.H., LL.M. SISTEM PERADILAN PIDANA
KONTEMPORER. Pertama. Jakarta: KENCANA, 2010.
Prof.Dr.Teguh Prasetyo, S.H.M.Si. HUKUM PIDANA. Revisi. Depok: PT
Raja Grafindo Persada, 2017.
Reksodiputro, M. (2007). Hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana:
Kumpulan karangan buku ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.
Resick, Patricia A. “Psychological Effects of Victimization: Implications for
the Criminal Justice System.” Crime & Delinquency 33, no. 4 (October
5, 1987): 468–478.
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0011128787033004004.
Rusli Muhamad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press Jogyakarta
2011
Rofiq, Ahmad, Hari Sutra Disemadi, and Nyoman Serikat Putra Jaya.
“Criminal Objectives Integrality in the Indonesian Criminal Justice
System.” Al-Risalah 19, no. 2 (2019): 179.
Shapland;, J, J Willmore;, and P Duff. Victims in the Criminal Justice System.
Cambridge Study in Criminology, 1985.
Symonds, Martin. “The ‘Second Injury’ to Victims of Violent Acts.” The
American Journal of Psychoanalysis 70, no. 1 (March 8, 2010): 34–41.
http://link.springer.com/10.1057/ajp.2009.38.
Statuta Roma

Anda mungkin juga menyukai