Anda di halaman 1dari 7

Bau Busuk Sinisme Advokat

Sebagai Penegak Hukum: Sebuah Usaha Benah Diri


“the critical thinking important for a law degree”

Alam Suryo Laksono, Herman Bakir


lawoffice.laksono@gmail.com , …………..

Universitas Borobudur

Abstrak
Profesi advokat disebut penegak hukum oleh UU advokat, namun dalam
tataran pelaksanaan terjadi limitasi, manakala hadirnya advokat sebatas orang
tidak mampu terancam pidana diatas 5 tahun (vide KUHAP). Hal ini sudah
mengakar menjadi pemahaman salah kaprah ditengah masyarakat. Ironinya, ada
asumsi bahwa advokat bisa dipakai atau sebaliknya. Padahal jelas pada tiap
tingkatan diberikan ruang masuk bagi advokat mulai tingkat lidik, sidik,
penuntutan hingga pengujian fakta dipersidangan oleh pengadilan. Spesifikasi
penulisan ini berbentuk deskriptif menggunakan analisa yuridis dengan dasar
menggarisbawahi strategi logis sebagai metodologi kerja utama. Tulisan ini dibuat
untuk mengenali gagasan, aturan, dan prinsip yang berlaku dengan pemanfaatan
literatur dan hukum positif. Landasan UU Advokat dan KUHAP. Tiba pada
kongklusi, yaitu sulit diterimanya advokat sebagai penegak hukum sebab belum
ada kemesraan baik pada regulasi maupun sesama aparat penegak sehingga sulit
bercumbu mesra dalam penegakan hukum in abstracto dengan penegakan hukum
in concreto. Sinisme terhadap advokat sebagai penegak hukum dikarenakan
sebatas hak berwujud pemberian kuasa. Kehadirannyapun bukan suatu kewajiban
disetiap perkara yang sangat penting pada tahap awal adalah proses membuat
terang peristiwa dengan bukti yang kerap dipenuhi kepentingan guna memenuhi
“kebutuhan” P21 jaksa untuk dihidangkan berupa “menu” dakwaan hingga
dicicipi oleh Hakim hingga dapat menentukan nilai dari sebuah hidangan.

Kata kunci: Sinisme, advokat, penegak hukum

I. Pendahuluan

Salah satu syarat murninya keadilan dibutuhkan netralitas dan bebas


campur tangan pihak asing selain bagian dari kekuasaan kehakiman. Advokat
telah menjadi bagian dari proses peradilan dituntut mampu mewujudkannya
dengan bermodal kebebasan dan kemandirian serta tanggungjawab dalam
menjalankan profesinya guna memberikan hak hukum para pencari keadilan.
Mengingat peraturan tentang advokat belum memiliki kolaborasi dengan aparat

1
hukum lainnya sehingga pencari keadilan masih simpang siur atas eksistensi
advokat sebagai penegak hukum demi terwujudnya supremasi hukum.
Supremasi hukum adalah upaya menegakkan dan menempatkan hukum
pada posisi tertinggi. Sehingga menurut penulis, lahirnya UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat, tak lain adalah usaha penghormatan kepada hukum melalui
peran advokat itu sendiri. Jaminan atas tindakan seorang advokat disebut sebagai
penegak hukum diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU advokat, jelas bahwa advokat
bebas dan mandiri dijamin oleh undang-undang.
Advokat berjalan sesuai profesinya yang mulia dengan cara memberikan
jasa hukum untuk kepentingan pencari keadilan berlandaskan hukum dan dapat
mengedukasi masyarakat tentang hak-hak dihadapan hukum. Melalui jasa hukum
yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan
berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk
usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka
di depan hukum.
Hadirnya advokat sebagai penegak hukum, sesuai dengan konsekuensi
dari negara hukum yaitu menjamin adanya hak untuk mendapatkan bantuan
hukum harus diberikan oleh negara dan merupakan wujud perlindungan terhadap
hak asasi manusia.1
Proses penegakan hukum dengan sarana peradilan adalah mencapai
tegaknya keadilan. Keadilan yang mendasar dapat dikaji dalam sudut pandang
sebagai berikut: Pertama, yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian
hak dan kewajiban selaras dengan neraca hukum yakni setimpal antara hak dan
kewajiban. Kedua, rumusan keadilan dikaji dari sebuah kepastian hukum yang
sebanding atas peristiwa.2
Retorikapun terjadi manakala advokat dianggap sebagai profesi, sehingga
timbul dua pandangan yang terdiri dari sisi advokat yang dapat bermain dengan

1
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas
Kasihan, Elit Media, Jakarta, 2000, hlm. 63.
2
Purnadi Purbacaraka dalam A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya
Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2015, hlm. 176

2
hukum dan dari sisi advokat sebagai tempat pelarian atas kekecewaan atau ketidak
puasan seseorang yang tengah berhadapan dengan hukum.3
Disamping itu media cetak maupun elektronik dewasa ini
mempertontonkan peristiwa hukum yang terjadi, misalnya ulah para oknum
kepolisian, oknum pejabat, sampai sederetan oknum artis kontroversial yang
sedang berperkara hukum yang semuanya didampingi oleh advokat. Terlepas
mereka diposisi sebagai korban atau sebaliknya, yang tidak luput dari perhatian
publik yang dengan bebas memberikan lebel kepada advokat membela yang
bayar.
Paradigma ini membuahkan sinisme kepada advokat ditengah masyarakat
yang cenderung memposisikan advokat sebagai pelarian. Jika segala usaha telah
buntu baru mencari-cari advokat tanpa tahu latar belakangnya. Cukup
rekomendasi dari teman, keluarga ataupun tetangga bahkan orang yang baru
dikenal. Jelas bahwa peran advokat yang sejatinya adalah pembela hak seseorang
ketika berhadapan dengan hukum dengan menjaga segala kepentingannya
berdasarkan hukum.
Kedudukan advokat ditinjau peraturan perundang-undangan tentang
penegakan hukum pada KUHAP sebagai pedoman pelaksanaan proses penegakan
hukum pidana. Ditemukan beberapa kejanggalan-kejanggalan yang fundamental
sehingga diperlukan ekspolari, khusus menyikapi sinisme terhadap advokat yang
berstatus penegak hukum berdasar pada UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Terkhusus pemaknaan advokat sebagai penegak hukum seharusnya bukan sekedar
isapan jempol, melainkan suatu pointer dalam sebuah peristiwa hukum yang
berlandaskan kepintaran yang bermartabat.

3
Ade Irawan Taufik, Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan Negara dalam
Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April 2013, hlm. 47

3
II. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka, penulis mencoba memetakan


permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa advokat sulit diterima sebagai penegak hukum?
2. Apa penyebab sinisme terhadap advokat sebagai penegak hukum?

III. Metode Penelitian

Pada penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif


dengan menekankan strategi rasional sebagai pembantu utama dan strategi
induktif sebagai pendukung melalui wawancara dari berbagai sumber.4
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi
2 (dua) bagian, yaitu: data primer dari wawancara dan data sekunder peraturan
perundang-undangan. Pengolahan data dilakukan proses analisis secara kualitatif
dan disajikan secara deskriptif analistis.
IV. Pembahasan
Berdasarkan kuasa oleh klien maka advokat dapat mewakili klien untuk
mengadakan tindakan hukum. Sedangkan konsultan hukum tidak selalu bertindak
berdasarkan surat kuasa melainkan, seseorang yang dapat memberikan nasehat
dan pendapat hukum terhadap suatu peristiwa hukum yang dialami oleh subjek
hukum. Advokat selain menjalankan praktek di dalam pengadilan, dapat juga di
luar pengadilan bahkan KUHAP memberikan peluang pada setiap tingkatan
proses peradilan pidana meskipun hal itu sebatas hak tersangka dan atau terdakwa
yang memberikan kuasa kepadanya.5
Status advokat dalam penegakan hukum pidana seperti ada dan tiada,
manakala merujuk UU No. 8 Tahun 1981 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana.
Mengapa demikian, sebab kehadirannya adalah Hak dari seseorang yang sedang
disangka melakukan perbuatan pidana. Hanya ada dalam Pasal 56 ayat (1)
KUHAP yang memberikan tafsir kehadiran pengacara adalah suatu kewajiban.

4
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B. J Alfabet, Jakarta, 2019,
hlm. 18
5
Dadang Supriyatna, Bantuan Hukum Yang Ideal Bagi Masyarakat Tidak Mampu Ideal
Legal Aid For The Poor Society, Jurnal Living Law,Vol. 10, No. 1, 2018, hlm. 11

4
Selain itu apabila terdapat anak yang berhadapan dengan hukum, mewajibkan
hadirnya pengacara pada setiap tingkatan.
Menarik perhatian penulis, ketika seseorang dilanda permasalahan hukum
secara tiba-tiba dan lalu ditangkap atau sebaliknya ia menjadi korban kejahatan,
lantas satu-satunya institusi yang dapat didatangi adalah Kantor Polisi. Ini
merupakan cara pikir sederhana seseorang yang sedang berhadapan dengan
hukum. Secara normatif seperti itu adanya, dan telah membudaya dari generasi ke
generasi. Advokat hanya sebagai pelarian semata, meskipun bagi sebagian orang
yang cukup mampu finansialnya akan menggunakan jasa advokat tanpa
menunggu datangnya suatu masalah.
Jelas sudah maksud dibentuknya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
adalah mewujudkan supremasi hukum, tapi belum ideal jika kita melihat realita
yang terjadi. Penulis ingin mengulas pada tataran yang sederhana (bawah), yang
diawali norma hukum bahwa tersangka atau terdakwa berhak didampingi oleh
seorang penasehat hukum. Karena norma hukum yang demikianlah menjadikan
advokat bukan sebuah kebutuhan wajib melainkan hanya sebuah hak, yang
terserah subjeknya mau menggunakan haknya atau tidak. Bagi sebagian orang
awam memiliki anggapan bahwa advokat hidup dari derita orang. Mahluk yang
hidup menanti ratapan orang yang dilanda prahara bermuara hukuman atau sanksi.
Jikapun demikian maka penulis menyebutnya telah terjadi kelirupaham selama
ini.
Keliru paham yang menjadikan sinisme terhadap advokat dan cenderung
membabibuta. Fatalnya jika keliru paham atau gagal paham ini, melanda sesama
aparat penegak hukum. Tidak jarang ditemui pada sebuah kasus yang sedang
ditangani oleh Polisi, upaya penghalauan terhadap advokat sering terjadi. Dengan
alih-alih kepada si tersangka bahwa akan menjadi rumit ketika perkara dicampuri
oleh advokat. Tapi jika pada kasus kakap, barulah diselipkan bisikan bahwa
advokat diperlukan guna memperlancar maksud untuk gerogoti kakap tersebut.
Penulis mencoba menelusuri asal muasal sinisme ini terjadi yang diawali
dengan realita sebagai berikut:

5
1. Advokat tidak memiliki anggaran dari Negara sehingga tak perlu
membuat pertanggungjawaban perbuatan/kerjanya;
2. Advokat tak bertarif baku, sehingga tidak semua orang mampu
membayar;
3. Advokat bekerja berdasarkan kesepakatan Klien;
4. Advokat tak miliki beban pasti menang dalam perkara;
5. Advokat tak wajib berkantor sehingga tak terbatas teritorialnya.
Dari sisi luar sinisme ini terbentuk manakala advokat dianggap ada dan
tiada oleh UU, yaitu terdapat contoh konkrit dibawah ini:
1. Pasal 54 KUHAP sebutkan berhak didampingi PH disetiap tingkatan,
namun tak diberikan wewenang dalam tingkatan lidik/sidik dan justru
terbatas (pasif) oleh kewenangan penyidik
2. Pasal 56 KUHAP sebutkan wajib ada PH untuk ancaman diatas 5
Tahun dan bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu, maka
muncul stigma hanya kasus berat dan bagi yang tak mampu baru wajib
didampingi PH, itupun tidak sejak awal tindakan oleh Polisi. Baru
setelah ketahuan tak mampu, polisi akan menunjuk dan menyediakan
PH.
Jika merujuk pada tujuan awal diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat, maka khusus terhadap penegakan hukum pidana yang menganut
KUHAP terjadi ketimpangan yang bermuara sinisme terhadap advokat yang
notabene berstatus sebagai penegak hukum seperti yang disebutkan didalam UU
Advokat.
Sinisme ini muncul dari sisi luar dan dalam yaitu dari sisi luar adalah
masyarakat dan dari sisi dalam yaitu sesama penegak hukum. Apabila keadaan ini
dibiarkan terus menerus maka kemunduran yang akan terjadi dan jauh dari tujuan
supremasi hukum. Maka hemat penulis, wajib segera dibenahi komponen dari
sebuah sistem penegakan hukum, jika UU telah dirancang guna memuliakan
hukum sebagai alat menuju kebahagiaan.

6
V. Kesimpulan

1. Advokat sulit diterima sebagai penegak hukum, sebab belum adanya


harmonisasi baik pada regulasi dan komponen yang ada dalam tatanan
regulasi penegak hukum dalam penegakan hukum sehingga tidak bakal
bertemu antara penegakan hukum in abstracto dengan penegakan hukum in
concreto.
2. Sinisme terhadap advokat sebagai penegak hukum sebab advokat sebatas
digunakannya hak berwujud surat kuasa dengan segala keterbatasannya
khusunya pada tahap awal yang justru merupakan bagian terpenting dimana
penyidikan adalah proses pengumpulan bukti yang kerap berlebih atau
dikurang guna memenuhi “kebutuhan” yang akan diberikan kepada jaksa
untuk diolah sebagai “menu” dakwaan agar dapat dituntut hingga Majelis
Hakim sebagai penentu cita rasa sesuai “pinta” jaksa penuntut umum.

Referensi

Ade Irawan Taufik, 2013, Sinergisitas Peran dan Tanggung Jawab Advokat dan
Negara dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Jurnal
RechtsVinding, Vol. 2 No. 1, April

Dadang Supriyatna, 2018, Bantuan Hukum Yang Ideal Bagi Masyarakat Tidak
Mampu Ideal Legal Aid For The Poor Society, Jurnal Living Law,Vol. 10,
No. 1,

Frans Hendra Winarta, 2000, Bantuan Hukum: Suatu Hak Asasi Manusia Bukan
Belas Kasihan, Elit Media, Jakarta,

Purnadi Purbacaraka dalam A. Ridwan Halim, 2015, Pengantar Ilmu Hukum


Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta,

Sugiyono. 2019. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B. Jakarta:


Alfabet

Anda mungkin juga menyukai