Anda di halaman 1dari 6

Nama Kelompok

- Rudra Rahardi 175010107111146


- Eka Dimah 175010100111007
- Akhmad Zakki Alifian 175010107111112

Kelas

Etika Profesi A

ANALISIS ETIKA PROFESI HAKIM

KASUS

tirto.id - Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan sanksi non-palu selama 6 bulan


kepada hakim adhoc  Syamsul Rakan Chaniago. Syamsul dinyatakan bersalah secara etik
karena melanggar kode etik hakim karena bertemu dengan pihak berperkara di Mahkamah
Agung dan belum mencopot papan advokat. Hal itu disampaikan Kepala Biro Hukum dan
Humas MA, Abdullah, Minggu (29/9/2019). Menurutnya, pemberian sanksi kepada Syamsul
sudah sejak Juli 2019. "Dari Juli kemarin sudah diturunkan," kata Abdullah. Abdullah juga
mengatakan, pelanggaran yang dilakukan berkaitan penggunaan namanya sebagai kantor
pengacara. "Jadi hakim agung seharusnya papan nama sebagai lawyer  diturunkan, tapi
tidak diturunkan. Itu yang paling berat. Kan hakim adhoc," kata Abdullah. Diketahui,
Syamsul Rakan merupakan satu dari tiga hakim yang mengadili kasasi Syafruddin Arsyad
Temenggung di MA. Syafruddin saat itu mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta yang memvonis 15 tahun penjara. Pada pengadilan tingkat pertama, Syafruddin
divonis 13 tahun penjara.
Dalam pertimbangan vonis, Syamsul berpendapat kasus Syafruddin bukan perkara
pidana. Pada akhirnya, kasasi Syafruddin dikabulkan karena dua dari tiga hakim meyakini
kasus mantan Kepala BPPN itu menilai bukan perkara pidana. Syafruddin langsung bebas
pada 9 Juli 2019. Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro menambahkan, Rakan
juga disanksi etik karena bertemu dengan pihak berperkara.
Andi mengatakan, Rakan mengadakan kontak hubungan dan pertemuan dengan
Ahmad Yani, salah seorang penasihat hukum Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) di Plaza
Indonesia pada 28 Juni 2019 pukul 17.38-18.30 WIB. "Padahal saat itu yang bersangkutan
[Rakan] duduk sebagai hakim anggota pada majelis hakim terdakwa SAT," kata Andi dalam
keterangan tertulis, Minggu (29/9/2019). Dengan dalih itu, MA menjatuhkan sanksi kepada
Syamsul Rakan berupa sanksi etik dengan menjadi hakim non-palu selama 6 bulan
sebagaimana diatur Pasal 21 huruf b Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY nomor
02/PB/MA/IX/2012-02 /BP/P-KY/09/2012. Kasus Syafruddin ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia disangka korupsi karena memberikan Surat Keterangan
Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim dan
istrinya, Itjih Nursalim terkait Bank Dagang Nasional Indonesia.

HASIL PENGAMATAN

Pada era reformasi sekarang ini yang disertai krisis multidimensi di segala bidang di
antaranya dalam bidang hukum, timbul keprihatinan publik akan kritik tajam sehubungan
dengan carut marutnya penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya penurunan kualitas
hakim dan pengabaian terhadap kode etik, serta tidak adanya konsistensi, arah dan
orientasi dari penegak hukum itu sendiri. Hal ini menyebabkan tidak adanya ketidakpastian
dan ketidakadilan hukum dan pihak yang sering disalahkan adalah aparat penegak hukum
itu sendiri, terutama oleh Hakim.
Hakim adalah salah satu aparat penegak hukum ( Legal Aparatus) yang sudah
memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal, namun
realitanya para kalangan profesi hakim belum menghayati dan melaksanakan kode etik
profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari, terlihat dengan banyaknya yang
mengabaikan kode etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif
dari masyarakat.
Banyak realita yang bisa dilihat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh kalangan
profesi hakim yang menyimpang dari kode etiknya. Misalnya, hakim disuap agar pihak yang
salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan dibebaskan dari segala tuntutan. Hal ini
jelas melanggar kode etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Selain itu, hakim juga sering menggunakan
jabatannya tidak pada tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk
menguntungkan pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim dimana ketika
memanfaatkan jabatan tersebut banyak orang lain yang dirugikan.
Berbagai kasus gugatan publik terhadap profesi hakim merupakan bukti bahwa
adanya penurunan kualitas hakim sangat wajar sehingga pergeseranpun terjadi dan sampai
muncul istilah mafia peradilan. Indikasi tersebut Indonesia hal yang serius dalam
penegakkan standar profesi hukum di Indonesia. Kode etik tampaknya belum bisa
dilaksanakan dan nilai-nilai yang terkandung belum bisa diaplikasikan oleh pengembannya
sendiri. Padahal untuk menegakkan supremasi hukum adalah dengan menegakkan etika,
profesionalisme serta disiplin. Berdasarkan realita bahwa banyaknya kalangan profesi hakim
yang mengabaikan nilai-nilai moral terutama nilai-nilai yang ada dalam kode etik hakim.

ANALISA

Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau
yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8
KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang
diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum.
Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang
profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas
dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi
manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku,
baik disadari maupun tidak.
Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Di sini
terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari
kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya
ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang.
Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib
menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara
vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau
kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau
kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama
ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari
tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan
musyawarah secara tertutup. Hakim juga harus senantiasa mempertanggungjawabkan
segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan
terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada
masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam
Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam
pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat
hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai
pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur yaitu
profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Sebagai
suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian
khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan
kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya
adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi
setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
Terhadap tanggung jawab profesi hakim itu sendiri dapat dibedakan atas tiga jenis,
yaitu tanggung jawab moral, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab teknis profesi.
Tanggung jawab moral adalah tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi
maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat
bersangkutan. Sementara tanggung jawab hukum diartikan sebagai tanggung jawab yang
menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melanggar rambu-
rambu hukum. Sedangkan tanggung jawab teknis profesi merupakan tuntutan bagi aparat
untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku
dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus
dalam lembaganya.
Pada jenis tanggung jawab ini, penilaian terhadap sesuai atau tidaknya tindakan
yang dilakukan oleh hakim dengan ketentuan yang berlaku menjadi hal yang paling
diutamakan. Selain itu, penilaian terhadap kinerja dan profesionalisme hakim dalam
menjalankan tugasnya juga menjadi perhatian. Setiap hakim dituntut mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di dalam
maupun di luar kedinasan, secara materi dan formil. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang
mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum
acara di persidangan. Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah unprofessional conduct dianggap
sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
Secara filosofis, tujuan akhir profesi hakim adalah ditegakkannya keadilan. Cita
hukum keadilan yang terapat dalam das sollen (kenyataan normatif) harus dapat
diwujudkan dalam das sein (kenyataan alamiah) melalui nilai-nilai yang terdapat dalam etika
profesi. Salah satu etika profesi yang telah lama menjadi pedoman profesi ini sejak masa
awal perkembangan hukum dalam peradaban manusia adalah The Four Commandments for
Judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri dari empat butir di bawah ini:
1. To hear corteously (mendengar dengan sopan dan beradab).
2. To answer wisely (menjawab dengan arif dan bijaksana).
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun).
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah).
Dalam bertingkah laku, sikap dan sifat hakim tercermin dalam lambang kehakiman
dikenal sebagai Panca Dharma Hakim, yaitu:
1. Kartika, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Cakra, berarti seorang hakim dituntut untuk bersikap adil;
3. Candra, berarti hakim harus bersikap bijaksana atau berwibawa;
4. Sari, berarti hakim haruslah berbudi luhur atau tidak tercela; dan
5. Tirta, berarti seorang hakim harus jujur.
Hakim memiliki kode etik yang akan dijadikan pedoman dalam setiap perilaku,
tindakan, dan pengambilan keputusannya. Kode etik hakim sendiri terdapat 10 prinsip
diantaranya :
1. Berperilaku adil
2. Berperilaku jujur
3. Berperilaku arif dan bijaksana
4. Berintegritas tinggi
5. Bertanggung jawab
6. Menjunjung tinggi harga diri
7. Berperilaku rendah hati
8. Bersikap professional
9. Bersikap mandiri
10. Berdisiplik tinggi
Jika dilihat dari kasus diatas, memang hakim adhoc Syamsul Rakan Chaniago
bersasalah karena telah menciderai kode etik profesi seorang hakim. Dalam kasus diatas
dijelaskan bahwa saat itu rakan sebagai hakim anggota bertemu penasehat syaffrudin yang
saat itu kasusnya lagi ditangani olehnya. Tindakannya tidak sesuai dengan kode etik
berperilaku adil dan jujur, dimana itu seorang hakim tidak boleh bekerja sama, hakim harus
memiliki pandangannya sendiri dan tidak ada intervensi dari pihak manapun. Bersikap
professional juga seharusnya dilakukan oleh hakim dalam segala tindakannya agar tidak ada
yang dirugikan satu sama lain

PENUTUP

A. Simpulan

Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur menurut
undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil berdasar atas bukti-
bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya sendiri. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman,
hakim dihadapkan dengan berbagai hal yang dapat mempengaruhi putusannya nanti.
Dengan demikian jabatan hakim ini menjadi sangat penting karena memutus suatu perkara
bukanlah hal mudah. Ia harus sangat berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang
bersalah. Disamping itu hakim adalah jabatan yang mulia sekaligus penuh resiko dan
tantangan. Mulia karena ia bertujuan menciptakan ketentraman dan perdamaian di dalam
masyarakat. Penuh resiko karena di dunia ia akan berhadapan dengan mereka yang tidak
puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan neraka jika tidak
menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya.

B. Rekomendasi
Dari peranannya yang sangat penting dan sebagai profesi terhormat, atas
kepribadiannya yang dimiliki, hakim mempunyai tugas sebagaimana dalam undang-undang
pokok kekuasaan kehakiman yaitu Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu hakim harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Di sini terlihat jelas seorang hakim dalam
menjalankan tugasnya selain di batasi norma hukum atau norma kesusilaan yang berlaku
umum juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik profesi.
Untuk kasus Rakan harus dipertimbangkan dengan matang karena tindakannya telah
menciderai profesi seorang hakim dimana harus bertindak dengan jujur, adil, dan
profesional

Anda mungkin juga menyukai