Abstract
In the judicial process, judges are the sturdy pillar and final arbiter for individuals
seeking justice. As part of their powers, they receive, review and hand down decisions in
legal cases. Judges are responsible for providing justice to those who seek it, because they are
officials who exercise judicial power (in accordance with Article 11 paragraph (1) of Law
Number 7 of 1989) and have the authority from law to adjudicate (in accordance with Article
1 point ( 8) Law Number 8 of 1981).
Various factors such as personal background, religious beliefs, political tendencies,
and external pressure can influence a judge's non-neutrality in the legal decision-making
process. Therefore, the importance of ethics and integrity is emphasized in maintaining the
neutrality of a judge so that the decisions taken are in accordance with the principles of
justice.
Abstrak
Dalam proses peradilan, hakim merupakan tiang kokoh dan penentu akhir bagi
individu yang mencari keadilan. Sebagai bagian dari kekuasaan, mereka menerima, meninjau,
dan menjatuhkan putusan dalam perkara-perkara hukum. Hakim bertanggung jawab untuk
memberikan keadilan kepada mereka yang mencarinya, karena mereka adalah pejabat yang
menjalankan kekuasaan kehakiman (sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun
1989) dan memiliki wewenang dari undang-undang untuk mengadili (sesuai dengan Pasal 1
butir (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).
Berbagai faktor seperti latar belakang pribadi, keyakinan agama, kecenderungan
politik, dan tekanan eksternal dapat mempengaruhi ketidaknetralan seorang hakim dalam
proses pengambilan keputusan hukum. Oleh karena itu, pentingnya etika dan integritas
ditekankan dalam menjaga netralitas seorang hakim agar keputusan yang diambil sesuai
dengan prinsip-prinsip keadilan.
BAB I
PENDAHULUAN
Perlu diingat bahwa aktivitas manusia sangatlah beragam dan tak terhitung jumlah
serta jenisnya, sehingga tak mungkin diatur secara menyeluruh dan jelas dalam perundang-
undangan. Manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, memiliki keterbatasan, sehingga
undang-undang yang diciptakannya tidaklah sempurna untuk mencakup seluruh aspek
kehidupan. Karena itu, tak ada peraturan yang bisa dikatakan benar-benar lengkap atau jelas
secara menyeluruh.
Dalam menguji, mengadili, dan menentukan hasil suatu kasus yang dihadapkan
padanya, hakim harus terlebih dahulu menggunakan hukum tertulis, yaitu peraturan
perundang-undangan. Namun, jika peraturan tersebut tidak mencukupi atau tidak sesuai
dengan permasalahan dalam kasus tersebut, hakim kemudian akan mencari dan menemukan
hukum dari sumber-sumber hukum lain, seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan,
atau hukum tidak tertulis.
Sistem hukum Indonesia menghormati hakim sebagai individu yang mulia dan
dihargai martabatnya. Oleh karena itu, hakim diberi kebebasan untuk merefleksikan nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta keadilan publik melalui interpretasi hukum.
Hukum tertulis dianggap memiliki jiwa dan mengandung prinsip-prinsip keadilan. Dalam
konteks kasus konkret, tugas hakim dianggap sebagai "malaikat peniup sangkakala
kehidupan" yang menghidupkan pasal-pasal dan huruf-huruf mati.
Keputusan hakim adalah manifestasi dari penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran.
Dengan kewenangan yang besar dalam menentukan hasil suatu kasus, penting untuk
melakukan penelitian terkait kebebasan dan tanggung jawab hakim dalam memutuskan kasus
demi mewujudkan keadilan. Oleh karena itu, masalah yang muncul adalah sejauh mana
kebebasan hakim dalam memutuskan kasus untuk mencapai keadilan, serta bagaimana
tanggung jawab hakim dalam upaya tersebut.
Untuk itu, penting bahwa ketentuan perundang-undangan harus jelas dan tegas dalam
mengatur batasan-batasan sistem hukum untuk memastikan penegakan hukum yang adil. Hal
ini termasuk menghindari tumpang tindihnya ketentuan perundang-undangan terkait fungsi
pengawasan dan evaluasi yang sederajat serta saling mengimbangi. Selain itu, akuntabilitas
hakim sangat penting untuk memastikan putusan yang adil. Untuk mencapai putusan
berkualitas dan memenuhi keadilan dalam masyarakat, penting bagi hakim untuk
meningkatkan pengetahuannya di berbagai bidang serta memiliki kewenangan dalam
pemanggilan saksi.
Analisis netralitas hakim dalam menjalankan tugasnya adalah aspek kritis dalam
system peradilan. Netralitas ini mencerminkan kemampuan seorang hakim untuk
memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum dan bukti tanpa adanya pengaruh eksternal
atau bias pribadi. Dalam konteks ini, penting untuk menilai bagaimana keputusan hakim
mencerminkan objektivitas dan keadilan,serta menjaga integritas dalam system peradilan.
BAB II
PEMBAHASAN
Seorang hakim perlu diperhatikan perlu diperhatikan beberapa aspek kunci yang
mempengaruhi integritasnya dalam mengambil keputusan hukum. Pertama-tama factor
internal hakim, seperti nilai-nilai pribadi dan pandangan politik, dapat memainkan peran
dalam membentuk perspektif mereka terhadap suatu kasus.
Selanjutnya, tekanan eksternal dari pihak-pihak yang terlibat opini publik dapat
mempengaruhi keputusan hakim. Penting untuk menilai sejauh mana hakim mampu menahan
diri dari pengaruh eksternal ini dan tetap fokus pada hukum dan bukti yang ada.
Sebagai elemen integral dalam sistem peradilan, hakim memiliki posisi dan peran
yang sangat signifikan, terutama dengan segala wewenang yang dimilikinya. Melalui
putusan-putusannya, seorang hakim memiliki kekuasaan untuk mengubah kepemilikan hak
seseorang, mengambil kebebasan warga negara, menolak tindakan sewenang-wenang
pemerintah terhadap masyarakat, memutuskan perceraian, memutuskan hukuman mati, dan
berbagai hal lainnya. Namun, putusan hakim terasa kurang lengkap jika hanya dipandang dari
perspektif positivisme hukum.
Tugas dan kewenangan hakim harus diterapkan secara seimbang dalam konteks
penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan kode etik, serta memperhatikan nilai-nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hakim
harus selalu berinteraksi dengan persepsi keadilan masyarakat, dengan mempertimbangkan
prinsip equality before the law. Kewenangan besar yang dimiliki hakim menuntut tanggung
jawab yang tinggi, sehingga pembukaan sidang pengadilan dengan frasa "Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" mengindikasikan bahwa kewajiban untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan harus dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada
semua manusia dan secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.1
Dalam konteks peran dan posisi hakim, profesionalisme menjadi salah satu aspek
yang sangat penting untuk dimiliki, sehingga seorang hakim dapat menjalankan tugas, fungsi,
dan wewenangnya dengan baik. Mengutip perkataan Roscoe Pound, “Tidak berjalannya
1
Ais Chatamarrasyid, “Pola Rekrutmen dan Pembinaan Karier Aparat Penegak Hukum yang Mendukung
Penegakan Hukum”, makalah seminar Reformasi Sistem Peradilan dalam Penegakan Hukum di Indonesia,
BPHN dengan Fak. Hukum Unsri dan Kantor Wilayah Dephukham Prov. Sumsel, Palembang, 3-4 April 2007,
hlm 1-2
penegakan hukum sebagaimana yang diharapkan lebih disebabkan karena factor sumber daya
manusia ketimbang factor hukum itu sendiri.”
Tugas pokok seorang hakim adalah membuat keputusan dalam setiap kasus atau
konflik yang diajukan padanya, menetapkan hubungan hukum, menilai nilai hukum perilaku,
dan menetapkan status hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus. Oleh karena itu,
untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan secara adil berdasarkan hukum yang berlaku,
hakim harus tetap mandiri dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, terutama saat membuat
keputusan.
Secara umum, putusan hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan yang berada pada
seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-
wenang pemerintah terhadap masyarakat, memerintahkan instansi penegak hukum lain untuk
memasukkan orang ke penjara, sampai dengan memerintahkan penghilangan hidup dari
seorang pelaku tindak pidana.2
Jika putusan hakim dapat merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat, maka tentu
akan dihargai dan bernilai kewibawaan. Ini juga merupakan sarana bagi masyarakat yang
mencari keadilan untuk memperoleh kebenaran dan keadilan. Sebelum memutuskan suatu
kasus, seorang hakim akan mempertimbangkan apakah keputusan tersebut akan adil dan
bermanfaat bagi manusia atau sebaliknya, akan membawa lebih banyak kerugian. Oleh
karena itu, diharapkan seorang hakim memiliki kecerdasan intelektual dan hati nurani yang
bersih.
2
H.Dudu Duswara Machmudin, Op. cit., hlm. 53
Putusan hakim akan dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan dan secara
hukum kepada konstitusi, aturan perundang-undangan, dan nilai-nilai hak asasi manusia.
Hakim bertugas untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, mengikuti hukum, undang-
undang, dan nilai-nilai keadilan yang berlaku dalam masyarakat.
Penegak hukum, terutama hakim, sering menjadi sorotan publik terutama terkait
dengan putusan-putusan kontroversial. Hal ini terjadi karena pertimbangan hukumnya
cenderung tidak diterima oleh kalangan luas hukum dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
hukum yang telah disepakati sebelumnya. Salah satu penyebabnya adalah adanya korupsi
dalam sistem peradilan yang dikenal sebagai mafia peradilan, di mana terdapat konspirasi dan
penyalahgunaan wewenang di antara aparat keadilan untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, penerapan standar etika dan kode etik seorang hakim perlu diperhatikan
dalam analisis netralitas. Keberlanjutan Pendidikan dan pelatihan etika juga dapat membantu
meningkatkan kesadaran hakim terhadap pentingnya netralitas dalam menjalankan tugas
peradilan.
Penting untuk diakui bahwa netralitas hakim bukanlah sesuatu yang statis. Oleh
karena itu, pembahasan harus mencakup rekomendasi dan strategi untuk memperkuat
netralitas haki, termasuk pengembangan mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang
efektif. Ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap system peradilan dan
meyakinkan bahwa keputusan hakim didasarkan pada hukum dan keadilan tanpa adanya
pengaruh yang tidak semestinya.
Menjadi hakim yang ideal tentu menjadi sebuah keniscayaan, ketika telah dinyatakan
lulus menjadi hakim setelah melewati tahapan yang telah dilalui dan terus berusaha untuk
menjadi hakim yang ideal dimata negara maupun agama. Menurut beberapa ulama klasik,
hakim atau kadi sebagai pelaksana hukum Allah SWT memiliki peran yang penting tetapi
juga membawa risiko besar. Beberapa hadis menekankan bahwa risiko tersebut tidak hanya
terjadi di dunia tetapi juga di akhirat. Di dunia, hakim berhadapan langsung dengan pihak-
pihak yang tidak puas dengan keputusannya. Sementara di akhirat, jika kecurangan terlihat
lebih jelas, hukumannya akan berada di neraka.
Dikutip dari Ensiklopedi Islam menurut Awaluddin, hakim ideal dalam pandangan
hukum Islam memiliki beberapa karakteristik:
1. Sebagai seorang Muslim, hakim wajib untuk selalu mengikuti ketentuan Allah SWT
yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, dan kesepakatan para
Sahabat Nabi dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim.
2. Hakim harus terus meningkatkan pengetahuannya dan profesionalisme dalam bidang
hukum. Ini tercermin dalam sifatnya yang jujur, amanah, menyebarluaskan
kebenaran, dan cerdas.
3. Kewibawaan hukum dan kepastian hukum merupakan hasil dari penegakan hukum
yang benar, adil, dan independen. Kewibawaan dan kepastian hukum tidak dapat
berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil dari penegakan hukum yang baik.
4. Jika hukum ditegakkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah
SAW dan para sahabatnya, maka kewibawaan dan kepastian hukum akan dapat
terwujud.
Dalam membangun kriteria hakim yang ideal juga disebutkan oleh Mukti Arto
sebagai berikut:
1. Mengubah pola pikir hakim dan pejabat pengadilan dari paradigma lama ke
paradigma baru. Misalnya:
Hakim sarjana fiqh menjadi sarjana Syariah
Hakim konservatif menjadi hakim progresif
Hakim jumud menjadi hakim mujtahid dan mujaddid
Pejabat pengadilan adalah penguasa menjadi pejabat pengadilan adalah
pemberi layanan hukum dan keadilan.
2. Menumbuhkan pola pikir hakim untuk membangun dan melaksakan: “Sostem
Peradilan Berbasis Perlindungan Hukum dan Keadilan” dengan berkiblat kepada
semangat proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
UUD Tahun 1945 dan khittah peradilan islam yang berlandaskan prinsip
maslahah.
3. Hakim harus mampu melakukan pembaruan hukum melalui putusan-putusannya
demi mewujudkan keadilan dalam setiap kasus yang dihadapi.
4. Hakim harus memiliki keberanian untuk menciptakan inovasi dalam ranah hukum
guna mencapai keadilan bagi para pencari keadilan.
5. Seorang hakim yang memeriksa suatu kasus harus memiliki pemahaman dan
melaksanakan tiga fungsi utama hakim di dalam persidangan:
Tugas utama seorang hakim adalah menerapkan hukum terhadap situasi yang timbul,
namun terkadang setelah hukum disahkan, hakim cenderung bersikap konservatif. Oleh
karena itu, diperlukan inovasi dan improvisasi dalam bidang hukum oleh hakim. Dengan
demikian, tugas hakim juga melibatkan menemukan hukum melalui interpretasi,
penyempurnaan, dan penciptaan hukum baru dengan menggali nilai-nilai hukum yang
berlaku dalam masyarakat.
Ketua Kamar Peradilan Agama pada tahun 2014, Dr. H. Andi Syamsu Alam, menyatakan
harapannya untuk masa depan Peradilan Agama yang lebih baik, di mana putusan-putusan
yang dihasilkan memiliki kualitas yang tinggi. Kualitas tersebut mencakup kejelasan,
sistematika, ketertiban, dan penyesuaian hukum Islam. Beliau juga menyoroti pentingnya
agar hakim Pengadilan Agama memiliki keberanian seperti Umar Bin Khattab. 3
3
Mukti Arto, “Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim”, 2015, hlm.1
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya tugas hakim adalah memberi keputusan dalam setiap perkara atau
konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai
hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara,
sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik secara imparsial berdasarkan
hukum yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak
manapun, terutama dalam mengambil keputusan.
Secara umum, putusan hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan yang berada pada
seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-
wenang pemerintah terhadap masyarakat, memerintahkan instansi penegak hukum lain untuk
memasukkan orang ke penjara, sampai dengan memerintahkan penghilangan hidup dari
seorang pelaku tindak pidana.4
Jika putusan hakim dapat merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat, maka tentu
akan dihargai dan bernilai kewibawaan. Hal tersebut juga merupakan sarana bagi masyarakat
pencari keadilan untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan. Seorang hakim sebelum
memutus suatu perkara, maka ia akan menanyakan kepada hati nuraninya sendiri, apakah
putusan ini nantinya akan adil dan bermanfaat (kemaslahatan) bagi manusia ataukah
sebaliknya, akan lebih banyak membawa kepada kemudharatan, sehingga untuk itulah
diharapkan seorang hakim mempunyai otak yang cerdas dan disertai hati nurani yang bersih.
Analisis netralitas hakim dalam menjalankan tugasnya adalah aspek kritis dalam
system peradilan. Netralitas ini mencerminkan kemampuan seorang hakim untuk
memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum dan bukti tanpa adanya pengaruh eksternal
atau bias pribadi. Dalam konteks ini, penting untuk menilai bagaimana keputusan hakim
mencerminkan objektivitas dan keadilan,serta menjaga integritas dalam system peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
4
H.Dudu Duswara Machmudin, Op. cit., hlm. 53
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,2007)
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Chandra
Pratama, 1993)
Ais Chatamarrasyid, “Pola Rekrutmen dan Pembinaan Karier Aparat Penegak Hukum yang
Mendukung Penegakan Hukum”, makalah seminar Reformasi Sistem Peradilan dalam
Penegakan Hukum di Indonesia, BPHN dengan Fak. Hukum Unsri dan Kantor Wilayah
Dephukham Prov. Sumsel, Palembang, 3-4 April 2007
H.Dudu Duswara Machmudin, Op. cit.,
Danang Widoyoko, et. Al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW, (Jakarta, 2008)
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Lembaga Hukum Fakultas Universitas Padjajaran, diedarkan oleh Penerbit Bina Cipta,
Bandung, 1986
Mukti Arto, “Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim”, 2015