Anda di halaman 1dari 92

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 338 KUHP PADA

KECELAKAAN LALU LINTAS


(STUDI KASUS PUTUSAN NO.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. TANGGAL 2 MEI 1995)

Pertimbangan Sosiologis dalam


Putusan Hakim
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara

yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata

“mengadili” sebagai rangakaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan

memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang

suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat

dan biaya ringan.

Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak

boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat

terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum

itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan

kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.


Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana

masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang

menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah

yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim

memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam

masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.

Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian

masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat

dengan nuansa koruptif dan kolutif.

Secara umum anggapan itu adalah sah – sah saja, setidaknya ada alasan dari

masyarakat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang

melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim. Oleh karena itu seorang hakim

dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis

(hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat

keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan

implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan

sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et

pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun

nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

ii
Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya

seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan

tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan.

Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim

yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara

Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa

Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan

bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan

adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim

yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus

mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang

Maha Adil.

Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang

pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu

perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh

pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan.

Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak

yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang

berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka

hadapi.

iii
Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan

kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan

peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan

peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis

dalam hukum adat. Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan

normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa

kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan

Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim

yang tidak mencerminkan rasa keadilan.

Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung

jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.

Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana

yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat

digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi

rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam

“pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim.

Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam

memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak

sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu

tidak benar dan tidak adil.

Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai

kemungkinan:

iv
1.      Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang

ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena

Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan

memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam

persidangan.

2.      Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya

karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan

faktor-faktor lain yang mempengaruhi independensi Hakim yang bersangkutan.

3.      Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum

yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan

dalam kurun waktu yang relatif singkat.

4.      Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga

berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan

faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas

putusan.

Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi

dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga

peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat

terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga

pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi

penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang

menciptakan ketidakadilan.

v
Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun

pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum

yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa

dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk

memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas

perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu

putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan

yang mencerminkan rasa keadilan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, penulis

ingin membahas serta menuangkan dalam bentuk Makalah dengan judul

“PERTIMBANGAN SOSIOLOGIS DALAM PUTUSAN HAKIM”

2. Rumusan Masalah

Adapun mengenai masalah dalam penulisan ini dengan mendasarkan pada

latar belakang yang terjadi, maka rumusan masalah dapat dirumuskan secara baku

sebagai berikut:

1.      Bagaimanakah dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh

hakim dalam memutus suatu perkara?

2.      Bagaimana sebuah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat memenuhi unsur

rasa keadilan bagi masyarakat?

3. Tujuan Penulisan

vi
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi

tujuan dari penulisan ini adalah:

Untuk mengetahui dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh

hakim dalam memutus suatu perkara.

BAB II

TINJAUAN UMUM

1.      Dasar Hukum


Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini tertuang dalam

pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; “Segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya”.

Sebagai upaya pemenuhan apa yang menjadi kehendak rakyat ini,

dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan

tujuan agar penegakan hukum di Negara ini dapat terpenuhi. Salah satu pasal

dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang berkaitan dengan masalah ini,

adalah pasal 3 ayat (2) berbunyi; “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan

hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila”.

Secara yuridis normatif, apa yang selama ini dijalankan oleh para hakim di

negara Republik Indonesia ini dan telah menjadi wacana diskusi baik di kalangan

para penegak hukum itu sendiri maupun oleh kalangan masyarakat pendamba

keadilan, sebab bukan rahasia lagi, bahwasanya harapan umumnya masyarakat

yang memasukkan perkaranya ke Pengadilan adalah untuk memperoleh keadilan.

vii
Tapi kenyataannya bukanlah keadilan yang diperoleh, melainkan sekedar

kepastian hukum secara normatif belaka.

Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk disimak sinyalemen yang

dikemukakan oleh Achmad Ali (1999;200) bahwa di kalangan praktisi hukum,

terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar

sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi

dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang

dalam kenyataannya justeru berbeda sama sekali, dengan penggunaan kajian

moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan cenderung dibebani

tanggung jawab yang teramat berat dan nyaris tak terwujudkan, misalnya yang

terkandung di dalam semboyan-semboyan yang sifatnya bombastis seperti;

pengadilan adalah the last resort bagi pencari keadilan, pengadilan adalah ujung

tombak keadilan dan seterusnya.

Sinyalemen ini dapat terjadi tidak lain oleh karena hakim-hakim yang ada

sekarang ini tidak mampu melepaskan diri dari belenggu normatif yang telah

berakar dalam sistem peradilan ini.

Achmad Ali (1999; 30) mengemukakan; di dunia peradilan pengaruh

pandangan positivis melahirkan aliran legis, di mana hakim hanya dipandang

sekedar sebagai terompet undang-undang sebagai bouche de la loi saja. 

Soerjono Soekanto (1997;20) mengungkapkan bahwa; Sosiologi hukum

merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris

menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya.

viii
Berdasarkan dengan pendapat tersebut, dipahami bahwa sosiologi hukum

adalah salah satu ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada kenyataan

sosial dengan mempergunakan sudut pandang hukum.

Bismar Siregar (1989; 33) mengatakan bahwa; seandainya terjadi dan akan

terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat

dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum

dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan.

Tentang kepastian hukum ini, menurut beliau KUHAP ternyata lebih

menitikberatkan kepada kepastian hukum, perlindungan hak terdakwa dari

penegakan keadilan itu. Selanjutnya, camkan pula apa yang dimaksud dengan

hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim lebih

peka terhadap perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat.

Singkatnya hakim tidak boleh terasing dari masyarakat.

Di sinilah persoalannya, karena dalam kenyataannya masih banyak kalangan

penegak hukum khususnya para hakim tidak peduli dengan apa yang terjadi di

lingkungannya, demikian pula dengan sikap mengabaikan hal-hal yang menjadi

adat kebiasaan masyarakat.

2.      Penegakan Hukum dan Penemuan Hukum


Menurut Soerjono Soekanto (1993; 5) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum itu, adalah sebagai berikut:
-          Faktor hukumnya sendiri.
-          Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
-          Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

ix
-          Faktor masyarakat, yakni  lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
-          Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Hakim sebagai penegak hukum menurut pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

No.4 Tahun 2004 bahwa; “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Dalam penjelasan pasal ini dikatakan; “ketentuan ini dimaksudkan agar

putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Jadi hakim

merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan

rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,

merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang

sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan. Dalam menegakkan hukum

ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu; kepastian hukum

(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit)

(Sudikno Mertokusumo, 1991; 134).

Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi

peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga

pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun

hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum.

Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu

x
yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya

kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban

masyarakat.

Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau

penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat Jangan

sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di

dalam masyarakat.

Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum hendaklah keadilan diperhatikan. Jadi dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum harus adil. Tetapi hukum tidak identik dengan keadilan.

Hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.

Contohnya bahwa barangsiapa yang mencuri harus dihukum, jadi setiap orang

yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Akan

tetapi sebaliknya keadilan itu bersifat subyektif, individualistis dan tidak

menyamaratakan. Seperti adil menurut Si Anton belum tentu adil menurut Si

Dono.

Di dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur

tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.

Meskipun dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara

proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut, namun harus berusaha ke arah

xi
itu, karena ketiga unsur itulah merupakan tujuan hukum yang akan ditegakkan

dalam masyarakat.

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum

oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang berwewenang untuk itu

yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum

yang konkrit. (Sudikno Mertokusumo, 1991; 136).

Proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat

umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka

menggunakan pembentukan hukum dari pada penemuan hukum, oleh karena

istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.

Namun harus diketahui bahwa dalam istilah pembentukan hukum oleh  hakim

sama saja kalau dikatakan penemuan hukum oleh hakim. Sedang pembentukan

hukum oleh suatu lembaga yang berwewenang itu disebut pembentukan hukum.

Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan

memutus suatu perkara, hakim ini dianggap mempunyai wibawa, begitu pula

ilmuwan hukum mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau hasil penemuan

hukum oleh hakim adalah hukum, sedang hasil penemuan hukum oleh ilmuwan

hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan

itu bukanlah hukum, namun di sini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh

karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya, itu

juga akan menjadi hukum.

Dalam rangka itu, sebagai upaya mengkaji putusan hakim dengan

mempergunakan optik sosiologi hukum, akan didasarkan pada pendapat beberapa

xii
pakar sosiologi hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alvin S.Johnson

(1994;10-11) yang mengutip pendapat Dean Rescoe Pound yang mengutarakan

bahwa; besar kemungkinan kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum

moderen adalah perubahan pandangan analitis ke fungsional. Sikap fungsional

menuntut supaya hakim, ahli hukum dan pengacara harus ingat adanya hubungan

antara hukum dan kenyataan sosial yang hidup, dan tetap memperhatikan hukum

yang hidup dan bergerak, sebab biang ketidakadilan adalah konsep-konsep

kekuasaan yang sewenang-wenang, sebagaimana yang dinyatakan oleh hakim

Benjamin Cardozo, ia melukiskan pembatasan logikanya berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang terjadi dalam proses pengadilan

dewasa ini. Keterangan yang dimaksudkan sebelumnya telah dilancarkan oleh

hakim O.W.Holmes, bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika,

melainkan pengalaman. Pengalaman nyata dari kehidupan sosial yang tidaklah

mungkin diabaikan dalam setiap proses Pengadilan, jika tidak menginginkan

proses tersebut sebagai permainan kata-kata. (Georges Gurvitch, 1996; 2).

Hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-

pandangan atau pikirannya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini

hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan fungsi

yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang

konkrit. Dalam hal ini hakim diharapkan mampu mengkaji hukum-hukum yang

hidup di dalam masyarakat. Karena terkadang peristiwa konkrit yang terjadi itu, 

tidak tertulis aturannya dalam peraturan perundang-undangan.

xiii
 Masyarakat mengharapkan bahwa hakim di dalam menjatuhkan putusan

hendaklah memenuhi tiga unsur tujuan hukum yaitu kepastian hukum,

kemanfaatan dan keadilan sebagaimana halnya pada penegakan hukum.

BAB III

PERTIMBANGAN SOSIOLOGIS DALAM PUTUSAN PENGADILAN

xiv
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur

yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan

di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai

unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan

folosofis (keadilan).

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan

sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/ peraturannya. Fiat justitia et

pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan (Lucius

Calpurnius Piso Caesoninus, 43 SM). Adapun nilai sosiologis menekankan

kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi

manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam

melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam

masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai

keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan

bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan

individualistis.

Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis harus

mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam

prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-

unsur tersebut. Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim

terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar

xv
antara sejauh mana pertimbangan unsur yuridis (kepastian hukum) dengan unsur

filosofis (keadilan) ditampung didalamnya.

Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi

terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum

akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi

memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa

kejam apabila dilaksanakan secara ketat.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan

hukum acara, yang mengatur sejak memeriksa dan memutus. Dan hasil

pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk

mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan

bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan, sehingga

ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/ menemukan fakta suatu

kasus merupakan factor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh

karena itu tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda

dengan putusan hakim.

Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam

memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan.

Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat masyarakat. Pendapat

masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam mempertimbangkan

suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan

sampai orang yang tidak bersalah dihukum karena disebabkan sikap tidak

profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula melepaskan

xvi
pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja

harus sesuai dengan keyakinan hakim yang professional dalam memutus sebuah

perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

1.      Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan


kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim
harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan
mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam
masyarakat.
2.      Tujuan hukum  adalah untuk mencapai kepada kepastian hukum dan kemanfaatan
hukum serta keadilan, baik  dalam rangka penegakan hukum maupun dalam
penemuan hukum. Kebebasan Hakim terutama di Indonesia masih hanya dalam
batas persidangan dalam memutus perkara.

2. Saran

1.      Penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada setiap
insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara meskipun telah mempunyai
polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa
keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan
Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Aparat hukum
terutama aparat Pengadilan khususnya hakim harus mengetahui bahwa putusan
Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh
pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan
sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa
mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang

xvii
mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang
diharapkan para pencari keadilan tersebut.
Diharapkan kepada para penegak hukum bahwa di dalam proses pembentukan
hukum dan proses penemuan hukum agar dapat mengkaji dan menggali nilai-nilai
hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar dapat tercapai tujuan hukum.

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh


Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret

Oleh:

SUDIBYO PINILIH
E1103155

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011

xviii
xix
xx
xxi
MOTTO

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila telah


selesai (dari suatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh –sungguh (urusan) yang
lain dan hanya kepada Allahlah hendaknya kamu berharap’’
(QS. Alam nasyrah : 6:8)

‘’orang-orang yang berhasil di dunnia ini adalah orang-orang yang


bangkit dan mencari mkeadaan yang mereka inginkan, dan jika tak
menemukannya, mereka akan membuatnya sendiri’’
(George Bernard Shaw)

‘’sSemangat dan kerinduan hati untuk terus mengekplorasi talenta kita


tidak akan pernah habis. Namun, entah sadar atau tidak ada saatnya kita
mencapai titik jenuh. Kita mempertanyakan makna setiap tetes keringat yang
telah kita curahkan, tetapi kehausan kita tidak akan pernah terpuasklan’’
(Ludovikus Ndona)

xxii
PERSEMBAHAN

Skripsi ini, Penulis persembahkan


Kepada:
1. Bapak dan Ibu tercinta atas do'a dan kasih
sayangnya.
2. Adikku Rizki dan Astri atas semangatnya
3. Sahabat-sahabatku Arif, daniel, anang atas
semangatnya
4. Almamater

xxiii
ABSTRAK
SUDIBYO PINILIH, 2011, TINJAUAN YURDIS TERHADAP
PENERAPAN PASAL 338 KUHP PADA KECELAKAAN LALU LINTAS
(STUDI KASUS PUTUSAN NO.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. TANGGAL 2
MEI 1995). FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA. 2011
Penelitian Hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai
proses pemeriksaan dan putusan pengadilan dalam hal ini Pengadilan Negeri
Jakarta Utara dalam perkara kecelakaan lalu lintas dengan terdakwa Ramses
Silitonga alias Ucok Sitompul.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hal-hal yang menjadi
tinjauan yuridis terhadap Penerapan Pasal 338 KUHP pada kecelakaan lalu lintas
(studi kasus Putusan N0.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995)
dengan terdakwa Ramses Silitonga alias Ucok Sitompul dan untuk mengetahui
pertimbangan hakim dalam memeriksa dan menerapkan pasal 338 KUHP pada
kecelakaan lalu lintas (studi kasus Putusan No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT.
Tanggal 2 Mei 1995) dengan terdakwa Ramses Silitonga alias Ucok Sitompul.
Berdasarkan Penelitian yang penulis lakukan, maka penulis menyimpulkan
bahwa Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Pasal 338 pada Kecelakaan Lalu
Lintas (studi kasus Putusan No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995)
dengan terdakwa Ramses Silitonga alias Ucok Sitompul adalah bahwa Pasal 338
KUHP mengandung unsur-unsur yang dapat dikaitkan dengan fakta-fakta yang
diperoleh selama persidangan, yaitu Unsur ke-tiga : Dengan sengaja, yaitu
kesengajaan sebagai kemungkinan, dimana si pelaku menyadari penuh tentang
kemungkinan yang mungkin akan terjadi sebagai akibat perbuatannya, maka oleh
karena itu terdakwa haras dinyatakan bersalah dan dipidana serta diancam dengan
pidana penjara oleh pasal 338 KUHP. Dasar Pertimbangan Hakim dalam
memeriksa dan menerapkan pasal 338 KUHP pada kecelakaan lalu lintas (studi
kasus Putusan N0.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995) dengan
terdakwa Ramses Silitonga alias Ucok Sitompul, pada pokoknya adalah Majelis
Hakim berpendapat bahwa terdakwa Ramses dalam mengemudi metro mini P-07

xxiv
sifat dan sikap gegabah terlalu memandang enteng apa yang mungkin akan terjadi.
Sifat dan sikap yang demikian itu menurut Majelis hakim menunjukan mudah dan
beraninya terdakwa Ramses menanggung resiko terhadap semua akibat yang
mungkin timbul karena perbuatannya, meskipun akibat tersebut tidak
dikehendaki, namun apabila akibat tersebut nyata-nyata terjadi dan ternyata dalam
perkara ini akibat tersebut benar-benar terjadi, maka terdakwa haras menanggung
resikonya. Dengan pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat
ajaran atau teori Kesengajaan sebagai Kemungkinan (dolus eventualis) dapat
diterapkan dalam kasus ini.

xxv
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis Panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,
berkah, serta karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga Penulis
mampu menyelesaikan tugas penulisan hukum dengan judul "TEIJAUAN
YURIDIS TERHADAP PENERAPAN PASAL 338 KUHP PADA
KECELAKAAN LALU LINTAS (STUDI KASUS PUTUSAN
NO.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. TANGGAL 2 MEI1995) ".
Penulisan Hukum ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-
syarat untuk memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Atas berbagai bantuan yang telah banyak membantu Penulis selama
melaksanakan studi sampai terselesaikannya penyusunan penulisan hukum ini,
maka pada kesempatan kali ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-
besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
2. Bapak R. Ginting, S. H, M. H, selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
3. Bapak Winarno Budyatmojo S.H, M. S, selaku Pembimbing Skripsi Penulis
yang telah membimbing Penulis dengan sabar dan penuh perhatian selama
Penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
4. Bapak Budi Setyanto, S.H, M. H selaku Pembimbing Skripsi Penulis yang
telah membimbing Penulis dengan sabar dan penuh perhatian selama Penulis
menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
5. Bapak Ismunarno, S.H, M. Hum, selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing Penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam
menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

xxvi
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk Penulis selama
Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
7. Seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret yang telah
banyak membantu segala kepentingan Penulis menempuh studi di Fakultas
Hukum UNS Surakarta.
8. Sahabat - sahabatku Arif, Daniel, Anang terima kasih untuk bantuan dan
semangatnya.
9. Untuk seseorang yang special dihatiku, terima kasih karena selalu ada
untukku.
10. Teman sepermainan dan seperjuangan magang di Badan Pertanahan
Karanganyar yang tidak bisa kusebutkan satu persatu yang telah membantu
penyusunan Penelitian Hukum ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penyusunan Penulisan Hukum ini.
Semoga Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat bagi sumbangan
pengetahuan dan pengembangan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan
pada umumnya. Dan semoga pihak-pihak yang telah membantu Penulisan Hukum
ini, atas amal baik mereka semoga mendapat pahala dari Allah SWT.

Surakarta, Oktober 2011

PENULIS

xxvii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN............................................................... iv
MOTTO................................................................................................... v
PERSEMBAHAN................................................................................... vi
ABSTRAK.............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR............................................................................. viii
DAFTARISI............................................................................................ x
BAB I : PENDAHULUAN`.............................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................ 1
B. Perumusan Masalah......................................................... 3
C. Tujuan Penelitian............................................................ 3
D. Manfaat Penelitian.......................................................... 4
E. Metode Penelitian............................................................ 5
F. Ruang Lingkup Pembahasan .......................................... 9
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 12
A. Kerangka Teori................................................................ 12
1. Tinjauan Umum Tentang Kesengajaan...................... 12
2. Tinjauan Umum Tentang Kealpaan............................ 21
B. Kerangka Pemikiran ...................................................... 25
BAB II : HASH, PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................. 28
A. HASH, PENELITIAN..................................................... 28
1. Kasus Posisi.................................................................... 27
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.................................... 31
3. Tuntutan Penuntut Umum............................................... 34
4. Putusan Hakim............................................................... 37
B. PEMBAHASAN............................................................. 37

xxviii
A. Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Pasal 338 KUHP
Pada Kecelakaan Lalu Lintas......................................... 37
B. Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Pasal 338
KUHP Pada Kecelakaan Lalu Lintas............................. 45
BABIV : PENUTUP............................................................................. 51
A. Kesimpulan..................................................................... 5
......................................................................................... 1
B. Saran............................................................................... 55
DAFTARPUSTAKA
LAMPIRAN

xxix
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG MASALAH


Dalam penuntutan atas tindak pidana atas kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan korban meninggal dunia biasanya diterapkannya pasal, 359
KUHP yaitu pasal yang karena kealpaannya atau kelalainnya atau kekurang
hati-hatinya menyebabkan orang lain meninggal dunia. Sesuai dengan pasal
359 KUHP diatur dengan ancaman hukuman paling lama 5 (lima) tahun
penjara. Dengan demikian putusan pengadilan tidak boleh melebihi dari
ancaman yang telah ditentukan pada pasal tersebut
Dalam kenyataannya kecelakaan tersebut mengakibatkan banyak
korban yang meninggal dunia seperti halnya kasus kecelakaan Metromini
yang lebih dikenal dengan peristiwa Metromini Maut dengan ancaman 5
(lima) tahun akan dirasakan ada ketidak adilan bagi masyarakat. Bus
Metromini yang penuh penumpang yang dikemudikan oleh Ramses Silitonga
alias Honas alias Ucok Sitompul secara ugal-ugalan dengan mengabaikan
keselamatan penumpang mengalami kecelakaan terperosok dan masuk ke
sungai Sunter Jakarta sehingga mengakibatkan 33 (tiga puluh tiga) orang
penumpang meninggal dunia dan 13 (tiga belas) orang luka-luka. Kalau
Pengemudi Metromini yang telah menjalankan busnya dengan cara tesebut
diajukan ke persidangan dengan dakwaan melakukan tindak pidana
sebagaimana diatur pasal 359 KUHP dengan ancaman paling lama 5 (lima)
tahun akan menimbulkan perasaan tidak adil bagi masyarakat. Masyarakat
menghendaki hal yang demikian dihukum tinggi, agar para pengemudi
kendaraan penumpang umum berhati-hati dan mengutamakan kj^lamatan
penumpang dalam mengemudikan kendaraannya, sehingga penumpang akan
sampai pada tujuan dengan selamat.
Untuk memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban berupa pidana
yang tinggi dalam kasus Metromini Maut tersebut Dalam kasus ini penegak
hukum senantiasa mengusahakan penjatuhan pidana yang tinggi. Untuk itu

1
2

para penegak hukum diruntut dapat mengisi kekosongan hukum sehingga rasa
keadilan sebagaimana yang diharapkan masyarakat berupa pidana yang tinggi
(lama) dapat dipenuhi. Kalau saja terhadap perkra-perkara pidana yang
demikian diterapkan pasal 359 KUHP sebagaimana yang dilakukan, maka bisa
menjadikan masyarakat apatis terhadap penegakan hukum. Tentunya hal
demikian tidak kita harapkan.
Untuk itu Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam kasus Metromini
Maut tersebut telah memutus dengan menyatakan Pengemudi Metromini yang
bernama Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pasal 338 KUHP,
salah satu pasal kesengajaan dengan ancaman maksimal 15 (lima belas) tahun,
yang selama ini tidak pernah dipakai oleh hakim dalam memutus perkara-
perkara pidana kecelakaan lalu lintas.
Fenomena inilah yang menarik bagi penulis untuk menyusunnya dalam
tulisan, karena hal tersebut menurut penulis merupakan tinjauan yuridis
terhadap penerapan pasal 338 KUHP pada kecelakaan lalu lintas.

II. RUMUSAN MASALAH


Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan
dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah yang menjadi tinjauan yuridis terhadap penerapan pasal 338
KUHP pada kecelakaan lalu lintas (studi kasus Putusan
No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995) ?
2. Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam penerapan pasal 338
KUHP pada kecelakaan lalu lintas (studi kasus Putusan
No.03/PID/B/1995/PNJKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995) ?
3

III.TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap penerapan pasal 338
KUHP pada kecelakaan lalu lintas (studi kasus
Putusan No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995).
b. Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penerapan pasal 338 KUHP pada kecelakaan lalu lintas (studi kasus
Putusan No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995).
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar strata satu
dalam bidang ilmu hukum.

b. Agar masyarakat mendapat informasi tentang bagaimana hukum


pidana di terapkan dalam praktek dan teori.
c. Untuk menambah wawasan dalam memperluas pemahaman akan arti
penting ilmu hukum pidana dalam praktek dan teori.

IV. MANFAAT PENELITIAN


Dalam setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dari penelitian, sebab besar kecilnya manfaat
penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang
menjadi manfaat dari penelitian ini dibedakan antara manfaat teoritis dan
manfaat praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
b. Dapat memberikan sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan
bidang ilmu hukum.
c. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
pengetahuan hukum pidana, teori kesengajaan dan teori kealpaan.
4

d. Sebagai bahan untuk mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya.


2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan
dalam penelitian ini.
b. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk
mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh.
c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
yang terkait dengan masalah penelitian ini.

V. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini
termasuk ke dalam kategori penelitian normatif atau penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun
penulisan hukum, maka akan dipergunakan metode penelitian deskriptif.
Adapun pengertian penelitian deskriptif yaitu penelitian untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atas
hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori
lama atau dalam penyusunan teori-teori baru ( Soerjono Soekanto, 1984 : 2
). Berdasarkan pengertian diatas, metode penelitian ini dimaksudkan untuk
menggambarkan dan menguraikan tentang tinjauan yuridis terhadap
5

penerapan pasal 338 pada kecelakaan lalu lintas (studi


kasusPutusanNo.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal2Mei 1995)
3. Jenis Data Hukum
Jenis data hukum yang digunakan adalah data hukum sekunder,
meliputi data yang diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan / melalui
literatur-literatur, himpunan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
hasil penelitian yang berwujud laporan, maupun bentuk-bentuk lain yang
berkaitan dengan penelitian.
4. Sumber Data Hukum
Berkaitan dengan data yang digunakan, maka sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sumber bahan data sekunder, yang
terdiri dar i:
a. Sumber Data Primer yang berupa:
(1) KUHP
(2) KUHAP
(3) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor :
03/Pid/B/1995/PN. JKT.UT
b. Bahan Data sekunder
Bahan Data sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan sumber data primer dan dapat membantu
menganalisis serta memahami sumber data primer, berupa buku-buku
penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penulisan
hukum ini adalah studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data
dengan cara mengkaji dan mempelajari bahan-bahan tertulis yang berupa
bahan-bahan dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, buku-buku
kepustakaan, dan lain-lain yang ada hubungannya dengan masalah yang
diteliti.
6

6. Teknik Analisis Data


Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya yang digunakan
adalah teknik analisis data. Tahap ini dilakukan untuk mencapai tujuan
dari penelitian yaitu untuk jawaban dari penelitian yang diteliti. Teknik
analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, adalah
dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian
menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya
menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Analisis data merapakan
langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu
laporan.
Menurut H.B Sutopo ada tiga komponen irtama yang menjadi
dasar dari tahap analisis data kualitatif. Tiga tahap tersebut adalah:
a. ReduksiData
Merapakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan data
yaitu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat
fokus, membuang hal-hal yang tidak pentingyang muncul dari Catalan
tertulis dilapangan. Proses ini berlangsung terus sampai laporan akhir
penelitian selesai ditulis.
b. Penyajian Data
Alur penting yang kedua ini adalah sekumpulan informasi
tersusun dalam suatu kesatuan bentuk yang disederhanakan, selektif
dalam konfigurasi yang mudah dipakai sehingga memberi
kemungkinan adanya pengambilan kesimpulan.
c. Penarikan Kesimpulan
Pada awal pengumpulan data, penulis haras sudah memahami
arti dari berbagai hal yang meliputi segala hal yang ditemui dengan
melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan,
konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, akhirnya penulis
menarik kesimpulan (Soerjono Soekanto, 1986 :250).
7

Gambaran teknik analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

Pengumpulan Data

Reduksi Data Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan
Gambar 1. Teknik Analisis Data Kualitatif

VI. RUANGLINGKUPPEMBAHASAN
Di dalam penulisan ini, untuk mempermudah penyajian dan
pemahamam kandungan skripsi ini, penulis akan membatasi ruang lingkup
bahasan hanya terbatas tentang Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
dalam perkara Metromini Maut dengan Terdakwa Ramses Silitonga alias
Honas alias Ucok Sitompul, dengan putusan nomor :
03/PD/B/1995/PN.JKT.UT, tanggal 2 Mei 1995.

VII. SISTEMATIKA PENULISAN


Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai
sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan
hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan
hukum ini, maka peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan
hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-
sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai
seluruh isi penulisan hukum ini.
8

Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:


BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menguraikan tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, sistematika penulisan hukum itu sendiri.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


Pada bab ini diuraikan tentang kerangka teori yang berisi
tinjauan kepustakaan yang menjadi literatur pendukung dalam
pembahasan masalah penulisan hukum ini. Tinjuan pustaka dalam
penulisan ini meliputi : Tinjauan Umum Tentang Kesengajaan,
Tinjauan Umum Tentang Kealpaan.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Pada bab ini diuraikan mengenai hasil Apakah yang
menjadi tinjauan yurudis terhadap penerapan pasal 338 KUHP
pada kecelakaan lalu lintas pada Purusan
No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995 tersebut, dan
apa yang menjadi pertimbangan hakim. Diuraikan pula mengenai
pembahasan yang dilakukan terhadap teori yang diperoleh dari
hasil penelitian kemudian dianalisis dengan kajian pustaka,
rumusan masalah dan tujuan penelitian.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini diuraikan tentang pokok-pokok yang menjadi
kesimpulan dan saran dari penelitian ini, yang tentu saja
berpedoman pada hasil penelitian dan pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Kesengajaan
a. Pengaturan dan Pengertian Kesengajaan
Pengertian tentang kesengajaan tidak terdapat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Negara Indonesia. Pengertian
Kesengajaan harus dicari dalam buku-buku karangan Ahli Hukum
Pidana (doktrin) dan Memorie Penjelasan WetBoek van Strafrecht.
Pertama-tama pengertian dengan sengaja dicantum dalam Memorie
van Toelichting (MvT) tahun 1981. Di dalam Memorie Van
Toelichting (MtV) tersebut disebutkan antara lain "kesengajaan" ialah
kemauan untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh
undang-undang. Definisi kesengajaan menurut Pasal 11 Crimineel
Wetboek van Nederland pada tahun 1881, beranggapan bahwa
pengertian kesengajaan sudah jelas berlaku bagi setiap orang. Oleh
sebab itu dengan sendirinya definisi sengaja itu tidak lagi dimasukkan
didalam Wetboek van Strafrecht van Nederlandsch Indie. Bahwa
Wetboek van Strafrech van Nederlanch Indie tersebut kemudian
dengan sedikit perubahan dan tambahan menjadi Kitab Undang-
undang Hukum Pidana Indonesia. Dengan demikian pengertian
kesengajaan tidak termuat dalam kitab Undang-undang hukum Pidana
(KUHP) Negara kita Republik Indonesia (Zainal Abidin Farid,
1995:269).
Bahwa penjelasan tentang kesengajaan (opzef) sebagaimana
tersebut di atas, dikemukakan oleh Menteri Nederland Mr. Modderman
yang mencantumkan dalam Memorie van Toelichting, yaitu : Risalah
Penjelasan Wetboek van Strafrecht yang tersebar dalam beberapa pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengartikan dengan

9
10

sengaja (olmerck) adalah sama dengan Willens en Wetens yaitu


menghendaki dan mengetahui. Artinya adalah orang yang melakukan
tindak pidana tersebut menghendaki (willens) dan mengetahui (witens)
atas apa yang dilakukannya itu (A, Zainal Abidin Farid, 1995:269).
Van Bemmelen menyatakan:
"bahwa orang tidak boleh terpaku mati pada pengertian yuridis
yang disampaikan oleh Mr. Modderman sebagai disebut diatas
tentang Willens en Wetens (menghendaki dan mengetahui),
karena hal ini akan mempersulit orang untuk membuktikan bila
seseorang tersebut telah menghendaki dan mengetahui atas
tindak pidana yang telah dilakukan".Di depan persidangan
kadang-kadang Terdakwa tidak mungkin mengingat betul
kejadian pada saat ia melakukan delik. Terdakwa kadang-
kadang tidak dapat menerangkan apa yang telah dilakukan
tersebut dengan jelas. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-
faktor yang menyebabkan ia tidak lagi mampu mengingat
benar-benar kejadian secara lengkap, dan oleh karena itu
keterangan Terdakwa tentang apa yang menggerakannya untuk
berbuat pidana tersebut mempunyai nilai yang sangat terbatas.
Keterangan paling tinggi yang didapatkan hanya berupa
konstruksi hukum dari hasil persidangan. Dengan demikian
menurut van Bemellen sengaja berbuat sebenamya hanya dapat
diartikan dengan sadar akan tujuan. Artinya bila pelaku dengan
sadar akan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tindak
pidana itu. Bahkan hal demikian saja, mungkin dengan sadar
dan tujuan tersebut masih berlebihan, sehingga van Bemmelen
berpendapat sengaja adalah berbuat yang diarahkan ke tujuan.
Bilamana orang berpegang pada pengertian berbuat yang
diarahkan ke tujuan, maka kesengajaan juga telah ada pada
seseorang jika ia tidak cukup mengetahui atau menghendaki
sesuatu yang tidak dapat terwujud (A, Zainal Abidin Farid,
1995:270).

Sebagai contoh misalnya : A menembak B dengan maksud


membunuhnya yaitu A dapat membayangkan kematian B sebagai
akibat tembakannya secara aktif mengingini atau menghendaki akibat
itu. Dengan demikian si A sebagai pelaku menghendaki dan
mengetahui sesuatu yaitu matinya si B.
Mengenai MvT tersebut Prof. Satochid Kartanegara
mengutarakan pendapatnya mengenai MvT adalah apabila
seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja
11

tersebut harus menghendaki (willens) perbuatan itu, serta harus


menginsyafi atau mengerti (yvetens) akibat yang ditimbulkan
dari perbuatan itu (Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek,
Hukum Pidana, 2005:13).

Namun ada beberapa pakar yang merumuskan de willens


adalah sebagai keinginan, kemauan atau kehendak atas perbuatan yang
dilarang maupun akibat yang harus dilakukan.
Dengan demikian, selama seseorang melakukan tindak pidana
berupa suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang maupun
tidak melakukan perbuatan sebagaimana diperintahkan oleh undang-
undang tersebut pelaku karena adanya keinginan, kemauan atau
kehendak, maka dia telah terbukti melakukan perbuatan tersebut
dengan sengaja.
Secara umum ada beberapa pengertian kesengajaran (dolus)
yang didasarkan pada teori kesengajaan yaitu antara lain:
1) Teori Kehendak (wilstheorie).
Teori ini mengajarkan "sengaja" apabila perbuatan
pidana itu memang dikehendaki dan disadari akibatnya oleh si
pelaku.. Teori ini diajarkan oleh von Hippie, guru besar di
Gottingen, Jerman, yang berpendapat bahwa Vorsatz
(kesengajaan) adalah kehendak untuk melakukan suatu
perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat karena
perbuatannya itu, seperti yang dirumuskan didalam undang-
undang pidana. Suatu akibat dikehendaki jika akibat itu lahir
dari perbuatan yang betul-betul dikehendaki. (Moeljatno,
2008:186) mengambil rumusan Pompe sebagai kehendak yang
diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan
di dalam undang-undang pidana. Yang menyetujui teori ini ialah
Vos (Utrecht, 1960:303) yang berpendapat bahwa M.v.T
menganut teori ini yang menggunakan istilah willens en wetens,
yaitu menghendaki dan mengetahui. Jonkers juga menganut
teori ini yang menyatakan bahwa kehendaklah yang merupakan
12

hakikat kesengajaan. Untuk perbuatan, yaitu gerakan otot teori


kehendak tidak menemukan kesulitan. Diakuinya bahwa untuk
akibat dan, keadaan yang menyertai perbuatan, misalnya bahwa
barang yang diambil haras dengan maksud untuk dimiliki
dengan melawan hukum (pasal 362 KUHP), penentuan adanya
kehendak itu agak sukar. Itulah sebabnya sebagian sarjana
hukum pidana berpendapat bahwa akibat dan keadaan yang
menyertai perbuatan tidak mungkin dikehendaki, tetapi hanya
dapat dibayangkan kemungkinan akan terwujudnya, maka
lahirlah teori membayangkan. Menurut Jonkers bahwa
kehendaklah yang mendominir kesengajaan, dan bahwa hal itu
berlaku untuk perbuatan (materieel opzef), oleh karena bukanlah
bayangan yang menyebabkan orang berbuat, tetapi kehendak
(will). Diakui oleh jonkers bahwa mungkin saja tembakan tidak
mengenai sasaran tetapi tidak berarti bahwa akibat yang tidak
terwujud itu tidak dikehendaki. la tetap dikehendaki, dan kalau
akibat tidak terwujud, maka pembuat delik masih dapat dipidana
melakukan percobaan untuk menghilagkan nyawa orang lain.
Akibat yang tidak terwujud itu disebabkan oleh keadaan diluar
kehendak penembak (J.E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia
Belanda. Tim Penerjemah Bina Aksara. PT Bina Aksara,
Jakarta, 1987).
Contohnya : A berniat membunuh B. Kemudian setelah
bertemu A, A langsung menodongkan dan menembakkan
pistolnya ke arah B, sehingga pelura mengenai B dan akibatnya
B meninggal.
2) Teori Membayangkan (Voorstellings Theorie)
Teori ini mengajarkan bahwa manusia tidak mungkin
dapat menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat
mengingini, mengharapkan atau membayangkan (voorstetteri)
kemungkinan adanya suatu akibat adalah "sengaja" apabila suatu
akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan yang dibayangkan
sebagai maksud dari tindakan itu..Oleh karena itu, tindakan yang
13

bersangkutan pasti dilakukan sesuai dengan bayangan yang


terlebih dahulu telah dibuatnya (ada dalam angan-angannya)
(Leden Marpaung, 2005:14).

Teori kehendak yang diajarkan oleh von Hippie pada


1903 tersebut pada tahun 1907 ditentang oleh Frank guru besar
di Tubingen dalam bukunya yang berjudul Ueber den Au/bau
des Schuldbegriffs. Menurut Frank, berdasarkan alasan
psikologis, adalah tidak mungkin suatu akibat dapat
dikehendaki. Yang dapat dikehendaki ialah perbuatannya
sedangkan sifat hanya dapat diingini, diharapkan dan
dibayangakan kemungkinan akan terwujudnya.
Menurut Frank istilah 'dengan mengetahui' sebenarnya
kurang tepat, karena dalam menterjemahkan bahasa belanda
weten. lebih tepat digunakan istilah 'dengan membayangkan',
dan kata wet lebih baik diganti dengan bahasa Indonesia
undang-undang atau perundang-undangan (Zainal Abidin Farid,
1995:284).
Pompe menjelaskan bahwa perbedaan teori kehendak dan
teori membayangkan tidaklah terletak pada kesengajaan untuk
melakukan perbuatan positif atau negatif (aktif atau pasif), tetapi
hanya terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lain delik
itu (sepanjang mengenai hal-hal yang diliputi oleh kesengajaan
itu), yaitu akibat dan keadaan yang menyertai perbuatan itu (Zainal
Abidin Farid, 1995:284).

Van Hattum tidak sependapat dengan pengertian


kesengajaan sebagai diuraikan diatas. Menurut van Hattum bahwa
willens tidak sama dengan weten. Oleh karena itu maka -willens en
wetens tidak sama dengan opzet (sengaja), dengan kata lain
pendapat yang terdapat di dalam MvT tidak benar. Seseorang yang
hendak atau mau (willen) berbuat suatu tindakan, belum tentu
menghendaki akibat perbuatan yang pada akhirnya benar-benar
ditimbulkannya oleh perbuatannya, opzet (sengaja) secara ihnu
bahasa hanya berarti oogmerk (maksud), dalam arti tujuan dan
14

kehendak menurut istilah undang-undang, opzettelijik (dengan


sengaja) diganti dengan willens en wetens ( mengehendaki dan
mengetahui) (Abidin dan Andi Hamzah, 2010:143)
Contohnya: A membayangkan kematian musuhnya, yaitu
B, supaya dapat merealisasi bayangan tadi, maka A membeli suatu
pistol dan mengarahkan pistol tersebut kepada B sehingga B jatuh
tertembak mati.
Tidak boleh dikatakan bahwa A menghendaki kematian B.
A hanya mempunyai suatu bayangan (keinginan) tentang kematian
B, bedasarkan alasan psikologis, maka tidak mungkinlah A
menghendaki kematian B. Yang hanya dapat dikehendaki ialah
suatu tindakan yang (mungkin) menyebabkan kematian B.
Tindakan itu adalah perbuatan menembak mati. Kematian B pada
waktu A merencanakan tindakannya barulah suatu bayangan
(voorstelling) saja.
Apa yang diketahui seseorang belum tentu juga
dikehendaki olehnya dan lagi pula kehendak merapakan
arah,maksud atau tujuan yang berhubungan dengan motif (alasan
pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan.
konsekuensinya ialah bahwa sangat sukar untuk menentukan
apakah suatu perbuatan dikehendaki oleh pembuat delik sebab
menurut Moeljatno bahwa:
a) Haras dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya
untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai.
b) Antara motif, perbuatan dan tujuan haras ada hubungan kausal
dalam batin terdakwa.
Kesimpulan Moeljatno, ialah bahwa memakai teori
kehendak tidak mudah, dan memakan waktu dan tenaga. Lain
halnya jikalau dipakai teori bayangan, maka pembuktiannya lebih
mudah, karena hanya berhubungan dengan unsur-unsur perbuatan
yang dilakukan saja, dan tidak ada hubungannya kausal antara
15

motif dengan perbuatan. Terhadap perkara-perkara yang penting


diusahakan membuktikan adanya hubungan kausal batin tersebut,
sedangakan untuk perkara lain dipilih jalan apa saja yang lebih
mudah sehingga bersifat praktis (Moeljatno, 2008 : 187).

b. Bentuk - bentuk Kesengajaan (Opzet Or Intention)


Secara umum, para pakar hukum pidana telah menerima
adanya 3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yakni:
a) Kesengajaan sebagai bentuk maksud (opzet ah oogmerk)',
b) Kesengajaan dengan keinsafan pasti, keharusan (opzet
als zekerheidsbewustzjin);
c) Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).
Ad. a). Kesengajaan sebagai Maksud
Agar dibedakan antara "maksud" (oogmerk) dengan "motif.
Sehari-hari, motif diidentikkan dengan tujuan. Agar tidak timbul
keragu-raguan, diberikan contoh sebagai berikut.
A bermaksud membunuh B yang menyebabkan ayahnya
meninggal. A menembak B dan B meninggal.
Pada contoh di atas, dorongan untuk membalas kematian
ayahnya disebut dengan motif. Adapun "maksud", adalah kehendak A
untuk melakukan perbuatan atau mencapai akibat yang menjadi pokok
alasan diadakannya ancaman hukuman pidana, dalam hal ini
menghilangkan nyawa B. Sengaja sebagai maksud menurut MvT
adalah dikehendaki dan dimengerti.
Ad. b). Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti
Si pelaku mengetahui pasti atau yakin bener bahwa selain
akibat dimaksud. akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku menyadari
bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul akibat lain.
Prof. Satochid Kartanegara, memberi contoh sebagai berikut: A
berkehendak untuk membunuh B. dengan membawa senjata api, A
menuju rumah B. akan tetapi, ternyata setelah sampai di rumah B, C
berdiri di depan B. Disebabkan rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C
16

yg berdiri di depan B, A toh melepaskan tembakan. Peluru yang


ditembakkan oleh A pertama-tama mengenai C dan kemudian B,
hingga C dan B mati. Dalam hal ini, opzet A terhadap B adalah
kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), sedangkan terhadap C adalah
kesengajaan dengan keinsafan pasti (Leden Marpaung, 2005 :17).

Ad. c). Kesengajaan dengan Keinsafan Kemungkinan (Dolus


Eventualis)
Kesengajaan ini juga disebut "kesengajaan dengan kesadaran
kemungkinan", bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan
untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku
menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang
dan diancam oleh undang-undang (Leden Marpaung, 2005 : 18).
Prof. Bemmelen menjelaskan pendapat Prof. Pompe sebagai berikut.
"Yang dinamakan dolus eventualis adalah kesengajaan
bersyarat yang bertolak dari kemungkinan. Artinya, tidak pernah lebih
banyak dikehendaki dan diketahui daripada kemungkinan itu.
Seseorang yang menghendaki kemungkinan matinya orang lain, tidak
dapat dikatakan bahwa dia menghendaki supaya orang itu mati. Tetapi,
jika seseorang melakukan suatu perbuatan dengan kesadaran bahwa
perbuatannya akan dapat menyebabkan matinya orang lain. Hal itu
menunjukan bahwa ia memang menghendaki kematian orang itu
(Leden Marpaung, 2005 : 18).

Lamintang menjelaskan dolus eventualis sebagai berikut. "Pelaku yang


bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatannya untuk
menimbulkan suatu akibat yang dilarang oelh undang-undang telah
menyadari kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat
yang memang ia kehendaki. Jadi, jika kemungkinanyang ia sadari itu
kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia dikatakan
mempunyai suatu kesengajaan (Leden Marpaung, 2005 :18).

Contoh Klasik dalam hal dolus eventualis adalah kasus kue tar
dikota Hoorn, dengan kejadian sebagai berikut:
A hendak membalas dendam terhadap B yang berdiam di Hoorn; A
mengirim pada B sebuah kue tar beracun dengan maksud
membunuhnya. la tahu bahwa selain B, juga tinggal isteri B
dirumah B. A memikirkan adanya kemungkinan bahwa isteri B
yang tidak bersalah akan memakan kue tar tersebut. Walaupun
17

demikian, ia toh mengirimkannya. Perkara tersebut diadili oleh


Hof. Amsterdam dengan putusan tanggal 9 Maret 1911.
Dari uraian tersebut, dolus eventualis bertitik tolak dari
kesadaran akan kemungkinan. Artinya, si pelaku sadar akan
kemungkinan tersebut, misalnya: A akan membunuh si B. Setelah
bertemua kemudian A mengarahkan dan menembakkan pestolnya kea
rah B. Namun dibalik B ada si C yang berdiri sejajar searah dengan B.
Seandainya tembakkan A tersebut tidak mkengenai sasarannya (B),
namun justru mengenai C, maka A telah menembak C dengan sengaja,
karena semestinya A menembaknya telah dapat membayangkan
kemungkinan C akan kena tembakan itu karena posisi yang demikian
dengan B.

2. Tinjauan Umum Tentang Kealpaan


a. Pengertian Kealpaan
Dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) kita
pelaku tindak pidana yang biasa dijatuhi pidana bukan saja tindak
pidana yang dilakukan dengan sengaja, tetapi tindak pidana yang
terjadi karena kealpaan atau karena kelalaian atau kekurang hati-hatian
dapat juga dijatuhi pidana.
Berbeda dengan kesengajaan, kealpaan atau eror atau dwaling
adalah perbuatan pidana yang terjadinya yang tidak dikehendaki oleh
pelaku tetapi terjadi akibat dari kekurang hati-hatian dari si pelaku,
dalam hal ini pelaku dalam melakukan tindak pidana itu
diperbandingkan dengan manusia normal sebagai ukurannya, ia tidak
usah berhati-hati sebagaimana seseorang yang sangat berhati-hati akan
tetapi ia harus memperhatikan sifat berhati-hati seperti yang diterima
oleh umum. Mengenai bukti dari kesalahan di persidangan arti sangat
kurang berhati-hati dapat disimpulkan dari keadaan. Jika sipelaku
melakukan suatu tindakan yang menurut norma objektif dianggap
sebagai gegabah dan kurang berhati-hati maka hakim tidak akan
18

menghiraukan apakah sipelaku itu menyadari, bahwa ia telah bertindak


kurang berhati-hati. Sebaliknya, jika pelaku tindak pidana yang jelas
diakibatkan karena gegabah atau kurang berhati-hati atau bahkan sama
sekali tidak menyadari kegegabahan atau kekurang hati-hatiannya
hakim akan mengabaikannya. Sebagai contoh Putusan H.R tanggal 4
Desember 1939, N.Y.I940 No. 272 memutuskan sebagai berikut:
Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa terdakwa sebagai pengemudi
bus, pada tanggal 27 September 1938 di Haastrecht, dijalan raya umum
telah mengemudikan busnya dengan sangat gegabah, tidak berhati-hati
dan sangat lengah sehingga terjadi tabrakan dengan bus lain, dari
tabrakan itu, mengakibatkan penumpang kedua bus mendapat luka-
luka.
Dalam tuntutan tidak satu perkataan pun yang menerangkan
dimana letak kekurang hati-hatian sipelaku, akan tetapi berdasarkan
bukti di pengadilan Rotterdam sekaligus mengatakan bahwa terdakwa
telah mengemudikan busnya dengan kurang berhati-hati sehingga ia
tidak cukup memperhatikan bus yang berada didepannya.
Sesungguhnya terdakwa tidak melihat pengemudi bus yang sedang
dilewatinya dengan tiba-tiba mengerem kendaraannya karena ada bus
lain yang datang dari arah yang berlawanan. Jika terdakwa pada waktu
itu waspada ia tidak perlu mengerem busnya begitu kuat sehingga roda
belakangnnya tertahan dan busnya tergelincir sehingga bertabrakan
dengan bus yang datang dari arah yang berlawanan. Dalam kasus
diatas H.R menyatakan terdakwa bahwa kekurang hati-hatiannya
berupa pengereman secara kuat sewaktu akan mendahului trem
sehingga roda belakang tertahan dan busnya tergelincir sehingga
bertabrakan dengan bus yang datang dari arah yang berlawanan.
Menurut doktrin, schuld yang sering diterjemahkan dengan
"kesalahan" terdiri atas:
a) Kesengajaan, dan
b) Kealpaan.
19

Kedua hal tersebut dibedakan, "kesengajaan" adalah


dikehendaki, sedangkan "kealpaan" adalah tidak dikehendaki.
Umumnya para pakar sependapat bahwa "kealpaan" adalah suatu
bentuk kesalahan yang lebih ringan dari "kesengajaan". Itulah
sebabnya, sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma
pidana yang dilakukan dengan "kealpaan", lebih ringan.
Prof. Satochid Kertanegara menjelaskan "kealpaan" digunakan
sebagai kriteria untuk.menentukan orang yang bertindak hati-hati.
"Akan tetapi, kapankah dapat dikatakan bahwa seseorang telah berbuat
kurang hati-hati?
a) Pertama-tama untuk menentukan apakah seseorang "hati-hati',
harus digunakan kriteria yang ditentukan tadi, yaitu menentukan
apakah setiap orang yang tergolong si pelaku tadi, dalam hal yang
sama akan berbuat lain? untuk dapat menentukan hal itu, haras
digunakan ukuran, yaitu pikiran dankekuatan dan orang itu.,,
Dalam pada itu, untuk orang desa misalnya, harus
digunakan ukuran orang desa, tidak digunakan ukuran orang kota,
misalnya saja mengenai lalu lintas.
Dengan ukuran tadi, apabila setiap orang yang termasuk
segolongan dengan si pelaku akan berbuat lain, si pelaku dapat
dikatakan telat berbuat lalai atau culpa.
b) Di samping itu, dapat digunakan ukuran sebagai berikut.
Dalam hal ini, diambil orang yang terpandai yang termasuk
golongan si pelaku. Lalu, ditinjau apakah ia berbuat lain atau tidak.
Dalam hal ini, syaratnya lebih berat, dan jika orang yang terpandai
itu berbuat lain, dikatakan bahwa si pelaku telah berbuat lalai atau
culpa.
Dapatlah disimpulkan, bahwa menurat Prof. Satochid
Kertanegara, kealpaan atau kelalaian terdapat pada seorang
pembuat delik culpa, bila ia berbuat lain dibandingkan dengan
pembuat delik (Leden Marpaung, 2005 : 26)

b. Bentuk-bentuk Kealpaan (Culpa)


Pada Umumnya, kealpaan (culpa) dibedakan atas:
1) Kealpaan dengan kesadaran. Dalam hal ini, si pelaku telah dapat
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat bila dia
telah berbuat dengan tidak berhati-hati, sehingga, walaupun ia telah
berusaha untuk mencegah atau menghindarinya, tetap timbul juga
akibat tersebut.
20

2) Kealpaan tanpa kesadaran. Dalam hal ini, si pelaku tidak


membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia tidak
dapat memperhitungkan akibat yang ditimbulkan bila.sesuatu terjadi
akibat perbuatannya.
Selain dari bentuk kealpaan tersebut, ada juga pakar yang
membedakan kealpaan sebagai berikut.
a) Kealpaan yang dilakukan secara mencolok, yang disebut dengan culpa
lota.
b) Kealpaan yang dilakukan secara ringan, yang disebut dengan culpa
levis.

B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan suatu bentuk konsep atau alur dari
suatu penelitian yang didasarkan pada permasalahan yang diteliti yang
diharapkan dapat mengarah pada suatu hipotesis atau jawaban sehingga dapat
tercapai paparan permasalahan dan solusi serta hasil penelitian seperti yang
diharapkan. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
. PUTUSAN
No:03/PID/B/1995/PN.JKT.UT

Kecelakaan Lalu Lintas

Sengaja Merampas
Nyawa orang lain
(Pasal338KUHP

tinjauan yurudis terhadap pertimbangan hakim dalam


penerapan pasal 338 penerapan pasal 338 KUHP
BaganI
21

Keterangan Kerangka Pemikiran:


Dengan kerangka pemikiran yang telah penulis gambarkan, penulis
mengkaji putusan yang dimulai dari melihat perkaranya. Dalam putusan ini
membahas perkara kecelakaan lalu lintas yang biasanya dikenakan Pasal 359
KUHP. Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak
diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan atau kerusakan
kendaraan dan/atau barang (Pasal 273 ayat (3) Undang-Undang R.I Nomor 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Seperti yang terdapat
dalam kasus ini, kasus kecelakaan lalu lintas yang salah satunya adalah
seorang supir metro mini yang bernama Ramses Silitonga.
Di dalam kecelakaan lalu lintas hakim biasa memidana terdakwa
dengan Pasal 359 KUHP yaitu : "Barangsiapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun". Tetapi
dalam kasus ini terdakwa Ramses Silitonga telah diputus oleh hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Utara No.03/PID/B/1995/PNJKT.UT melakukan
Pembunuhan, sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP yaitu, "Barangsiapa
dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan penjara paling lama lima belas tahun".
Berdasarkan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara
No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT, maka penulis ingin mengetahui tentang
tinjauan yuridis dari putusan hakim dalam penerapan pasal 338 terhadap
kecelakaan lalu lintas tersebut.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN
1. KASUSPOSISI
Ramses Silitonga-alias Honas alias Ucok Sitompul, pada tahun
1979 pergi dari kampung halamannya menuju ke Jakarta untuk mencari
kehidupan dikota Metropolitan.
Modal yang dimiliki Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok
Sitompul berupa profesi sebagai sopir truck dengan SIM B.I. Setelah
hidup di Jakarta kemudian pada tahun 1984 ia bekerja sebagai sopir
Kendaraan Penumpang Umum "Metro Mini" dengan izin mengemudi
berupa SIM B.I.Umum.
Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul telah menekuni
pekerjaan sebagai Sopir Metro Mini sejak 1984 sampai dengan 1994,
dengan trayek yang berbeda-beda.
Kemudian pada tahun 1994, Ramses Silitonga bekerja sebagai
Sopir Metro Mini: Code P.D7 : dengan kendaraan Merk Isuzu buatan
tahun 1984 Nomor Polisi B.7821 VM. Jurusan tetap Trayek Semper
(Jakarta Utara) menuju Senen (Jakarta Pusat) lewat jalan raya Yos
Sudarso.
Pada hari Minggu, tanggal 6 Maret 1994 sebagaimana biasa
Ramses menjalankan pekerjaannya sebagai sopir Metro Mini P.D7 jurusan
Semper Senen.
Pada perjalanan Rit kedua dari Semper menuju ke Proyek Senen,
karena saat itu hari libur (Minggu, maka perjalanan Metro Mini dari
Semper singgah ke Plumpang untuk menaikkan penumpang yang ada
disana. Perjalanan kali itu penumpangnya ditambah terus, sehingga pada
waktu itu penumpang telah mencapai jumlah 46 (empat puluh enam)
orang. Hal ini telah melanggar ketentuan peraturan LLAJR yang

22
23

menetapkan Metro Mini hanya boleh dimuati penumpang maksimal 25


(dua puluh lima) orang saja.
Ramses Sililunga alias Hunas alias Ucok Situmpul sebagai Sopir
Metro Mini yang setiap hari melawati jalan tersebut, telah mengetahui
dengan baik kondisi jalan yang sering dilaiuinya. Jalan Raya Yos Sudarso,
adalah Jalan yang sering dilewati, keadaan jalan itu disana-sini terdapat
kerusakan jalan berupa lubang-lubang di jalan aspalnya.
Pada perjalanan Rit kedua dari titik awal keberangkatan dari
Semper menuju ketempat tujuan Proyek Senen, Metro Mini yang
dikendarai oleh Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul yang
memuat 46 (empat puluh enam) penumpang tersebut, melaju di jalan yang
sama yaitu di Jalan Yos Sudarso.
Saat melintasi di jalan Yos Sudarso Metro Mini ini melaju cukup
kencang sehingga kernet Metro Mini Pontas Pakpahan mengingatkan
dengan berteriak dalam bahasa Batak sebagai berikut :"Nanget-nanget
baem....boo"! yang artinya "Pelan-Pelan saja". Demikian pula
penumpangnya ada yang berani menegur dengan mengatakan : "Jangan
kencang-kencang pir, banyak anak kecil"; Namun peringatan dan teguran,
baik dari kernet Metro Mini (Pontas Pakpahan), maupun dari
penumpangnya tersebut, ternyata tidak dihiraukan oleh Ramses Silitonga
alias Honas alias Ucok Sitompul.
Meskipun banyak peringatan disampaikan Ramses Silitongan alias
Honas alias Ucok Sitompul tetap menjalankankendaraan Metro Mini
masih dengan kecepatan tinggi dan meliuk-liuk menghindari lubang-
lubang akibat kerasakan aspal di jalan Yos Sudarso.
Pada saat Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul
sedang mengemudikan Metro Mini dengan kecepatan tinggi dan melihat
lubang besar di jalan Yos Sudarso dari jarak ± 4 meter, la berusaha
menghindari lubang tersebut dengan cara stir kemudi diputar membelok
kekiri jalan, kemudian stir kemudi kembali diputar kekanan, karena dibahu
jalan sebelah kiri juga terdapat lubang. Namun saat stir kemudi diputar
24

kembali ke kanan itu, kendaraan tetap melaju dengan cepatnya kearah kiri
jalan dan membentur ke atas trotoar jalan, kemudian naik ke atas trotoar
yang tingginya ±30 cm.
Setelah Metro Mini naik ke atas trotoar kemudian Metro Mini
tersebut melompati parit selebar 80 cm dan masuk ke dalam kali Sunter
yang airnya hitam pekat karena kali itu terkena polusi logam berat industri.
Kemudian Metro Mini B.7821 VM yang berisi 46 (empat puluh
enam) orang penumpang yang dikemudikan oleh Ramses Silitonga alias
Honas alias Ucok Sirompul terjun masuk Kali Sunter. Sebagai pengemudi
Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul sudah terbiasa lewat
jalan raya Yos Sudarso setiap harinya, menjalani route Semper-Senen
tentunya tabu persis keadaan jalan yang banyak lubang-lubang tersebut.
Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul bernasib baik.
Saat Metro Mini masuk ke Kali Semper ia sempet menyelamatkan diri
keluar dari kaca yang pecah, kemudian berenang ke tepi sungai.
Selanjutnya Sopir Ramses Silitonga naik taxi menuju Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta untuk mengobati luka-luka yang
dideritanya. Setelah selesai diobati, Sopir Ramses Silitonga tidak lagi
memikirkan nasib para penumang Metro Mini yang disopirinya tersebut,
melainkan dia terus melarikan diri. Sementara itu di tempat kejadian,
masyarakat dan para petugas sibuk menolong para korban yang tenggelam
di kali Sunter tersebut. Metro Mini diangkat dari dasar Kali Sunter dan
ditempatkan dipinggir kali. Hasil perhitungan ternyata korban yang
menderita akibat Metro Mini masuk Kali Sunter tersebut adalah 33 (tiga
puluh tiga) orang penumpangnya yang meninggal dunia 13 (tiga belas)
orang menderita luka-luka;
Para petugas meneliti kondisi Metro Mini B.7821 VM yang terjun
ke Kali Sunter tersebut hasilnya sebagai berikut:
- Spedometer kecepatan Bus tidak berfungsi;
- Kunci Kontak mesin bersama rumahnya kunci terlepas dan tidak
berada ditempatnya;
25

- Pintu kanan sopir tertutup,


- Kaca-Kaca pada pecah;
- Stir stir terkunci dan tidak dapat diputar kekiri dan kekanan;
- Keadaan rem baik;
- Kendaraan dibuat tahun 1984

Karena spedometer Bus tersebut tidak berfungsi, maka tidak dapat


diketahui berapa kecepatan Bus pada saat dikemudikan oleh Ramses
Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul tersebut. Namun dari analisa
teknis para petugas, dapat diperkirakan laju Metro Mini antara 80-90 km
per jam. Hal ini didasarkan atas fakta bahwa Metro Mini naik ke trotoar
jalan setinggi 30 cm dan melompat parit selebar 80 cm.
Setelah diketahui Sopir Metro Mini Tersebut melarikan diri, maka
petugas kepolisian memburu sopir tersebut di seluruh wilayah Indonesia.
Pada waktu itu Masa Media memuat kejadian itu secara besar-
besaran dan masyarakat baik secara langsung maupun melalui media
massa mengecam pengemudi Metro Mini tersebut dan mengharap kepada
polisi untuk segera menangkapnya dan menjatuhi pidana yang seberat-
beratnya atau dengan pidana mati.
Beberapa bulan kemudian, sopir tersebut berhasil tertangkap dan
ditahan oleh Kepolisian Negara. Selanjutnya berkas perkaranya
dilimpahkan oleh Kejaksaan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

2. DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM


Setelaah berkas perkara diterima Pengadilan Negeri Jakarta Utara
dan disidangkan, oleh Penuntut Umum terdakwa Ramses Silitonga alias
Honas alias Ucok Sitompul didakwa dengan surat dakwaan yang disusun
secara campuran yaitu dakwaan subsidaritas dan kumulatif sebagai
berikut:
26

KE-SATU:
PRIMAIR : Sebagaimana diatur dalam pasal 338 KUHP;
SUBSEDAIR : Sebagaimana diatur dalam pasal 359 jo. pasal 361
KUHP;
KE-DUA :
PRIMAIR : Sebagaimana diatur dalam pasal 351 ayat 1 KUHP;
SUBSIDAIR : Sebagaimana diatur dalam pasal 360 ayat 2 jo. Pasal
361 KUHP;
Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Jakarta Utara
dalam surat dakwaannya, mengajukan dakwaan terhadap terdakwa
dengan dakwaan alternative sebagai berikut: Dakwaan Ke-Satu Primair;
Menimbang, bahwa karena Dakwaan Ke-Satu Primair telah
terbukti, maka Dakwaan Ke-Satu Subsidair tidak ada urgensinya lagi
untuk dipertimbangkan; Dakwaan Ke-Dua Primair;
Menimbang, bahwa dalam pasal 351 ayat 1 KUHP, tidak terdapat
unsur-unsurnya, hanya kualifikasi dari kejahatan tersebut, namun dalam
yurisprudensi menyebut bahwa yang dimaksud dengan penganiayaan
adalah dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak, rasa sakit atau
luka;
Menimbang, bahwa berdasarkan:
a) Visum Et Repertum masing-masing tanggal 6 Maret 1994 yang dibuat
oleh Dr. Suyudi Utama, terhadap para korban masing-masing
bernama : 1. Sri Sumiati;2. Yuli Karya;3. Jeri Friandi;4. Nn.Idoh;5.
Eka Andri;6. Sariat, masing-masing dinyatakan adanya luka robek
karena benda tumpul, pneumonia aspirasi karena tenggelam dalam air.
b) Visum Et Repertum masing-masing tanggal 6 Maret 1994 yang dibuat
oleh Dr. Kristiyono, terhadap para korban bernama : 7. Sri
Listiawati;8. Ella, memar akibat benturan benda tumpul dan pada
pemeriksaan luar tidak diketemukan luka.
c) Visum Et Repertum masing-masing tanggal 8 Maret 1994 yang dibuat
oleh Dr. Etty Sumiati, terhadap korban masing-masing bernama: 9.Ny.
27

Darsih;10. Retno Astuti; 11. Siti Salinah, dinyatakan : Pneumonia


aspirasi, paru-paru dalam batas normal.
d) Visum Et Repertum masing-masing tanggal 6 April 1994 yang dibuat
oleh Dr. ELPudji Rahardjo terhadap korban bemama : 12. Ny. Erliend,
dinyatakan Pneumonia aspirasi.
e) Visum Et Repertum masing-masing tanggal 13 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. Husaeri terhadap korban bernama : 13. Ahmad
Fatullah, dinyatakan Pneumonia aspirasi. Maka perasaan tidak enak,
rasa sakit dan luka terpenuhi.
Menimbang, bahwa perasaan tidak enak, rasa sakit dan luka
tersebut merupakan kesengajaan dari terdakwa yang merupakan akibat
dari perbuatannya sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan Dakwaan
Ke-Satu Primair;
Menimbang, bahwa dengan demikian Dakwaan Ke-Dua Primair
sebagaimana didakwakan Penuntut Umum, telah terbukti dengan sah dan
meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
'Penganiayaan",yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 351 ayat 1
KUHP;
Menimbang, bahwa karena Dakwaan Ke-Dua Primair telah
terbukti, maka Dakwaan Ke-Dua Subsidair tidak ada urgensinya untuk
dipertimbangkan lagi; Menimbang, bahwa dengan demikian terdakwa
telah melakukan tindak pidana PEMBUNUHAN.

3. TUNTUTAN PENUNTUT UMUM


Setelah pemeriksaan perkara selesai, yaitu telah diperiksanya
didepan persidangan atas barang bukti para saksi maupun Terdakwa
Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul maka persidangan
diianjutkan dengan acara tuntutan atau Requisitor oleh Penuntut Umum.
Dalam surat tuntutannya Penuntut Umum berpendapat bahwa
berdasarkan keterangan para saksi, keterangan Terdakwa maupun
dihubungkan dengan barang bukti ternyata satu sama lain saling
28

bersesuaian sehingga Penuntut Umum telah dapat membuktikan


dakwaannya, apabila Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok
Sitompul telah terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan (Pasal 338
KUHP) terhadap para penumpang yang telah meninggal yaitu :
1. ABDULRAHMAN; 2. SRI WIDAYATI; 3. EKA NO VITA
RAHMAN; 4. RIKA DWI RAHMAN; 5. ROM RAHMAN; 6.
NY.ROHILA; 7. RATIH CHIRUNISA; 8. MUH REZA; 9. ASTRI
PRAMITA; 10. ADIH SUHANDI; 11. SITI HUMAIDAH; 12. FENI
HANTIAYANI; 13. VERA ADITYA; 14. WASROAH/W ASNIAH; 15.
SUNIAH; 16. ALAM SYAIFULAN; 17. NURHAYATI; 18. SITI AISHA
YONATA; 19. AGUS YUSWOHADI; 20. ATI SUWARSIH; 21.
SUMINAR; 22. BAMBANG WAHYUDI; 23. ASEP WAWA1 ; 24.
SURYANA; 25. BUDI PRASETYO UTOMO; 26. NY. SA'IM; 27. DIAH
SULISTYO RINI; 28. KALBIAH; 29. MINANDAR; 30. KUSNANUAR;
31. NURSYAMSIAH; 32. RAINA MUSTIKA; 33. NURMA FIRDAUS;
Bahwa selain itu menurut Penuntut Umum Terdakwa Ramses
Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul juga telah terbukti melakukan
tindak pidana Penganiayaan (Pasal 351 ayat 1 KUHP) terhadap 13 (tiga
belas) saksi korban yaitu:
1. ARI SUMIATI, 2. YULI KARYA, 3. JERI FRIANDI, 4. NY. SARIAT,
5. NN.EDOII, 6. EKA ANDRI, 7. SRI LISTIAWATI, 8. SITI SALIMAH,
9. DARSIH, 10. ELLA (NOVI BAHRIA L), 11. RETNO ASTUTI, 12.
NY. ERLIN, dan 13. AHMADFATULAH;
Atas 2 (dua) tindak pidana tersebut diatas, Penuntut Umum,
menuntut terhadap Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok
Sitompul agar Majelis Utara, menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa RAMSES SILITONGA alias HONAS alias
UCOK SITOMPUL bersalah melakukan tindak kejahatan
"PEMBUNUHAN" sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai
Pasal 338 KUHP, tersebut dalam Dakwaan Kesatu Primair dan
melakukan tindak pidana kejahatan "PENGANIAYAAN"
29

sebagaimana diatur dan diancam pidana sesuai Pasal 351 ayat (1)
KUHP, dalam Dakwaan Kedua Primair;
2. Menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dikurangi
selama Terdakwa berada dalam tahanan;
3. Menyatakan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
4. Menyatakan barang bukti berupa:
a. Sebuah mobil Metro Mini P.07 No. Pol. B-7821-VM
dikembalikan kepada EDUAKM PANJAITAN;
b. Visum Et Repertwn dan keterangan Pemeriksaan Mayat serta foto-
foto tetap terlampir dalam berkas perkara;
5. Menghukum Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000.-
(Seribu rupiah)
Atas tuntutan Penuntut Umum tersebut, Terdakwa Ramses
Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul mengajukan pembelaan yang
pada pokoknya : Hukumlah saya apa saja Pak Hakim, asal janganlah saya
disebut sebagai Pembunuh.
Sedangkan Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan pembelaan
yang pada pokoknya menurut Panasihat Ilukum Terdakwa menyatakan :
dari fakta-fakta di persidangan menunjukan bahwa Penuntut Umum telah
tidak dapat membuktikan dakwaannya secara sah, menyeluruh dan
menyakinkan. Untuk itu Penasihat Hukum Terdakwa memohon kepada
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar Terdakwa Ramses
Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul dibebaskan dari segala tuntutan
maupun dari segala dakwaan.
Atas pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa maupun Terdakwa
Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul tersebut, Penuntut
dalam memberikan tanggapan yang pada pokoknya Penuntut Umum tidak
sependapat dengan pembelaan baik yang dikemukakan oleh Terdakwa
Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul maupun Penasihat
hukumnya.
30

Bahwa pada tanggapan itu Penuntut Umum menolak dan tidak


sependapat dengan pembelaan mereka dan Penuntut Umum menyatakan
tetap, pada pembelaanya.
Bahwa demikian pula pada gilirannya Terdakwa Ramses Silitonga
alias Honas alias Ucok Sitompul tetap pada pembelaannya.
4. PUTUSAN HAKIM
Karena terdakwa Ramses telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan (pasal 338 KUHP) maka
Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan atau mengadili:
1. Menyatakan bahwa Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias
Ucok Sitompul melakukan tindak pidana PEMBUNUHAN.
2. Menghukum Terdakawa dengan hukuman penjara selama 15 (lima
belas) tahun dikurangi selama masa tahanan;
3. Mencabut hak Terdakwa untuk memperoieh Surat Izin Mengemudi
(SIM) untuk segala jenis kendaraan..,dst..., selama 10 tahun setelah
selesai menjalankan hukuman.

B. PEMBAHASAN
1. Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Pasal 338 KUHP Pada
Kecelakaan Lalu Lintas (studi kasus Putusan
No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995)
Identitas Terdakwa:
Nama Lengkap : Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul
Tempat Lahir : Siborong - borong Umur/Tanggal
Lahir : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Gg. Pipit Kebon Baru RT.009/010
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pengemudi
Pendidikan : SMA
31

Dengan bunyi Pasal 338 KUHP diatas maka unsur daripada pasal
tersebut terdiri dari:
1. Barang siapa;
2. Menghilangkanjiwa orang lain;
3. Dengan sengaja;
Unsur kesatu : Barang siapa.
Menimbang, bahwa unsur barang siapa dalam perkara ini adalah
terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul, yang
berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan terdakwalah yang
mengemudikan Metro Mini P-O7 No, B-7821-VM dengan trayek Semper-
Senen P.P. yang terjun/tercebur ke Kali Sunter;
Menimbang, bahwa terdakwalah sebagai subyek yang akan
dipertanggung jawabkan telah melakukan perbuatan pidana yang
didakwakan kepadanya;
Menimbang, bahwa selama pemeriksaan persidangan Majelis tidak
menemukan hal-hal yang merupakan alasan penghapusan pidana, baik
alasan pembenar maupun alasan pemaaf, sehingga karena itu terdakwa
dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya
dan karena itu terdakwa dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya.
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur barang siapa telah
terpenuhi.
Unsur-unsur kedua : Menghilangkan jiwa orang lain.
Menimbang, bahwa dalam pengertian menghilangkan jiwa,
Undang undang tidak mnerumuskan perbuatannya yaitu jenis dan bentuk
perbuatan, tetapi hanya akibat dari perbuatan yaitu hiiangnya jiwa orang
Menimbang, bahwa hiiangnya jiwa orang telah terbukti dengan adanya :
1) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 6 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. Slamet Purnomo, masing-masing atas nama korban: 1.
Nurhayati 2. Diah Sulistyo Rini 3. Minandar;
32

2) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 7 Maret 1994 yang


dibuat oleh Dr. Slamet Purnomo, masing-masing atas nama korban : 4.
Abdul Rahman 5. Sri Widayati; 6. Eka Novita Rahman;?. Rike Dwi
Rahman; 8. Roni Rahman; 9. Ny. Nohila; 10. Muh.Reza; 11. Astri
Pramita; 12. Adih Suhandi; 13. Siti Humaidah 14. Feni Handayani; 15.
Vera Aditya; 16. Agus Yuswohadi; 17. Ati Suwarsih; 18. Suryana;19.
Budi Prasetyo Utomo; 20. Asep Wawan Sundawan;
3) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 7 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. Wibisana atas nama korban : 21. Ratih Chairunisa;
4) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 7 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. Budi Sampurna, masing-masing atas nama korban: 22.
Wasruah/Wasniah; 23. Siti Aisah Yonata; 24. Surniah; 25. Alan
Saifullah;
5) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 7 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. Sidhi atas nama korban: 27. Bambang Wahyudi;
6) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 9 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. Sidhi atas nama korban: 28. Kusnandar;
7) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 7 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. I.Made Nasar atas nama korban : 29. Kaibiah
8) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 10 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. I.Made Nasar atas nama korban: 30. Ny. Sa'im
9) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tanggal 7 Maret 1994 yang
dibuat oleh Dr. Adnan atas nama korban: 31. Nurma Firdaus;
10) Surat kepala Bidang Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum UI Bidang Pelayanan Kedokteran Forensik tanggal 7 Maret
1994 yang menerapkan bahwa jenasah masing-masing atas nama : 32.
Nursyamsiah dan 33. Ratna Mustika, sebelum dilakukan pemeriksaan
mayat telah dibawa pulang oleh ahli warisnya;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi ahli Dr. Slamet
Pumomo bahwa secara pasti sebab kematian korban tidak diketahui karena
tidak dilakukan otopsi, namun diperkirakan meninggal korban karena
33

tenggelam, dan, berdasarkan pengalaman selama 5 menit berada dalam air


seseorang dapat meninggal dunia karena tidak masuknya udara ke dalam
pemafasan.
Menimbang, bahwa saksi ahli selanjutnya menerangkan bahwa dari
korban yang meninggal dunia hanya terdapat luka-luka kecil bahkan ada
yang sama sekali tidak luka namun meninggal dunia, sehingga dapat
disimpulkan meninggalnya korban karena tenggelam dalam air;
Menimbang, bahwa tenggalamnya para korban para penumpang
Metro Mini yang dikemudikan terdakwa tersebut, sehingga meninggal
dunia, karena Metro Mini yang bersangkutan kecebur ke dalam Kali
Sunter;
Unsur Ke-tiga : Dengan Sengaja
Dari pertimbangan yang diberikan oleh majelis Hakim Jakarta
Utara yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah unsur 3 (tiga) yaitu
"Dengan sengaja".
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Utara mempertimbangkan bahwa apakah perbuatan Terdakwa Ramses
Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul dalam mengemudikan Metro
Mini P-O7 dengan trayek Semper-Senen Pulang-pergi pada hari Minggu
tanggal 6 Maret 1994 dilakukan dengan sengaja atau tidak.
Sebagaimana diuraikan dalam fakta Terdakwa Ramses Silitonga
alias Honas alias Ucok Sitompul dalam mengemudikan Metro Mini
dengan kecepatan ±90 km/jam, yang pada waktu akan meluruskan
jalannya Metro Mini sesudah menghindari lubang dijalan, dalam posisi
miring mengarah ketepi(g)g ada trotoarnya telah menabrak batas trotoar
setinggi ±30 cm, melompati parit selebar ± 80 cm langsung tanpa
terkendali sampai kecelakaan ke Kali Sunter dilakukan dengan sengaja?".
Untuk membuktikan ada atau tidaknya unsur kesengajaan Majelis
Hakim berpegang pada teori hukum pidana yang dikenal dengan 3 (tiga)
corak atau bentuk kesengajaan, yaitu:
1) Kesengajaan sebagai maksud;
34

2) Kesengajaan sebagai keharusan;


3) Kesengajaan sebagai kemungkinan;
Dari ketiga teori Kesengajaan tersebut Majelis Hakim Jakarta
Utara berpendapat bahwa teori kesengajaan yang dapat diterangkan adalah
teori Kesengajaan ketiga yaitu Kesengajaan sebagai Kemungkinan atau
Dolus Eventualis.
Dalam pengertian Kesengajaan sebagai Kemungkinan atau Dolus
Eventuaiis adalah bahwa sipelaku telah menyadari sepenuhnya tentang
kemungkinan yang akan terjadi sebagai akibat yang dilakukannya tersebut,
namun demikian perbuatan tersebut tetap dilakukan dengan sengaja,
meskipun ada altematif lain untuk menghindari kemungkinan yang tidak
diharapkan tersebut.
Dengan demikian si pelaku seharusnya mempunyai bayangan akan
pasti terjadinya akibat yang sebetulnya tidak dikehendaki dan yang bukan
dimaksud, namun masihjuga meneruskan perbuatannya.
Sebagaimana diuraikan dalam fakta yang diperoleh dalam
persidangan diatas terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok
Sitompul pada hari Minggu tanggal 6 Maret 1994 sebagai pengemudi
Metro Mini dengan kode P-O7 jurusan Semper-Senen telah membawa
penumpang sebanyak 46 orang sehingga melebihi kapasitas yang dizinkan
yaitu 25 orang.
Pada saat Metro Mini yang dikemudikan oleh terdakwa Ramses
Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul melaju di jalan Yos Sudarso,
Terdakwa telah mengemudikan kendaraannya tersebut dengan kecepatan
tinggi yang diperkirakan ± 90 km/jam. Hal ini Majelis Hakim lebih dapat
menerima keterangan saksi ahli Letkol (Polisi) Drs. Herman S.
Sumawiredja yang berdasarkan perhitungannya yang cermat dari beberapa
segi keadaan yang mendukungnya terbukti kecepatan Metro Mini
menjelang masuk ke Kali Sunter adalah 59,54 km/jam. Kderangan ini
sesuai dengan keterangan saksi Pontas Pakpahan (Kemet Metro Mini).
35

Bahwa dengan membawa penumpang yang melebihi kapasitas, dan


lebih-lebih dengan kecepatan tinggi, secara umum tentunya sudan disadari
kemungkinan akan mengakibatkan kecelakaan yang fatal, lebih-Iebih bagi
terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul sudah cukup
lama melewati Jalur Semper-Senen Pulang-pergi.
Seharusnya terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok
Sitompul juga mengetahui kondisi jalan Yos Sudarso karena dari Sunter-
Senen harus melalui jalan Yos Sudarso tersebut yaitu dengan adanya
lubang disebelah kanan selebar 1 M2 yang dapat dilihatnya dari jarak 4
Meter.
Selain itu dengan kecepatan yang amat tinggi tersebut dan akan
terjadinya. akibat yang fatal juga telan disadari Kemet Pontas Pakpahan
sehingga kernet Pontas Pakpahan telah mengingatkan terdakwa dalam
mengemudikan Metro Mini untuk mengurangi kecepatan dengan
menggunakan bahasa batak, dengan tujuan untuk menghindari kecelakaan
yang fatal.
Selain itu juga terdakwa Ramses tidak mau memperhatikan
peringatan para penumpang untuk mengurangi laju kecepatannya karena
terdakwa asik berbicara dengan teman/keluarga yang duduk disampingnya
sehingga terdakwa tidak mengetahui keadaan di depan maupun
disekitarnya.
Bahwa terdakwa Ramses sama sekali tidak berasaha mengurangi
kecepatan laju kecepatan Metro Mini yang dikemudikannya walaupun
telah diperingatkan baik oleh penumpang maupun kemet Pontas Pakpahan,
maka disini terbukti terdakwa sama sekali tidak menghiraukan terhadap
kemungkinan yang secara umum akan mengakibatkan kematian dan
ternyata kemungkinan tersebut menjadi kenyataan.
Bahwa terdakwa Ramses mengetahui kondisi jalan Yos Sudarso
dan tentunya mengetahui pula adanya lubang disebelah kanan dan juga
mengetahui adanya air limbah yang ada pada kali Sunter, mengapa
36

terdakwa haras membanting stir kekanan bukankah disebelah kirinya tidak


ada kendaraan lain yang menghalanginya jika akan menghindari lubang.
Bahwa secara rasional apabila kecepatan metro mini melaju antara
40-50 km/jam tidak akan dapat melewati batas trotoar maupun akan dapat
melampaui parit ]c arena dengan kecepatan rendah roda metro mini akan
terganjal batas trotoar ataupun terganjal bibir parit sehingga metro mini
akan terhenti atau tersangkut sehingga tidak akan ada kemungkinan
terguling dan memakan korban sedemikian banyak.
Bahwa dengan apa yang diuraikan diatas Majelis Hakim
berpendapat bahwa terdakwa Ramses dalam mengemudi metro mini P-07
sifat dan sikap gegabah terlalu memandang enteng apa yang mungkin akan
terjadi.
Sifat dan sikap yang demikian itu menurut Majelis hakim
menunjukan mudah dan beraninya terdakwa Ramses menanggung resiko
terhadap semua akibat yang mungkin timbul karena perbuatannya,
meskipun akibat tersebut tidak dikehendaki, namun apabila akibat tersebut
nyata-nyata terjadi dan temyata dalam perkara ini akibat tersebut benar-
benar terjadi, maka terdakwa harus menanggung resikonya.
Dengan pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat
ajaran atau teori Kesengajaan sebagai Kemungkinan (dolus eventualis)
dapat diterapkan dalam kasus ini,
Karena terdakwa Ramses telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan (pasal 338 KUHP) maka
Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan atau mengadili:
1. Menyatakan bahwa Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok
Sitompul melakukan tindak pidana PEMBUNUHAN.
2. Menghukum Terdakawa dengan hukuman penjara selama 15 (lima
belas) tahun dikurangi selama masa tahanan;
3. Mencabut hak Terdakwa untuk memperoieh Surat Izin Mengemudi
(SIM) untuk segala jenis kendaraan..,dst..., selama 10 tahun setelah
selesai menjalankan hukuman.
37

2. Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Pasal 338 KUHP Pada


Kecelakaan Lain Lintas (studi kasus Putusan
No.03/PH)/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei 1995)
Dari pertimbangan yang diberikan oleh majelis Hakim Jakarta
Utara yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah unsur 3 (tiga) yaitu
"Dengan sengaja".
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Utara mempertimbangkan bahwa apakah perbuatan Terdakwa Ramses
Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul dalam mengemudikan Metro
Mini P-O7 dengan trayek Semper-Senen Pulang-pergi pada hari Minggu
tanggal 6 Maret 1994 dilakukan dengan sengaja atau tidak.
Sebagaimana diuraikan dalam fakta Terdakwa Ramses Silitonga
alias Honas alias Ucok Sitompul dalam mengemudikan Metro Mini
dengan kecepatan ±90 km/jam, yang pada waktu akan meluruskan
jalannya Metro Mini sesudah menghindari lubang dijalan, dalam posisi
miring mengarah ketepi yang ada trotoarnya telah menabrak batas trotoar
setinggi ±30 cm, melompati parit selebar ± 80 cm langsung tanpa
terkendali sampai kecelakaan ke Kali Sunter dilakukan dengan sengaja".
Unruk membuktikan ada atau tidaknya unsur kesengajaan Majelis
Hakim berpegang pada teori hukum pidana yang dikenal dengan 3 (tiga)
corak atau bentuk kesengajaan, yaitu:
1) Kesengajaan sebagai maksud;
2) Kesengajaan sebagai keharusan;
3) Kesengajaan sebagai kemungkinan;
Dari ketiga teori Kesengajaan tersebut Majelis Hakim Jakarta
Utara berpendapat bahwa teori kesengajaan yang dapat diterangkan adalah
teori Kesengajaan ketiga yaitu Kesengajaan sebagai Kemungkinan atau
Dolus Eventualis.
Dalam pengertian Kesengajaan sebagai Kemungkinan atau Dolus
Eventuaiis adalah bahwa sipelaku telah menyadari sepemihnya tentang
kemungkinan yang akan terjadi sebagai akibat yang dilakukannya tersebut,
38

namun demikian perbuatan tersebut tetap dilakukan dengan sengaja,


meskipun ada alteniatif lain untuk menghindari kemungkinan yang tidak
diharapkan tersebut.
Dengan demikian si pelaku seharasnya mempunyai bayangan akan
pasti terjadinya akibat yang sebetulnya tidak dikehendaki dan yang bukan
dimaksud, namun masm juga meneruskan pefbuatannya.
Sebagaimana diuraikan dalam fakta yang diperoleh dalam
persidangan diatas terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok
Sitompul pada hari Minggu tanggal 6 Maret 1994 sebagai pengemudi
Metro Mini dengan kode P-O7 jurusan Semper-Senen telah membawa
penumpang sebanyak 46 orang sehingga melebihi kapasitas yang dizinkan
yaitu 25 orang.
Pada saat Metro Mini yang dikemudikan oleh terdakwa Ramses
Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul melaju di jalan Yos Sudarso,
Terdakwa telah mengemudikan kendaraannya tersebut dengan kecepatan
tinggi yang diperkirakan ± 90 km/jam. Hal ini Majelis Hakim lebih dapat
menerima keterangan saksi ahli Letkol (Polisi) Drs. Herman S.
Sumawiredja yang berdasarkan perhitungannya yang cermat dari beberapa
segi keadaan yang mendukungnya terbukti kecepatan Metro Mini
menjelang masuk ke Kali Sunter adalah 59,54 km/jam. Kderangan ini
sesuai dengan keterangan saksi Pontas Pakpahan (Kemet Metro Mini).
Bahwa dengan membawa penumpang yang melebihi kapasitas, dan
lebih-lebih dengan kecepatan tinggi, secara umum tentunya sudan disadari
kemungkinan akan mengakibatkan kecelakaan yang fatal, lebih-Iebih bagi
terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul sudah cukup
lama melewati Jalur Semper-Senen Pulang-pergi.
Seharusnya terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok
Sitompul juga mengetahui kondisi jalan Yos Sudarso karena dari Sunter-
Senen harus melalui jalan Yos Sudarso tersebut yaitu dengan adanya
lubang disebelah kanan selebar 1 M2 yang dapat dilihatnya dari jarak 4
Meter.
39

Selain itu dengan kecepatan yang amat tinggi tersebut dan akan
terjadinya. akibat yang fatal juga telan disadari Kernel Pontas Pakpahan
sehingga kernet Pontas Pakpahan telah mengingatkan terdakwa dalam
mengemudikan Metro Mini untuk mengurangi kecepatan dengan
menggunakan bahasa batak, dengan tujuan untuk menghindari kecelakaan
yang fatal.
Selain itu juga terdakwa Ramses tidak mau memperhatikan
peringatan para penumpang untuk mengurangi laju kecepatannya karena
terdakwa asik berbicara dengan teman/keluarga yang duduk disampingnya
sehingga terdakwa tidak mengetahui keadaan di depan maupun
disekitarnya.
Bahwa terdakwa Ramses sama sekali tidak berusaha mengurangi
kecepatan laju kecepatan Metro Mini yang dikemudikannya walaupun
telah diperingatkan baik oleh penumpang maupun kemet Pontas Pakpahan,
maka disini terbukti terdakwa sama sekali tidak menghiraukan terhadap
kemungkinan yang secara umum akan mengakibatkan kematian dan
ternyata kemungkinan tersebut menjadi kenyataan.
Bahwa terdakwa Ramses mengetahui kondisi jalan Yos Sudarso
dan tentunya mengetahui pula adanya lubang disebelah kanan dan juga
mengetahui adanya air limbah yang ada pada kali Sunter, mengapa
terdakwa haras membanting stir kekanan bukankah disebelah kirinya tidak
ada kendaraan lain yang menghalanginya jika akan menghindari lubang.
Bahwa secara rasional apabila kecepatan metro mini melaju antara
40-50 km/jam tidak akan dapat melewati batas trotoar maupun akan dapat
melampaui parit karena dengan kecepatan rendah roda metro mini akan
terganjal batas trotoar ataupun terganjal bibir parit sehingga metro mini
akan terhenti atau tersangkut sehingga tidak akan ada kemungkinan
terguling dan memakan korban sedemikian banyak.
Bahwa dengan apa yang diuraikan diatas Majelis Hakim
berpendapat bahwa terdakwa Ramses dalam mengemudi metro mini P-07
40

sifat dan sikap gegabah terlalu memandang enteng apa yang mungkin akan
terjadi.
Sifat dan sikap yang demikian itu menurat Majelis hakim
menunjukan mudah dan beraninya terdakwa Ramses menanggung resiko
terhadap semua akibat yang mungkin timbul karena perbuatannya,
meskipun akibat tersebut tidak dikehendaki, namun apabila akibat tersebut
nyata-nyata terjadi dan ternyata dalam perkara ini akibat tersebut benar-
benar terjadi, maka terdakwa haras menanggung resikonya.
Dengan pertimbangan tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat
ajaran atau teori Kesengajaan sebagai Kemungkinan (dolus evenrualis)
dapat diterapkan dalam kasus ini,
Bahwa dengan pertimbangan di atas, Majelis berpendapat ajaran
atau teori kesengajaan sebagai kemungkinan ini dapat diterapkan dalam
kasus ini. Majelis sependapat dengan Penuntut Umum yaitu penerapan
teori "in Kaufoehmen" (teori apa boleh buat) lebih jelas, sebagaimana oleh
majelis telah diuraikan diatas.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka unsur
ke-3 "dengan sengaja" menurut hemat majelis cukup beralasan pula untuk
dinyatakan terpenuhi.
Menimbang, bahwa dengan telah terpenuhinya semua unsur
tersebut, maka perbuatan pidana yang didakwakan terhadap diri terdakwa
dalam dakwaan telah terbukti secara sah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan meyakinkan atas dasar pemeriksaan dalam
persidangan, maka oleh karena itu pula untuk dinyatakan bersalah dan
dipidana.
Karena terdakwa Ramses telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan (pasal 338 KUHP) maka
Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan/mengadili :
I. Menyatakan bahwa Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias
Ucok Sitompul melakukan tindak pidana PEMBUNUHAN.
41

II. Menghukum Terdakawa dengan hukuman penjara selama 15 (lima


belas) tahun dikurangi selama masa tahanan;
III. Mencabut hak Terdakwa untuk memperoieh Surat Izin Mengemudi
(SIM) untuk segala jenis kendaraan..,dst.., selama 10 tahun setelah
selesai menjalankan hukuman.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam bab hasil penelitian dan
pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut: 1.
Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Pasal 338 KUHP Pada Kecelakaan Lalu
Lintas (studi kasus Putusan No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. Tanggal 2 Mei
1995) dengan Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul
adalah bahwa Pasal 338 KUHP mengandung unsur-unsur yang dapat
dikaitkan dengan fakta-fakta yang diperoleh selama persidangan, yaitu:
a) Unsur Barang Siapa
b) Menghilangkanjiwaoranglain;
c) Dengan sengaja;
Unsur kesatu : Barang siapa.
Menimbang, bahwa unsur barang siapa dalam perkara ini adalah
terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias Ucok Sitompul, yang
berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan terdakwalah yang
mengemudikan Metro Mini P-O7 No, B-7821-VM dengan trayek Semper-
Senen P.P. yang terjun/tercebur ke Kali Sunter;
Menimbang, bahwa terdakwalah sebagai subyek yang akan
dipertanggung jawabkan telah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan
kepadanya;
Menimbang, bahwa selama pemeriksaan persidangan Majelis tidak
menemukan hal-hal yang merupakan alasan penghapusan pidana, baik alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, sehingga karena itu terdakwa dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya dan karena
itu terdakwa dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Menimbang, bahwa dengan demikian unsur barang siapa telah
terpenuhi.

42
43

Unsur-unsur kedua : Menghilangkan jiwa orang lain.


Menimbang, bahwa dalam pengertian menghilangkan jiwa, Undang
undang tidak mnerumuskan perbuatannya yaitu jenis dan bentuk perbuatan,
tetapi hanya akibat dari perbuatan yaitu hilangnya jiwa orang
Menimbang, bahwa hilangnya jiwa orang telah terbukti dengan
adanya:
a) Surat keterangan Pemeriksaan Mayat tertanggal 6-10 Maret 1994.
b) Bahwa berdasarkan keterangan saksi ahli Dr. Slamet Pumomo bahwa
secara pasti sebab kematian korban tidak diketahui karena tidak dilakukan
otopsi, namun diperkirakan meninggal korban karena tenggelam dan
korban yang meninggal dunia hanya terdapat luka-luka kecil bahkan ada
yang sama sekali tidak luka namun meninggal dunia, berdasarkan
pengalaman saksi ahli Dr. Slamet Pumomo selama 5 menit berada dalam
air seseorang dapat meninggal dunia karena tidak masuknya udara ke
pemafasan.
Unsur ke-tiga : Dengan Sengaja.
Kesengajaan sebagai kemungkinan, dimana si pelaku menyadari penuh
tentang kemungkinan yang mungkin akan terjadi sebagai akibat perbuatannya,
maka oleh karena itu terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dipidana serta
diancam dengan pidana penjara oleh pasal 338 KUHP
Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Penerapan Pasal 338 KUHP Pada
Kecelakaan Lalu Lintas (studi kasus Putusan No.03/PID/B/1995/PN.JKT.UT.
Tanggal 2 Mei 1995) adalah sebagai berikut :
a) Sebagaimana diuraikan dalam fakta, Terdakwa Ramses Silitonga alias
Honas alias Ucok Sitompul dalam mengemudikan Metro Mini dengan
kecepatan ±90 km/jam, yang pada waktu akan meluruskan jalannya
Metro Mini sesudah menghindari lubang dijalan, dalam posisi miring
mengarah ketepi yng ada trotoarnya telah menabrak batas trotoar setinggi
±30 cm, melompati parit selebar ± 82 cm langsung tanpa terkendali
sampai kecelakaan ke Kali Sunter dilakukan dengan sengaja?".
44

b) Majelis Hakim Jakarta Utara berpendapat bahwa teori kesengajaan yang


dapat diterangkan adalah teori Kesengajaan ketiga yaitu Kesengajaan
sebagai Kemungkinan atau Dolus Eventualis. Dengan demikian si pelaku
seharusnya mempunyai bayangan akan pasti terjadinya akibat yang
sebetulnya tidak dikehendaki dan yang bukan dimaksud, namun masih
juga meneruskan perbuatannya
c) Bahwa terdakwa Ramses sama sekali tidak berusaha mengurangi
kecepatan laju kecepatan Metro Mini yang dikemudikannya walaupun
telah diperingatkan baik oleh penumpang maupun kemet Pontas
Pakpahan, maka disini terbukti terdakwa sama sekali tidak menghiraukan
terhadap kemungkinan yang secara umum akan mengakibatkan kematian
dan ternyata kemungkinan tersebut menjadi kenyataan
d) Sifat dan sikap yang demikian itu menurut Majelis hakim menunjukan
mudah dan beraninya terdakwa Ramses menanggung resiko terhadap
semua akibat yang mungkin timbul karena perbuatannya, meskipun
akibat tersebut tidak dikehendaki, namun apabila akibat tersebut nyata-
nyata terjadi dan ternyata dalam perkara ini akibat tersebut benar-benar
terjadi, maka terdakwa harus menanggung resikonya.
e) Sehingga terdakwa Ramses telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana Pembunuhan (pasal 338 KUHP) maka
Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutuskan atau mengadili:
I. Menyatakan bahwa Terdakwa Ramses Silitonga alias Honas alias
Ucok Sitompul melakukan tindak pidana PEMBUNUHAN.
II. Menghukum Terdakawa dengan hukuman penjara selama 15 (lima
belas) tahun dikurangi selama masa tahanan;
III. Mencabut hak Terdakwa untuk memperoieh Surat Izin Mengemudi
(SIM) untuk segala jenis kendaraan..,dst..., selama 10 tahun setelah
selesai menjalankan hukuman.
45

B. SARAN-SARAN
1. Bahwa dalam mengemudi hendaknya memperhatikan keamanan dalam
berkendara, dengan cara dilakukan pengecekan terhadap kendaraan yang
akan digunakan misalnya dilakukan pengecekan-pengecekan terhadap oli,
air, rem, sabuk pengaman, dsb.
2. Bahwa dalam mengemudi hendaknya tidak gegabah dan menganggap
enteng akibat apa yang mungkin akan terjadi meskipun akibat itu tidak
dikehendakinya, serta memperhatikan rambu-rambu lalu lintas.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar Dalam Hukum Pidana
Indonesia,Jakarta: PT.Yarsif Watampone.

A.Z. Abidin Farid, 1995. Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika.

J.E. Jonkers, 1987. Hukum Pidana Hindia Belanda. Tim Penerjemah Bina Aksara.
Jakarta: PT Bina Aksara.

Leden Marpaung, 2005. Asas-Teori-Praktek, Hukum Pidana. Jakarta: Sinar


Grafika.

Moeljatno, 2008. Edisi Revisi Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Soerjono Soekanto, 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press

Tim. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud.

Varia Peradilan No. 131,1996. Jakarta: CV. Indah Grafika.

Winamo Budyatmojo, 2009, Hukum Pidana Kodifikasi, Surakarta : LPP UNS dan
UNS Press.

Undang - Undang

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Putusan nomor: 03/PD/B/1995/PN.JKT.UT, tanggal 2 Mei 1995.

Undang-Undang R.I Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan

46
47

Pertimbangan Sosiologis dalam


Putusan Hakim
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara

yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata

“mengadili” sebagai rangakaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan

memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang

suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat

dan biaya ringan.

Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak

boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat

terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum

itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan

kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.

Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana

masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang

menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah
48

yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim

memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam

masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.

Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian

masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat

dengan nuansa koruptif dan kolutif.

Secara umum anggapan itu adalah sah – sah saja, setidaknya ada alasan dari

masyarakat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang

melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim. Oleh karena itu seorang hakim

dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis

(hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat

keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan

implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan

sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et

pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun

nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya

seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan

tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan.

Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim
49

yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara

Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa

Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan

bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan

adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim

yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus

mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang

Maha Adil.

Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang

pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu

perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh

pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan.

Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak

yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang

berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka

hadapi.

Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan

kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan

peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan

peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis


50

dalam hukum adat. Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan

normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa

kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan

Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim

yang tidak mencerminkan rasa keadilan.

Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung

jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.

Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana

yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat

digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi

rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam

“pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim.

Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam

memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak

sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu

tidak benar dan tidak adil.

Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai

kemungkinan:

1.      Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang

ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena

Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan

memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam

persidangan.
51

2.      Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya

karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan

faktor-faktor lain yang mempengaruhi independensi Hakim yang bersangkutan.

3.      Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum

yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan

dalam kurun waktu yang relatif singkat.

4.      Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga

berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan

faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas

putusan.

Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi

dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga

peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat

terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga

pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi

penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang

menciptakan ketidakadilan.

Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun

pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum

yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa

dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk

memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas


52

perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu

putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan

yang mencerminkan rasa keadilan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, penulis

ingin membahas serta menuangkan dalam bentuk Makalah dengan judul

“PERTIMBANGAN SOSIOLOGIS DALAM PUTUSAN HAKIM”

2. Rumusan Masalah

Adapun mengenai masalah dalam penulisan ini dengan mendasarkan pada

latar belakang yang terjadi, maka rumusan masalah dapat dirumuskan secara baku

sebagai berikut:

1.      Bagaimanakah dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh

hakim dalam memutus suatu perkara?

2.      Bagaimana sebuah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat memenuhi unsur

rasa keadilan bagi masyarakat?

3. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi

tujuan dari penulisan ini adalah:

Untuk mengetahui dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh

hakim dalam memutus suatu perkara.

BAB II

TINJAUAN UMUM
53

1.      Dasar Hukum


Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini tertuang dalam

pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; “Segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya”.

Sebagai upaya pemenuhan apa yang menjadi kehendak rakyat ini,

dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan

tujuan agar penegakan hukum di Negara ini dapat terpenuhi. Salah satu pasal

dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yang berkaitan dengan masalah ini,

adalah pasal 3 ayat (2) berbunyi; “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan

hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila”.

Secara yuridis normatif, apa yang selama ini dijalankan oleh para hakim di

negara Republik Indonesia ini dan telah menjadi wacana diskusi baik di kalangan

para penegak hukum itu sendiri maupun oleh kalangan masyarakat pendamba

keadilan, sebab bukan rahasia lagi, bahwasanya harapan umumnya masyarakat

yang memasukkan perkaranya ke Pengadilan adalah untuk memperoleh keadilan.

Tapi kenyataannya bukanlah keadilan yang diperoleh, melainkan sekedar

kepastian hukum secara normatif belaka.

Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk disimak sinyalemen yang

dikemukakan oleh Achmad Ali (1999;200) bahwa di kalangan praktisi hukum,

terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar

sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi
54

dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang

dalam kenyataannya justeru berbeda sama sekali, dengan penggunaan kajian

moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan cenderung dibebani

tanggung jawab yang teramat berat dan nyaris tak terwujudkan, misalnya yang

terkandung di dalam semboyan-semboyan yang sifatnya bombastis seperti;

pengadilan adalah the last resort bagi pencari keadilan, pengadilan adalah ujung

tombak keadilan dan seterusnya.

Sinyalemen ini dapat terjadi tidak lain oleh karena hakim-hakim yang ada

sekarang ini tidak mampu melepaskan diri dari belenggu normatif yang telah

berakar dalam sistem peradilan ini.

Achmad Ali (1999; 30) mengemukakan; di dunia peradilan pengaruh

pandangan positivis melahirkan aliran legis, di mana hakim hanya dipandang

sekedar sebagai terompet undang-undang sebagai bouche de la loi saja. 

Soerjono Soekanto (1997;20) mengungkapkan bahwa; Sosiologi hukum

merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris

menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya.

Berdasarkan dengan pendapat tersebut, dipahami bahwa sosiologi hukum

adalah salah satu ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada kenyataan

sosial dengan mempergunakan sudut pandang hukum.

Bismar Siregar (1989; 33) mengatakan bahwa; seandainya terjadi dan akan

terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat

dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum

dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan.


55

Tentang kepastian hukum ini, menurut beliau KUHAP ternyata lebih

menitikberatkan kepada kepastian hukum, perlindungan hak terdakwa dari

penegakan keadilan itu. Selanjutnya, camkan pula apa yang dimaksud dengan

hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim lebih

peka terhadap perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat.

Singkatnya hakim tidak boleh terasing dari masyarakat.

Di sinilah persoalannya, karena dalam kenyataannya masih banyak kalangan

penegak hukum khususnya para hakim tidak peduli dengan apa yang terjadi di

lingkungannya, demikian pula dengan sikap mengabaikan hal-hal yang menjadi

adat kebiasaan masyarakat.

2.      Penegakan Hukum dan Penemuan Hukum


Menurut Soerjono Soekanto (1993; 5) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum itu, adalah sebagai berikut:
-          Faktor hukumnya sendiri.
-          Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
-          Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
-          Faktor masyarakat, yakni  lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
-          Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Hakim sebagai penegak hukum menurut pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

No.4 Tahun 2004 bahwa; “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.


56

Dalam penjelasan pasal ini dikatakan; “ketentuan ini dimaksudkan agar

putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Jadi hakim

merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan

rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,

merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang

sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan. Dalam menegakkan hukum

ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu; kepastian hukum

(rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit)

(Sudikno Mertokusumo, 1991; 134).

Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi

peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga

pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun

hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum.

Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu

yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya

kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih

tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban

masyarakat.

Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
57

penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat Jangan

sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di

dalam masyarakat.

Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum hendaklah keadilan diperhatikan. Jadi dalam pelaksanaan atau

penegakan hukum harus adil. Tetapi hukum tidak identik dengan keadilan.

Hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.

Contohnya bahwa barangsiapa yang mencuri harus dihukum, jadi setiap orang

yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Akan

tetapi sebaliknya keadilan itu bersifat subyektif, individualistis dan tidak

menyamaratakan. Seperti adil menurut Si Anton belum tentu adil menurut Si

Dono.

Di dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur

tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang.

Meskipun dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara

proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut, namun harus berusaha ke arah

itu, karena ketiga unsur itulah merupakan tujuan hukum yang akan ditegakkan

dalam masyarakat.

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum

oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang berwewenang untuk itu

yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum

yang konkrit. (Sudikno Mertokusumo, 1991; 136).


58

Proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat

umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka

menggunakan pembentukan hukum dari pada penemuan hukum, oleh karena

istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.

Namun harus diketahui bahwa dalam istilah pembentukan hukum oleh  hakim

sama saja kalau dikatakan penemuan hukum oleh hakim. Sedang pembentukan

hukum oleh suatu lembaga yang berwewenang itu disebut pembentukan hukum.

Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan

memutus suatu perkara, hakim ini dianggap mempunyai wibawa, begitu pula

ilmuwan hukum mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau hasil penemuan

hukum oleh hakim adalah hukum, sedang hasil penemuan hukum oleh ilmuwan

hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan

itu bukanlah hukum, namun di sini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh

karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya, itu

juga akan menjadi hukum.

Dalam rangka itu, sebagai upaya mengkaji putusan hakim dengan

mempergunakan optik sosiologi hukum, akan didasarkan pada pendapat beberapa

pakar sosiologi hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alvin S.Johnson

(1994;10-11) yang mengutip pendapat Dean Rescoe Pound yang mengutarakan

bahwa; besar kemungkinan kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum

moderen adalah perubahan pandangan analitis ke fungsional. Sikap fungsional

menuntut supaya hakim, ahli hukum dan pengacara harus ingat adanya hubungan

antara hukum dan kenyataan sosial yang hidup, dan tetap memperhatikan hukum
59

yang hidup dan bergerak, sebab biang ketidakadilan adalah konsep-konsep

kekuasaan yang sewenang-wenang, sebagaimana yang dinyatakan oleh hakim

Benjamin Cardozo, ia melukiskan pembatasan logikanya berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang terjadi dalam proses pengadilan

dewasa ini. Keterangan yang dimaksudkan sebelumnya telah dilancarkan oleh

hakim O.W.Holmes, bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika,

melainkan pengalaman. Pengalaman nyata dari kehidupan sosial yang tidaklah

mungkin diabaikan dalam setiap proses Pengadilan, jika tidak menginginkan

proses tersebut sebagai permainan kata-kata. (Georges Gurvitch, 1996; 2).

Hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-

pandangan atau pikirannya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini

hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan fungsi

yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang

konkrit. Dalam hal ini hakim diharapkan mampu mengkaji hukum-hukum yang

hidup di dalam masyarakat. Karena terkadang peristiwa konkrit yang terjadi itu, 

tidak tertulis aturannya dalam peraturan perundang-undangan.

 Masyarakat mengharapkan bahwa hakim di dalam menjatuhkan putusan

hendaklah memenuhi tiga unsur tujuan hukum yaitu kepastian hukum,

kemanfaatan dan keadilan sebagaimana halnya pada penegakan hukum.


60

BAB III

PERTIMBANGAN SOSIOLOGIS DALAM PUTUSAN PENGADILAN

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur

yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan

di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai

unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan

folosofis (keadilan).
61

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan

sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/ peraturannya. Fiat justitia et

pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan (Lucius

Calpurnius Piso Caesoninus, 43 SM). Adapun nilai sosiologis menekankan

kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi

manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam

melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam

masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai

keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan

bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan

individualistis.

Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis harus

mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam

prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsur-

unsur tersebut. Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim

terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar

antara sejauh mana pertimbangan unsur yuridis (kepastian hukum) dengan unsur

filosofis (keadilan) ditampung didalamnya.

Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi

terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum

akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi
62

memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa

kejam apabila dilaksanakan secara ketat.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan

hukum acara, yang mengatur sejak memeriksa dan memutus. Dan hasil

pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk

mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan

bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan, sehingga

ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/ menemukan fakta suatu

kasus merupakan factor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh

karena itu tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda

dengan putusan hakim.

Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam

memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan.

Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat masyarakat. Pendapat

masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam mempertimbangkan

suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan

sampai orang yang tidak bersalah dihukum karena disebabkan sikap tidak

profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula melepaskan

pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja

harus sesuai dengan keyakinan hakim yang professional dalam memutus sebuah

perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.

BAB IV
63

PENUTUP

1. Kesimpulan

1.      Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan


kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim
harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan
mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam
masyarakat.
2.      Tujuan hukum  adalah untuk mencapai kepada kepastian hukum dan kemanfaatan
hukum serta keadilan, baik  dalam rangka penegakan hukum maupun dalam
penemuan hukum. Kebebasan Hakim terutama di Indonesia masih hanya dalam
batas persidangan dalam memutus perkara.

2. Saran

1.      Penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada setiap
insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara meskipun telah mempunyai
polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa
keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan
Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Aparat hukum
terutama aparat Pengadilan khususnya hakim harus mengetahui bahwa putusan
Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh
pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan
sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa
mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang
mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang
diharapkan para pencari keadilan tersebut.
Diharapkan kepada para penegak hukum bahwa di dalam proses pembentukan
hukum dan proses penemuan hukum agar dapat mengkaji dan menggali nilai-nilai
hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar dapat tercapai tujuan hukum.

Anda mungkin juga menyukai