Anda di halaman 1dari 7

UJIAN TENGAH SEMESTER

HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN PIDANA


Dosen Pengampu : I Dewa Gede Dana Sugama, S.H., M.H.

Oleh :
Ni Komang Anggi Widyanti
1804551440
Kelas F Reguler Pagi

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
1. Tolong saudara jelaskan sejarah perkembangan hukum acara pidana di Indonesia
hingga berlakunya KUHAP.
Jawaban :

Pelaksanaan hukum acara pidana di Indonesia sebelum masa penjajahan sebagian


besar dipengaruhi oleh hukum adat yang tidak tertulis dan tidak terkodifikasi. Setelah
kedatangan Belanda di Hindia Belanda, mulailah pemberlakukan undang-undang
Kerajaan Belanda (asas konkordansi). Pada tanggal 1 Mei 1838, sesuai
dengan Staatsblad No. 57 Tahun 1847, Inlandsche Reglement (IR) dinyatakan mulai
berlaku di Jawa dan Madura. IR merupakan penerapan dari Pasal 4 Stbld 23/1947 dan
mengatur tentang hukum acara perdata dan pidana.

IR mengalami beberapa kali perubahan, namun yang paling signifikan adalah


keluarnya Staatsblad No. 44 Tahun 1941 yang mengubahnya menjadi Herziene
Inlandsche Reglement (HIR). Salah satu perbedaan utama IR dan HIR adalah
munculnya lembaga penuntut umum dan tidak lagi berada di bawah birokrasi
pemerintah.

Upaya untuk menerapkan IR/HIR di luar Jawa dan Madura mengalami masalah
karena acara pidana di wilayah tersebut sangat beragam, sehingga pemerintah pada
akhirnya memutuskan untuk menerapkan Rechtsreglement voor de Buitengewesten
(RBg) melalui Staatsblad No. 227 Tahun 1927 mulai tanggal 1 Juli 1927.

Setelah Indonesia merdeka, Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 menegaskan


pemberlakuan HIR sebagai undang-undang acara pidana pada tata hukum Republik
Indonesia. Selanjutnya, dikeluarkan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 Tentang
Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil mengadakan penyatuan tata
hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum yang baru. Lalu muncul
inisiatif untuk membentuk sebuah kitab undang-undang acara pidana nasional pada
tahun 1968, membutuhnya waktu yang cukup lama untuk membentuk kitab undang-
undang tersebut. Hingga pada akhirnya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, disahkan oleh DPR dan menjadi pedoman dalam
hukum acara pidana hingga saat ini.
2. Terdapat pihak-pihak dalam hukum acara pidana baik berdasarkann kewenangannya
maupun karena keadaannya, tolong dijelaskan.
Jawaban :
Pihak-pihak dalam Hukum acara pidana dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni :
a. Karena kewenangannya
 Penyelidik
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP yang dimaksud dengan
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
 Penyidik
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 KUHAP yang dimaksud dengan
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan.
 Jaksa dan Penuntut Umum
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan, Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
 Hakim
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili. (Pasal 1 angka 8 KUHAP)
 Panitera
adalah pejabat pengadilan yang salah satu tugasnya adalah membantu
hakim dalam membuat berita acara pemeriksaan dalam proses
persidangan. Panitera bertugas memberikan layanan administrasi dalam
persidangan.
 Penasihat Hukum
Pasal 1 angka 13 KUHAP menyebutkan bahwa Penasihat hukum adalah
seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan
undang-undang untuk memberi bantuan hukum. Menurut ketentuan Pasal
32 ayat (1) UU Advokat, bahwa “Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara
praktik, dan Konsultan hukum dinyatakan sebagai Advokat”, yakni orang
yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik didalam maupun diluar
pengadilan diwilayah Republik Indonesia.
 Petugas Rutan
Seseorang yang bertugas dalam suatu rumah tahanan, dan dapat disebut
sipir.
b. Karena keadaannya
 Tersangka
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP, dijelaskan bahwa Tersangka
adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Seseorang dapat dikatakan tersangka karena memenuhi tiga poin, yakni
perbuatannya (aktif ataupun pasif), keadaannya, serta bukti permulaan
yang cukup.
 Terdakwa
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di
sidang pengadilan (diatur dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP).
 Terpidana
Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 angka 32 KUHAP.
 Narapidana
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan
di lembaga permasyarakatan. Meskipun terpidana kehilangan
kemerdekaannya, ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam
sistem pemasyarakatan Indonesia.
 Saksi
Dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP dijelaskan pengertian bahwa Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.
3. Coba saudara jelaskan perbedaan antara laporan, aduan, dan tertangkap tangan.
Disertai contoh kasusnya.
Jawaban :
 Laporan menurut ketentuan Pasal 1 angka 24 KUHAP, adalah pemberitahuan
yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-
undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga
akan terjadinya peristiwa pidana.
Contoh : jika Anda melihat ada tindak pidana di suatu kecamatan, maka Anda
dapat melaporkan hal tersebut ke Kepolisian tingkat Sektor (POLSEK) di mana
tindak pidana itu terjadi.
 Aduan, yang mana dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 KUHAP menyebutkan
dengan Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut
hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
Contoh : seorang istri yang mengajukan pengaduan ke pihak kepolisian bahwa
suaminya melakukan perzinahan dan meminta untuk melakukan tindakan sesuai
hukum.
 Tertangkap tangan, dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 19 bahwa
tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu
dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang
yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda
yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang
menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu.
Contoh : kasus perjudian yang pelakunya tertangkap tangan ketika melakukan
perjudian bersama dengan adanya alat bukti berupa kartu judi dan sejumlah
uang yang berserakan diatas meja.
Perbedaan antara laporan dengan aduan serta tertangkap tangan :
- Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan
hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu menjadi
syarat.
- Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan hanya
dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
- Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, pengaduan di
dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan syarat untuk mengadakan
penuntutan.
- Sedangkan tertangkap tangan memiliki tempo atau waktu yang berbeda dengan
pelaporan dan aduan, dimana waktu suatu tindak pidana (benda terkait diduga)
tersebut terjadi bersamaan dengan ditemukannya oleh pihak berwenang.

4. Bagaimanakah prosesnya hingga seseorang dapat dilabeli sebagai DPO atau Daftar
Pencarian Orang, Jelaskan.
Jawaban :
Daftar Pencarian Orang (DPO) adalah sebuah istilah dibidang hukum atau
kriminalitas yang merujuk kepada daftar orang-orang yang dicari atau yang menjadi
target oleh pihak aparat kepolisian, dan secara umum DPO merujuk kepada dua hal
yaitu orang hilang dan pelaku Kriminal.

Dalam hal ini yang selanjutnya disebut DPO merupakan pelaku kriminal. Sebelum
seseorang dilabeli dengan gelar DPO, maka orang tersebut harus dulu berstatus
sebagai tersangka. Menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP, tersangka adalah “Seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana”.

Ketika dalam pemeriksaan lebih lanjut, orang tersebut (diduga tersangka) dipanggil
lebih dari 3 (tiga) kali secara patut namun tidak juga hadir, maka penyidik berwenang
mengeluarkan penetapan bahwa orang tersebut dalam status sebagai DPO, sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Saat
tersangka dan/atau orang yang dicari atau yang ditetapkan sebagai DPO telah
ditemukan atau tidak diperlukan lagi dalam penyidikan, aka wajib dikeluarkan
pencabutan DPO.

5. Tolong saudara cari 1 kasus pidana yang di SP3 kan, analisa kasus tersebut kaitkan
dengan alasan-alasan dapat dihentikannya suatu penyidikan.
Jawaban :
Salah satu contoh kasus pidana yang dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) yakni Kasus dugaan tindak pidana gratifikasi yang melibatkan
sebuah perusahaan swasta di Aceh dan penyidikannya dihentikan pada 7 Maret 2012.
Dalam kasus tersebut, dinyatakan dihentikan oleh penyidik dengan SP3 karena tidak
terdapat cukup bukti, padahal penyidik telah menetapkan tersangka sebelumnya.

Sebelumnya, yang dimaksudkan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)


adalah merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut umum bahwa
perkara dihentikan penyidikannya. Penghentian penyidikan merupakan kewenangan
dari penyidik yang diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP. Adapaun alasan-alasan
penghentian penyidikan diatur secara limitative dalam pasal tersebut, yaitu :

1. Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh
cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak
memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.
2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
3. Penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada
alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana,
yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena
perkara pidana telah kedaluwarsa.

Jika kembali melihat kenapa kasus yang disebutkan diatas dapat dihentikan
penyidikannya, sesuai dengan pernyataan angka 1 bahwa ‘tidak diperoleh bukti yang
cukup’ untuk menyatakan bahwa tersangka yang ditetapkan penyidik memang
melakukan suatu perbuatan pidana yang dalam kasus ini berupa tindak pidana
gratifikasi. Maka dengan terpenuhinya unsur tersebut, penyidik baik dari pihak
penyidik polri ataupun PNS tidak dapat melanjutkan penyidikan ke tahap berikutnya
atau dengan kata lain harus dihentikan.

Anda mungkin juga menyukai