Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ghozi Al Giffary Triwardhani

NIM : 1193030038
Kelas : Hukum Tata Negara 7 A
Mata Kuliah : Kaidah Fiqih Siyasah
Dosen : Dr. Ija Suntana, M.Ag

Soal :
Pilih 5 kaidah dan buatkan catatan dari kaidah tersebut

Jawaban :

1.

Artinya : Seseorang tidak boleh mengambil harta orang lain tanpa alasan hukum

Penjelasan : Bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya
seperti halnya mencuri atau proses pembagian harta warisan. Maka akan sah bila mana untuk
memindahkan harta melalui proses hukum yang berlaku.

Contohnya dalam proses pembagian harta waris dalam penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan
dalam pembagian warisan”. Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang
tersebut, kalimat itu dinyatakan dihapus. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan
berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama.

Selanjutnya dikemukakan pula mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di


seluruh wilayah nusantara yang selama ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar
hukumnya. Selain dari itu, berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk
menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang
agama yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

2.

Artinya : Penyebab tidak bertanggung jawab karena unsur kesengajaan

Penjelasan : Bila mana seseorang melakukan sebuah kejadian yang merugikan orang lain
akan tetapi bukan karena sengaja melaikan terjadinya faktor ketidak sengajaan dalam
perbuatannya maka tidak perlu mengganti rugi.

Seperti halnya Seseorang yang membakar semak belukar di lahan miliknya tidak bertanggung
jawab apabila apinya merembet pada properti sekitar dan menimbulkan kerugian, selama dia
tidak terdapat unsur kesengajaan (baik langsung maupun tidak langsung). Seseorang yang
melakukan pembakaran semak belukar kering di musim kemarau di saat
angin kencang setara melakukan kesengajaan, sehingga wajib mengganti kerugian yang
ditimbulkan dari rembetan api. Contoh lainnya ketika seseorang yang menebang pohon yang
mengakibatkan pohon terjatuh dan tidak sengaja menimpa pagar ren sapi hingga rusak dan
delapan sapinya lepas keluar, tidak dapat dituntut secara pidana atas kerusakan tersebut.

Tetapi, si pemilik pagar dan sapi sebagai pihak yang dirugikan dapat menggugat secara perdata
atas kerusakan yang ditimbulkan orang si penebang pohon. Dalam penjelasan lain bahwa
Dikatakan melakukan tadah apabila memenuhi unsur Pasal 480 KUHP. Sedangkan untuk dapat
dikatakan “turut serta” melakukan tindak pidana (Pasal 55 KUHP) maka harus terbukti bahwa
Anda turut melakukan perbuatan pelaksanaan tindak pidana penipuan. Apabila Anda dikatakan
membantu melakukan tindak pidana (Pasal 56 KUHP), maka harus dibuktikan ada unsur
“sengaja” pada tindakan Anda untuk membantu melakukan tindak pidana. Untuk menentukan
bisa atau tidak Anda dihukum maka harus dilihat kembali perbuatan mana yang dituduhkan
kepada Anda dan apakah telah terpenuhi unsur pasal yang dituduhkan.

3.
Artinya : Seseorang terikat oleh pengakuannya

Penjelasan : Setiap pengakuan yang disampaikan oleh orang yang memenuhi kriteria (
Dewasa,berakal dan sadar ) maka memiliki dampak hukum langsung bagi dirinya, kecuali
pengakuan palsu. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa “pengakuan” termasuk alat bukti
tidak langsung. Bilamana dilihat dari sifat dan bentuknya, pengakuan tidak tepat untuk disebut
sebagai alat bukti. Karena pada dasarnya pengakuan bukan berfungsi membuktikan tetapi
pembebasan pihak lawan untuk membuktikan hal yang diakui pihak lain. Jika tergugat
mengakui dalil penggugat pada dasarnya tergugat bukan membuktikan kebenaran dalil
tersebut, tetapi membebaskan penggugat dari kewajiban beban pembuktian untuk
membuktikan dalil yang dimaksud.

Maka oleh karena itu pada hakekatnya pengakuan bukanlah merupakan pernyataan tentang
kebenaran, sekalipun biasanya memang mengandung kebenaran, akan tetapi lebih merupakan
pernyataan kehendak untuk menyelesaikan perkara. Maka sekalipun dimuat sebagai alat bukti
dalam Pasal 164 HIR (284 RBg, 1866 KUH Perdata) pada hakekatnya pengakuan bukanlah
merupakan alat bukti. Karena itu pula di dalam pasal-pasal tentang jenis alat bukti sebagaimana
telah dikutip di atas tidak disebutkan kata bukti di depannya, hanya disebut “pengakuan”,
sedangkan alat-alat bukti “surat” dan “saksi” disebut dengan kata “bukti tertulis (bukti dengan
surat)” dan “bukti saksi (bukti dengan saksi)”. Apalagi dalam acara pidana, sesuai dengan
ketentuan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang diakui secara enumeratif terdiri dari :

- Keterangan saksi;

- Keterangan ahli;

- Surat;

- Petunjuk, dan

- Keterangan terdakwa.

Sedangkan “pengakuan” tidak dikategorikan sebagai alat bukti dalam proses persidangan
pidana di Indonesia. Dalam acara pidana, titik berat alat bukti untuk membuktikan kesalahan
yang dilakukan terdakwa, lebih diarahkan kepada alat bukti keterangan saksi. Namun tidak
mengurangi pentingnya alat bukti surat dalam bentuk pidana tertentu, seperti kasus korupsi,
pemalsuan, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan lain sebagainya.
Sekalipun tidak dicantumkan kata “bukti” pada “pengakuan”. Namun dalam ketiga pasal (Pasal
284 RBg, 164 HIR dan 1866 KUH Perdata) dengan tegas menyatakan bahwa pengakuan
sebagai salah satu alat bukti yang berada pada urutan keempat, setelah bukti tertulis, bukti
saksi, persangkaan dan/atau sebelum alat bukti sumpah yang menduduki urutan yang terakhir
(kelima).

Pengakuan (bekentenis, confession) adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri,


bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Pengakuan sebagai alat bukti
diatur dalam pasal 174, 175, 176 HIR, pasal 311, 312, 313 RBg, dan pasal 1923-1928 KUH
Perdata.

4.

Artinya : Bukti suatu hal untuk perkara-perkara yang tidak jelas dapat menggantikannya.

Penjelasan : Dalam perkara tidak jelas, maka bukti merupakan suatu hal menggantikan hal
tersebut. Hal yang tidak jelas dan sulit ditemukan kebenarannya dinilai berdasarkan bukti jelas
tentang hal tersebut yang ditetapkan oleh pengadilan. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya
alat-alat bukti yang sah. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti.
Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita,
yaitu:

a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;

c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;


d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;

e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan, Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan
dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.

Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat
penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam
suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya
tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat
[1] KUHP).

5.

Artinya : Perubahan hukum akibat perubahan zaman tidak dapat disangkal


Penjelasan : Setiap hukum yang didasarkan pada sebab-sebab yang mengalami perubahan
dapat berubah seiring dengan perubahan sebab-sebab yang mendasarinya. Pembaharuan
hukum karenanya merupakan keharusan sejarah karena fenomena sosial kemasyarakatan
tidaklah statis atau tetap, melainkan selalu berubah. Jadi, selain bersifat permanen, hukum juga
berubah. Hukum selain bersifat statis dan tetap, pada saat yang sama juga berubah dan
diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Hukum Islam—
baik dilihat sebagai produk ilmu maupun sebagai ilmu, serta dari perspektif tajdid— niscaya
memerlukan perubahan dan pembaharuan.

Di dalam prakteknya pembaharuan Hukum Islam di Indonesia sudah mulai berkembang sejak
jaman kemerdekaan yaitu pada tahun 1945 dan kemudian sampai sekarang sudah cukup banyak
produk reformasi hukum Isla tersebut diantaranya yang berperan penting dalam reformasi
tersebut adalah ormas-ormas Islam dan yang paling penting adalah bahwa Pengadian Agama
selaku lembaga penegak hukum menjadi lebih luas kewenangannya untuk melakukan
reformasi hukum Islam yaitu dengan adanya UU Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman. Dan juga adanya UndangUndang nomor 35 tahun 2000 tentang Propernas yang
menyebutkan bahwa untuk membentuk hukum Nasional salah satu bahan bakunya adalah
hukum Agama.
Secara legal formal pembaharuan Hukum Islam Indonesia ditandai dengan adanya peranan
Pegadilan Agama dalam pemeberlakuan UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP
tahun 1975 yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang
lainnya yang substansinya mencoba menggeser nilainilai fiqh klasik kepada nilai-nilai baru.

Anda mungkin juga menyukai