Anda di halaman 1dari 22

BAB V

PERIHAL PEMBUKTIAN

1. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN SERTA ALAT-ALAT BUKTI

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu
hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum
inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara.
Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya,
gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-
dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim
yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan siapa di antara pihak-pihak yang berperkara
akan diwaibkan untuk memberikan bukti, apakah itu pihak penggugat atau sebaliknya, yaitu pihak
tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana aka memikul
beban pembuktian.

Di dalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan biaksana, serta
tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan secara
seksama olehnya.

Selain untuk hal-hal yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal, masih terdapat
satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah
diketahui oleh khalayak ramai. Hal yang disebut terakhir ini dalam hukum acara perdata disebut
fakta notoir. Adalah sudah diketahui oleh khalayak ramai, sudah merupakan pengetahuan umum,
merupakan fakta notoir, bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintah tutup, dan
bahwa harga tanah di kota, terutama di Jakarta, lebih mahal daripada harga tanah di desa fakta otoir
merupakan hal atau keadaan yang sudah dektahui pula sendiri oleh hakim.

Menurut Prof. Mr. A. Pito dalam bukunya “BEWIJS EN VERJARING NAAR HET NEDERLANDS
BURGERLIJK WETBOEK”, penerbit H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V., 1953, halaman 16, mengatakan
bahwa tidaklah termasuk dalam “notoire feiten” iuperistiwa-peristiwa yang secara kebetulan
diketahui oleh hakim yang bersngkutan, atau ia menyaksikanny ketika terjadi atau hakim yang
bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian/keadaan. Pendapat itu dapat dibenarkan,
karena hal-hal semacam itu masih harus dibuktikan. Demikian pula pendapat Prof. R. Soekardono
G.H., seorang hakim yang sangat berpengalaman, dalam karangannya “PENGGUNAAN UPAYA-
UPAYA PEMBUKTIAN DALAM PROSEDURE PERDATA”, Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
(LPHN), 1971 No. 12, halaman 49.

Ditilik dari apa yang telah diuraikan di atas ternyata, bahwa soal membuktikan suatu
peristiwa, mengenai adanya suatu hubungan hukum, adalah suatu cara untuk meyakinkan hakim
akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugat, atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk
menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.
Berbeda dengan azas yang terdapat dalam hukum acara pidana, di mana seorang tidak bisa
dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah
hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk
memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting adalah adanya alat-alat
bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa
yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup
dengan kebenaran formil saja.

Pasal 162 H.I.R. berbunyi, bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti
dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok yang berikut
ini.

Ketentuan dalam pasal tersebut di atas merupakan perintah kepada hakim untuk dalam
hukum pembuktian harus berpokok pangkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam H.I.R.
yaitu pasal 163 dan seterusnya. Pasal yang terpenting dalam peraturan pokok yang mengatur
tentang bukti, adalah pasal 163 H.I.R.

Untuk memberikan gambaran yang jelas, penulis akan kutip ketentuan pasal 163 H.I.R. yang
berbunyi demikian: “Barang siapa mengatakan mempuyai barang suatu hak, atau mengatakan suatu
perbuatan untuk menegaskan haknya atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan
hak itu atau adanya perbuatan itu.”

Dalam pasal 163 H.I.R. terdapat azas “siapa yang mendalilkan sesuatu dia harus
membuktikannya”. Secara sepintas lalu, azas tersebut “kelihatannya” sangat mudah. Sesungguhnya
dalam praktek merupakan hal yang sangat sukar untuk menentukan secara tepat, siapa yang harus
dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu. Sebagai patokan dapat dikemukakan, bahwa
hendaknya tidak selalu satu pihak saja yang diwajibkan memberikan bukti, akan tetpi harus saja yang
diwajibkan memberikan bukti, akan tetapi harus dilihat secara kasus demi kasus, menurut keadaan
yang konkrit dan pembuktian itu hendaknya diwajibkan kepada pihak yang paling sedikit diberatkan.

Yang dimaksud dengan “mempunyai sesuatuu hak”, dalam pasal 163 adalah misalnya, bahwa
penggugat atau tergugat menyatakan bahwa ia berhak atas sawah sengketa tersebut, oleh karena ia
memperolehnya itu berdasarkan pembelian dari seseorang. Yang dimaksud dengan “menyebutkan
sesuatu perbuatan”, misalnya adalah “bahwa ia telah diangkat sebagai anak angkat almarhum”.
Perkataan “untuk meneguhkan haknya” berarti bahwa penggugat atau tergugat yang mendalilkan
adanya hak atau kejadian tersebut, yang berkewajiban untuk membuktiak dalilnya itu. Perkatannya
“untuk membantah hak orang lain”, misalnya, pihak penggugat/tergugat yang mendalilkan adanya
hak tersebut, dan tergugat/penggugat membantah hal tersebut.

Bukti-bukti apa saja yang dapat dihaturkan di persidangan? Perihal tersebut dijawab oleh
pasal 164 H.I.R. yang menyebutkan 5 macam alat-alat bukti, ialah:

(1) Bukti surat;


(2) Bukti saksi;
(3) Persangkaan;
(4) Pengakuan;
(5) Sumpahan.
Dalam prakek masih terdapat satu macam alat bukti lagi yang sering dipergunakan, iallah
“pengetahuan hakim”. Yang dimaksud dengan “pengetahuan hakim” adalah hal atau keadaan yang
diketahuinya sendir oleh hakim dalam sidang, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan
pemeriksaan seempat bahwa benar ada barang-barang penggugat yang dirusak oleh tergugat dan
sampai seberapa jauh kerusakannya itu.

Perihal pengetahuan hakim tersebut di atas, Mahkamah Agung dengan keputusannya


tertanggal 10 April 1957 No. 213 K/Sip/1955 telah memberi pendapatnya sebagai berikut: “Hakim-
hakim berdasarkan pasal 138 ayat 1 bersambung dengan pasal 164 Herziene Indonesisch Reglement
tidak ada keharusn mendengar penerangan seorang ahli, sedang penglihatan Hakim pada suatu
tandtangan di dalam sidang boleh dipakai Hakim itu sebagai pengetahuan sendiri di dalam usaha
pembuktian” (termuat dalam Hukum, Majalah Pahi 1958 No. 1-2, halaman 63-64).

Dari putusan tersebut di atas nampak jelas bahwa “pengetahuan hakim” merupakan alat
bukti. Dalam perkara tersebut di atas, haim yang bersangkutan mempertimbangkan dan
menetapkan sendiri perihal perbedaan yang menurut penglihatannya nampak antara tandatangan
yang terdapat di atas sehela surat bukti dan tandatangan yang bersangkutan yang terdapat pada
saurat kuasa kepada kuasanya.

Hal-hal atau keadaan yang diketahui oleh hakim dari pengetahuannya di luar sidang, misalnya
bahwa tergugat sesungguh-sungguhnya adalah anak almarhum, bukan merupakan pengetahuan
hakim, melainkan pengetahuan bapak atau ibu hakim pribadi, yang secara kebetulan mengetahui hal
tersebut.

Atas dasar hal tersebut, penulis kurang spendapat dengan pertimbangan hukum yang
dipergunakan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 1 Jui 1955 No. 53 K/Sip/1952
yang berbunyi: Menimbang, bahwa Mahkamah Agung mengetahui sendiri, bahwa menurut hukum
adat di Bali, I Made Sudjana tersebut sebagai satu-satunya anak laki-alki adalah pulsa satu-satunya
ahliwaris dari marhum bapaknya I Made Rama, sehingga ahliwaris inilah, asal saja ia telah cukup
umur, adalah yang berhak memajukan gugatan peninggalannya marhum bapaknya (termuat dalam
Hukum Majalah Pahi 1956 No. 1-2, halaman 42).

Mungkin yang dimaksud oleh Mahkamah Agung dalam putusan tersebut di atas adalah,
bahwa menurut Hukum Adat di Bali, anak laki-laki satu-satunya adalah pula ahliwaris satu-satunya
dari almarhum ayahnya. Jelas bahwa apabila hal itu yang dimaksud, maka ini bukan merupakan
pengetahuan hakim.

Bandingkan pertimbangan hukum yang dipakai oleh Mahkamah Agungdalam putusannya


tertanggal 1 Juni 1955 No. 53 K/Sip/1952 ini, dengan ketentuan pasal 79 Undang-undang Mahkamah
Agung Indonesia No. 1 tahun 1950 (Undang-undang tanggal 6 Mei 1950No. 1 yang dinyyatakan
sudah tidak berlaku lagi berdasarkan pasal 70 Undang-undang No. 13 tahun 1965) yang berbunyi:
“Pengetahuan Hakim berarti penyaksian sendiri pada waktu sidang.”

2. BUKTI SURAT

Pengertian dan kedudukan surat biasa, akta otentik dan akta di bawah tangan.
Pasal 137 H.I.R. berbunyi: “Kedua belah pihak boleh timbal-balik menuntut melihat surat
keterangan lawannya yang untuk maksud itu diserahkan kepada hakim.”

Pasal tersebut di atas memungkinkan kepada kedua belah pihak untuk minta surat dari pihak
lawan agar diserahkan kepada hakim surat-surat yang berhubungan dengan perkara yang sedang
diperiksa agar iadapat meyakinkan isi surat-surat tersebut, serta memeriksa apakah ada alasan
untuk menyangkal keabsahan surat-surat tersebut.

Surat-surat apa yang dapat diminta oleh salah satu pihak agar diserahkan kepada majelis?
Penyerahan surat-surat dapat dimintakan, apabila surat itu mengenai soal yang menjadi pokok
perselisihan antara kedua belah pihak.

Pasal 138 H.I.R. mengatur bagaimana cara bertindak, apabila salah satu pihak enyangkal
keabsahan darisurat bukti yang diajukan oleh pihak lawan. Apabila terjadi demikian, maka
pengadilan negeri wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai hal tersebut. Ayat 2 sampai 5
dari pasal 138 H.I.R. mengatur, apa yang harus dilakukan oleh hakim dan oleh penyimpan surat
tersebut, apabila dalam penyelidikan ini diperlukan pula surat-surat yang resmi berada di tangan
pegawai yang khusus ditunuk oleh undang-undang untuk menympan surat-surat tersebut.

Jika ada sangka yang beralasan, bahwa surat tersebut adalah palus atau dipalsukan oleh orang
yang masih hidup, maka surat tersebut dikirimkan kepada jaksa untuk dilaksanakan penuntutan
sebagaimana mestinya. Apabila terjadi hal itu, pemeriksaan perkara perdata, untuk sementara
ditangguhkan, sampai perkara pidananya diputus. Dalam praktek bantuan dari bagian penyidikan
Markas Besar Anggota Kepolisian suka diminta untuk memperbandingkan tulisan atau tandatangan
yang satu dengan yang lainnya dan untuk memberi pendapat apakah tandatangan yang
bersangkutan palsu atau tidak. Selain itu sering juga dilakukan pemeriksaan terhadap cap jmpol yang
konon dipalsukan.

Dalam proses perdata bukti tulisan merupakan bukti yang paling penting dan utama.
Terutama dalam lalu-lintas perdagangan seringkali sengaja disediakan suatu bukti yang dapat
dipakai, apabila dikemudian hari timbul suatu perselisihan, bukti mana adalah berupa sehelai surat.
Untuk penerimaan sejumlah barang, biasanya orang harus menandatanganisurat tanda penerimaan
barang yang dalam istilah sehari-harinya disebut faktur.

Apabila jurusita atas perintah ketua pengadilan negeri melakukan suatu pemanggilan pihak-
pihak atau pemanggilan saksi-saksi, melakukan pensitaan, sebagai bukti bahwa ia telah melakukan
tugas yang diperintahkannya itu, dibuat relas atau berita acara.

Di samping itu ada surat-meyurat yang diadakan antar 2 orang atau lebih, baik hal itu dilakuka
sehubungan dengan cinta kasih atau dalam rangka perdagangan. Jelaslah sudah, bahwa dalam
praktek dikenal macam-macam surat yang dalam hukum acara perdata dibagi dalam 3 kelompok,
dengan perkataan lain hukum acara perdata mengenal 3 macam surat ialah:

(a) Surat biasa;


(b) Akta otentik;
(c) Akta di bawah tangan.
Perbedaan dar ketiga macam surat ini, yaitu dalam kelompok mana suatu tulisan termasuk, itu
tergantung dari cara pembuatannya. Sehelai surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan
bukti. Apabila kemudaian surat itu dijadikan bukti, hal itu merupakan suatu kebetulan saja. Dalam
kelompok ini termasuk surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan korespodensi dagang dan
sebagainya.

Berbeda dengan surta biasa, sehelai akta dibuat dengan sengaja, untuk dijadikan bukti.
Belumlah tentu bahwa akta itu, pada suatu waktu akan dipergunakan sebagai bukti di persidangan,
akan tetapi suatu akta merupakan bukti bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan, dan akta itu
adalah buktinya. Sehelah kwitansi, faktur merupakan akta, tegolong dalam kelompokc, ialah akta di
bawah tangan. Akta di bawah tangan dan akta otentik dibuat secara berlainan.

Pasal 165 H.I.R. memuat suatu definisi apa yang dimaksud dengan akta otentik, yang berbunyi
sebagai berikut: “Akta otentik, yaitu surat yang diperbuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang
berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahliwarisnya
serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam
surat itu dn juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang
tersebut kemudian hanya sekedar yag diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok dalam
akta itu.” Perkataan diperbuat sesungguhnya tidak tepat, seharusnya dibuat.

Di atas ternyata bahwa ada akta otentik yang dibuat oleh dan ada yang dibuat di hadapan
pegawai umum yang berkuasa membuatnya. Akta otentik yang dibuat “oleh”, misalnya adalah surat
panggila jurusita, surat putusan hakim, sedangkan akta perkawinan dibuat di hadapan pegawai
pencatat nikah dan surat perjanjian di buat di hadapan Notaris. Pegawai umum yang dimaksud di
sini adalah notaris, jurusita, hakim, pegawai catatan sipil dn sebagainya.

Akta yang tidak dibuat secara demikian adalah akta di bawah tangan, misalnya surat
perjanjian hutang-piutang, surat perjanjian sewa-menyewa, kwitansi dan sebagaiinya, yang dibuat
oleh yang bersangkutan sendiri.

Dalam pasal 165 H.I.R. ditentukan bahwa akta otentik merupakan bukti yang cukup bagi kedua
belah pihak dan ahliwarisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang apa
yang tersebut di dalamnya perihal pemberitahuan belaka, apabila hal yang disebut kemudian itu
mempunyai hubungan langsung dengan pokok soal tersebut.

Akta otentik merupakan bukti yang cukuo, itu berarti bahwa dengan dihaturkannya akta
kelahiran anak, misalnya sudah terbukti secara sempurna tentang kelahiran anak tersebut, dan
perihal itu tidak perlu penambahan pembuktian lagi. Bukti yang cukup ini, juga disebut bukti yang
sempurna. Kekuatan pembuktian sempurna ini berarti, bahwa isi akta tersebut oleh hakim dianggap
benar, kecuali apabila diajukan bukti lawan yang kuat, hal mana berarti bahwa hakim harus
mempercayai apa yang tertulis dalam akta tersbut, dengan perkataan lain yang termuat dalam akta
itu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan.

Pernah teradi dalam dunia peradilan, bahwa seorang jurusita teah memanggil penggugat yang
bernama A. Dalam pemeriksaan di persidangan relas panggilan dihaturkan sebagai bukti, bahwa A
telah dipanggil dengan patut untuk menghadap pada sidang tersebut, dan karena dalam relas
disebutkan bahwa jurusita telah bertemu dengan A sendiri, dan pihak penggugat telah hadir, hakim
tidak ragu dan gugat digugurkan. Apa lacur, setelah putusan dijatuhkan yaitu beberapa hari
kemudian, A datang untuk menanyakan kapan perkaranya akan disidangkan. Pemeriksaan dilakukan
terhadap jurusita yang konon telah melakukan panggilan terhadap A tersebut dan ternyata jurusita
itu sesungguh-sungguhnya telah tidak memanggil A sama sekali. A dapat membuktikan, bahwa ia
baru saja kembali dari Medan perkaranyya sudah terlanjur diputus. Ketua pengadilan negeri yang
bersangkutn mengambil tindakan positif terhadap jurusita tersebut, ia untuk selanjutnya dilarang
untuk melakukan pemanggilan-pemanggilan lagi. Kepada penggugat dianjurkan untuk mengajukan
gugatan sekali lagi.

Dari hal di atas pula ternyata, bahwa kekuatan bukti yang sempurna masih dapat digugurkan
dengan bukti lawan yang kuat. Misalnya apabila dalam suatu akta notaris, yaitu pada minit (minuut)
yang disimpan oleh notaris, terdapat tandtangan palsu dan perihal kepalsuan tandatangan tersebut
dapat dibuktikan ,maka gugurlah kekuatan bukti akta notaris tersebut.

Apakah yang tertulis dalam akta otentik itu mengikat dan harus dianggap benar? Menurut
pendapat yang kuno, yang sekarang sudah ditinggalkan adalah, bahwa yang harus dianggap benar
hanyalah bahwa kedua belah pihak pada hari dan tanggal tersebut betul telah menghadap kepaa
pegawai umum tersebut, dan bahwa mereka benar telah menerangkan apa yang tertulis dalam akta
itu. Hal itu berarti, bahwa akta tersebut tidak memberikan bukti tentng apakah benar apa yang
diterangkan itu.

Pendapat yang sekarang banyak dianut ialah, bahwa akta otentik tidak hanya membuktikan
bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan dalam akta tersebut, tetapi juga bahwa
apa yang diterangkan tadi adalah benar. Hal ini berarti, bahwa apabila dalam akta notaris tertulis,
bahwaA dan B telah menghadap di hadapan P.P.A.T. dan menerangkan, bahwa merekka telah
melakukan jual-beli mengenai sebidang sawah dengan harga tertentu, maka yang harus dianggap
benar, bukan saja bahwa mereka telah menerangkan tentang terjadinya jual-beli sawah tersebut,
tetapi pula bahwa jual-beli sawah termaksud benar-benar telah terjadi.

Berhubung dengan hal itu dikemukakan, bahwa akta otentik mempunyai kekuatan bukti formil
dan materiil. Formilnya yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam
akta itu. Materiil, bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.

Kekuatan bukti yang sempurna, dari akta otentik yang bersifat akta partai itu hanya berlaku
antara kedua belah pihak atau ahliwarisnya dan orang yang mendapat hak dari mereka. Terhadap
pihak ketiga,akta otentik berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya penilaiannya diserahkan
kepada kebijaksanaan hakim.

Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah, bahwa akta otentik mempunyai 3 macam
kekuatan pembuktian, yakni:

a) Kekuatan pembuktian formil. Membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
b) Kekuatan pembuktian materiil. Membuktikan antara parap pihak, bahwa benar-benar
perisiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
c) Kekuatan mengikat. Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal
yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. Oleh karena menyangkut pihak ketiga,
maka disebutkan bahwa akta otentik memunyai kekuatan pembuktian kluar (orang luar).

Perihal kekuatan pebuktian kata di bawh tangan harus diperhatikan dengan seksaa peraturan
yang terdapat dalam Ordonansi tahun 1867 no. 29 yang memuat “Ketentuan-ketentuan tentang
kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau
yang dipersamakan dengan mereka.” Yang dimaksud dengan tulisan dalam Ordonansi ini adalah
akta.

Pasaal 2 Ordonansi tersebut mnentukan: “Barang siapa, yang terhadapnya diajukan suatu
tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tandatangannya; tetapi
bagi para ahliwarisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya, cukuplah jikamereka
menerangkan tidak mengakui tulisan atau tandatangan itu sebagai tulisan atau tandatangan orang
mereka wakili.”

Dalam akta otentik tandatangan tidak merupakan persoalan, akan tetapi dalam akta di bawah
tangan pemeriksaan tentang benar tidaknya akta yang bersangkutan telah ditandatangani oleh yang
bersangkutan merupakan acara pertama. Apabila tandatangan yang terddapat dala akya di bawah
tangan disanhkal oleh pihak yang menandatangani akta tersebut sebagai pihak, maka yang
mengajukan akta di bawah tangan itu harus berusaha membuktikan kebenaran dari tandatangan
tersebut, dengan perkataan lain, apabila tandatangannya disangkal, maka haki harus memeriksa
kebanaran tandatangan tersebut.

Pasal 1b Ordonansi tersebut berbunyi: “Tulisan-tulisan di bawah tangan, berasal dari otang-
orang Indonesia atau orang-orang yang dipersamakan dengan mereka, yang diakui oleh mereka
terhadap siapa tulisan-tulisan itu diajukan, atau yang berdasarkan suatu ketetnuan undang-undang
dianggap sebagai telah diakui, memberikan terhadap para penandatangannya suatu pembuktian
yang sempurna seperti suatu akta otentik.”

Dari ketentuan tersebut di atas tadi nyata, bahwa akta di bawah tangan yang diakui isi dan
tandatangannya, dalam kekuatan pembuktian hampir sama dengan akta otentik; bedanya terletak
pada kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta di bawha tangan.

Akta di bawah tangan dapat dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris, atau pegawai lain yang
ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan yang diadakan olleh undang-undang.
Pembubuhan pernyataan oleh notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang seperti
tersebut di atas tadi disebut “legalisasi” yang berarti pengesyahan. Pejabat-pejabat yang lain
berwenang memberikan legalisasi adalah hakim, bupati krpala daerah dan walikota (Ordonansi
tahun 1916 no.46).

Dengan penandatangan suatu akta dipersamakan suatu cap jempol, yang dibubuhi pernyataan
yang bertanggal oleh notaris, hakim, bupati kepala daerah atau walikota, dari mana ternyata bahwa
pejabat tersebut kenal kepada pembubuh cap jempol tersebut atau bahwa orang tersebut telah
diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang tersebut dan bahwa
setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan di hadapan pejabat tadi. Akta tersebut kemudian
dibukukan dalam buku khusus yang disediakan guna keperluan itu (Ordonansi tahun 1916 no.46).
Surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta, dalam hukum pembuktian mempunyai nilai
pembuktian sebagai bukti bebas. Dala praktek surat-surat semacam itu sering dipergunakan untuk
menyusun persangkaan.

3. BUKTI SAKSI-SAKSI

Siapa yang dapat diajukan sebagai saksi, pengertian testimonium de auditu, pengertian unus
testis nulus testis.

Pembuktian dengan saksi dalam praktek lazim disebut kesaksian. Dalam hukum acaara
perdata pembuktian dengan saksi yang sangat penting artinya, terutama untuk perjanjian-perjanjian
dalam hukum adat, di mana pada umumnya karena adanya saling percaya-mempercayai tidak dibuat
sehelai surat pun. Oleh karena bukti berupa surat tidak ada, pihak-pihak akan berusaha untuk
mengajukan saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang dimajukan di muka
persidangan.

Dalam suasana hukum adat dikenal 2 macam saksi, yaitu saksi-saksi yang secara kebetulan
melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi persoalan, dan saksi-saksi yang pada
waktu perbuatan hukum itu dilakukan, sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum
tersebut.

Yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat, dengar atau rasakan sendiri, lagi
pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasa-alasan apa sebabnya, dan bagaimana sampai ia
mengetahui hal-hal yang diteragkan olehnya, perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi
karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksan (pasal 171 ayat 2 H.I.R.).

Seorang saksi dilarangg untuk menarik suatu kesimpulan, karena hal itu adalah tugas hakim.
Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus bersumpah menurut cara agamanya atau berjanji,
bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Setelah disumpah saksi wajib mmemberi ketarangan
yang benar, apabila ia dengan sengaja memberi keterangan palsi, saksi dapat dituntut dan duhukum
untuk sumpah palsu menurut pasal 242 W.v.S. (K.U.H. Pidana).

Peraturan yangg menyangkut perihal cara mengucapkan sumpah atau janji terdapat dalam
Eedsregeling dari Stbl. 1920 No. 69. Ketentuan dalam pasal 5 Eedsregelin tersebut memperkenankan
untuk mengucapkan janji bagi mereka yang menurut agamanya dilarang untuk mengucapkan
sumpah.

Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian pasal 172 H.I.R. memberikan petunjuk sebagai
berikut: “Dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim memperhatikan benar kecocokan
saksi-saksi yang satu dengan yang lain, persertujuan kesaksian-kesaksian dengan apa yang diketahui
dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan; segala sebab yang kiranya ada pada saksi-
saksi untuk menceritakan perkara itu cara begini atau begitu; cara hidup, adat dan marabat saksi dan
pada umumnya segala hal ihwal yang boleh pernegaruh sehingga saksi itu dapat dipercaya atau
kurang dipercayai.”

Siapa yang dapat diajukan sebagai saksi? Dapatkan setiap orang diajukan sebagai saksi?
Perihal pertanyaan tersebut di atas pasal 145 H.I.R. memberikan jawabannya:
Pasal 145 H.I.R. berbunyi sebagai berikut:

(1) Yang tidak dapat didengar sebagai saksi, adalah:


a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu
pihak;
b. Suami atau isteri salah satu pihak, meskipun telah bercerai;
c. Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah berumur
lima belas tahun;
d. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang.
(2) Akan tetapi keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena
keadaan itu dalam perkara tentang keadaan menurut hukum sipil daipada orang yang
berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
(3) Orang yang tersebut dalam pasal 146 (1) a dan b, tidak berhak minta mengundurkan diri
daripada memberi kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat di muka.
(4) Pengadilan negeri berkuasa akan mendengar di luar sumpah anak-anak atau orang-orang gila
yang kadang-kadang terang ingatannya, yang dimaksud alam ayat pertama, akan tetapi
keterangan mereka hanya dipakai selaku penjelasan saja.

Dengan keluarga sedarah dimaksud keluarga sedarah yang sah dan tidak sah. Keluarga
semenda adalah keluarga yang tertarik karena perkawinan yang sah. Sedang pengertian dari salah
satu pihak adalah baik daripenggugat aupun tergugat.

Yang tersebut dalam ayat (1) a dan b pasal 145 H.I.R. dilarang didengar, oleh karena
dikhawatirkan bahwa mereka akan memberikan keterangan yang palsu di persidangan, karena
terpaksa disebabkan oleh hubungankeluarga yang dekat. Anak-anak yang be,um mencapai umur 15
tahun juga dilarang untukdidengar sebagai saksi, kecuali apabila mereka telah menikah, oleh karena
mereka dikhawatirkan kalau mengkhayal, setidak-tidaknya keterangan mereka belum dapat
dipertanggungjawabkan, juga orang gila dilarang didengar, oleh karena keterangannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan 100%.

Keluarga sedarah dan keluarga semenda tida boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara-
perkara mengenai kedudukan sipil dari pihak yang bersangkutan atau dalam perkara-perkara
mengenai perjanjian kerja.

Pada ayat (40) pasal 145 H.I.R. mengenai perkataan pengadilan negeri menurut hemat penulis
kurang tepat, sebaiknya dipergunakan pengadilan saja, karena pengadilan tinggi pun berkuasa
mendengar mereka apabila diperlukan.

Ayat 4 menyebutkan bahwa keterangan mereka hanya boleh dpandang sebagai penjelasan
saja, ini berarti bahwa keterangan mereka itu tidak merupakan bukti. Keterangan anak-anak yang
belum berumur 15 tahundan keterangan orang gila, yang ingatannya kadang-kadang terang hanya
dapat dipergunakan untuk menyusun persangkaan.

Pasal 146 H.I.R. menyebutkan golongan-golongan orang yang diperkenankan untuk


mengundurkan diri. Hal ini berarti, bahwa bukan hakim yang karena abatan akan menolak mereka,
seperti halnya saksi yang dilarang dalam pasal 145 H.I.R., akan teapi saksi sendiri yang oleh undang-
undang diberi hak untuk tidak mau didengar di bawah sumpah. Kalau saksi tersebut tidak minta
untuk mengundurkan diri, saksi itu tidak boleh ditolak. Hanya nanti dapat dipertimbangkan, tidak
dapat dipercaya penuh, satu dan lain, oleh karena sebagaimana telah dikemukakan di atas, hakim
harus memperhatikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi keterangan saksi (pasal 172 H.I.R.).

Menurut pasal 146 (1) H.I.R. yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan kesaksian,
adalah:

(a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salahs atu
pihak;
(b) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus, dan saudara laki-laki dan perempuan dari
laki atau isteri salah satu pihak;
(c) Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatan syah diwajibkan menyimpan
rahasia, akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya
karena martabat, pekerjaan datau jabatannya itu.

Penyebutan keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dalam pasal 146 sub b
sesungguhnya adalah berlebihan, karena mereka sudah termasuk golongan keluarga yang dilarang
didengar sebagai saksi dalam pasal 145 (1) a ialah keluarga semenda menurut keturunan yang lurus
dari salah satu pihak.

Yang tidak berhak untuk mengundurkan diri adalah adik periparan, artinya mereka adalah
sama-sama menantu seseorang dengan salah satu pihak.

Orang-orang yang tersebut pada ayat (1) a dan b pasal 146 H.I.R. di atas, diberi hak oleh
undang-undang untuk mengundurkan diri, untuk tidak mau didengar sebagai saksi, oleh karena
dikhawatirkan kalau-kalau terjadi hubungan buruk dengan pihak yang dirugikan, yang adalah
saudara saksi sendiri, apabila mereka terpaksa harus memberi keterangan yang sebnar-benarnya di
hadapan sidang. Dikatakan “terpaksa” memberika keterangan, karena kalau tidak memberi
keterangan mereka dapat disanderakan, dan apabila mereka berani memberi keterangan palsu yang
menguntungkan saudaranya, mereka dapaat dituntut karena sumpah palsu. Oleh karena keberatan-
keberatan tersebut, saksi boleh menentukan sendiri, apakah ia mau diengar sebagai saksi atau tidak,
hak mana berarti apakah mereka mau disumpah untuk memberikan keterangan yang sebnar-
benarnya atau tidak.

Testimonium de auditu adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, ia tidak
mendengarnya atau mengalaminya sendiri, hanya ia dengar dari orang lain tentang kejadian
tersebut atau adanya hal-hal tersebut. Sebagai misal, apabila saksi menerangkan bahwa ia
mendengar dari kakeknya, yang sekarang sudah wafat, bahwa sawah sengketa semulaadalah milik
milik almarhum yang oleh almarhum telah dijual kepada tergugat.

Testimonium de auditu dalam bahasa Indonesia berarti kesaksian dari pendengaran, juga
disebut kesaksian de auditu. Pendapat yang lama menyatakan, bahwa kesaksian semacam ini tiak
ada harganya sama sekali. Memang sebagai kesaksian, keterangan dari pendengaran tidak
mempunyai nilai pembuktian sama sekali, akan tetapi keterangan-keterangan yang demikian itu
dapat dipergunakan untuk menyusun persangkaan atau untuk memperlengkapi keterangan saksi-
saksi yang bisa dipercayai. Berdasarkan hal itu, pendapat bahwa saksi de auditu sama sekali tidak
berati adalah keliru. Kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai sumber persangkaan.

Unus testis nullus testis, apabila diterjemahkan dala bahasa Indonesia kalimat itu berarti “satu
saksi bukan saksi”. Keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti yang lain, tidak cukup untuk
membuktikan atau dianggap terbuktinya sesuatu dalil yang harus dibuktikan. Keterangan saksi yang
seorang itu masih harus dilengkapi dengan bukti-bukti lain, kalau didasarkan atas keterangan itu
saja, maka dalil yang harus dibuktikan itu masih belum terbukti. Azas ini pula dikenal dalam hukum
acara pidana.

Dalam praktek pengadilan di kota-kota besar dahulu ada sesuatu kebiasaan, untuk, dalam
proses tertulis, apabila pihak-piahk telah menghaturkan kesimpulan lanjutan masing-masing,
sehubungan dengan pendengaran saksi atau memerintahkan pembuktian lebih lanjut, membuat
putusan sela, yang memuat pula pertimbangan-pertimbangan apa sebabnya pihak atau kedua belah
pihak masing-masing diperintahkan untuk membuktikan suatu dalil. Kebiasaan semacam itu tidak
begitu baik, oleh karena bagaimana pun juga, hakim akan sangat terikat oleh putusan sela yang telah
dijatuhkannya itu. Lebih-lebih apabila banyak mutaties terjadi, dan perkara tersebut yang belum
diputus dengan putusan akhir, kemudian karena hakim yang bersangkutan dipindahkan, jatuh ke
tangan hakim lain. Hakim yang mengoper perkara tersebut untuk dilanjutkan pemeriksaannya, lalu
tidak leluasa untuk mengambil keputusan. Meskipun ia tidak terikat oleh pendapat rekannya itu,
namun “keseganan” suka masih ada. Berdasar hal-hal tersebut sebaiknya tidak usah dibuat putusan
sela, melainkan secara lisan diperintahkan kepada pihak-pihak yang bersengketa atau salah satu
pihak, untuk membuktikan dalilnya lebih lanjut.

Apabila seorang saksi, yang sangat diperlukan dan telah diminta datang oleh salah satu pihak
tidak mau datang menghadap, maka atas perintah hakim, saksi tersebut dapat diperintahkan untuk
menghadap, kalau perlu dengan bantuan polisi, artinya saksi tersebut dipaksa untuk menghadap dan
memberikan keterangannya. Apabila setelah datang, saksi tersebut ternyata termasuk kelompok
saksi yang dapat mengundurkan diri, ia diperkenankan untuk mengundurkan diri.

Paksaan tersebut di atas tidak berlaku bagi saksi-saksi yang bertempat tinggal di luar
Keresidenan. Sehubungan dengan hal itu perkara tersebut akan didelegeer, artinya agar dilakukan
pemeriksaan tambahan oleh pengadilan negeri tempat tinggal saksi. Oleh pengadilan negeri yang
terakhir ini, saksi dapat dipaksa untuk datang. Setelah berita acara, diterima kembali oleh hakim
yang memeriksa semula, dalam sidang berikutnya, berita acara pendengaran saksi tersebut
dibacakan. Pendengaran saksi yang sedang sakit apat pula dilakukan di rumah saksi seperti halnya
pada waktu melakukan pemeriksaan setempat sebaiknya persidangan dibuka dan ditutup di Balai
Desa.

Dapat pula terjadi bahwa dalam pemeriksaan perkara perdata perlu didengar kesaksian orang
asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia atau orang bisu tuli. Mengenai hal tersebut, pasal 151
H.I.R. memberikan petunjuk agar supaya pasal 284 dan 285 H.I.R., tentang saksi dalam pemeriksaan
perkara pidana diberlakukan dalam hal ini.

Dalam hal tersebut di atas lalu diminta bantuan seorang juru bahasa, yang sebelum ia
melakukan tugasnya disumpah terlebih dahulu, bahwa ia akan melakukan tugasnya dengan sebaik-
baiknya. Apabila yang diperiksa adalah seorang yang bisu tuli, maka dipergunakan seorang yang
pandai bergaul dengan orang semacam itu sebagai “juru bahasa”. “Juru bahasa” ini pula sebelum
melakukan tugasnya, harus disumpah terlebih dahulu. Bagi seorang bisu tuli yang pandai menulis hal
itu lebih mudah, karena yang bersangkutan dapat memberikan keterangan secara tertulis dalam
persidangan.

Apabila saksi yang telah dipaksa dalam persidangan, mau memberi keterangannya, lalu
bagaimana? Saksi semacam itu dapat disanderakan sampai ia bersedia memberi keterangannya. Hal
semacam itu juga dapat dilaksanakan apabila saksi tanpa sesuatu alasan yang syah tidak mau
disumpah. Hal ini diatur dalam pasal 148 H.I.R.

4. PERSANGKAAN-PERSANGKAAN

Pembuktian dengan persangkaan-persangkaan. Pengertian persangkaan undang-undang dan


persangkaan hakim.

Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar untuk mendapatkan saksi yang
elihat, mendengar atau merasakan sendiri, maka peristiwa hukum yang harus dibuktikan diusahakan
agar dappt dibuktikannya dengan persangkaan-persangkaan. Dipakai perkataan persangkaan-
persangkaan, oleh karena satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, harus
banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling menutupi, berhubungan, sehingga
peristiwa/dalil yang disangkal itu misalnya, dapat dibuktikan.

Perkataan “persangkaan” dalam pasal 163 H.I.R oleh karenanya adalah kurang tepat,
seharusnya adalah persangkaan-persangkaan.

Persangkaan dalam hukum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hukum acara pidana.
Adalah kurang tepat untuk mencapurbaurkan kedua pengertian ini; dalam hukum acara perdata
harus dipakai perkataan persangkaan dan bukan petunjuk.

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti,
lalu peristiwa yang dikenal, kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan
tersebut adalah hakim atau undang-undang. Misalnya, apabila seorang anak telah dipelihara,
dkhitan serta dikawinkan oleh keluarga A, dan meskipun ia sesungguhnya adalah orang lain, ia
memanggil “ma” dan “bapak” kepada A dan B, hal itu memberi persangkaan hakim, bahwa anak
tersebut adalah anak angkat dari A dan B.

Persangkaan hakim juga adalah sehubungan dengan adanya gugatan, perceraian yang
didasarkan atas perzinahan. Adalah sukar sekali untuk menemukan saksi-saksi yang melihat sendiri
waktu perzinahan tersebut terjadi. Oleh karena itu sudah menjadi Yurisprudensi tetap, bahwa
apabila dua orang pria dan wanitan dewasa yang bukan suami-isteri itu tidur bersama dalam satu
kamar yang hanya mempunyai satu tempat tidur maka untuk perbuatan perzinahan telah terdapat
satu persangkaan hakim.

Persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, dengan lain
perkataan terserah kepada penilaian hakim yang bersangkutann, kekuatan bukti apa yang akan
diberikan kepada persangkaan hakim tertentu itu, apakah akan dianggap sebagai alat bukt iyang
berkekuatan sempurna, atau sebagai bukti permulaan atau akan tidak diberi kekuaran apapun juga.
Pada umumnya apabila hanya ada satu persangkaan hakim saja, maka persangkaan tersebut
tidaklah dianggap cukup untuk menganggap dalil yang bersangkutan itu terbukti, dengan lain
perkataan persangkaan hakim itu baru merupakan bukti legkap, apabila saling berhubungan dengan
persangkaan-persangkaan hakim yang lain yang terdapat dalam perkara itu.

Pengertian persangkaan hakim sesungguhnya amat luas. Segala peristiwa, keadaan dalam
sidang, bahan-bahan yang didapat dari pemeriksaan perkara tersebut, kesemuanya itu dapat
dijadikan bahan untuk menyusun persangkaan hakim. Sikap salah satu pihak dalam perkara di
persidangan, misalnya pihak yang bersangkutan, meskipun berkali-kali, diperintahkan untuk
menghaturkan pembukuan perusahaannya, ia ini tidak memenuhi perintah tersebut, dapat
menimbulkan persangkaan hakim, bahwa pembukuannya itu tidak beres dan bahwa yang
bersangkutan belum memberi pertanggungjawabannya. Juga jawaban yang mengelak, jawaban yang
tidak tegas, sifat pli-plan, memberi persangkaan, bahwa dalil pihak lawan adalah benar, setidak-
tidaknya dapat dianggap sebagai suatu hal yang negatif bagi pihak tersebut.

Bab keempat buku keempat B.W., tegasnya pasal 1915 dan seterusnya mengatur tentang
persangkaan-persangkaan.

Selain persangkaan hakim, dikenal juga persangkaan undang-undang. Menurut pasal 1916
B.W., persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus
undang-undangm dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa
tertentu. Persangkaan-persangkaan semacam itu adalah antaranya:

1. Perbuatan yang oleh udang-undang dinyatakan batal, karena sematamata demi sifat dan
ujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuann undang-undan.
2. Hal-hal di mana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan utang
disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu.
3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak.
4. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah
satu pihak.

Sehubungan dengan macan-macam persangkaan undang-undang tersebut yang dikenal dalam


B.W., harus dikemukakan bahwa karena B.W. hanya berlaku untuk golongan-golongan tertentu saja,
maka persangkaan-persangkaan undang-undang tersebut di atas dalam hukum acara perdata kita
harus dianggap sebagai bahan perbandingan saja, yang oleh Hakim masih harus dipertimbangkkan
apakah dalam suatu kasus tertentu, berlaku ketentuan-ketentuan tersebut. Terutama dalam kasus-
kasus yang menyangkut harta-benda perkawinan dan hibah antara suami-isteri, oleh karena hukum
keluarga yang diatur dalam udang-undang perkawinan, haruslah hakim selalu waspada, apakah
ketentuan-ketentuan B.W. yang mengatur persangkaan undng-undang ini bisa diterapkan atau tidak
dalam kasus tertentu yang sedang ia hadapi. Hal ini terutaa adalah menyangkut perbuatn-perbuatan
yang disebut dalam pasal 1916 (1) B.W. dan pasal-pasal lainnya dari bab keempat buku keempat
B.W. tersebut, oleh karena mengatur khusus tentang hukum acara, masih dapat diterapkan. Dalam
praktek pembuktian dengan mempergunakan persangkaan-persangkaan undang-undang, banyak
dipergunakan.
Dalam persoalan adat-waris, sering dipergunakan persangkaan hakim, bahwa oleh karena
penggugat sudah duapuluh tahun lebih tinggal diam tanpa ada sesuatu alasan yang syah hal itu
memberi persangkaan (hakim) yang beralasan, bahwa penggugat sesungguhnya tidak berhak atas
sawah/tanah yang dipersengketakan lagi.

5. PENGAKUAN

Pengakuan di depan dan di luar sidang serta pengertian pengakuan yang tidak boleh dipisah-
pisah.

Dalam H.I.R. ketentuan yang mengatur perihal pengakuan adalah pasal-pasal 174, 175 dan
176. Sesungguhnya adalah kurang tepat untuk menamakan pengakuan itu sebagai alat bukti, karena
justru apabila dalil salah satu pihak telah diakui oleh pihak lain, lawannya, maka dalil tersebut
sebenarnya tidak usah dibuktikan lagi. Sudah diterangkan di muka, bahwa yang harus dibuktikan
hanyalah terhadap dalil-dalil yang disangkal oleh pihak lawan.

Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata, ialah:

1) Pengakuan yang dilakukan di depan sidang;


2) Pengakuan yang dilakukan di luar persidangan.

Kedua macam pengakuan yang disebutkan di atas, satu sama lain berbeda dalam nilai
pembuktian. Menurut ketentuan pasal 174 H.I.R., bahwa pengakuan yang diucapkan di hadapan
hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu
diucapkan sendiri, baik pun diucapkan leh seorang istimewa dikuasakan untuk melakukannya.
Sebaliknya dalam pasal 175 H.I.R. diatur perihal pengakuan yang dilakukan di luar sidang yang
berbunyi, bahwa diserahkan kepada pertimbangan dan awasan hakim, akan menentukan kekuatan
mana akan diberikannya kepada suatu pengakuan dengan lisan yang diperbuat di luar hukum.

Dengan demikian, pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti yang
sempurna, sedangkan mengenai pengakuan di luar sidang perihal penilaian terhadap kekuatan
pembuktiannya, diserahkan kepada kebiaksanaan hakim, atau denan lain perkataan merupakan
bukti bebas. Hal itu berarti, bahwa hakim leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian, atau pula,
hanya menganggap sebagai bukti permulaan.

Untuk pengakuan yang dilakukan di depan sidang baik yang diberikan oleh yang bersangkutan
sendiri ataupun melalui kuasanya, merupakan bukti yag sempurna dan mengikat. Hal itu berarti,
bahwa haki harus menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu adalah benar, meskipun
sesungguhnya belum tentu benar, akan teatapi karena adanya pengakuan tersebut, gugatan yang
didasarkan atas dalil-dalil itu harus dikabulkan.

Pengakuan di depan sidang tidak boleh ditarik kembali. Pengecualian terhadap azas itu ada
ialah, apabila pengakuan itu merupakan suatu kekhilafan mengenail hal-hal yang terjadi. Suatu
pengakuan di depan sidang dalam proses tertulis, dilakukan tertulis dalam surat jawaban, di mana
kekuatan pembuktiannya dipersamakan sebagai suatu pengakuan secara lisan di depan sidang.
Apabila ditinjau dari Budgerlijk Wetboek, pengakuan yang dikemukakan di depan sidang
merupakan persangkaan undang-undang. Salah satu persangkaan undang-undang yang disebut
dalam ketentuan pasal 1916 B.W. adalah pengakuan di depan sidang.

Menurut pasal 1921 alinea 2 B.W. pembuktian melawan terhadap persangkaan undang-
undang tidak diperkenankan. Oleh karena itu dengan diakuinya dalil-dalil yang dikemukakan oleh
pihak lawan, maka kebenaran gugat yang didasarkan atas dalil yang diakui itu seketika cukup
terbukti dan karenanya gugat harus dikabulkan. Dalam hukum pembuktia perihal pengakuan dan
tidak disangkalnya dalil pihak lawan mempunyai kekuatan bukti yang sama.

Dalam putusan-putusan pengadilan pada umumnya terlebih dahulu dikemukakan dalil-dalil


yang diakui, setidak-tidaknya yang tidak disangkal, baru kemudian meningkat kepada hal-hal yang
merupakan persoalan. Dengan demikian putusan menjadi padat berisi, dan hanya dalil-dalil yang
menjadi dasar gugat dan disangkal saja, yang harus dibahas secara mendalam. Dari kekuatan
pembuktian pengakuan di depan sidang ini, ternyata benar, bahwa dalam hukum acara perdata
tidak dicari kebenaran yang hakiki, melainkan dukup dengan kebenaran formil belaka.

Di dalam praktek pengadilan banyak perkara-perkara perceraian bagi orag yang dahulu
baginya berlaku hukum perdata barat diputus berdasarkan pengakuan atau tidak dibantahnya dalil
yang dikemukakan, sebagai dasar alasan ialah adanya perzinahan yang telah dilakukan oleh tergugat.
Mungkin sesungguhnya tergugat tidak pernah melakukan perzinahan, akan tetapi hanya untuk
memudahkan perkara, agar supaya perkara tersebut dapat segera diputus, tergugat mengakui saja
tentang adanya perzinahan yang didalilkan oleh penggugat. Yang belakangan ini dalam bahasa
Belanda disebut “referte”, berasal dari perkataan “referen” yang berarti menyerahkan, dalam hal ini,
menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim.

Pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara tertulis atau lisan merupakan bukti bebas.
Perbedaannya terletak, bahwa pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak usah dibuktikannya lagi
tentang adanya pengakuan tersebut, sedang bagi pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara
lisan, apabila dikehendaki agar dianggap terbukti adanya pengakuan semacam itu, masih harus
dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau lat-alat bukti lainnya.

Di samping pengertian pengakuan bulat atau pengakuan yang murni, di mana semua dalil
yang dikemukakan oleh pihak lawan diakui sepenuhnya, dalam huum acara perdata dikenal pula apa
yang dinamakan pengakuan bermebel-embel.

Tentang pengakuan bermebel-embel ada 2 macam, ialah:

(a) Pengakuan dengan klausula.


Contohnya: Benar saya berhutang, akan tetapi hutang tersebut sudah saya bayar. Benar saya
telah membelinya dan pula barangnya sudah saya terima, akan tetapi saya sudah
membayarnya harga barang tersebut.
(b) Pengakuan dengan kwalifikasi.
Contohnya: Benar saya membellinya, akan tetapi setelah dicoba dan saya setuju (di sini ada
syarat tangguh).
Pengakuan dengan kwalifikasi ini menunjukkan, bahwa hubungan huku antar kedua belah
pihak lain daripada yang menjadi dasar gugat.

Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas akan menerima
bagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga menjadi kerugaian kepada orang yang
mengaku itu; melainkan jika orang yang berhutang untuk melepaskan dirinya, menyebutkan, bersaa
pengakuan itu, beberapa perbuatan yang nyata palsu; demikian bunyi pasal 176 H.I.R. Pasal ini
memuat azas “onsplitbaar aveu”, pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisah. Hal ini berarti kalau
seperti dalam contoh di atastadi seorang telah mengakui bahwa ia benar berhutang akan tetapi
sudah membayar, maka itu berarti bukan suatu pengakuan bahwa ia berhutang. Suatu pengakuan
dengan embel-embel tadi berarti, bahwa ia menyangkal masih berhutang; perihal adanya hutang
masih harus dibuktikan (bandingan dengan putusan Mahkamah Agung tertanggal 24 Mei 1951 No.
29 K/Sip/1950 yang telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan karena melanggar
ketentuan pasal 176 H.I.R., termuat dalam Hukum Majalah PAHI, 1951 No1, halaman 26).

Maksud dari azas ini adalah untuk melindungi pihak yang jujur, yang secara terus-terang
mengemukakan segala hal yang terjadi dengan sebenarnya, oleh karena itu ia, sebagai orang yang
jujur itu, harus dilindungi. Di muka sudah dikemukakan, bahwa dalam hukum pembuktian terutama
pihak tergugat harus dilindungi, oleh karena ia adalah orang yang dalam kedudukannya diserang.

Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA”.
Penerbitan Sumur Bandung, 1970 cetakan kelima, halaman 105 mengatakan, bahwa ajaran tentang
pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisah, sangat mengecewakan dan tidak masuk akal, lagi pula
tidak dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa sebaiknya
dalammenghadapi pengakuan dengan embel-embel ini, hakim diberi kebebasan untuk menetapkan
seberapa jauh akan memberi kekuatan kepada pengakuan semacam itu, seperti halnya apabila
hakim berhadapan dengan pengakuan yang dilakukan di luar sidang, dengan lain perkataan
pengakuan dengan ebel-embel hendaknya diberi kekuatan sebagai bukti bebas.

Menurut pendapat penulis kalauterguat menyatakan bahwa ia benar berutan, akan tetapi
sudah dibayarnya, maka Hakim tidak ada salahnya untuk memerintahkan kepada tergugat
mmebuktikan bahwa ia benar telah membayar utangnya. Dan adalah merupakan kelalaian dari
tergugat apabila ia sudah membayarnya, namun alpa atau tidak meminta kwitansi tanda
penerimaan uang sbagai bukti adanya pelunasan hutangnya itu (bandingkan dengan putusan
Mahkamah Agung tertanggal 25 November 1976 No. 22 K/Sip/1973 yang menyatakan: “Dalam hal
ada pengakuan yang terpisah-pisah, hakim bebas untuk menentukan berdasarkan rasa keadilan
pada siapa harus dibebankan pembuktian”, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia 1978-II, halaman
237).

Bagian terakhir dari pasal 176 H.I.R. tersebut menyatakan, bahwa larangan memisah-
misahkan suatu pengakuan tidak berlaku lagi, apabila terguugat dalam pengakuannya tadi, guna
membebaskan dirinya telah mengemukakan peristiwa-peristiwa yang ternyata pals. Hal itu berarti,
bahwa apabila penggugat bisa membuktikan bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat
sebagai pembebasan adalah palsu, makan pengakuan berembel-embel tadi oleh hakim dapat
dianggap sebagai pengakuan yang murni.
6. BUKTI SUMPAH

Cara dan penggunan sumpah penambah, sumpah pemutus dan sumpah penaksir, serta
akibatnya terhadap putusan.

Pasal-pasal dari H.I.R. yang mengatur perihal sumpah adalah pasal 155, 156, 158 dan pasal
177. Berbeda dengan perkara pidana yang tidakmengenal sumpah sebagai alat bukti, dalam hukum
acara perdata sumpah merupakan alat bukti yang cukup penting.

Yang disumpahadalah salah satu pihak, penggugat atau tergigat, oleh karen aitu yang menjadi
alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah dan bukannya sumpah
itu sendiri.

Ada 2 macam sumpah, ialah sumpah yang dibebankan oleh hakim dan sumpah yang
dimohonkan oleh pihak lawan. Baik sumpah penambah maupun sumpah pemutus bermaksud untuk
menyelesaikan perselisihan, oleh karenanya, keterangan yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah
keterangan yang benar, dan bahwa orang yang disumpah tidak akan berani berbohong, oleh karena
apabila ia memberikan keterangan yang bohong, ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Takut akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa orang akan tidak
bersedia untuk mengangkat sumpah yang dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan
dengan sumpah tersebut adalah tidak benar.

Pasal 177 H.I.R. menyatakan, bahwa apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak
diperkenankan lagi untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu periha dalil
yang dikuatkan dengan sumpah tersebut.

Pasal 155 H.I.R. mengatur perihal sumpah penambah, yang berbunyi:

(1) Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu tidak menjad terang
secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama sekali ada, dan tiada kemungkinan akan
meneguhkan dia dengan upaya keterangan yang lain, dapatlah pengadilan negeri karena
jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di ghadapan hakim, supaya dengan itu
jumlah uang yang akan diperkenankan, dapat ditentukan.
(2) Dalam hal yang terakhir itu, haruslah pengadilan negeri menentukan jumlah uang, yang
sehingga jumlah mana si penggugat dapat dipercayai karena sumpahnya.

Dari redaksi ayat (1) tersebut di atas ternyata, bahwa sehubungan dengan sumpah penambah
terlebih dahulu harus sudah ada bukti, akan tetapi bukti tersebut belum lengkap, belum sempurna
dan karenanya perlu ditambah dengan bukti yang lain. Sedang untuk mendapatkan bukti yang lain
sudah tidak mungkin lagi, dengan lain perkataan bukti yang sudah ada belum cukup itu, tidak bisa
ditambah dengan bukti yang lain.

Oleh karena sumpah itu adalah untuk melengkapi, menambah bukti yang belumlengkap itu,
maka sumpah tersebut dinamakan sumpah penambah (suppletoire eed). Mahakamah Agung dalam
putusan tertanggal 17 Oktober 1962 No. 213 K/Sip/1962 menyatakan bahwa sumpah tambahan
justru untuk menambah suatu pembuktian, yang menurut undang-undang belum sempurna agar
menjadi sempurna (lihat Majalah Hukum dan Masyarakat 1966 No. 1-2-3, halaman 103).

Sumpah penambah dibebankan oleh hakim karena jabatannya, hal itu berarti bahwa hakim
yang menentukan sendiri, apakah ia akan menambah pembuktian yang telah ada, akan tetapi belum
cukup itu, dengan sumpah penambah atau tidak. Apabila hakim menganggap perlu, maka ia bebas
untuk menambah bukti tersebut dengan sumpah penambah (bandingkan dengan putusan
Mahkamah Agung tertanggal 18 April 1956 No. 147 K/Sip/1955, termuat dalam Hukum, Majalah
PAHI, 1957 No. 1-2, halaman 106).

Dalam praktek adalah tidak wajar, bahwa pihak yang bersangkutan sendiri meminta kepada
hakim agar ia diperkenankan menambah bukti yang telah ada dan belum cukup itu dengan sumpah
penambah, melainkan hanya hakim sendiri yang, tanpa ada pemintaan dari pihak yang
bersangkutan, karena abatan, akan memerintahkan sumpah tersebut.

Siapa yang akan dibebani sumpah itu? Kecuali dalam sumpah penaksir, di mana selalu pihak
penggugat yang akan disumpah, sumpah penambah lainnya dapat dibebankan kepada penggugat
atau tergugat.

Perkataan pengadilan negeri yang diuraikan dalam pasal 155 H.I.R. tersebut di atas menurut
hemat penulis tidak tepat lag, karena dalam taraf pemeriksaan banding apabila dianggap perlu
masih dapat dibebankan suatu sumpah penambah kepada pihak-pihak.

Ada kemungknan, bahwa untuk meneguhkan baik penggugat maupun tergugat adalah anak
angkat almarhum, kepada kedua belah pihak masing-masing dibebankan sumpah penambah, yang
satu oleh Pengadilan Negeri dan yang lainnya atas perintah Pengadilan Tinggi dalam taraf banding.

Apabila hakim akan mebambah bukti tersebut dengan suatu sumpah penambah, maka
dibuatlah suatu putusan sela, lengkap dengan pertimbanganny, yang memuat alasan sebabnya
sumpah penambah tersebut diperlukan.

Perkataan “tidak ada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan upaya keterangan lain”
sering diartikan “apabila hakim putus asa dalam mencari bukti yang lain.”

Pembebanan sumpah penambah kepada pihak yang bersengketa adalah suatu kebijksanaan
hakim, dengan lain perkataan hakim sama sekali tidak berkewajiban untuk menambah bukti tersebut
dengan sumpah penambah. Oleh karena tidak adanya kewajiban itu, apabila hakim yakin, bahwa
pihak yang akan dibebani sumpah penambah itu akan melakukan sumpah palsu, maka ia tidak akan
memerintahkan kepada pihak tersebut untuk mengangkat sumpah, melainkan ia akan menolak
gugatan tersebut. Dalam taraf pemeriksaan banding, apabila hakim banding berpendapat lain.
Pengadilan Tinggi leluasa, untuk memerintahkan sumpah penambah tersebut. Ada kemungkinan
bahwa hakim Pengadilan Negeri telah memerintahkan kepada pihak tergugat untuk melakukan
sumpah penambah, akan tetapi hakim Pengadilan Tinggi berpendapat lin dan justru pihak penggugat
yang dibebani sumpah. Pernah pula terjadi bahwa berdasarkan sumpah penambah menolah gugat
penggugat, kemudian putusan tersebut dibatalkan dan Pengadilan Tinggi yang menganggap bahwa
dalil-dalil yang menjadi dasar gugat telah cukup terbukti, lalu mengabulkan gugat penggugat.
Dalam hal orang yang dibebani sumpah penambah enggan untuk melakukannya atau belum
sempat melakukan sumpah, lalu wafat, karena dalil gugatannya belum terbukti, ia harus dikalahkan.
Timbul persoalan bagaimana apabila yang dibebani sumpah, telah menyatakan kesediannya untuk
disumpah guna melengkapi bukti-bukti yang telah ada, hanya ia karena wafat, tidak sempat lagi
untuk menambah bukti tersebut? Menurut hemat penulis, apabila hal semacam ini terjadi, hakim
harus mempertimbangkan adanya “kesanggupan” trsebut, hal mana dapat dianggap sebagai
persangkaan hakim, bahwa fakta yang hendak dikuatkan oleh sumpah tersebut adalah benar-benar
ada atau pernah terjadi. Oleh karena bukti yang telah ada dan belum lengkap itu, telah ditambah
dengan satu persangkaan hakim lagi, maka pihak yang telah sanggup itu dapat dimenangkan.
Berbeda dengan sumpah pemutus, sumpah penambah ini tidak boleh dikembalikan kepada
lawannya.

Sumpah penambah yang lainnya adalah yang disebut sumpah penaksir. Hal ini diatur ddalam
pasal 155 H.I.R. bagian terakhir. Sumpah penaksir dilakukan untuk menentukan jumlah uang yang
akan diperkenankan atau dikabulkan. Misalnya dalam hal telah terjadi kebakaran yang disebabkan
oleh anak tergugat dan barang-barang penggugat musnah, sukar untuk menentukan kerugian yang
diderita oleh penggugat begitu saja.

Dari ayat (2) pasal 155 H.I.R. ternyata, bahwa sumpah penaksir hanya dapat dibebankan
kepada pihak penggugat. Dalam istlah penggugat termasuk penggugat dalam gugat balasan, ialah
penggugat dalam rekonpensi.

Sumpah penaksir dalam bahasa Belanda disebut Waarderingseed atau pula Aestimatoire eed
sumpah penaksr banyak dilakukan untuk menentukan besarnya ganti rugi yang diminta penggugat,
di mana tentang adanya kerugian telah terbukti, hanya besarnya sukar untuk ditentukan secara
pasti. Untuk mengatasi persoalan tersebut hakim karena jabatan dapat mengabulkan sejumlah uang
yanng harus dibayar oleh pihak tergugat, sedang besarnya kerugian akan ditetapkan atau ditaksir
oleh pengadilan. Karena hal tersebut maka sumpah itu disebut pula sumpah penaksir.

Pasal 156 H.I.R. mengaur perihal sumpah pemutus. Sumpah pemutus atau juga disebut
sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentuan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang
harus dimenangkan. Oleh karena itu, maka sumpah tersebut juga disebut sumpah penentu, sumpah
yang menentukan

Menurut pasal 156 H.I.R.:

(1) Juga boleh, walaupun tidak ada barang keterangan yang dibawa untuk meneguhkan gugatan
itu atau pembelaan yang melawannya, salah satu pihak mempertanggungjawabkan kepada
pihak yang lain sumpah di muka hakim, supaya keputusan perkara bergantung sumpah itu,
asal saja sumpah itu mengenai suatu perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang atas
sumpahnya keputusan perkara itu bergantung.
(2) Jika perbuatan itu satu perbuatan yang dikerjakan oleh kedua pihak, bolehlah pihak yang
enggan mengangkat sumpah yang dipertanggungkan kepadanya, mengembalikan sumpah itu
kepada lawannya.
(3) Barangsiapa kepadanya sumpah dipertanggungkan, dan enggan mengangkatnya atau
mengembalikan dia kepada lawabnnya, atau juga barangsiapa memprtanggungkan sumpah,
tetapi sumpah itu dikembalikan kepadanya dan enggan mengangkat sumpah itu, harus
dikalahkan.

Apabila tentang yang diperselisihkan tidak dapat dimajukan bukti apapun juga, maka salah
satu pihak dapat memohon kepada hakim, agar pihak lawannya disumpah, untuk menentukan siapa
yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan.

Jadi dalam hal ini berbeda dengan suatu sumpah penambah, ada tidak adanya sumpah
pemutus diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang bersengketa, apakah mereka atau salah
seorang dari mereka akan mempergunakan alat bukti yang menentukan ini atau tidak. Apabila pihak
yang dalilnya yang menjadi dasar gugat disangkal oleh pihak lawan, dan ia tidak dapat mengajukan
sesuatu bukti untuk meneguhkan dalil tersebut, sudah barang tentu pihak tersebut akan kalah
perkara, gugat yang diajukan olehnya akan ditolak. Hukum masih memberikan kemungkinan
kepadanya untuk toh bisa memenangkan perkara tersebut, yaitu dengan mempergunakan semata
terakhirnya yang berupa sumpah pemutus (lihat putusan Mahkamah Agung tertanggal 4 Mei 1976
No. 575 K/Sip/ 1973, termuat dalam Yurisprudensi 1978-I, halaman 254).

Sumpah pemutus ini dapt diumpamakan sebagai pedang bermata dua yang tajam sekali, harus
hati-hati bagi yang mempergunakannya karena akan menimbulkan suatu akibat yang berupa
kemenangan atau sebaliknya, yaitu suatu kekalahan total.

Menjadi persoalan apakah apabila salah satu pihak mempunyai suatu bukti, misalnya seorang
saksi atau surat biasa yang tidak dengan cukup membuktikan dalil yang menjadi dasar gugat, ia
dapat mempergunakan senjata yang ampuh itu? Dapat, dalam hal ini sepertinya tidak tersebut
mengatakan: “Biarlah, saya mau dikalahkan, asalah kau berani bersumpah.”

Bagaimanakan halnya apabila pihak lawan memiliki suatu bukti otentik, misalnya surat akta
P.P.A.T. (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang dengan sempurna membuktikan adanya jual-beli tanah
tersebut? Apakah pihak lawan yang menyangkal bahwa ia telah menjual tanah tersebut kepadanya
itu masih diperkenankan untuk mempergunakan sumpah pemutus untuk dapat memenangkan
perkara itu? Menurut hemat penulis tidak dapat. Dengan dibuatnya akta jual-beli di hadapan pejabat
yang berwenwenang untuk itu, yang sebelum ia memangku jabatannya itu telah disumpah, telah
terbukti bahwa yang bersangkutan telah menghadap dan mengaku (membenarkan) menjual tanah
tersebut. Apabila dibenarkan untuk mengajukan sumpah pemutus, hal itu berarrti bahwa yang
bersangkutan menarik “pengakuan yang telah terbukti” itu; sedangkan “pengakuan yang telah
terbukti”berkedudukan sebagai bukti yang tidak dapat diganggu gugat itu.

Sumpah pemutus apabila menyangkut perjanjian timbal-balik bisa dikembalikan, artinya,


bahwa pihak tergugat misalnya yang dimintakan agar ia bersumpah, mengembalikan sumpah
tersebut dengan mengatakan bahwa pihak penggugat sajalah yang disumpah.

Dalam persoalan pinjam-meminjam uang sebesar Rp100.000,- misalnya yang dialkukan oleh
kedua pihak atas dasar saling mempercayai, sehingga tidak dibuat suatu surat perjanjan, atau tidak
pula dibuat suatu tanda penerimaan uang, hanya uang tersebut di atas telah diserahkan dengan
begitu saja tanpa disaksikan oleh orang lain, atau meang kebetulan ada yang melihat, akan tetapi,
yang melihat atau menyaksikan penyerahan uang itu, adalah isteri dan anak penggugat, yang dapat
didengar sebagai saksi, maka kalau dalil penggugat disangkal oleh tergugat yang menyatakan, bahwa
ia tidak pernah meminjam uang tersebut di atas dari penggugat, maka penggugat dapat meminta
kepada hakim di depan sidang, agar tergugat itu disumpah.

Adapun lafas sumpahnya berbunyi sebagai berikut: “Saya bersumpah, bahwa saya tidak
merasa meminjam uang sebesar Rp100.000,- dari penggugat” atau lebih lengkap lagi dengan
menyebut tanggal peminjaman dan sebagainya

Kalau sumpah ini dikembalikan kepada penggugat, dan tergugat minta agar penggugat saja
yang bersumpah, maka bunyi sumpahnya adalah sebagai berikut: “Saya bersumpah bahwa betul
saya telah meminjamkan uang sebesar Rp100.000,- kepada tergugat”. Bandignkan hal tersebut
dengan putusan sela Mahkamah Agung tertanggal 30 Januari 1952 No.39 K/Sip/1951 *termuat
dalam Hukum, Majalah PAHI 1952 No.4 dan 5 halaman 27-28).

Sudah jelas, bahwa apabla sumpah itu dikembalikan oleh salah satu pihak, maka sumpah yang
diucapkan oleh pihak lawan adalah kebalikannya dari sumpah yang semula. Perihal sumpah yang
dikembalikan diatur dalam pasal 156 ayat (2) H.I.R.

Sumpah pemutus dapat diperintahkkan dalam setiap tingkatan perkara, bukan hanya seawktu
diperiksa oleh Pengadilan Negeri saja akan tetapi juga apabila sedang berada pada taraf banding di
Pengadila Tinggi. Selain itu sumpah pemutus dapat diminta, meskipun tidak ada bukti sama sekali.
Oleh Prof. R. Subekti S.H. mengenai sumpah pemutus ini adalah merupakan “senjata pamungkas”
(artinya senjata terakhir) bagi sautu pihak yang tidak memajukan suatu pembuktian. Kalau pihak
lawan berani bersumpah, orang yang memerintahkan sumpah itu akan kalah (HUKKUM
PEMBUKTIAN, Penerbitan Pradnya Paramita Jakarta, 1975, halaman 57).

Jadi yang dilepaskan adalah suatu hak, oleh karena itu sudah barang tentu hak yang dapat
dilepaskan, hanyalah hak yang berada dalam kekuasaannya untuk dilepaskan, misalnya hak untuk
menagih utang, untuk mendapatkan barang dan sebagainya.

Apabila mengenai persoal yang menyangkut ada atau tidak adanya perzinahan atau betul
tidaknya seorang adalahbapak dari bayi yang sedang dikandung, sumpah pemutus tidak dapat
dimohonkan.

Sumpah pemutus oleh karena memutus perkara harus benar-benar engenai suatu hal yang
menjadi pokok perselisihan. Dalam hukum acara perdata hal ini dikenal dengan sebutan “litis
decisoir”. Apabila sumpah yang dimohonkan itu tidak bersifat litis decisoir, maka hakim akan
melarang pembebanan putusan tersebut.

Maksud dijatuhkannya sumpah pemutus adalah utnuk mengakhiri perkara, jadi kalau maksud
tersebut tidak akan tercapai dengan pembebanan sumpah termaksud, maka permohonan agar pihak
lawan disumpah, tidak dikabulkan.

Dalam hal di atas tadi, di mana seorang pria digugat untuk membayar suatu ganti kerugian
dan memberi nafkah bagi anak yang ditimbulkan olehnya di luar kawin, seandainya sumpah pemutus
untuk menentukan benar tidaknya pria tersebut telah mengadakan hubungan sex dengan
penggugat, dibenarkan dan sumpah tersebut diucapkan oleh pria tersebut, hal itu tidak
membuktikan bahwa pria tersebut benar-benar adalah ayah dari anak tersebut. Oleh karena itu
sumpah pemutus tersebut adalah titik litis decisoir dan harus ditolak.

Perihal penentuan apakah suatu sumpah itu litis decisoir atau tidak, merupakan persoalan
hukum, dan bukan saja dalam taraf banding, akan tetapi juga dalam taraf kasasi. Mahakamah Agung
berhak untuk menilai kembali, apakah sumpah tersebut litis decisoir atau tidak.

Sumpah pemutus dapat dikembalikan, hal itu berarti, bahwa seseorang yang kepadanya
dibebani sumpah oleh pihak lawan dapat memilih dua jalan, apakah ia akan menerima sumpah
tersebut ataukah ia akan meminta agar pihak lawan saja yangdisumpah. Siapa yang mengucapkan
sumpah pemutus dialah yang akan memenangkan perkara itu (lihat putusan Mahkamah Agung
tertanggal 31 Juli1952 No. 39 K/Sip/1951, termuat dalam Hukum, Majalah PAHI 1952 No 4 dan 5,
halaman 30).

Oleh karena pembebanan sumpah adalah melepaskan suatu pihak untuk menang, maka
dalam taraf banding atau kasasi putusan tesebut tidak akan diubah. Juga seandainya sumpah
tersebut dikelak kemudiian hari ternyata palsu, hal itu tidak dapat diajukan sebagai alasan bagi rekes
sipil (lihat pasal 385 ayat 1 RV. Dan bandingkan dengan putusan raad van Justitie Batavia – Derde
Kamer – tertanggl 14 Juli 1939, termuat dalam Indisch Tijdschrift van het Recht, deel 151, halaman
219). Berbeda engn hal tersebut terhadap putusan yang didasarkan atas sumpah penambah yang
dikemudian hari ternyata palsu, rekes sipil masih bisa diajukan.

Pasal 157 H.I.R. membuka kemungkinan dengan memberikan izin kepada salah satu pihak
untuk bersumpah melalui seorang wakilnya yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah, baik
berupa sumpah penambah yang diperintahkan oleh hakim, maupun sumpah emutus yang diminta
atau yang dikembalikan oleh pihak lawan, asalkan kuasa yang memberikannya itu dilakukan dengan
akta otentik yang menyebutkan dengan seksama tentang sumpah yang akan diangkatnya itu.

Menurut ketentuan pasal 158 ayat (1) H.I.R. tentang hal mengangkat sumpah itu selalu
dilakukan dalam persidangan Pengadilan Negeri, kecuali jika hal itu tidak dapat dilangsungkan
karena ada halangan yang syah. Dalam hal sumpah pemutus yang diminta oleh salah satu pihak agar
pihak lawannya yang ditunjuk sehubungan dengan kepercayaan yangdianutnya, misalnya: di Masjid,
Gereja, Vihara atau Kelenteng, maka sumpah dilakukan di tempat yag ditunjuk tersebut. Panitera
pengadilan embuat berita acara tentang hal tiu, sedang biaya yang timbul sehubungan upacara
sumpah tersebut ditanggung oleh pihak yang kalah perkara.

Ayat (2) pasal 158 H.I.R. menentukan, bahwa baik sumpah penambah maupun sumpah
pemutus, pengangkatan sumpahnya hanya boleh diambil di hadapan pihak lawannya atau sesudah
pihak lawan itu dipanggil dengan patut dalam hal ia tidak hadir. Hal ini dilakukan karena sifat
sumpah yang demikian penting, dengan maksud agar pihak lawan mengetahui bahwa sumpah
tersebut benar-benar dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai