Anda di halaman 1dari 8

VERSTEK (NON-PERCERAIAN) TETAP HARUS DIBUKTIKAN (Tafsir

Ulang atas Pasal 164 H.I.R./284 R.Bg.) Oleh: Ahmad Z. Anam, M.S.I.
1 Sekapur Sirih Hukum pembuktian yang selama ini penulis
pedomani dan yakini kebenarannya menyatakan: perkara verstek
(non-perceraian) tidak perlu dibuktikan. Seluruh dalil penggugat
harus dianggap benar. Ketidakhadiran tergugat mutlak dimaknai
sebagai bentuk pelepasan hak. 2 Dewasa ini, aliran hukum
pembuktian tersebut mulai dipertanyakan oleh berbagai kalangan.
Alasannya, karena dipandang rentan terjadi penyelundupan hukum,
berseberangan dengan kaidah dasar pembuktian, 3 tak terpenuhinya
kebenaran formil, dan menjauh dari kebenaran materiil. Berpijak dari
diskursus di atas, penulis tertarik untuk melacak dan mengkaji ulang
aliran hukum pembuktian tersebut. Bersumber dari manakah aliran
itu? Apakah merujuk langsung pada aturan 1 Hakim Pengadilan
Agama Mentok. 2 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6 (Kencana: Jakarta, 2012),
hlm. 236, lihat juga: M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara
Perdata di Indonesia (UII Press: yogyakarta, 2013), hlm. 27, lihat juga:
A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan
Agama, cet. VIII (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008) hlm. 144. 3 Pasal
163 HIR menyatakan: “barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai
hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan
haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Pasal
283 R.Bg menyatakan: “Barangsiapa beranggapan mempunyai suatu
hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal
hak seseorang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu” dan
Pasal 1865 KUH Perdata menyatakan: “Setiap orang yang mengaku
mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang
dikemukakan itu”. 1 | P a g e perundangan, penjelasan aturan
perundangan, atau pendapat ahli? Lantas, apakah aliran hukum
1
pembuktian tersebut telah final-tidak tertawar? Hakikat Pembuktian
Secara sederhana, pembuktian dapat diartikan sebagai proses
pengujian kebenaran suatu fakta secara logis berdasarkan alat-alat
bukti yang sah. 4 Atau, lebih kongkritnya pembuktian dapat diartikan
sebagai upaya penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum
pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum
dan peristiwa yang didalilkan atau dibantah dalam hubungan hukum
yang diperkarakan.5 Prinsip dasar pembuktian termaktub lugas
dalam pasal Pasal 163 H.I.R./283 R.Bg. dan 1865 KUH Perdata yang
menyatakan: “barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak,
atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu,
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Mafhum dari
pasal tersebut: setiap dalil atau bantahan harus dibuktikan dengan
alat bukti yang sah. Seiring perkembangan peradaban manusia, alat
bukti yang sah dan diakui dalam hukum acara perdata juga bergerak
dinamis. Alat bukti yang sah tersebut adalah: bukti surat, saksi,
persangkaan, sumpah, pengakuan, pemeriksaan setempat
(descente), informasi dan transaksi elektronik dan alat bukti ilmiah
(scientific evidence). 4 A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara
Perdata pada Pengadilan Agama, cet. VIII (Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2008) hlm. 139. 5 M. Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara
Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan
Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) hlm.
496. 2 | P a g e Namun ini tidak menutup kemungkinan masuknya
jenis alat bukti lain, karena hukum pembuktian perdata di Indonesia
sudah bergerak ke arah pembuktian terbuka (opened sytem). 6
Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian secara
hukum bahwa suatu peristiwa atau fakta yang dijadikan fitelijke
gronden dalam posita benar-benar terjadi, memperoleh kepastian
tentang objek sengketa, melindungi hak-hak perdata para pihak,
menjamin proses peradilan berjalan tertib, menjamin objektifitas
proses peradilan, dan menghindari penyelundupan hukum. Materi
2
yang harus dibuktikan, menurut Sudikno Mertokusumo, adalah
peristiwa, bukan hukumnya. Pihak berperkara tidak dibebani untuk
membuktikan hukumnya, tetapi hakimlah yang harus
menemukannya, ketentuan ini selaras denga azas ius curia novit,.
Ketentuan ini merupakan kesimpulan dari pasal 178 H.I.R/189 R.Bg.7
Pembuktian merupakan jalan yang harus ditempuh oleh hakim
dalam proses konstantir (tahap pencarian kebenaran suatu
peristiwa). Konstantir bukan sekedar berdasar dugaan atau
kesimpulan dangkal, tapi ia harus menemukan kebenaran suatu fakta
(minimal kebenaran formil). Oleh karena itu, tahap ini harus
mengguganakan piranti ideal yang telah digariskan oleh hukum
acara: pembuktian.8 Meskipun pada prinsipnya pembuktian
merupakan satu-satunya metode untuk menemukan fakta, namun
dalam beberapa kasus, menurut ketentuan perundangan yang
berlaku, peristiwa-peristiwa tertentu tidak perlu dibuktikan.
Pengecualian tersebut adalah: 6 Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian
Perkara Perdata di Indonesia… hlm. 31-114. 7 Ibid. Hlm. 146 8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. V
(Cahaya Atma Pusaka: Yogyakarta, 2013) hlm. 123. 3 | P a g e
Pertama: pengakuan. Pasal 164 H.I.R./284 R.Bg. menegaskan bahwa
pengakuan merupakan salah satu alat bukti yang sah.
Konsekuensinya: jika sebuah dalil telah diakui pihak lawan, maka dalil
tersebut telah mencapai derajat “benar” dan tidak perlu dibuktikan
lagi. Kedua: pengetahuan hakim dalam persidangan dan dalam
discente. Penjelasan pasal 164 H.I.R. mengisyaratkan bahwa
pengetahuan hakim telah menjadi fakta, sehingga tidak perlu
dibuktikan. Ketiga: fakta yang diketahui umum (notoir). Tentang
fakta yang telah diketahui oleh khalayak umum, juga telah
disinggung dalam penjelasan pasal 164 H.I.R., bahwa fakta tersebut
juga merupakan bagian dari alat bukti yang sudah tidak perlu
dibuktikan lagi. Keempat: sumpah. Pasal 177 H.I.R secara gamblang
juga telah menegaskan jika pihak berperkara telah mengangkat
sumpah, baik decisoir maupun supletoir, maka dalil pihak tersebut
3
dianggap telah terbukti. Namun yang perlu digarisbawahi, sumpah
merupakan alternatif sangat terakhir, jika sudah tidak ada alat bukti
lain; Selain keempat pengecualian tersebut, sebagian besar pakar
hukum perdata juga menyatakan bahwa dalam hal perkara verstek
juga tidak perlu ada pembuktian. Pendapat inilah yang menarik
untuk dilacak dan dikaji ulang. Karena dalam pasal 125 H.I.R./149
R.Bg. tegas menyatakan gugatan verstek dapat diterima jika
beralasan hukum dan tidak melawan hak. Bukankah untuk
mengetahui apakah sebuah gugatan itu beralasan hukum atau tidak,
melawan hak atau tidak, harus melalui tahap konstantir? Bukankah
konstantir dalam perkara verstek itu hanya dapat terwujud dengan
pembuktian? Melacak Aliran Hukum Pembuktian Verstek
Berdasarkan hasil pelacakan, aliran yang menafikan pembuktian
dalam perkara verstek tersebut merupakan pendapat 4 | P a g e ahli.
Hampir seluruh pakar hukum menyatakan perkara verstek
nonperceraian tidak perlu dibuktikan.9 Pendapat tersebut
merupakan penafsiran dari pasal 125 H.I.R./149 R.Bg. yang berbunyi:
Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau
tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun
ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak
hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa
pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan. Sejatinya, jika
kita cermati, tidak ada satu frasa pun dalam pasal tersebut yang
mengindikasikan “tidak perlu ada pembuktian dalam perkara
verstek”. Justeru pasal tersebut secara tegas menyatakan: “maka
gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata
kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau
tidak beralasan. Artinya, pasal tersebut menghendaki bahwa sebuah
gugatan dapat dikabulkan dengan verstek, jika dalil gugatan tersebut
tidak melawan hak serta beralasan hukum. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah: berdasarkan apa majelis hakim mengetahui bahwa
gugatan penggugat itu tidak melawan hak serta beralasan hukum?
Tentu: berdasarkan fakta hukum. Lantas dari mana hakim dapat
4
mengetahui sebuah fakta hukum? Penerawangankah? Prediksikah?
Atau dengan pembuktian? Menafsir Ulang Pasal 125 H.I.R./149 R.Bg.
Penjelasan Pasal 125 H.I.R/149/R.Bg. yang merupakan tafsir resmi
dari kedua aturan perundangan tersebut10 juga tidak 9 Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, hlm. 236. 10 Penjelasan atas pasal dalam sebuah undang-
undang, sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan umum UU
No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan,
merupakan tafsir resmi terhadap pasal dalam undangundang sendiri.
5 | P a g e menjelaskan sama sekali bahwa perkara verstek tidak
perlu dibuktikan. Penjelasan tersebut menegaskan pernyataan
sebagai berikut: Kalau yang tidak datang menghadap di persidangan
itu penggugat, gugatan akan diperlakukan seperti yang tersebut
dalam pasal 124, akan tetapi apabila yang tidak datang pada hari
perkara itu tergugat, lagi pula ia tidak pula mewakilkan kepada
kuasanya untuk menghadap, meskipun ia sudah dipanggil dengan
patut, maka tuntutan dalam surat gugatan itu diterima dengan
putusan "verstek" atau "in absensia", yang artinya putusan tak hadir,
kecuali jika nyata pada pengadilan negeri bahwa tuntutan itu
melawan hak atau tidak beralasan. Oleh karena penjelasan pasal
tersebut belum dapat menjelaskan secara tegas perlu atau tidaknya
pembuktian dalam perkara verstek, maka hakim sebagai sosok
penemu hukum, tentu berhak menafsir pasal 125 H.I.R/149 R.Bg.
Hakim adalah mujtahid. Hakim tidak boleh jumud dan buta realitas
sosial. Fakta yang telah menjadi pengetahuan publik menyatakan:
relaas yang disampaikan melalui kepala desa berjumlah jauh lebih
banyak dari pada disampaikan kepada pihak secara langsung. Penulis
pernah mengadakan penelitian sederhana terhadap relaas perkara
gugat waris. Alhasil, dari 44 relaas, relaas yang disampaikan langsung
kepada pihak hanya berjumlah 11 relaas, sedangkan yang melalui
kepala desa 33 relaas. Memang, relaas tersebut sudah masuk batas
kategori resmi. Namun pertanyaannya: apakah kepala desa—
dengan segala kesibukannya—bersedia dengan cuma-cuma (secara
5
tak berbayar) mengantar relaas tersebut pada pihak yang
bersangkutan. Jawabannya: kadang bersedia, kadang tidak. Inilah
realitas sosial. Sungguh kondisi ini akan menimbulkan kerugian bagi
pihak. 6 | P a g e Bertolak dari data di atas, tentu sangat tidak bijak
jika hakim secara gegabah (tanpa melalui pembuktian) dengan serta
merta mengabulkan gugatan penggugat hanya dengan pertimbangan
tergugat tidak hadir. Karena bisa jadi tergugat memang tidak
mengetahui adanya persidangan. Bisa jadi gugatan penggugat
melawan hak tergugat. Bisa jadi gugatan penggugat tidak beralasan
hukum. Pasal 5 ayat (1) UU no. 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan: “hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Artinya, hakim harus jeli
dan mempertimbangkan realitas sosial demi tegaknya kebenaran
dan keadilan. Memang, untuk menggapai kebenaran materiil yang
sebenarbenarnya akan sangat sulit. Umar ibn Khattab dalam
risalahnya mengisyaratkan: hakim tidak berkewajiban menggapai
kebenaran (materiil) yang sebenar-benarnyanya, namun kewajiban
hakim adalah berijtihad mendekati kebenaran.11 Lantas, bagaimana
solusinya: tetap harus melakukan konstantir dengan cara
pembuktian atas gugatan penggugat. Jangan sampai ada blunder;
putusan hakim tak berdasarkan fakta hukum yang akibatnya
kebenaran akan tercerabut dari akarnya. Oleh karena itu, pasal 125
H.I.R/149 R.Bg. yang selama ini ditafsirkan sebagai kebolehan hakim
mengabulkan gugatan penggugat dengan tanpa pembuktian, wajib
ditafsir ulang. Tafsir yang paling mendekati kebenaran hemat penulis
adalah: dalam kondisi tergugat tidak hadir (verstek), hakim tetap
diperbolehkan mengabulkan gugatan penggugat, dengan catatan
gugatan tersebut harus telah terbukti tidak melawan hak dan
beralasan hukum. 11 Risalah umar menyatakan: ‫ثم الفهم الفهم فيم ا أدلى‬
‫ ثم‬، ‫ ثم ق ايس الم ور عن د ذل ك واع رف المث ال والبش باه‬، ‫إليك مما ليس فى قرآن ول سنة‬
7 )‫| اعمد إلى أحبها إلى هللا فيما ترى وأبشبهها بالحق (رسالة القضاء لعمرابن الخ ططاب‬
P a g e Intinya: fakta hukum harus tetap ditemukan melalui
6
pembuktian, bukan kesimpulan dangkal dari gugatan. Tafsir seperti
termaktub di atas sejatinya telah digagas dan dipublikasikan dalam
Rakerda Pengadilan Tinggi Agama Jakarta (2012) yang menyatakan
perkara verstek kebendaan tetap harus dengan pembuktian, untuk
menghindari penyelundupan hukum. Selain itu, Yahya Harahap juga
mengisyaratkan bahwa hakim harus bersikap aktif dan minilai
gugatan yang diajukan penggugat, apakah gugatan tersebut memiliki
landasan hukum yang benar atau tidak. Apabila tidak, secara aktif
harus menolak gugatan penggugat.12 Kesimpulan Hakim adalah
mujtahid yang tidak boleh jumud dan buta realitas sosial. Oleh
karena itu, Ia harus berani mereinterpretasi (menafsir ulang) Pasal
125 H.I.R./149 R.Bg., karena tafsir yang selama ini ada dan
dipedomani terbukti mengabaikan realitas sosial dan rentan
penyelundupan hukum. Ini semua demi keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Tafsir atas Pasal 125 H.I.R./149 R.Bg. yang paling
mendekati kebenaran hemat penulis adalah: hakim tetap dapat
mengabulkan gugatan penggugat dengan verstek, dengan catatan:
gugatan tersebut harus telah terbukti tidak melawan hak dan
beralasan hukum. Satu-satunya jalan untuk menemukan fakta
hukum bahwa sebuah gugatan tidak melawan hak dan beralasan
hukum adalah dengan konstantir. Sementara itu, satu-satunya
metode konstantir dalam perkara verstek adalah dengan
pembuktian. Model penafsiran seperti inilah menurut penulis lebih
selaras dengan prinsip dasar pembuktian, memenuhi unsur
kebenaran formil, dan tetap berusaha menggapai kebenaran
materiil. Wallahu a’lam bi ash-showab.* 12 Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata... hlm. 505. 8 | P a g e DAFTAR PUSTAKA Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012. A. Mukti Arto, Praktek-
Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. VIII, Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2008. M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian
Perkara Perdata di Indonesia, UII Press: yogyakarta, 2013. Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. V, Cahaya Atma
7
Pusaka: Yogyakarta, 2013. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata
tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, cet. ke-10, Sinar Grafika: Jakarta, 2010. Undang-undang
No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan PerundangUndangan .
Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie). Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R.). Reglement voor de
Buitengewesten (R.Bg.). Risalah Umar ibn Khattab terhadap Abu
Musa Al-Asy’ari. 9 | P a g e
Ini Makalah ditulis oleh hakim Pengadilan agama…silakan saudara
gogling judulnya …

Anda mungkin juga menyukai