Anda di halaman 1dari 8

Dalam asas legalitas terdapat tiga prinsip penting yang terkandung didalamnya, yaitu:1

a) Lex scripta, lex certa

Artinya ketentuan pidana haruslah berbentuk peraturan yang tertulis yang dituliskan
dengan jelas dan tegas. Dengan kata lain, tidak ada suatu perbuatan yang terlarang
atau diharuskan untuk dipidana kecuali hal tersebut telah secara tegas dinyatakan
dalam ketentuan undang-undang. Lebih lanjut, hal tersebut berarti tidak seorangpun
dapat dipidana berdasarkan hukum kebiasaan.

b) Non retroaktif/ larangan berlaku surut

Makna dari asas ini adalah larangan untuk memberlakukan undang-undang yang
baru lahir terhadap suatu tindakan pidana yang sebelumnya belum diatur dalam
undang-undang. Ketentuan pidana hanya dapat diberlakukan terhadap suatu perbuatan
yang telah dilakukan setelah undang-undang pidana tersebut mulai diberlakukan, dan
bahwa ia telah dimaksudkan untuk diberlakukan terhadap hal-hal yang terjadi di
waktu kemudian. Jadi sifat undang-undang pidana adalah berjalan ke depan dan tidak
ke belakang.

Tujuan dari adanya asas ini adalah untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap perbuatan yang pada mulanya bukan merupakan tindak pidana atau belum
memiliki ancaman pidana agar tidak dipermasalahkan di kemudian hari ketika
peraturan mengenai hal tersebut dikeluarkan. Penyimpangan dari asas non-retroaktif
dalam KUHP ada dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi :”Jika sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang
paling meringankan bagi terdakwa”.

c) Larangan penggunaan analogi

Yang dimaksud dengan menggunakan analogi dalam hukum pidana adalah


menganggap sesuatu sebagai termasuk dalam pengertian dari suatu istilah atau
ketentuan undang-undang hukum pidana, karena sesuatu itu banyak sekali
kesamaannya dengan istilah atau ketentuan dalam undang-undang hukum pidana.

Hakim dalam memutuskan suatu perkara haruslah mampu menjelaskan makna


undang-undang itu sendiri. Upaya untuk menjelaskan suatu undang-undang inilah

1
Ibid., hlm. 41.
yang kemudian disebut dengan interpretasi atau penafsiran hukum. Penafsiran atau
interpretasi hukum ada beberapa cara, diantaranya:2

1. Penafsiran menurut Bahasa, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari


2. Penafsiran historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum.
3. Penafsiran Sistematis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari
keseluruhan sistem perundang-undangan.
4. Penafsiran sosiologis atau penafsiran teologis, yaitu penafsiran menurut
makna/tujuan kemasyarakatan.

1. Apakah perbuatan petrus telah memenuhi unsur Pasal 338 jo. Pasal 53 KUHP?
2. Apakah ada pasal lain yang lebih sesuai?

Analisis:

2
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka, 2010), hlm. 220-223.
1. Perbuatan Petrus telah memenuhi unsur Pasal 338 jo. Pasal 53 KUHP

Penuntut Umum mendakwakan Pasal 338 jo. Pasal 53 KUHP terhadap Petrus karena
telah melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan. Berikut merupakan analisis rumusan
unsur Pasal 338 jo. Pasal 53 KUHP:

Pasal 338 KUHP: “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”

Pasal 53 KUHP:

(1) “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”
(2) “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dapat
dikurangi sepertiga.”
(3) “Jika kejahatan diancam dengan pidana mati dan pidana penjara seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
(4) “Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan kejahatan selesai.”
A. Rumusan Unsur Pasal 338 jo. Pasal 53 KUHP
Unsur-unsur dalam Pasal 338 jo. Pasal 53 KUHP, yaitu:
a. Barangsiapa
b. sengaja
c. mencoba merampas nyawa orang lain dan jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
a. Barangsiapa
Dalam pandangan KUHP, barangsiapa adalah subjek tindak pidana, yaitu
manusia sebagai oknum yang menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi
subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat
dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda. 3 Unsur
barangsiapa merujuk pada subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban atau
subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan pidana dimana atas perbuatannya
dapat diminta pertanggungjawabannya. Subjek hukum yang dapat diminta

3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT Refika Aditama, 2009),
hlm. 59.
pertanggungjawabannya adalah dengan didasarkan pada keadaan dan kemampuan
jiwanya. Dalam kasus ini, yang menjadi subjek hukum sebagaimana dimaksud
sebagai Terdakwa adalah Petrus Toroziduhu Nehe Alias Ama Desi (selanjutnya
akan disebutkan sebagai Petrus), seorang laki-laki berusia 48 tahun dengan identitas
lengkapnya tercantum pada halaman 1 Putusan Nomor 200/Pid.B/2018/PN Gst.
Dengan demikian, oleh sebab Petrus merupakan subjek hukum yang berada dalam
keadaan sehat sehingga dapat dimintai pertanggungjawabannya, maka unsur
barangsiapa telah terpenuhi.
b. Sengaja

Menurut Memorie van Toelichting (MvT) atau Memori Penjelasan Belanda tahun 1886,
sengaja (opzet) berarti kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan
tertentu.4 Disini berarti pelaku sadar dan memang berniat melakukan perbuatan pidana
tersebut. Bentuk dari kesengajaan ada 4, yaitu:5

1. Sengaja sebagai maksud

Sengaja sebagai maksud yaitu apabila pelaku menghendaki akibat dari perbuatannya. Hal
tersebut dapat terlihat dari pembunuhan yang dilakukan dengan menusuk jantung korban dan
dilakukan dari jarak yang dekat. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat disimpulkan sebagai
pembunuhan dengan sengaja sebagai maksud.

2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian

Yang dimaksud dari sengaja dengan kesadaran tentang kepastian adalah apabila pelaku
yakin bahwa akibat yang dikehendakinya tidak akan terjadi tanpa terjadi pula akibat yang
tidak dikehendakinya.

3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan terjadi

Maksudnya adalah apabila pelaku melakukan suatu perbuatan di mana akibat dari
perbuatannya tersebut bukan merupakan kepastian, tetapi ia mengetahui bahwa akibat
tersebut kemungkinan dapat terjadi.

4. Sengaja bersyarat

Perbuatan seorang pelaku termasuk ke dalam sengaja bersyarat apabila pelaku tetap
melakukan suatu perbuatan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain
4
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Hlm. 114.
5
Ibid., hlm. 124-127.
yang tidak diinginkannya terjadi. Di sini berarti pelaku mengetahui dan menerima risiko yang
besar dari perbuatannya.

Perbuatan yang dilakukan oleh Petrus termasuk ke dalam sengaja sebagai maksud karena
Petrus telah mempersiapkan dua bilah pisau dapur yang diselipkan di pinggang sebelah
kirinya dan Petrus kemudian menusukkan pisau tersebut secara mambabi buta ke bagian dada
sebelah kiri, dada sebelah kanan dan lengan kanan korban, yaitu Mesta Alam. Dari fakta
tersebut, dapat terlihat bahwa Petrus memang menghendaki akibat dari perbuatannya yang
menusuk korban sehingga perbuatan Petrus masuk ke dalam bentuk sengaja sebagai maksud.
Dengan demikian, unsur sengaja telah terpenuhi.

c. mencoba merampas nyawa orang lain dan jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri

Perbuatan Petrus termasuk ke dalam percobaan merampas nyawa orang lain. Merampas
nyawa orang lain adalah perbuatan yang mengakibatkan matinya atau tewasnya orang lain.
Pelaksanaan merampas nyawa orang lain dapat dilihat dari perbuatan Petrus yang menusuk
korban di bagian dada dan lengan. Namun, kemudian pelaksanaan perampasan nyawa orang
lain tersebut tidak selesai karena adanya penghalang yang bukan berasal dari diri Petrus.
Dalam unsur ini, terdapat 3 syarat percobaan yang akan dibahas, yaitu:

1. Niat

Yang dimaksud dengan niat adalah kehendak pelaku yang berarti adanya suatu tujuan
yang diarahkan kepada sesuatu.6 Unsur niat dapat terlihat dalam permulaan pelaksanaan
maupun pelaksanaan tindak pidana yang dilakukan. Jika telah memiliki niat untuk melakukan
suatu perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana, maka pelaku tersebut melakukannya
dengan kesengajaan. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa perbuatan Petrus yang menusuk
Mesta Alam termasuk ke dalam bentuk sengaja sebagai maksud. Dalam hal ini, Petrus
bermaksud untuk merampas nyawa Mesta Alam dengan cara menusuknya. Dengan demikian,
maka syarat niat telah terpenuhi.

2. Adanya permulaan pelaksanaan

6
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT Refika Aditama, 2009),
hlm. 109.
Mengenai permulaan pelaksanaan ini, saya menghubungkannya dengan pendapat Hoge
Raad Arrest tanggal 19 Maret 1934, N.J 1934 Eindhovense Brandstichting-arrest, yaitu yang
menyebutkan bahwa permulaan pelaksanaan pada delik materiil yaitu ‘segera setelah
tindakan yang dilakukan oleh pelakunya itu, menurut sifatnya secara langsung dapat
menimbulkan akibat yang terlarang oleh UU, tanpa pelakunya tersebut harus melakukan
suatu tindakan yang lain’. Jika dikaitkan pada kasus Petrus ini, maka perbuatan Petrus masuk
ke dalam delik materiil karena ia diancam dengan pasal perbuatan percobaan merampas
nyawa orang lain, di mana dalam pasal merampas nyawa orang lain, yaitu Pasal 338 KUHP,
yang dirumuskan adalah akibat dari tindak pidana yang dilakukan. Oleh karenanya, maka
sesuai dengan pendapat Arrest Hoge Raad tersebut, permulaan pelaksanaan dalam kasus
Petrus ini adalah perbuatan Petrus yang menusuk Mesta Alam dengan menggunakan pisau
karena menurut sifatnya secara langsung, perbuatan menusuk tersebut dapat menimbulkan
tewasnya Mesta Alam. Dengan demikian, syarat adanya permulaan pelaksanaan telah
terpenuhi.

3. Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendak pelaku

Menurut syarat ini, pelaksanaan tindak pidana tidak selesai karena hal yang bukan berasal
dari kehendak pelaku, misalnya adanya penghalang fisik atau akan adanya penghalang fisik.
Berdasarkan fakta hukum yang dinyatakan dalam Putusan, pelaksanaan tindak pidana yang
dilakukan oleh Petrus untuk merampas nyawa dengan menusuk korban tidak selesai karena
dikejar oleh saksi Teri dan Aidi. Saksi Teri melihat Petrus menusuk Mesta Alam yang
kemudian Teri berteriak minta tolong sehingga Aidi yang sedang berada di kamar mandi
mendengar teriakan tersebut dan segera keluar. Kedua saksi tersebut mengejar Petrus
sehingga Petrus melarikan diri. Dari fakta hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan tindak pidana oleh Petrus tidak selesai karena adanya penghalang fisik berupa
gangguan dari orang lain, yaitu dalam kasus ini adalah pengejaran yang dilakukan oleh Teri
dan Aidi terhadap Petrus sehingga Petrus segera melarikan diri dan tidak menyelesaikan
niatnya untuk merampas nyawa Mesta Alam. Dengan demikian, syarat ‘tidak selesainya
pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendak pelaku’ telah terpenuhi.

Dengan telah diuraikannya syarat-syarat percobaan, maka dapat dinyatakan bahwa unsur
‘mencoba merampas nyawa orang lain dan jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri’ telah terpenuhi.
Dengan demikian, dari penjelasan masing-masing unsur di atas, maka perbuatan Petrus
telah memenuhi Pasal 338 jo. Pasal 53 KUHP.

2. Pasal 340 jo. Pasal 53 KUHP lebih sesuai untuk mengadili Terdakwa Petrus

Saya menilai bahwa Pasal 340 jo. Pasal 53 KUHP lebih sesuai untuk mengadili
Petrus. Hal yang demikian disebabkan oleh adanya unsur ‘dengan rencana terlebih
dahulu’ dalam Pasal 340 KUHP. Berikut merupakan analisis unsur Pasal 340 jo. Pasal 53
KUHP:

Pasal 340 KUHP: “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.”

Rumusan unsur Pasal 340 jo. Pasal 53 KUHP:

 Barangsiapa
 Sengaja
 Dengan rencana terlebih dahulu
 mencoba merampas nyawa orang lain dan jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri

Dari rumusan unsur pasal di atas, dapat terlihat bahwa perbedaan unsur Pasal 338 jo.
Pasal 53 KUHP dengan Pasal 340 jo. Pasal 53 KUHP hanya terletak pada penambahan unsur
‘dengan rencana terlebih dahulu’ pada unsur Pasal 340 jo. Pasal 53 KUHP. Dengan demikian,
maka selanjutnya saya hanya akan menerangkan lebih banyak mengenai unsur ‘dengan
rencana terlebih dahulu’ tersebut.

a. Dengan rencana terlebih dahulu

Memori Penjelasan (MvT) menjelaskan unsur “dengan rencana terlebih dahulu”


sebagai saat pemikiran dengan tenang dan berpikir dengan tenang.7 Jadi, ada waktu saat
pelaku merenungkan perbuatannya terlebih dahulu sebelum benar-benar melakukannya.
Selanjutnya menurut R. Soesilo, direncanakan terlebih dahulu berarti adalah antara timbulnya
maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk

7
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana., hlm. 123.
dengan tenang memikirkannya, misalnya adalah bagaimana cara si pelaku untuk melakukan
pembunuhan yang menjadi niatnya.8

Dalam kasus ini, unsur ‘dengan rencana terlebih dahulu’ terlihat dari fakta bahwa
Petrus menusuk Mesta Alam dengan pisau dapur yang telah ia persiapkan sebelumnya. Pisau
dapur tersebur dibawa oleh Petrus ke dalam toko roti monica milik Mesta Alam dengan
diselipkan di pinggang sebelah kirinya. Hal yang demikian menunjukkan bahwa adanya
waktu bagi Petrus untuk merenungkan perbuatannya terlebih dahulu, misalnya adalah cara
Petrus untuk melakukan pembunuhan, yaitu dengan menyelipkan pisau dapur yang kemudian
akan digunakan olehnya untuk menusuk korban. Dengan demikian, unsur ‘dengan rencana
terlebih dahulu’ telah terpenuhi.

8
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 241.

Anda mungkin juga menyukai