Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum dibuat untuk tujuan memelihara ketertiban dan kesejahteraan

masyarakat. Hukum ada dan berkembang dalam masyarakat karena hukum telah

menjadi bagian integral dari masyarakat. Maka muncullah adagium ubi societas

ibi ius, yang diterjemahkan secara bebas dan artinya kurang lebih dimana ada

masyarakat disitu ada hukum. Bahwa keberadaan hukum diperlukan bagi

masyarakat, agar masyarakat tanpa hukum menjadi terbuka.

Hukum pidana merupakan keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh

negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang

apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa

(penderitaan) kepadsa yang melanggar tersebut.1 Aturan-aturan tesebut mengatur

tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran

dan kejahatan tersebut disertai dengan ancaman berupa pidana atau penderitaan

bagi mereka yang melanggar aturan tersebut.

Menurut Moeljatno, Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku di negara yang memuat asas dan mengatur ketentuan tentang

perbuatan yang dilarang yang mengandung ancaman pidana. Kapan dan dalam hal

apa sanksi pidana dapat dijatuhkan terhadap pelanggaran larangan tersebut dan
1
Rahmaduddin Tomalili, Hukum Pidana, Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2019, hlm.4

1
2

bagaimana hukuman tersebut dapat dilaksanakan. 2 Kemudian, karena

memfokuskan objek ilmu hukum pidana pada hukum pidana yang berlaku, maka

gambaran itu merujuk pada norma-norma yang dikodifikasi. Dalam konteks

Indonesia, salah satu norma-norma yang dikodifikasi itu ialah Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP).3

Kejahatan telah lama dikenal dalam sejarah peradaban manusia. Maka tak

heran jika muncul anggapan bahwa kejahatan itu setua umur manusia. Dengan

demikian, kekerasan demi kekerasan dalam berbagai bentuk mengancam jiwa

manusia, hal ini dilakukan oleh dan terhadap manusia dan berlanjut hingga saat

ini.

Kejahatan yang berkembang di masyarakat terdiri dari berbagai macam

bentuk dan jenis. Di Indonesia kejahatan secara umum diatur dalam buku kedua

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), salah satu bentuknya adalah

pembunuhan. Dalam KUHP pembunuhan tergolong sebagai kejahatan terhadap

nyawa yang pengaturannya secara khusus diatur dalam Bab XIX KUHP yang

terdiri dari 13 pasal yakni Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. Lebih lanjut,

kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP digolongkan dalam dua golongan, yang

pertama berdasarkan unsur kesalahan dan yang kedua berdasarkan objeknya.

Pembunuhan berencana atau moord merupakan salah satu bentuk dari

kejahatan terhadap nyawa yang diatur dalam Pasal 340 KUHP. Delik

2
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Cetakan ke-5, Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2020, hlm 11.
3
Ibid, hlm 16.
3

pembunuhan berencana merupakan delik yang berdiri sendiri sebagaimana

dengan delik pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP. Rumusan

yang terdapat dalam delik pembunuhan berencana merupakan pengulangan dari

delik pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP, kemudian ditambah satu unsur lagi

yakni “dengan rencana lebih dahulu”. Hal ini berbeda dengan pembunuhan

dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHP yang

menggunakan pengertian dari pembunuhan secara langsung dari delik

pembunuhan.4

Pada umumnya delik-delik yang dimuat dalam KUHP ditujukan pada

subjek hukum “orang”, sebagai contoh subjek delik dalam Pasal 340 KUHP

yakni “barangsiapa”. Telah jelas yang dimaksud “barangsiapa” adalah orang dan

orang ini hanya satu.5 Pada kenyataannya kejahatan tidak selalu dilakukan oleh

satu orang. Terkadang, suatu kejahatan juga dilakukan oleh dua orang atau lebih

untuk menyelesaikan suatu delik. Dalam ajaran hukum pidana dimana suatu delik

dilakukan oleh satu orang atau lebih yang setiap orang melakukan wujud-wujud

perbuatan tertentu, dan dari tingkah laku-tingkah laku itulah lahirlah suatu tindak

pidana yang disebut dengan penyertaan atau deelneming.6

Dalam ajaran penyertaan terdapat macam-macam bentuk yang diantaranya

orang yang melakukan, orang menyuruh melakukan, orang yang turut serta

4
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa. Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm.82
5
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3: Percobaan dan Penyertaan. Jakarta:
Rajawali Pers, 2014, hlm. 69-79
6
Ibid. hlm. 71
4

melakukan, orang yang menganjurkan, dan orang yang memberikan bantuan

dalam tindak pidana. Masing-masing bentuk dalam ajaran penyertaan tersebut

memiliki perbedaan satu sama lain, akan tetapi jelas dalam ajaran tersebut bahwa

suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang baik orang yang terlibat secara

fisik maupun secara psikis.7 Sejatinya penyertaan menuntut pertanggungjawaban

pidana bagi pelaku-pelaku yang terlibat baik secara fisik maupun secara psikis,

baik secara langsung maupun yang tidak langsung.

Seperti pada sebuah kasus pembunuhan berencana yang dilakukan secara

bersama-sama sebagaimana termuat dalam putusan Nomor

213/Pid.B/2021/PN.Jkt.Utr. Seorang Terdakwa H. Dedi Wahyudi, S.Sos., alias

Dedi Bin Alm. Subki M. Bakri bersama Ir. Arbain Junaedi Bin Hasbi, Ruhiman

alias Maman bin Sarim, Syahrul bin Sawirudin, Dikky Mahfud bin Syamsuri dan

Rosidi alias Ros bin Sailin (penuntutannya secara terpisah) pada hari kamis

tanggal 13 Agustus 2020 sekitar pukul 13.30 WIB bertempat di depan ruko Royal

Gading Square No. RG 10/16 RW 24 Kel. Pengangsaan Dua Kec. Kelapa Gading,

Jakarta Utara atau ditempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum

Pengadilan Negeri Jakarta Utara, berwenang memeriksa dan mengadili perkara

ini mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta

melakukan yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan

hilangnya nyawa seseorang. Berdasarkan hal tersebut Pengadilan Negeri Jakarta

7
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan Dan Penyertaan. Jakarta:
Rajawali Press, 2014, hlm. 73
5

Utara menghukum Terdakwa H. DEDI WAHYUDI, S.Sos Alias DEDI Bin Alm

SUBKI M. BAKRI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana bersama-sama melakukan pembunuhan bencana.

Maka atas uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji serta menganalisa

tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan bersama-sama dalam suatu

karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul: ANALISIS YURIDIS

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG DILAKUKAN

BERSAMA-SAMA (Studi Putusan Nomor: 213/Pid.B/2021/PN.Jkt.Utr).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa

terdapat sejumlah permasalahan yang hendak penulis bahas. Adapun

permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah pertimbangan hakim yang menyatakan terdakwa secara bersama-

sama melakukan tindak pidana pembunuhan yang direncanakan dalam

perkara Nomor 213/Pid.B/2021/PN.Jkt.Utr telah sesuai dengan fakta-fakta

dipersidangan?

2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana

pembunuhan berencana?

3. Bagaimanakah pembunuhan menurut hukum Islam?


6

C. Tujuan Penelitian

Bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim yang menyatakan terdakwa secara

bersama-sama melakukan tindak pidana pembunuhan yang direncanakan

dalam perkara Nomor 213/Pid.B/2021/PN.Jkt.Utr telah sesuai dengan fakta-

fakta dipersidangan.

2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana

pembunuhan berencana.

3. Untuk mengetahui pembunuhan menurut hukum Islam.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menambah kepastian dan

wawasan hukum pada khususnya dan menjadi bahan penelitian untuk lebih

lanjut dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang penerapan

sanksi pidana terhadap kasus pembunuhan berencana sehingga diharapkan

skripsi ini dapat menjadi bahan bagi para mahasiswa serta memperluas dan

menambah pengetahuan mengenai hukum pidana.

2. Secara Praktis
7

Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini

diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan aparat

penegak hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan

perannya dalam penerapan sanksi pada kasus ini.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menyusun dan

mengklasifikasikan atau mengelompokkan penemuan-penemuan dalam

sebuah penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan

menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan.

Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek

yang harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan dengan

benar.8 Hal ini sesuai dengan pendapat Peter M. Marzuki yang menyatakan

bahwa penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori

ataupun konsep baru sebagai preskrepsi dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi9.

Bertolak dari uraian di atas maka hal-hal yang perlu dijelaskan dalam

penelitian ini sebagai pisau analisis adalah:

8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, (Jakarta: UI Press, 2014), hlm. 6.
9
Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), hlm. 35.
8

a. Teori Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).

b. Teori Tentang Putusan.

a. Teori Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sistem).

Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana kini

telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan

system. Mardjono menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah

system pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.10

Pengertian yang lebih umum dari system peradilan pidana

dikemukakan oleh Muladi yang mengatakan bahwa:

“System peradilan pidana adalah merupakan suatu jaringan


peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum
pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun jika
sifatnya terlalu formal yaitu dilandasi tujuan hanya untuk
kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa
ketidakadilan.”11

Dalam perkembangan selanjutnya, Lilik Mulyadi menyatakan

bahwa system peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi

sub system peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum,

yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No.

16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 Tentang

10
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), hlm. 2.
11
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995), hlm. 1-2.
9

Perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga

Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18

Tahun 2003).12

Penyelenggaraan sistem peradilan pidana merupakan mekanisme

bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan

dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan sampai

pemeriksaan disidang pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya

polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang berarti

pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana. Usaha-usaha ini

dilakukan demi untuk mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana,

yaitu:

1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.


2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.13

Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana tersebut,

masing-masing petugas hukum (polisi, jaksa, hakim) meskipun tugasnya

berbeda-beda tetapi mereka harus bekerja dalam satu kesatuan system.

Artinya, kerja masing-masing petugas hukum tersebut harus

berhubungan secara fungsional. Karena seperti yang diketahui bahwa


12
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif, Teoretis dan Praktik, Bandung :
Alumni, 2012, hlm.7.
13
Mardjono Reksodiputro, Hak asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia,
1997), hlm. 84-85.
10

penyelenggaraan peradilan tersebut adalah merupakan suatu system, yaitu

suatu keseluruhan terangkai yang terdiri atas unsur-unsur yang saling

berhubungan secara fungsional.

Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya

system peradilan pidana (criminal justice system) menjadi prioritas utama

dalam bidang penegakan hukum. Oleh sebab itu diperlukan

keterpaduan antara sub system-sub system di dalam criminal justice

system guna menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas

kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Loebby Luqman membedakan pengertian system peradilan

pidana dengan proses pidana. Sistem adalah suatu rangkaian antara

unsur atau faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga

menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan

dari system tersebut. Sedangkan proses peradilan pidana yakni suatu

proses sejak seseorang diduga telah melakukan tindak pidana, sampai

orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang

telah dijatuhkan padanya.14

Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun system peradilan

pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan

dengan mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana


14
Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), (Jakarta:
Datacom, 2002), hlm. 22.
11

ditentukan oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya

salah satu sub system akan mengganggu bekerjanya sub system yang lain

yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan.

Dalam hubungannya dengan judul permasalahan penelitian ini,

maka Teori Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) ini

dipergunakan untuk menjelaskan bahwa dalam sebuah proses peradilan

pidana itu terdapat beberapa komponen aparat penegak hukum yaitu

polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan dan advokat yang

tergabung dalam system peradilan pidana yang meskipun tugas

berbeda-beda namun mereka harus berkerja dalam kesatuan system demi

terwujudnya keamanan di dalam masyarakat.

b. Teori Tentang Putusan

Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah

seseorang bersalah atau tidak, peradilan pidana dilakukan dengan

prosedur yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang

mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses

pemeriksaan di pengadilan.

Tujuan lembaga peradilan di Indonesia adalah untuk menegakkan

hukum demi keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliver

Wendell Holmes, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa

dan Negara bahkan keadilan yang dimaksud adalah keadilan demi

Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan


12

bermasyarakat yang aman, tenang, tentram, tertib dan damai. Hal ini

tercermin dari setiap keputusan hakim di Indonesia, yang diawali

dengan ungkapan sangat religious, yakni Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa15.

Menurut sistem yang dianut di Indonesia, pemeriksaan di sidang

pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus bersifat aktif,

hakim harus bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa

yang diwakili oleh penasehat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-

saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua ini dengan maksud

menemukan kebenaran materil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas

segala yang diputuskannya.

Untuk menjamin hal tersebut maka hakim diberi kekuasaan yang

bebas dan mandiri agar putusan-putusannya tidak mudah diintevensi

oleh kekuatan diluar pengadilan seperti penguasa dan kekuatan lainnya

dalam masyarakat seperti kekuatan politik dan ekonomi. Hal ini dijamin

oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku positif di Indonesia, antara lain Undang-undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan

perubahan terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Undang-

undang tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


15
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim Dan Putusannya: Suatu Pendekatan Dari
Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudensi) Kasus Hakim Bismar Siregar, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 1.
13

2009 sebagai perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 14 Tahun

1985.

Syarat utama bagi keputusan hakim itu adalah bahwa keputusan

itu haruslah beralasan sehingga dapat dipertanggungjawabkan, bukan

saja terhadap yang berkepentingan langsung, yaitu penuntut umum dan

si terdakwa tetapi juga terhadap masyarakat umumnya. Dengan

keputusannya itu hakim harus menunjukkan bahwa ia tidak mengambil

keputusan dengan sewenang-wenang, bahwa peradilan yang ditugaskan

kepadanya sebagai anggota dari kekuasaan kehakiman, selalu dijunjung

tinggi dan dipelihara sebaik-baiknya, sehingga kepercayaan umum akan

penyelenggaraan peradilan yang layak tidak akan sia-sia belaka,

andaikata hakim tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib

menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum16.

Hanya putusan hakim yang melalui proses atau tahapan-tahapan

dalam persidangan dan proses administrasi menurut hukum acara pidana

pada umumnya saja yang mempunyai kekuatan mengikat dan sah.

Pengertian proses atau tahapan persidangan disini, adalah proses hakim

dalam menangani perkara pidana, mulai tahap menyatakan sidang dibuka

dan terbuka untuk umum, pemeriksaan identitas terdakwa, pembacaan

dakwaan, keberatan/eksepsi, putusan sela/tussen vonis, pemeriksan saksi-

16
Yesmil Anwar dan Adang, System Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakkan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm.
221-222.
14

saksi dan terdakwa kemudian pemeriksaan dinyatakan selesai lalu

tuntutan pidana, pembelaan/pledoi, replik, duplik, musyawarah hakim

dan pembacaan putusan.

2. Kerangka Konseptual

Pada bagian kerangka konsepsi akan dijelaskan hal-hal yang

berkenaan dengan konsep yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian

tesis ini yang merupakan defenisi operasional untuk memberikan pegangan

bagi penulis sebagai berikut:

a. Pembunuhan

Di dalam Pasal 338 KUHP disebutkan bahwa “Barangsiapa sengaja

merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sedangkan bila

pembunuhan tersebut dilakukan secara terencana maka akan dikenakan

pasal 340 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana

lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan

dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

b. Putusan pengadilan sebagaimana yang dijelaskan pada Bab I Tentang

Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 KUHAP adalah pernyataan hakim

yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa


15

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal

ini serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

c. Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh

Undang-undang untuk mengadili. Yang dimaksud dengan mengadili

adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan

memutuskan perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak

memihak pada sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang ini.17

d. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut

umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1

angka 6 KUHAP).

e. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili

di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP).

F. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu

pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara

17
Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana.
16

menelaah teori, konsep-konsep, asas-asas hukum, serta peraturan perundang-

undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Dalam melakukan penelitian

ini, maka untuk membahas permasalahan dalam penelitian skripsi ini, peneliti

menggunakan metode penelitian yang dapat perinci sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis, yang

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan

dengan teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum positif yang menyangkut

permasalahan.18 Dipilihnya metode penelitian ini diharapkan mampu

memberikan gambaran atau uraian secara rinci, sistematis dan menyeluruh

serta menganalisanya mengenai analisis yuridis tindak pidana pembunuhan

berencana yang dilakukan bersama-sama.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang memiliki

suatu metode yang berbeda dengan penelitian lainnya. Penelitian hukum

normatif merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah

penelitian berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji peraturan

perundang-undangan.19 Penelitian hukum normatif berfokus pada peraturan-

peraturan tertulis berupa literatur kepustakaan baik berupa peraturan

18
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990), hlm.34
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005),
hlm.32.
17

perundang-undangan, norma dan kaedah yang berhubungan dengan pokok

permasalahan. Pada masing-masing asas hukum dibahas subtansinya, struktur

hukum dan budaya hukum. Untuk menjawab permasalahan dan mencapai

tujuan dari penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian normatif

dengan melihat hukum dalam konteks normatifnya.

3. Tahap Penelitian

Dalam penelitian ini sumbernya data yang didapat melalui studi

kepustakaan karena penelitian tersebut merupakan penelitian hukum normatif

dibatasi, maka pada penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka saja yaitu

pada data hukum sekunder. Sumber penelitian ini memakai data sekunder, 20

yaitu data yang di dapat dari studi kepustakaan yang merupakan data dalam

bentuk tertulis. Keutamaan menggunakan data sekunder, adalah:

a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap tersebut dan dapat

dipergunakan dengan segera.

b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh

peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai

pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisis maupun

konstruksi data.

c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.21

20
Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.66.
21
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm.12.
18

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi yaitu

sebagai berikut :

a. Bahan Hukum

1) Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Adapun

bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah :

a) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang diamademen ke IV.

b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHP)

d) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan

hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam skripsi ini adalah buku-

buku, jurnal hukum, makalah hukum, hasil penelitian terdahulu dan

pendapat para pakar hukum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum

sekunder dan bahan hukum primer. Adapun bahan hukum tersier dalam

skripsi ini adalah kamus hukum, kamus bahasa Indonesia dan ensiklopedia

atau sumber lainnya dari internet.


19

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dipergunakan

melalui data sekunder atau studi kepustakaan. Diketahui penelitian hukum

normatif dibatasi pada penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka saja

yaitu pada data hukum sekunder. Pengumpulan data tersebut dilakukan

dengan mempelajari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip,

surat kabar dan pandangan-pandangan yang relevan dengan pokok masalah

dan sumber-sumber referensi umum (buku literatur) serta referensi khusus

(dokumen) yang secara langsung disesuaikan dengan masalah yang dibahas.

5. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini menggambarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan pelaksanaan hukum

positif yang menyangkut permasalahan.22 Dipilihnya metode penelitian ini

diharapkan mampu memberikan gambaran atau uraian secara rinci, sistematis

dan menyeluruh serta menganalisanya mengenai analisis yuridis tindak pidana

pembunuhan berencana yang dilakukan bersama-sama.

Setelah semua data terkumpul kemudian disklasifikasi sesuai dengan

peruntukannya guna memvalidasi keabsahan data, kemudian dianalisis secara

sistematis dengan teori-teori, ajaran-ajaran dan norma-norma yang berkaitan

dengan obyek penelitian sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

22
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990), hlm.34.
20

G. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi yang dipergunakan peneliti dalam melakukan penelitian bertempat

di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Perpustakaan Universitas Islam Jakarta,

Perpustakaan Nasional.

Adapun waktu yang dipergunakan untuk melakukan penelitian ini kurang

lebih 6 (enam) bulan.

H. Sistematika Penulisan

Dalam memudahkan dan memperjelas mengenai isi serta tujuan dari pada

penulisan skripsi ini perlu penulis jelaskan tentang sistematika yang disajikan

secara ringkas dalam lima bab berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Di dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang

masalah, identifikasi masalah yang terdiri dari pembatasan masalah

dan perumusan masalah. Diuraikan pula mengenai tujuan penelitian,

kerangka teoritis, metodologi penelitian, kerangka konseptual, lokasi

dan lama penelitian, dan sistematika penulisan, yang semuanya

merupakan pengantar untuk memasuki bab selanjutnya.

BAB II TINJAUAN UMUM

Dalam bab kedua penulis akan menguraikan mengenai tindak

pidana dan jenis-jenis tindak pidana, tindak pidana pembunuhan,

penyertaan, pertimbangan hakim, dan pidana dan sistem pemidanaan.


21

BAB III METODE PENELITIAN

Di dalam bab ini akan dijelaskan mengenai bahan dan metode

penulisan yang berkaitan dengan teknik pengumpulan data dan analisa

data.

BAB IV PEMBAHASAN

Dalam bab IV ini penulis akan membahas mengenai

pertimbangan hakim yang menyatakan terdakwa secara bersama-sama

melakukan tindak pidana pembunuhan yang direncanakan dalam

perkara Nomor 213/Pid.B/2021/PN.Jkt.Utr telah sesuai dengan fakta-

fakta dipersidangan, pertanggungjawaban pidana terhadap tindak

pidana pembunuhan berencana, dan pembunuhan menurut hukum

Islam

BAB V PENUTUP

Pada bab V ini penulis mencoba menyimpulkan hal-hal yang

telah diuraikan pada bab-bab terdahulu dan penulis mencoba

memberikan saran-saran yang membangun.

Anda mungkin juga menyukai