Anda di halaman 1dari 59

Kesalahan sebagai Unsur Delik

 Dolus
 Culpa
Dolus/ opzet/ sengaja
 Apakah sengaja itu ?
Sengaja = willen (menghendaki) en
weten (mengetahui) (MvT- 1886)

 Teori2 “sengaja” :
(a) teori kehendak (wils theorie)
“ opzet ada apabila perbuatan & akibat suatu delik
dikehendaki si pelaku”
(b) teori bayangan (voorstellings-theorie)
“opzet ada apabila si pelaku pada waktu mulai
melakukan perbuatan, ada bayangan yg terang bahwa
akibat yg bersangkutan akan tercapai, maka dari itu ia
menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu”
Dolus/ opzet/ sengaja
istilah2 dalam rumusan tindak pidana
 Dengan sengaja : Ps 338 KUHP
 Mengetahui bahwa : Ps 220 KUHP
 tahu tentang : Ps 164 KUHP
 dengan maksud : Ps 362, 378, 263 KUHP
 niat : Ps 53 KUHP
 dengan rencana lebih dahulu : Ps 340, 355 KUHP
- dengan rencana : (a) saat pemikiran dg tenang ; (b)
berpikir dg tenang; ( c ) direnungkan lebih dahulu.
- ada tenggang waktu antara timbulnya niat dengan
pelaksanaan delik
Bentuk-bentuk kesengajaan
 Sengaja sebagai maksud/ tujuan :
- apabila pembuat menghendaki perbuatan dan/akibat perbuatannya;
- tidak dilakukan perbuatan itu jika pembuat tahu akibat perbuatannya
tidak terjadi
 Sengaja sebagai keinsyafan kepastian :
- pembuat yakin bahwa akibat yg dimaksudkannya tidak akan
tercapai tanpa terjadinya akibat yg tidak dimaksud
 Sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan:
- pembuat sadar bahwa mungkin akibat yg tidak dikehendaki akan
terjadi untuk mencapai akibat yg dimaksudnya
- Kesengajaan berkeinsyafan kepastian dan kemungkinan tidak dapat
berdiri sendiri. Selalu bersifat accesoir terhadap kesengajaan
sebagai maksud
Culpa
Istilah2
- culpa - schuld - nalatigheid - sembrono
- teledor
 istilah 2 yg digunakan dalam rumusan :
- kelalaian
- kealpaan
- kesalahan
- seharusnya diketahuinya
- sepatutnya diketahuinya
Pengertian, Jenis, Syarat
 KUHP : tidak ada definisi ttg culpa
 MvT : kealpaan di satu pihak berlawanan benar2 dg kesengajaan
dan di pihak lain dengan hal yg kebetulan
 Pada culpa, unsur menghendaki selalu tidak ada; sedangkan unsur
mengetahui sering tidak ada
 Macam2 Culpa :
(a) culpa levis ; culpa lata
(b) culpa yg disadari (bewuste) : culpa yg tidak disadari (on bewuste)
 Syarat adanya kealpaan :
(a) Hazewinkel-Suringa : 1) kekurangan menduga-duga; 2) kekurangan
berhati-hati
(b) van Hamel : 1) tidak menduga-duga sebagaimana diharuskan
hukum; 2) tidak berhati-hati sebagaimana diharuskan hukum
( c) Simons : pada umumnya kealpaan mempunyai 2 unsur : 1) tidak
berhati-hati; 2) dapat diduganya akibat.
Culpa

 Untuk menentukan ada atau tidaknya culpa pada


seseorang, maka harus digunakan tolok ukur yang
normal (upaya dan kehati-hatian dari orang yang
sama kemampuan dan kecerdasannya dengan
pelaku).
 Apabila pada situasi dan kondisi yang sama dengan
pelaku, orang yang sama kemampuan dan
kecerdasannya dengan pelaku pada umumnya tidak
melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh
pelaku; berarti pelaku culpa telah melakukan culpa
lata (Kelalaian yang besar/berat)
Asas penting dalam masalah
pertanggungjawaban
 Geen straf zonder schuld
 Tiada Pidana tanpa kesalahan :
meskipun seseorang telah melakukan
perbuatan yang melawan hukum; namun tanpa
adanya kesalahan maka dia tidak dapat
dipidana
Dapat dipersalahkan sehingga dapat
dipertanggungjawabkan
 3 syarat yang harus dipenuhi:
 Kemampuan bertanggungjawab
 Ada hubungan psikis antara pelaku dan
perbuatannya , dalam bentuk dolus atau culpa
 Tidak ada dasar penghapus kesalahan
Percobaan Tindak Pidana
PERCOBAAN (POGING)

 PASAL 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk
itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal
percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara
paling lama 15 tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan
kejahatan selesai.
 Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana
POGING (PERCOBAAN)
 “Permulaan kejahatan yang belum selesai”
 Poging bukan suatu delik, tetapi poging dilarang dan diancam
hukuman oleh undang-undang
 Poging adalah perluasan pengertian delik
 Suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang sebab perbuatan itu melanggar kepentingan hukum
atau membahayakan kepentingan hukum
 KUHP tidak memberi perumusan/ definisi
 Harus diketahui kapan suatu delik dianggap selesai
 Delik selesai berbeda antara delik formil dan delik materiil
 Pada delik formil : delik selesai apabila perbuatan yang dilarang
telah dilakukan
 Pada delik materiil : delik selesai apabila akibat yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang telah timbul atau
terjadi
Teori Subyektif
- subjectieve pogingsleer –
 seseorang yang melakukan percobaan untuk
melakukan kejahatan itu pantas dihukum, oleh karena
orang tersebut telah menunjukkan perilaku yang tidak
bermoral yang bersifat jahat ataupun yang bersifat
berbahaya”
 Terdapat sikap batin atau watak yang berbahaya dari
si pelaku
Teori Obyektif
- objectieve pogingsleer –
 Seseorang yang melakukan percobaan untuk
melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum oleh
karena “tindakan-tindakannya telah bernilai
membahayakan bagi kepentingan-kepentingan
hukum”
Teori Campuran
Teori Subyektif
- subjectieve pogingsleer –
dan
Teori Obyektif
- objectieve pogingsleer –
Syarat Percobaan yg dapat dipidana
 Niat
 Permulaan Pelaksanaan
 Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
Melakukan percobaan kejahatan akan
tetapi tidak dihukum

 Pasal 184 ayat 5 KUHP –perkelahian tanding


 Pasal 302 ayat 4 KUHP – penganiayaan ringan
terhadap binatang
 Pasal 351 ayat 5 dan Pasal 352 ayat 2 KUHP –
penganiayaan biasa dan ringan
Dasar/Alasan
Penghapus Pidana
Pengertian
Hal-hal atau keadaan yg dpt mengakibatkan sso yang
telah melakukan perbuatan yg dgn tegas dilarang &
diancam dengan hukuman oleh UU (KUHP), namun
tidak dihukum,
karena:
1. Orangnya tidak dapat dipersalahkan
2. Perbuatannya tdk lagi melawan hukum
Pembagian Dasar Penghapus
Pidana Menurut KUHP
A. Dasar Penghapus Umum
Dasar2 penghapus pidana yang berlaku terhadap tiap-
tiap delik

B. Dasar Penghapus Khusus


Dasar2 penghapus pidana yang hanya berlaku pada
delik2 tertentu.
Pembagian Dasar Penghapus Pidana
Menurut KUHP

Dasar Penghapus Dasar Penghapus


Umum Khusus

 Pasal 44 KUHP 1. Pasal 166 KUHP


 Pasal 48 KUHP 2. Pasal 221 KUHP
 Pasal 49 KUHP
 Pasal 50 KUHP
 Pasal 51 KUHP
Pembagian Dasar Penghapus
Pidana Menurut Doktrin
1. Dasar Pembenar:
Melawan hukum  dihapuskan

2. Dasar Pemaaf:
Melawan hukum  tetap ada
Kesalahan  dihapuskan
Dasar Penghapus Pidana

Dasar Pembenar Dasar Pemaaf

Melawan hukum  dihapuskan Melawan hukum  tetap ada


Dalam hal ini perbuatannya tidak Kesalahan  dihapuskan
dianggap melawan hukum, Dalam hal ini perbuatan pelaku
walaupun perbuatannya itu dilarang tetap dianggap melawan hukum,
dan diancam hukuman oleh UU/ namun unsur kesalahannya
KUHP. dimaafkan:
Jadi dlm hal ini perbuatan pelaku
dibenarkan/dibolehkan:

a. Pasal 48 KUHP a. Pasal 44 KUHP


b. Pasal 49 ayat (1) b. Pasal 48 KUHP
c. Pasal 50 c. Pasal 49 ayat (2)
d. Pasal 51 ayat (1) d. Pasal 51 ayat (2)
Pasal 48 KUHP
Overmacht
(daya paksa dalam arti relatif/
sempit)

Noodtoestand
(perluasan keadaan darurat)
Paksaan (dwang)
 Dorongan/kekuatan/paksaan yg tidak bisa dilawan baik
psikis maupun fisik dr manusia
 Paksaan:
a. Vis Absoluta (paksaan absolut- manus ministra,
pelaku hanya sebagai alat belaka), paksaan yg tdk
mungkin dilawan
b. Vis Compulsiva (paksaan relatif berupa psikis)
diatur dalam Psl. 48 KUHP. Paksaan yg masih
mungkin utk dilawan namun org pd umumnya tdk
dpt menghindari paksanaan yg bs membahayakan
dirinya.
Overmacht
 Dorongan/kekuatan/paksaan yg tidak bisa
dilawan baik psikis maupun fisik dr manusia
 Secara relatif paksaan tsb masih mungkin utk
dilawan namun org pd umumnya tdk dpt
menghindari paksanaan yg bs membahayakan
dirinya.
 Memenuhi asas subsidaritas dan
proporsionalitas
 Psl. 48 KUHP  daya paksa dlm arti relatif.
Noodtoestand (Keadaan Darurat)
Perluasan Pasal 48 KUHP
Pembuat melakukan suatu delik, terdorong oleh suatu
paksaan dari luar, pembuat dipaksa untuk memilih, tapi
pilihannya seringkali ditentukan oleh situasi/keadaan
dan terkadang alam. Terjadi :
1. Pertentangan antara kepentingan hukum
2. Pertentangan antara kewajiban hukum
3. Pertentangan antara kepentingan hukum dengan
kewajiban hukum
Pasal 49 KUHP

Pasal 49 ayat (1)


Noodweer – Bela Paksa

Pasal 49 ayat (2)


Noodweer Excess –
Bela Paksa Lampau Batas
Pasal 49 ayat (1) KUHP
Noodweer - Bela Paksa

 Syarat ancaman serangan/serangan:


1. Melawan hukum
2. Seketika/langsung
3. Ditujukan pada diri sendiri/orang lain
4. Terhadap: badan/tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan
harta benda
 Syarat pembelaan:
1. Seketika/langsung
2. Memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas
Pasal 49 ayat (2) KUHP
Noodweer Excess - Bela Paksa Lampau Batas
 Pembelaan tidak memenuhi asas subsidaritas dan
proporsionalitas:
asas subsidaritas & proporsionalitas dilampaui
 Yang harus dibuktikan:
1. Pelampuan batas pembelaan terjadi karena goncangan
jiwa
2. Goncangan itu terjadi krn adanya serangan yg melawan
hukum (adanya hubunga kausal antara goncangan jiwa
dan pembelaan yg dilakukan)
Unsur: Melampaui batas yg perlu, terbawa oleh suasana
panas hati, adanya hubungan kausal antara perasaan tsb
dgn serangan yg dilakukan.
Pasal 50 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan utk
melaksanakan ketentuan UU tdk dipidana
Melaksanakan perintah UU, co:
- polisi yg sdg patroli menangkap sso yg
tertangkap tangan sdg mencuri
- Polisi yg menembak perampok yg
bersenjata ketika beraksi di sebuah bank
Pasal 51 KUHP
Pasal 51 ayat (1) KUHP :
Perintah yg dikeluarkan oleh pejabat yg sah dan
berwenang.
Perintahnya adalah perintah yg sah.
Perintahnya dalam lingkup publik.
contoh: juru sita pengadilan, penangkapan/
penyitaan/penahanan yg sah yg dilakukan oleh polisi
Pasal 51 KUHP
 Pasal 51 ayat (2) KUHP:
Perintah yg dikeluarkan oleh pejabat/atasan yg tidak
berwenang, jadi perintahnya tidak sah:
1. Yang diperintah sama sekali tidak tahu bahwa
perintah yang dikeluarkan adalah perintah yang
tidak sah
2. Dalam batas-batas lingkungan yg diperintah
3. Ada hubungan antara atasan dan bawahan
PENYERTAAN
(Turut campur, turut serta, deelneming,
complicity, participation in crime)
Keterlibatan SSO dalam suatu tindak pidana dapat
dikatagorikan sebagai

1. Yang melakukan
2. Yang menyuruh melakukan
3. Yang turut melakukan
4. Yang menggerakkan/menganjurkan untuk melakukan
5. Yang membantu melakukan
Dasar Peringan Pidana
Dasar Peringan Pidana
1. UMUM :
 Tindak pidana yang dilakukan oleh anak/ orang yg
blm dewasa
 Diatur dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan
Anak mengganti ps. 45-47 KUHP (lihat ps. 103
KUHP).
 Ps. 45-47 KUHP tdk berlaku lagi,
 tp asas2 umum dan aturan2 lain dalam KUHP
serta KUHAP ttp dipergunakan jk tdk diatur scr
menyimpang oleh UU NO. 3/1997.
2. KHUSUS :
 Delik yang diperingan (diprevilisir). Co: ps. 308.
Child Delinquency – Juvenile Delinquency

I. BATAS USIA
 Anak : sso blm cukup umur- msh di bwh umur
 Terdapat berbagai batasan usia anak :
 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak: < 18 thn tmsk
anak dlm kandungan
 Khusus untuk anak yg melak TP berlaku UU No. 3/1997
tentang Pengadilan Anak :
 Mereka yg berusia 8 - < 18 thn dan blm pernah kawin dpt
diajukan ke SA.
 Jika melak T.P. < 18 th tp sdh kawin : Tunduk pd KUHP.
Dasar Pemberat Pidana
Di Dalam KUHP
 UMUM :
Recidive :
 Pengulangan tindak pidana
Ancaman pidananya + (1/3-nya) (ditambah 1/3), diatur dlm psl.
486,487 dan 488.
 Pada wkt melakukan tindak pidana melanggar perintah
jabatan (abuse of power), psl. 52.

 KHUSUS :
Delik-delik yg dikualifisir/diperberat.
Co. psl. 52a: kejahatan menggunakan bendera RI, 356, 349, 351 ayat
(2), 365 (4) dll.
Delik-delik tertentu yg dilakukan oleh org ttt dlm keadaan ttt.
Di luar KUHP

 Pemaksimalan pidana karena dianggap meresahkan


masyarakat

 Penjatuhan pidana yg cukup berat.


PENGULANGAN T I N D A K P I D A N A
(R E C I D I V E)

 Recidive terjadi dlm hal seseorang yg telah


melakukan suatu tindak pidana dan yg telah dijatuhi
pidana dgn suatu putusan hakim yg berkekuatan
hkm tetap, kemudian melakukan suatu tindak
pidana lagi.
 Recidive merupakan suatu alasan/dasar untuk
memperberat pidana.
a. Recidive menurut Doktrin
Ada 2 sistem pemberatan pidana berdasarkan
recidive :
 Recidive Umum,
Setiap pengulangan tindak pidana apapun dan
dilakukan kapanpun.
 Recidive Khusus,
Pengulangan tindak pidana tertentu dan dalam
tenggang waktu tertentu pula.
b. Recidive menurut KUHP :
1. Pelanggaran (buku 3) :
Ada 14 jenis pelanggaran yg memiliki ketentuan recidive
(khusus)
 Recidive khusus psl. 489, 492, 495, 501, 512
 Pelanggaran yg diulangi (yg ke 2) hrs sama dgn yg ke 1
 Antara pelanggaran ke 1 dan 2 hrs ada putusan pemidanaan yg
tetap
Tenggang waktu :
 Belum lewat 1 atau 2 thn (lihat msg2 pasal)
 Sejak : adanya putusan pemidanaan yg berkekuatan hukum
tetap.
Pemberatan :
 Disebutkan secara khusus dlm tiap2 pasal, jd pengaturannya
berbeda2.
 Co. denda -> kurungan (psl. 489), pidana dilipatgandakan jd 2x
(492).
b. Recidive menurut KUHP
2. Kejahatan (buku 2) :
a. Recidive khusus :
 Ada 11 jenis kejahatan, co: psl. 137 (2), 144 (2), 155 (2), 161
(2), dan 216 (3).
 Kejahatan yg ke-2 hrs sama dgn yg ke-1.
 Antara kejahatan ke-1 dan yg ke-2,hrs sdh ada putusan
hakim berupa pemidanaan yg tlh berkekuatan hkm tetap.
 Tenggang waktu :
 Belum lewat 2 th atau 5 thn (lihat masing2 pasal), sejak :
adanya putusan hakim yg b’kekuatan hkm tetap.
 Pemberatan : disebut secara khusus dlm pasal2nya.
b. Recidive menurut KUHP
b. Recidive sistem antara :
 (Tussen stelsel – psl. 486, 487 dan 488)

 Syarat recidive menurut pasal 486, 487 dan


488 :
1. Kejahatan yg ke-2 (yg diiulangi) hrs
termasuk dalam suatu kelompok jenis dgn
kejahatan yg ke-1 (yg terdahulu).
GABUNGAN TINDAK PIDANA
(SAMENLOOP-CONCURSUS)
Tujuan adanya ketentuan
Gabungan Tindak Pidana

Untuk memberikan pedoman bagi Hakim dalam


menjatuhkan hukuman, jika terjadi perkara yang terdiri dari
beberapa tindak pidana;
Jangan sampai terjadi kesewenang-wenangan hakim
dalam menjatuhkan putusan dengan kumulasi yang tidak
terbatas
Bukan gabungan tindak pidana bila beberapa tindak pidana
terjadi namun tindak pidana2 tersebut telah diatur dalam
satu pasal. Mis Ps. 339; 363; 365 KUHP.
Pengertian
 Beberapa tindak pidana, yang dilakukan baik
dengan 1 atau lebih dari 1 perbuatan 
Gabungan tindak pidana dapat dilakukan lebih
dari 1 orang
 Di antara beberapa tindak pidana itu belum
ada putusan Hakim
 Beberapa tindak pidana tsb akan diadili
sekaligus
 Delik tertinggal sebagai pengecualian
Pengaturan dalam KUHP
1. Concursus Idealis (eendaadsche samenloop), Psl 63:
 Perbarengan tindakan tunggal
 gabungan tindak pidana dengan 1 perbuatan
2. Voortgezette Handeling, Psl. 64:
 Perbarengan tindakan berlanjut
 Gabungan tindak pidana sebagai perbuatan berlanjut
 Perbuatan berlanjut
3. Concursus Realis (meerdaadsche samenloop), Psl. 65-71:
 Perbarengan tindakan jamak
 Gabungan tindak pidana dengan beberapa perbuatan
Ruang Lingkup

1. Concursus Idealis/
Eendaadsche Samenloop.
Menurut R. Sianturi terdapat pembagian atas CI, sbb:
a. Concursus Idealis Homogenius, dengan 1
perbuatan melanggar satu peraturan pidana yang
sama beberapa kali, co: satu tembakan mengenai 2
orang sekaligus, 2x melanggar Ps. 338 KUHP
b. Concursus Idealis Heterogenius, dengan 1
perbuatan melanggar beberapa peraturan pidana
yang berbeda, co: memperkosa wanita di taman;
melanggar Ps. 285 dan Ps. 281 sekaligus dengan 1
perbuatan.
Stelsel Pemidanaan
1. Untuk Concursus Idealis :
Absorpsi Murni, dijatuhkan 1 jenis pidana saja yakni
yang terberat
(Ps. 63 ayat 1);
2. Ps. 63 ayat (2) : lex specialis derogat legi generali,
co: seorang Ibu yang membunuh anak krn takut
ketahuan telah melahirkan, tidak dikenai Ps. 338
tapi Ps. 341 KUHP.
Ruang Lingkup
2. Concursus Realis/Meerdaadsche Samenloop
a. Concursus Realis Homogenus, melakukan
beberapa perbuatan dan dengan perbuatan2 tsb
melanggar suatu ketentuan pidana beberapa kali,
co: dalam 1 bulan membunuh 3x, jd 3x melanggar
Ps. 338.
b. Concursus Realis Heterogenus, beberapa
perbuatan melanggar beberapa peraturan pidana
yang berbeda, co: hari ini mencuri, besok
menganiaya, minggu depan memperkosa, dst,
melanggar Ps. 362, 351, dan 285.
Stelsel Pemidanaan
1. Ps. 65 ayat (1): kejahatan dgn ancaman
pidana pokok sejenis: kumulasi terbatas,
seluruh pidana yg diancamkan secara kumulasi
tp tidak boleh melebihi pidana terberat + 1/3.
2. Ps. 66 ayat (1) : concursus realis berupa
kejahatan dgn ancaman pidana pokok yg tdk
sejenis : kumulasi terbatas;
3. Ps. 66 ayat (2); jo ps. 30 KUHP
Stelsel Pemidanaan
4. Ps. 67 : jika salah satu tindak pidana dijatuhkan
hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka
tidak boleh dijatuhkan pidana lainnya kecuali
pencabutan hak-hak tertentu
5. Ps. 69: pidana mati, penjara SU, penjara
sementara waktu (ps. 340)  pidana mati
6. Ps. 70 : kejahatan dgn pelanggaran atau
pelanggaran dgn pelanggaran : kumulasi murni.
Pasal 70 bis KUHP
 Concursus realis
 Kejahatan-kejahatan ringan: psl 302 (1), psl 352, psl
364, psl 373, psl 379, psl 482
 Dianggap sebagai pelanggaran
 Tetapi: jika dijatuhkan pidana penjara maksimal 8
bulan
Ruang Lingkup
3. Perbarengan Tindakan Berlanjut (Voortgezette
Handeling), Ps. 64 KUHP :
Suatu tindak pidana yang terdiri dari beberapa perbuatan, di
mana perbuatan tsb terdapat hubungan sedemikian rupa
sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
(Absorbsi murni)
Menurut MvT ada 3 syarat :
 Tindakan2 tsb harus timbul dari suatu kehendak jahat
 Masing2 tindakan itu haruslah sejenis
 Tenggang waktu antara masing2 tindak pidana tidak
terlalu lama.
Makna:
“ ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”
Menurut MvT harus dipenuhi 3 syarat:

1. Harus ada 1 keputusan kehendak


2. Masing-masing perbuatan harus sejenis
3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu
tidak terlalu lama
Pemidanaan Perbuatan
Berlanjut
 Pasal 64 (1): prinsipnya sistem absorpsi
 Pasal 64 (2): ketentuan khusus untuk pemalsuan
dan perusakan mata uang
 Pasal 64 (3): ketentuan khusus untuk kejahatan
ringan
co. 3X penipuan ringan sbg perbuatan berlanjut;
tidak diancam pidana 3 bln penjara (psl. 379), ttp.
4 th penjara (psl 378)

Anda mungkin juga menyukai