Anda di halaman 1dari 27

SAP 13

DASAR-DASAR
TIDAK DIPIDANANYA PEMBUAT
A. Dasar Peniadaan Pidana dalam UU
• Dibedakan pada yang bersifat umum dengan
bersifat khusus.
• Dasar peniadaan pidana yang bersifat umum dalam
UU (strafuitsluingsgronden) berbeda dengan
alasan-alasan yang menyebabkan tidak dapat
dituntutnya si pembuat
(vervolgingsuitsluitingsgronden).
• Pada strafuitsluingsgronden, JPU telah mengajukan
dakwaan, dan di dalam pemeriksaan persidangan
terdakwa terbukti melakukan delik, namun karena
terdapat hal-hal tertentu maka majelis hakim tidak
dapat menjatuhkan pidana (veroordeling).
• Pada, vervolgingsuitsluitingsgronden, JPU
tidak dibenarkan mengajukan tuntutan
terhadap seorang tersangka kepersidangan.
• Kalaupun diajukan, maka materi pokok
perkara tidak akan diperiksa, majelis hakim
hanya akan memeriksa soal kewenangan
negara (in casu Jaksa PU) dalam menuntut
tersangka tersebut. Jika benar JPU tidak
berwenang, maka tindakan majelis hakim
dalam hal ini adalah membuat penetapan
(beschiking) dan ini bukan vonis.
• Konsekuensi selanjutnya berbeda.
Perbedaan A (strafuitsluingsgronden)
dengan B (vervolgingsuitsluitingsgronden)

• A • B
• Memeriksa pokok • Memeriksa kewenangan
negara (JPU) menuntut.
perkara dan terbukti.
• Berlaku ketentuan Buku 1
• Berlaku ketentuan Buku BAB VIII KUHP.
1 BAB III KUHP. • Penetapan : JPU tidak
• Vonis: pelepasan dari berwenang menuntut.
tuntutan hukum • Jika syarat telah dipenuhi
JPU dapat menuntut lagi.
• Jika inkracht, berlaku
pasal 76 (1) KUHP
7 dasar strafuitsluingsgronden
1. Ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 44
ayat1)
2. Pengaruh daya paksa (Pasal 48)
3. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1)
4. Pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal
49 ayat 2)
5. Menjalankan perintah UU (Pasal 50)
6. Melaksanakan perintah jabatan yang sah
(Pasal 51 ayat 1)
7. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah
dengan itikad baik (Pasal 51 ayat 2)
• Pada doktrin hukum pidana Indonesia 7 dasar
strafuitsluingsgronden, dikelompokkan menjadi:
1) Alasan Pemaaf (schulduitsluitingsgronden), Diartikan
sebagai alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa. Perbuatan yang dilakukan tetap bersifat
melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan
pidana, tetapi dia tidak dipidana karena tidak ada
kesalahan. Bersifat subjektif dan melekat pada diri
pelaku khususnya mengenai sikap batin sebelum atau
pada saat akan berbuat. Antara lain:
a) Ketidakmampuan bertanggungjawab (Pasal 44 (1))
b) Pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 (2))
c) Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan
itikad baik (Pasal 51 ayat 2)
2) Alasan Pembenar (rechtsvaardingings
gronden) diartikan sebagai alasan yang
menghapus sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang diperbuat
terdakwa menjadi patut dan benar. Bersifat
objektif dan melekat pada perbuatan atau hal-
hal di luar batin pelaku. Antara lain:
a.Daya paksa (pasal 48)
b.Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1)
c.Menjalankan perintah UU (Pasal 50)
d.Melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal
51 ayat 2)
1. Ketidakmampuan bertanggungjawab
(ontoerekeningsvatbaarheid)
(Pasal 44 ayat1)
• Dalam MvT, ketidakmampuan bertanggungjawab
secara dijelaskan sebagai berikut:
a. Bila si pelaku tidak memiliki kebebasan untuk
memilih antara berbuat dan tidak berbuat
tentang apa yang dilarang atau diperintahkan
oleh UU;
b. Bila pelaku berada dalam suatu keadaan yang
sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat meng-
insafi bahwa perbuatannya bertentangan
dengan hukum dan tidak dapat menentukan
akibat perbuatannya (Sudarto, 1990:94).
• Ketidakmampuan bertanggungjawab secara umum
yang menjadi sebab tidak dipidananya pelaku ada dua
jenis, yakni :
a. Karenanya jiwanya cacat dalam pertumbuhannya,
(gebrekkige ontwikkeling)contoh: imbesil (IQ,35-50),
idiot (tunagrahita, IQ<20), bisu tuli sejak lahir, dsb;
b. Karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit
(gebrekkige storing). Di sini, gangguan jiwa yang
dialami bukan sejak lahir tapi setelah lahir, contoh :
gila, epilepsi, dsb. Gangguan jiwa jenis ini dapat
berbentuk fisik maupun psikis, misalnya pada arrest
Hoge Raad yang menyatakan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya pelaku kecelakaan mobil
karena serangan diabetes mendadak (24-11-1964)
dan akibat efek yang terlambat dari obat tidur yang
tidak terduga (16-11-1965).
• Ketidakmampuan bertanggungjawab
secara khusus (pelaku dapat
dipidana pada perbuatan lainnya)
dijelaskan sebagai berikut:
a.Jika keadaan jiwanya sedemikian
rupa, hingga ia tidak bebas untuk
menentukan kehendakya terhadap
perbuatan apa yang dia lakukan.
Contoh: kasir bank yang sedang
ditodong pistol dikantornya.
b. Jika keadaan jiwanya sedemikian rupa
sehingga ia tidak mengerti, tidak menginsafi
atas perbuatannya itu sebagai perbuatan
tercela. Contoh : kleptomania, dimana pelaku
mengidap penyakit jiwa yang sangat kuat
mendorong untuk mengambil sesuatu benda
tanpa keinsyafan bahwa perbuatan itu tercela,
tidak dapat dipidana dengan delik pencurian
tetapi bisa delik lainnya. Pyromania, suatu
kelainan jiwa yang sangat kuat mendorong
pelaku untuk membakar tanpa keinsyafan,
hanya tidak dipertanggungjawabkan
terhadap delik pembakaran saja.
• Bagaimana jika orang mabuk karena minuman
keras melakukan delik?
• JONKERS: jika mabuk sedemikian rupa sehingga
kehilangan kesadaran sama sekali, sehingga tidak
memiliki kesengajaan maupun kelalaian, maka ia
tidak dapat dipertanggungjawabkan, karenanya ia
tidak dapat dipidana. Kecuali, jika dari awal ia
bermaksud melakukan delik, lalu sengaja
membuat dirinya mabuk maka disini ada
kesengajaan mabuk untuk berbuat pidana, maka
ia harus dipidana.
• Azas culpa in causa : orang yang tidak berhati-hati
melakukan sesuatu perbuatan yg beresiko maka
ia harus bertanggung jawab atas akibat dari
perbuatannya.
2. Daya Paksa (Pasal 48)
• MvT=>Overmacht(Bld):setiap kekuatan, setiap
dorongan, setiap paksaan yang tidak dapat
dilawan. (A. Chazawi : 28).
• Pengertian umum: suatu keadaan memaksa,
dapat bersifat fisik maupun psikis, yang
sedemikian kuatnya menekan orang yang tidak
dapat dihindarinya, sehingga orang tersebut
terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang UU
• Daya paksa dapat terjadi karena tekanan fisik
(paksaan/dwang) dan karena tekanan psikis
(dorongan/gedrongen).
• Faktor Daya Paksa, seringkali digolongkan ke:
a. Alasan Pemaaf: karena daya paksa ditujukan
kepada orangnya.
b. Alasan Pembenar: karena daya paksa membuat
orang terpaksa melakukan perbuatan yang
terlarang olah UU. Jadi ditujukan kepada
timbulnya perbuatan.
• Kata “terpaksa”(p. 48) harus diartikan sebagai:
paksaan lahir ataupun batin, jasmani ataupun
rohani.
• Kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan: suatu
“kekuasaan yang berlebih”, kekuasaan yang pada
umumnya dianggap tidak dapat dilawan.
Kekuasaan ada 3 macam(Jonkers):
1. Bersifat absolut: orang yang dipaksa tidak dapat
berbuat lain. Ia tidak mungkin memilih jalan lain.
Contoh :
a. A memegang leher B, lalu melemparnya ke
jendela;
b. C memegang tangan D lalu D berttd palsu;
c. X menghipnotis Y untuk melakukan pemukulan.
 Orang kedua tidak dapat dihukum karena semua
dilakukan orang pertama;
 Orang pertama yang berbuat, dialah yang harus
dihukum.
 Orang kedua seringkali disebut berfungsi
sebagai alat dari orang pertama.
2. Bersifat Relatif: Kekuatan atau kekuasaan
yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak
penuh. Orang yang dipaksa itu masih ada
kesempatan untuk memilih akan berbuat yang
mana. Contoh : A ditodong B untuk
membakar rumah.
•Absolut: semua dilakukan oleh orang yang
memaksa tersebut.
•Relatif : orang yang dipaksalah yang berbuat,
meski dalam paksaan kekuatan.
•Jadi, dapat dihukumnya seorang yang dipaksa,
tergantung dari berat ringannya daya paksa yang
dihadapinya.
3. Suatu keadaan darurat: orang yang dipaksa
itu sendirilah yang menentukan/memilih
delik manakah yang dia lakukan. Contoh:
a.Dua orang yang terapung-apung di laut;
b.Menolong orang dalam rumah yang terbakar;
c.Orang yang mendapat panggilan untuk
bersaksi di dua tempat berbeda pada waktu
yang sama.
d.Orang yang membunuh binatang orang lain
yang menyerangnya=> bukan pembelaan
terpaksa
Bukan overmacht: Orang yang meminta-minta.
3. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 1)
• Dikenal dengan istilah Noodweer.
• Ada 3 macam syarat :
1)Perbuatan itu => harus terpaksa untuk
membela/ mempertahankan diri. Disini,
pembelaan tersebut harus sangat perlu, tidak
ada jalan lain. Tidak bisa menghindar atau
melarikan diri. Penting : bahwa harus ada
keseimbangan tertentu antara pembelaan
dengan serangan. Hakimlah yang menentukan
keseimbangan tersebut.
2). Pembelaan => hanya ditujukan pada hal-hal
yang disebut dalam pasal ini:
•Badan: tubuh
•Kehormatan: berhubungan dengan sexuil,
diserang dengan perbuatan tidak senonoh atau
cabul, misal: memegang bagian tubuh yang
menurut umum tidak boleh dilakukan seperti
kemaluan, buah dada dll. Tidak termasuk
kehormatan nama baik.
•Barang diri sendiri: segala yang berwujud
termasuk binatang peliharaan. Pendapat lain:
termasuk hak milik dan ketenteraman RT.
•Orang lain: keluarga, teman atau siapa saja.
3). Waktu => harus ada serangan yang melawan
hak dan mengancam dengan sekonyong-
konyong atau pada ketika itu juga.
•Melawan hak : penyerang melakukan serangan
itu melawan hak orang lain atau tidak
mempunyai hak untuk itu.
•Contoh : pencuri menyerang pemilik barang
dengan belati saat mencuri. Kemudian pencuri
yang sudah tertangkap tidak boleh dipukuli
dengan alasan membela diri karena serangan
pencuri sudah selesai dari saat sekonyong-
konyong dia menyerang dengan belati tadi.
4. Pembelaan terpaksa melampaui batas
(Pasal 49 ayat 2)
• Dikenal dengan istilah Noodweer exces yang
berarti pembelaan darurat yang melampaui
batas. Disini harus pula ada serangan yang
sekonyong-konyong dilakukan atau
mengancam yang terjadi saat itu juga. Hanya
saja pembelaan yang dilakukan melebihi
serangan yang terjadi.
• Contoh : polisi yang menembak pemerkosa
istrinya berkali-kali.
5. Menjalankan Perintah UU (Pasal 50)
• Berlaku prinsip bahwa hal yang telah
diharuskan atau diperintahkan UU, tidak
mungkin diancam dengan UU yang lain.
• UU: semua peraturan dari tertinggi sampai
terendah.
• Menjalankan UU bukan hanya melakukan pd
yang diperintahkan UU lebih luas lagi meliputi
perbuatan atas wewenang yang diberikan UU.
• Melawan PN yang sedang menjalankan tugas
dan wewenangnya disamakan melawan UU.
6. Melaksanakan perintah jabatan
yang sah (Pasal 51 ayat 1)
• Pembuat melakukan suatu perbuatan atas
suatu perintah jabatan.
• Pemberi perintah dan pembuat ada hubungan
resmi sbg PN. Tidak harus atasan bawahan.
• Antara pemberi dan penerima ada kewajiban
menaati perintah.
• Perintah harus diberikan oleh kuasa yang
berhak memberikan perintah itu.
• Contoh : Operasi Militer.
7. Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah
dengan itikad baik (Pasal 51 ayat 2)

• Menjalankan perintah jabatan yang diberikan


oleh kuasa yang tidak berhak, tidak
membebaskan dari hukuman.
• Kecuali penerima perintah dengan itikad yang
baik mengira pemberi perintah itu adalah
penguasa yang sah sehingga perintah itu pun
seolah-olah sah.
II. Dasar Peniadaan Pidana di Luar UU

1. Hilangnya Sifat Melawan Hukum dari


Perbuatan (secara Materil dalam Fungsinya
yang Negatif)

2. Dasar Peniadaan Pidana karena Ketiadaan


Unsur Kesalahan pada si Pembuat.
Hilangnya Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan
(secara Materil dalam Fungsinya yang Negatif)
• Perbuatan yang tegas dilarang oleh UU,
namun karena satu dan lain hal kehilangan
sifat tercelanya olah masyarakat, maka
pembuatnya tidak dipidana.
• Arrest Hoge Raad (1933) : Kasus Drh kt Huizen
• Putusan MA (1966): Korupsi Machroes Effendi
• Petinju yang memukul mati lawannya
• Guru yang memukul muridnya dengan wajar
• Orang tua yang memukul anaknya.
Dasar Peniadaan Pidana karena Ketiadaan
Unsur Kesalahan pada si Pembuat.
• Ketiadaan kesalahan pembuat terhadap
perbuatannya terjadi karena ketidaktahuan
atau kekeliruan tentang keadaan nyata atau
fakta yang ada ketika perbuatan dilakukan.
• Arrest HR (14-12-1916) pengusaha susu dan
leverensirnya, yang menjiwai azas Geen Straf
Zonder Schuld.
• Arrest HR (21-11-1949) tentang kasus
pengendara motor.

Anda mungkin juga menyukai