Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATA

KULIAH TUGAS 3

Nama Mahasiswa :

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM :

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4203/Hukum Pidana

Kode/Nama UPBJJ : 20/Bandar Lampung

Masa Ujian : 2023/2024 Ganjil (2023.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
HKUM4203/Hukum Pidana

1. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan
pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum
maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah
pasal 48 (keadaan darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan
perundang-undangan) dan pasal 51 (1) (perintah jabatan).

Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan
pidana, tetapi dia tidak dipidana, Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan
(schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse, entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund).
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela
(menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Contoh Ahmad
Murid kelas 1 SMP tidak sengaja memecahkan lukisan mahal milik tetangganya. Karena
alasan pemaaf ahmad tidak dapat dituntut secara hokum . Namun dalam pengganti rugian
dapat dilimpahkan pada orang yang bertanggung jawab atas ahmad . Sesuai
dengan : “Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di bawah
pengawasannya … dst”.

2. Sebagaimana di atur dalam pasal 55 KUHP (1) di atas, bahwa pelaku tindak pidana itu dapat
di bagi dalam 4 (empat) golongan yaitu : 1. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana
(pleger), Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui
bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan (pleger)/pembuat pelaksana
tindak pidana secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria: (a). Perbuatannya adalah perbuatan
yang menetukan terwujudnya tindak pidana, (b). Perbuatannya tersebut memenuhi seluruh
unsur tindak pidana. 2. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana
(doen pleger) Untuk mencari pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai orang yang
melakukan (doen pleger). 3. Orang yang turut melakukan tindak pidana (mede pleger) KUHP
tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak
pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak
pidana haru memenuhi dua syarat ; Harus adanya kerjasama secara fisik. Harus ada kesadaran
bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana. Yang di maksud
dengan turut serta melakukan (mede pleger), ialah setiap orang yang sengaja berbuat
(meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana, dapat di tarik kesimpulan bahwa untuk
menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang tersebut
memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah terbentuk niat yang
sama dengan pembuat pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana tersebut. 4. Orang
yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana
(uit lokken) Syarat-syarat uit lokken yaitu: Harus adanya seseorang yang mempunyai
kehendak untuk melakukan tindak pidana. Harus ada orang lain yang digerakkan untuk
melakukan tindak pidana. Cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang
tersebut di dalam pasal 55 (1) sub 2e (pemberian, perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya).
Orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan keinginan
orang yang menggerakan. Di lihat dari sudut pertanggungjawabannya maka pasal 55 ayat (1)
KUHP di atas pelaku tindak pidana adalah sebagai penanggung jawab penuh, yang artinya
pelaku di ancam dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak pidana yang
dilakukan.
3. Concursus atau perbarengan tindak pidana ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh
satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau
antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu
putusan hakim. Jadi concursus adalah seseorang melakukan beberapa tindak pidana dan di
antara tindak pidana tersebut belum mempunyai putusan hakim yang memperoleh kekuatan
hukum tetap (in kracht). Ilmu hukum pidana mengenal 3 (tiga) bentuk concursus yang juga
disebut ajaran, yaitu sebagai berikut:

Concursus idealis (eendaadsche samenloop); terjadi apabila seseorang melakukan satu


perbuatan dan ternyata satu perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan hukum pidana.
Concursus realis (meerdaadsche samenloop); terjadi apabila seseorang sekaligus
merealisasikan beberapa perbuatan.
Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling); terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan
yang sama beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang
sedemikian eratnya sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan
lanjutan. Menurut Pasal 63 ayat 1 digunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan 1 pidana
pokok yang terberat.

Misalnya orang yang melakukan perkosaan di jalan umum yang melanggar Pasal 285 dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun dan Pasal 281 dengan penjara 2 tahun 8 bulan, maka
maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.

Perbuatan Berlanjut
Menurut Pasal 64 ayat 1, pada prinsipnya berlaku sistem absorbsi yaitu hanya dikenakan satu
aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana
pokok yang terberat.

Pasal 64 ayat 2 merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang.
Dalam Pasal 64 ayat 3 merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan
yang terdapat dalam Pasal 364, 373, 379 dan 407 ayat (1), yang dilakukan sebagai perbuatan
berlanjut. Apabila nilai kerugian yang ditimbulkan lebih dari Rp. 250,- Maka menurut Pasal
64 ayat 3 dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan
adalah Pasal 362, 372, 378 atau 406.

Concursus Realis
Untuk concursus realis yang berupa kejahatan, diancam pidana pokok sejenis, berlaku Pasal
65, yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana
tidak boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku
Pasal 56, yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, namun
jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga. Sistem
ini disebut sebagai sistem kumulasi yang diperlunak.
Untuk concursus realis berupa pelanggaran, berlaku Pasal 70 yang menggunakan sistem
kumulasi.

Untuk concursus realis berupa kejahatan ringan khusus untuk Pasal 302 ayat 1, 352 364, 373,
379, 482 berlaku Pasal 70 bis yang menggunakan sistem kumulasi, tetapi dengan pembatasan
maksimum untuk penjara 8 bulan.

Anda mungkin juga menyukai