Pendahuluan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri dari 3 buku yaitu buku pertama
mengatur tentang ketentuan umum dan buku kedua dan ketiga mengaturtentang kejahatan dan
pelanggaran. Maksud buku pertama tentang ketentuan umumadalah berisi pasal-pasal untuk
memberikan penjelasan dan ukuran yang berkenaandengan kejahatan dan pelanggaran yang
terdapat pada pasal-pasal dalam buku keduadan ketiga.Dalam ketentuan umum KUHP terdapat
Pasal yang mengatur tentang pemberatan dan pengringanan pidana terhadap pelaku tindak
pidana yang terdapat
Pada pasal-pasal dalam buku kedua dan buku ketiga KUHP. Dalam undang-undangsuatu
pemberatan tindak pidana dibedakan menjadi suatu pemberatan umum dan pemberatan khusus.
Dibedakannya pemberatan pidana dikarenakan dalam suatu yangmenjadi dasar, seperti didalam
tindak pidana umum mencangkup suatu pemberatankarena jabatan, pemberatan karena
menggunakan bendera kebangsaan, kemudiankarena pengulangan (recidive). Yang diantaranya
meraka terdapat pasal-pasal yangmengatur sendiri, misalnya pencurian dengan menggunakan
kekerasan, makahukumannya dapat ditambah 1/3 dari hukuman dalam pencurian biasa, atau
dengan petunjuk dan pertimbangan hakim, misalnya yang melakukan tindak pidana perzinahan
adalah yang sudah memilki keluarga.
Dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala
macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana diluar KUHP.
Dasar pemberatan pidana khusus dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan
tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Undang – undang mengatur tentang tiga dasar yang
menyebabkan diberatnya pidana umum, ialah:
Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya
adalah: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban
khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan,
kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah
sepertiga”. Dasar pemberat pidana tersebut dalam Pasal 52 ini adalah terletak pada keadan
jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai 4 hal, yaitu dalam
melakukan tindak pidana dengan :
a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya;
b. Memakai kekuasaan jabatannya;
c. Menggunakan kesempatan karena jabatannya;
d. Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.
Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah sepertiga, adalah bagi seorang
pejabat atau pegawai negeri (ambtenaar) yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan
atau menggunakan 4 keadaan tersebut di atas.
2. Dasar pemberatan pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan
Ada 2 (dua) arti pengulangan yang satu menurut masyarakat dan yang satu menurut hukum
pidana. Menurut masyarakat (sosial), masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah
dipidana yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulanngan tanpa
memperhatikan syarat-syarat lainnya. Sedangkan pengulangan menurut hukum pidana, yang
merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan
tindak pidana tetapi juga dikaitkan pada syarat – syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-
undang. Adapun rasio dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini adalah terletak pada 3
faktor yaitu:
1. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;
2. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang
pertama;
3. Pidana itu telah dijalankan oleh yang bersangkutan.
Selain dasar pemberatan pidana umum, undang – undang juga menyebutkan juga beberapa dasar
alasan pemberatan pidana khusus. Disebut dasar pemberatan pidana khusus, karena hanya
berlaku pada tindak pidana tertentu yang dicantumkan alasan pemberatan itu saja, dan tidak
berlaku pada tindak pidana lain.
Pemberatan pidana meliputi aspek kualitas maupun kuantitas pidana. Yang dimaksud
dengan kualitas di sini apabila pemberatan terjadi karena perubahan dari satu jenis pidana yang
lebih ringan kepada jenis pidana lain yang lebih. berat, dengan memperhatikan ketentuan Pasal
69 KUHP. Sedangkan pemberatan dari aspek kuantitas di sini adalah apabila jumlah pidana
bertambah dari jumlah pidana yang diancamkan sebelumnya. Pemberatan juga dapat terjadi
apabila dalam Hukum Pidana Khusus terjadi spesialitas yang logis apabila dibandingkan dengan
rumusan tindak pidana lain yang lebih umum sifatnya, yang diatur dalam suatu Undang-Undang
Pidana Khusus. Dalam hal ini, terjadi perubahan jenis dan jumlah ancaman pidana yang
ditentukan dalam suatu delik yang satu yang bersifat generalis, apabila dibandingkan dengan
delik lain yang dalam suatu perbuatan yang dilarang dan ditambahkan hal – hal lain akan
menjadi ketentuan pidana yang bersifat spesialis.
1. Pemberatan umum
Pada dasarnya pemberatan ancaman pidana dengan meningkatkan kualita pidana dalam
UU Pidana Khusus, dapat dibedakan kedalam dua bagian. Pertama, pemberatan apabila
dibandingkan dengan kejahatan yang mirip seperti yang terdapat dalam
KUHP. Kedua, pemberatan pidana dalam Undang-Undang Pidana Khusus, karena kekhususan
deliknya. Dalam tindak pidana korupsi pemberatan pidana dilakukan karena keadaan tertentu,
yang menurut Andi Hamzah, seharusnya keadaan tertentu ini dimuat dalam rumusan delik (Pasal
2 ayat (2) dan tidak ditempatkan dalam penjelasannya. Pemberatan kuantitas pidana dalam
Undang-Undang Pidana Khusus cukup banyak ditemukan apabila dibandingkan antara delik
umumnya dalam KUHP dan delik khususnya.
KUHP hanya mengenal model pengancaman pidana tunggal atau ancaman pidana
alternatif. Artinya, hanya dimungkinkan penjatuhan satu pidana pokok untuk satu delik (single
penalty). Namun beberapa Undang – Undang diluar KUHP telah menyimpangi pola umum ini
dengan menggunakan model pengancaman kumulatif. Dengan pengancaman kumulatif maka
hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus (double penalties),
yang dapat dipandang sebagai pemberatan pidana.
Hukum pidana di Indonesia yang diatur melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) memiliki 5 macam aturan pemidanaan yaitu; pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Kelima pemidaan ini merupakan pidana pokok,
sedangkan pidana tambahan meliputi; pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim. Selain pidana pokok dan pidana tambahan, seseorang juga bisa
dikenai pemberatan pidana. Bagaimana ketentuan pemberatan pidana?
Beberapa waktu lalu ada pemberitaan viral bahwa ada dugaan oknum perangkat RT
(Rukun Tetangga) di sebuah kampung di Kota Depok melakukan pemotongan terhadap bantuan
sosial covid-19. Peristiwa korupsi yang dilakukan dalam situasi bencana tentu tidak hanya terjadi
sekali ini, sebelumnya juga sering terjadi tindakan korupsi terhadap dana bencana baik yang
dilakukan oleh oknum pejabat negara hingga korporasi. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas UU. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor) memberikan ancaman hukuman mati atas tindakan tersebut. Pasal 3 UU Tipikor
menyebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Sedangkan dalam UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU
Kebencanaan) juga memberikan ancaman pidana seumur hidup bagi mereka yang
menyalahgunakan bantuan bencana. Adapun ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 78
“Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau
denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
Ketentuan pidana penyalahgunaan jabatan dalam UU Tipikor maupun UU Kebencanaan ternyata
lebih berat dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tercantum
dalam pasal 52 “Bila seorang pejabat, karena melakukan tindak pidana, melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena . jabatannya, maka
pidananya dapat ditambah sepertiga”
Selain kasus tersebut, dalam situasi bencana penyebaran covid-19 kali ini juga diwarnai
dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mantan nara pidana (napi) yang sebelumnya
mendapatkan pembebasan melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-
19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi
dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Salah satu
contoh napi asimilasi di Sleman, Yogyakarta tertangkap kembali karena melakukan tindak
pidana pencurian. Peristiwa ini merupakan salah satu dari 13 napi asimilasi yang kembali
melakukan tindak pidana berdasarkan pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri
Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono dalam tagar.id tanggal 18 April 2020.
Pengulangan tindak pidana sebagaimana diatur dalam beberapa pasal dalam buku II
KUHP ini memiliki konsekuensi pemberatan pidana yaitu ditambahkan sepertiga sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 486 “Pidana penjara yang dirumuskan dalam pasal 127, 204 ayat
pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan
ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga
pasal 365, pasal 369, 372, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425,
432 ayat penghabisan, 452, 466, 480, dan 481, begitu pun pidana penjara selama waktu tertentu
yang diancam menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua, sepanjang
di situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang
bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya
atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu
kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang
dimaksud dalam salah satu dari pasal 140-143, 145-149, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut beluum daluwarsa”.
Selanjutnya pasal 487 “Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 131, 140 ayat
pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353-355, 438-443, 459, dan
460, begitu pun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 104, 130
ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah
sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik
karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu maupun karena salah satu
kejahatan yang dimaksudkan dalam pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan
ketiga, 108 ayat kedua,sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya
menyebabkan luka-luka atau kematian, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137, dan 1`38 KUHP
Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa”.
Dan pasal 488 “Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-311, 483,
dan 484, dapat ditambah sepertiga jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat
lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana
tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan,
kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa”.
2 gambaran kasus diatas merupakan 2 dari 3 alasan pemberatan pidana yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan (abuse of power)
2. Pengulangan delik (residive)
3. Gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik (Samenloop atau Concursus).
Kesimpulan
Menurut pasal 135 KUHP, pemberat pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari
maksimum ancaman pidana. Menurut Johnkers bahwa dasar umum strafverhogingsgronden atau
dasar pemberatan atau penambahan pidana umum adalah :
b. Recideive (Penggulangan delik)
Kemudian Jonkers menyatakan bahwa title ketiga Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia hanya menyebut yang pertama, yaitu Pasal 52 KUHP yang berbunyi :“Jikalau seorang
pegawai negeri (ambtenaar) melanggar kewajibannya yang istimewa kedalam jabatannya karena
melakukan kejahatan perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang
dapat dipidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh karena
jabatannya, maka pidananya boleh ditambah dengan sepertiganya”. Menurut pasal 45 KUHP
ialah hal yang memperingan pidana ialah sebab si pembuat adalah seorang anak yang umurnya
belum mencapai 16 tahun. Peringanan pidana menurut UU no.3 tahun 1997 dasar peringanan
pidana umum ialah sebab perbuatannya anak (disebut nakal) yang umurnya telah 8 (delapan)
tahun tetapi belum 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Jika hal itu terbukti bersalah maka
hakim dapat menjatuhkan satu di antara dua kemungkinan ialah menjatuhkan pidana atau
tindakan.
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk
tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke
pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan
alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan
kepada hakim. Meskipun KUHP Pidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan
penghapus pidana, akan tetapi KUH Pidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas
tentang alasan penghapus pidana tersebut.
Daftar Pustaka
https://www.academia.edu/35394442/
makalah_Diperberat_dan_diperingannya_pidana_docx ( akses 28
November 2021 )
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan &
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta, RajaGrafindo Persada.