Anda di halaman 1dari 12

DASAR PEMBERATAN PIDANA

Septivani Mustika, Vira Anggita Febriyanti


05040520068@student.uinsby.ac.id, 05040520069@student.uinsby.ac.id,
Program studi perbandingan madzab fakultas syariah dan hukum
Universitas islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Pendahuluan
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri dari 3 buku yaitu buku pertama
mengatur tentang ketentuan umum dan buku kedua dan ketiga mengaturtentang kejahatan dan
pelanggaran. Maksud buku pertama tentang ketentuan umumadalah berisi pasal-pasal untuk
memberikan penjelasan dan ukuran yang berkenaandengan kejahatan dan pelanggaran yang
terdapat pada pasal-pasal dalam buku keduadan ketiga.Dalam ketentuan umum KUHP terdapat
Pasal yang mengatur tentang pemberatan dan pengringanan pidana terhadap pelaku tindak
pidana yang terdapat
Pada pasal-pasal dalam buku kedua dan buku ketiga KUHP. Dalam undang-undangsuatu
pemberatan tindak pidana dibedakan menjadi suatu pemberatan umum dan pemberatan khusus.
Dibedakannya pemberatan pidana dikarenakan dalam suatu yangmenjadi dasar, seperti didalam
tindak pidana umum mencangkup suatu pemberatankarena jabatan, pemberatan karena
menggunakan bendera kebangsaan, kemudiankarena pengulangan (recidive). Yang diantaranya
meraka terdapat pasal-pasal yangmengatur sendiri, misalnya pencurian dengan menggunakan
kekerasan, makahukumannya dapat ditambah 1/3 dari hukuman dalam pencurian biasa, atau
dengan petunjuk dan pertimbangan hakim, misalnya yang melakukan tindak pidana perzinahan
adalah yang sudah memilki keluarga.

A. Dasar – dasar yang menyebabkan diperberatnya Pidana


Undang-undang membedakan antara dasar-dasar pemberatan pidana umum dan pemberatan
pidana khusus. Dasar pemberat pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk
segala macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak di luar pidana
KUHP. Dasar pemberatan pidana khusus yaitu dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana
tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Kemudian menurut pasal 135
KUHP, pemberat pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman
pidana.
Menurut Johnkers (Zainal Abidin Farid, 2007:427) bahwa dasar umum strafverhogingsgronden
atau dasar pemberatan atau penambahan pidana umum adalah:

1. Kedudukan sebagai pegawai negeri


2. Recideive (Penggulangan delik)
3. Samenloop (gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik)atau concorcus
Kemudian Jonkers menyatakan bahwa title ketiga Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia hanya menyebut yang pertama, yaitu Pasal52 KUHP yang berbunyi : “Jikalau seorang
pegawai negeri (ambtenaar ) melanggar kewajibannya yang istimewa kedalam jabarannya karena
melakukan kejahatan perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang
dapatdipidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh karena
jabatannya, maka pidananya boleh ditambah dengan sepertiganya.” Ketentuan tersebut jarang
sekali digunakan oleh penuntut umum dan pengadilan, seolah-olah tidak dikenal. Mungkin juga
karena kesulitan untuk membuktikan unsur pegawai negeri menurut Pasal 52 KUHP yaitu :

1. Melanggar kewajibannya yang istimewa dalam jabatannya; atau


2. Memakai kekuasaannya, kesempatan atau daya-daya upaya yang diperolehkarena jabatannya.
Misalnya seorang dosen memukul mahasiswanya tidak memenuhi syarat butir a,
sekalipun ia pegawai negeri. Seorang polisi yang bertugas untuk menjaga ketertiban dan
ketentraman umum yang mencuri tidak juga memenuhi syarat butir a, barulah oknum polisi itu
melanggar kewajibannya yang istimewa karena jabatanya kalau ia memang ditugaskan khusus
untuk menjaga uang bank Negara, lalu ia sendiri mencuri uang bank itu. Juga butir b sering tidak
dipenuhi oleh seorang pegawai negeri.
Misalnya 3 seorang pegawai negeri yang bekerja dikantor sebagai juru tik tidak
dapatdikenakan Pasal 52 KUHP kalau ia menahan seorang tahanan di tahanan kepolisian.
Sebaliknya seorang penyidik perkara pidana yang merampas kemerdekaan seseorang memenuhi
syarat butir b. seorang oknum kepolisian yang merampas nyawa orang lain dengan menggunakan
senjata dinasnya memenuhi pula syarat itu. Kalau pengadilan hendak pidana maksimum, maka
pidana tertinggiyang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana delik itu ditambah
dengansepertiganya.
Pasal 52 KUHP tidak dapat diberlakukan terhadap delik jabatan
(ambtsdelicten) yang memang khusus diatur di dalam Pasal 143sampai dengan Pasal 437 KUHP,
yang sebagaimana dimasukkan kedalamUndang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Pengertian pegawai negeri agak berbeda dengan definisi pegawai negeri menurut Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi.
1. Unsur menerima gaji tidak diisyarakatkan oleh hukum pidana
2. Pengertian pegawai negeri telah diperluas dengan Pasal 92 KUHP yang mencakup juga
sekalian orang yang dipilih menurut pilihan yang sudahdiadakan menurut undang-undang
umum, demikian pula orang yang diangkat menjadi oknum dewan pembuat undang-undang
atau perwakilandaerah dan setempat, dan sekalian kepada bangsa Indonesia (misalnyaketua-
ketua dan oknum pemangku adat yang bukan kepala desa atau kampung) dan kepala orang-
orang timur asing yang melakukan kekuasaansah. Terhadap delik-delik korupsi yang diatur
dalam Undang-Undang No.3Tahun 1971 istilah pegawai negeri diperluas lagi sehingga
mencakup juga jabatan yang bukan pegawai negeri dari pemerintah (dalam arti luas)
danmasyarakat misalnya pegawai perguruan tinggi swasta, pengurusorganisasi olahraga,
yayasan dan sebagainya. terhadap pembuat delikkorupsi Pasal 52 KUHP pun tidak berlaku.
Recidive atau pengulangan kejahatan tertentu terjadi bilamana orang yang sama
mewujudkan lagi suatu delik yang diantarai oleh putusan pengadilan negeri yang telah memidana
pembuat delik. Adanya putusan hakim yang mengantarai kedua delik itulah yangmembedakan
recidive dan concorcus (samenloop, gabungan, perbarengan).Pengecualian ialah pengaturan
tentang concorcus yang diatur dalam Pasal 71 (1) KUHP, yang menentukan bahwa jikalau
setelah hakim yang bersangkutan menjatuhkan pidana, lalu disidang pengadilan itu ternyata
terpidana sebelumnya pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran (yang belum pernah diadili)
, maka hakim yang akan mengadili terdakwa yang bersangkutan harus memperhitungkan pidana
yang lebih dahulu telah dijatuhkan dengan menggunakan ketentuan-ketentuan tentang concorcus
(Pasal 63 sampai dengan Pasal 70 bis KUHP). Seperti yang telah dikemukakan pada hakikatnya
ketentuantentang concorcus realis ( gabungan delik-delik) tersebut pada Pasal 65, 66,dan 70
KUHP bukan dasar yang menambah pidana sekalipun dalam Pasal 65(2) dan 66 (1) KUHP, satu
perbuatan itu ditambah dengan sepertiganya,karena jumlah seluruh pidana untuk perbuatan-
perbuatan itu tidak dapat dijumlahkan tanpa batas. Misalnya A mula-mula mencuri (Pasal 362
KUHP),lalu melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP), kemudian melakukan penggelapan (Pasal
372 KUHP) kemudian terakhir menadah (Pasal 480KUHP). A hanya dapat dipidana paling
tinggi untuk keseluruhan kejahatan tersebut menurut system KUHP selama 5 tahun penjara (yang
tertinggimaksimum pidananya diantara keempat kejahatan tersebut) ditambah dengansepertiga
lima tahun, atau 1 tahun delapan 8 bulan, jadi lama pidananya yaitu 6 tahun 8 bulan.
B. Faktor yang memberatkan pidana 
1. Karena melanggar kewajiban istimewa jabatan, pasal 52 KUHP
2. Melakukan peristiwa pidana secara gabungan (samenloop), pasal 65 dan 66 KUHP
3. Melakukan tindak pidana secara ulangan (residivis) pasal 486,487, dan 88 KUHP
4. Memberikan keterangan berbelit-belit di persidangan

C. Jenis-jenis gabungan (Samenloop)

 Gabungan satu perbuatan (Concursusu Idealis)


Perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka hanya salah satu diatara aturan-
aturan itu. Jika beda ancamannya, yang dikenakan ancaman pokok yang paling berat.
Contoh kasus: seorang yang melakukan pencurian sekaligus melakukan penganiayaan. Dalam
hal ini pencurian : mak 5 tahun dan penganiayaan : mak 2 tahun 8 bulan. Maka yang diambil
ancaman nya adalah pencurian : mak 5 tahun.
Perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka hanya yang khusus diterapkan. Sesuai dengan asas Lex spesialis derogat lex
generalis.
 Perbuatan yang diteruskan (Voortgezette Handeling)
Perbuatan yang 1 sama lain ada hubungannya supaya dapat dipandang sebagai suatu perbuatan
yang diteruskan dengan syarat:
Harus timbul dari 1 niat, 1 kehendak
Perbuatan-perbuatan itu harus sama macamnya.
 Gabungan beberapa perbuatan (Concursus Realis)
Beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, yang diancam
dengan pidana pokok yang sejenis, dijatuhkan satu pidana.
Beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, maka
dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan, tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi max pidana
yang terberat + ⅓.

D. Alasan Diberatkannya Hukuman Pidana Seorang Terdakwa

1. Subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm);


2. Perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission),
tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan);
3. Ancaman pidana (strafmaat).

Dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana yang berlaku untuk segala
macam tindak pidana, baik yang ada di dalam kodifikasi maupun tindak pidana diluar KUHP.
Dasar pemberatan pidana khusus dirumuskan dan berlaku pada tindak pidana tertentu saja, dan
tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Undang – undang mengatur tentang tiga dasar yang
menyebabkan diberatnya pidana umum, ialah:

1. Dasar pemberatan pidana karena jabatan

Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya
adalah: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban
khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan,
kesempatan dan sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya ditambah
sepertiga”. Dasar pemberat pidana tersebut dalam Pasal 52 ini adalah terletak pada keadan
jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai 4 hal, yaitu dalam
melakukan tindak pidana dengan :
a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya;
b. Memakai kekuasaan jabatannya;
c. Menggunakan kesempatan karena jabatannya;
d. Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.
Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah sepertiga, adalah bagi seorang
pejabat atau pegawai negeri (ambtenaar) yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan
atau menggunakan 4 keadaan tersebut di atas.
2. Dasar pemberatan pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan

Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan


dirumuskan dalam Pasal 52 (a) KUHP yang berbunyi bilamana pada waktu melakukan kejahatan
digunakan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah
sepertiga.Pasal 52 (a) disebutkan secara tegas penggunaan bendera kebangsaan itu adalah waktu
melakukan kejahatan, maka tidak berlaku pada pelanggara, ini berlaku pada kejahatan manapun,
termasuk kejahatan menurut perundang – undangan diluar KUHP.

3. Dasar pemberatan pidana karena pengulangan

Ada 2 (dua) arti pengulangan yang satu menurut masyarakat dan yang satu menurut hukum
pidana. Menurut masyarakat (sosial), masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah
dipidana yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulanngan tanpa
memperhatikan syarat-syarat lainnya. Sedangkan pengulangan menurut hukum pidana, yang
merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan
tindak pidana tetapi juga dikaitkan pada syarat – syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-
undang. Adapun rasio dasar pemberatan pidana pada pengulangan ini adalah terletak pada 3
faktor yaitu:
1. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;
2. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang
pertama;
3. Pidana itu telah dijalankan oleh yang bersangkutan.
Selain dasar pemberatan pidana umum, undang – undang juga menyebutkan juga beberapa dasar
alasan pemberatan pidana khusus. Disebut dasar pemberatan pidana khusus, karena hanya
berlaku pada tindak pidana tertentu yang dicantumkan alasan pemberatan itu saja, dan tidak
berlaku pada tindak pidana lain.
Pemberatan pidana meliputi aspek kualitas maupun kuantitas pidana. Yang dimaksud
dengan kualitas di sini apabila pemberatan terjadi karena perubahan dari satu jenis pidana yang
lebih ringan kepada jenis pidana lain yang lebih. berat, dengan memperhatikan ketentuan Pasal
69 KUHP. Sedangkan pemberatan dari aspek kuantitas di sini adalah apabila jumlah pidana
bertambah dari jumlah pidana yang diancamkan sebelumnya. Pemberatan juga dapat terjadi
apabila dalam Hukum Pidana Khusus terjadi spesialitas yang logis apabila dibandingkan dengan
rumusan tindak pidana lain yang lebih umum sifatnya, yang diatur dalam suatu Undang-Undang
Pidana Khusus. Dalam hal ini, terjadi perubahan jenis dan jumlah ancaman pidana yang
ditentukan dalam suatu delik yang satu yang bersifat generalis, apabila dibandingkan dengan
delik lain yang dalam suatu perbuatan yang dilarang dan ditambahkan hal – hal lain akan
menjadi ketentuan pidana yang bersifat spesialis.

E. Pola Pemberatan Ancaman Pidana Dalam UNDANG-UNDANG PIDANA Khusus

1. Pemberatan umum

Umumnya dalam Undang-Undang Pidana Khusus, delik percobaan, pembantuan dan


permufakatan jahat suatu tindak pidana diperberat ancaman pidananya, apabila dibandingkan
dengan umumnya delik serupa yang diancamkan dalam KUHP. Perbuatan yang masih dalam
tingkat percobaan atau pembantuan dalam KUHP umumnya diancamkan pidana lebih rendah
yaitu dikurangi sepertiga (kecuali dalam tindak pidana makar), apabila perbuatan tersebut
dilakukan dengan sempurna (vooltoid), yang dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana
terorisme hal ini diperberat dengan mengancamkan pidana yang sama seperti jika kejahatan
selesai atau diwujudkan oleh pembuat (dader).

2. Pemberatan kualitas pidana

Pada dasarnya pemberatan ancaman pidana dengan meningkatkan kualita pidana dalam
UU Pidana Khusus, dapat dibedakan kedalam dua bagian. Pertama, pemberatan apabila
dibandingkan dengan kejahatan yang mirip seperti yang terdapat dalam
KUHP. Kedua, pemberatan pidana dalam Undang-Undang Pidana Khusus, karena kekhususan
deliknya. Dalam tindak pidana korupsi pemberatan pidana dilakukan karena keadaan tertentu,
yang menurut Andi Hamzah, seharusnya keadaan tertentu ini dimuat dalam rumusan delik (Pasal
2 ayat (2) dan tidak ditempatkan dalam penjelasannya. Pemberatan kuantitas pidana dalam
Undang-Undang Pidana Khusus cukup banyak ditemukan apabila dibandingkan antara delik
umumnya dalam KUHP dan delik khususnya.

3. Pemberatan dengan Perubahan Model Ancaman Pidana

KUHP hanya mengenal model pengancaman pidana tunggal atau ancaman pidana
alternatif. Artinya, hanya dimungkinkan penjatuhan satu pidana pokok untuk satu delik (single
penalty). Namun beberapa Undang – Undang diluar KUHP telah menyimpangi pola umum ini
dengan menggunakan model pengancaman kumulatif. Dengan pengancaman kumulatif maka
hakim terikat untuk menjatuhkan pidana kedua jenis pidana tersebut sekaligus (double penalties),
yang dapat dipandang sebagai pemberatan pidana.

4. Pemberatan dengan Pengancaman Minimum Khusus


Beberapa undang-undang di luar KUHP menggunakan minimum khusus dalam ancaman
pidana, sementara sistem ini tidak dikenal dalam KUHP. Penggunaan model demikian juga dapat
dipandang sebagai pemberatan pidana. Dengan sistem ini, undang – undang bukan hanya
menentukan ancaman pidana maksimum yang dapat dijatuhkan hakim, tetapi juga minimumnya. 
Berlawanan dengan sistem KUHP yang tidak memperkenankan minimum khusus, Undang–
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memperkenankan
penjatuhan pidana minimum khusus, baik pidana penjara maupun pidana denda. Berdasarkan hal
tersebut di atas maka suatu pemberatan pidana dapat dijatuhkan kepada seseorang yang
melakukan suatu tindak pidana baik itu umum maupun khusus dan diatur berdasarkan undang-
undang yang berlaku. Alasan-alasan penjatuhan pidana berat yang dijatuhkan oleh hakim dalam
suatu perkara berdasarkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang melakukan suatu
tindak pidana.

F. Contoh Kasus Pemberatan Pidana

PEMBERATAN PIDANA UNTUK KORUPSI BANSOS DAN PENGULANGAN TINDAK


PIDANA

Hukum pidana di Indonesia yang diatur melalui Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) memiliki 5 macam aturan pemidanaan yaitu; pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan,  pidana denda, dan pidana tutupan. Kelima pemidaan ini merupakan pidana pokok,
sedangkan pidana tambahan meliputi; pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan
pengumuman putusan hakim. Selain pidana pokok dan pidana tambahan, seseorang juga bisa
dikenai pemberatan pidana. Bagaimana ketentuan pemberatan pidana?

Beberapa waktu lalu ada pemberitaan viral bahwa ada dugaan oknum perangkat RT
(Rukun Tetangga) di sebuah kampung di Kota Depok melakukan pemotongan terhadap bantuan
sosial covid-19. Peristiwa korupsi yang dilakukan dalam situasi bencana tentu tidak hanya terjadi
sekali ini, sebelumnya juga sering terjadi tindakan korupsi terhadap dana bencana baik yang
dilakukan oleh oknum pejabat negara hingga korporasi. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas UU. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor) memberikan ancaman hukuman mati atas tindakan tersebut. Pasal 3 UU Tipikor
menyebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Sedangkan dalam UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU
Kebencanaan) juga memberikan ancaman pidana seumur hidup bagi mereka yang
menyalahgunakan bantuan bencana. Adapun ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 78
“Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau
denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
Ketentuan pidana penyalahgunaan jabatan dalam UU Tipikor maupun UU Kebencanaan ternyata
lebih berat dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tercantum
dalam pasal 52 “Bila seorang pejabat, karena melakukan tindak pidana, melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena . jabatannya, maka
pidananya dapat ditambah sepertiga”
Selain kasus tersebut, dalam situasi bencana penyebaran covid-19 kali ini juga diwarnai
dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mantan nara pidana (napi) yang sebelumnya
mendapatkan pembebasan melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-
19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi
dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Salah satu
contoh napi asimilasi di Sleman, Yogyakarta tertangkap kembali karena melakukan tindak
pidana pencurian. Peristiwa ini merupakan salah satu dari 13 napi asimilasi yang kembali
melakukan tindak pidana berdasarkan pernyataan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri
Brigjen Pol Raden Prabowo Argo Yuwono dalam tagar.id tanggal 18 April 2020.

Pengulangan tindak pidana sebagaimana diatur dalam beberapa pasal dalam buku II
KUHP ini memiliki konsekuensi pemberatan pidana yaitu ditambahkan sepertiga sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 486 “Pidana penjara yang dirumuskan dalam pasal 127, 204 ayat
pertama, 244-248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan
ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditunjuk kepada ayat kedua dan ketiga
pasal 365, pasal 369, 372, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425,
432 ayat penghabisan, 452, 466, 480, dan 481, begitu pun pidana penjara selama waktu tertentu
yang diancam menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua, sepanjang
di situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang
bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya
atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu
kejahatan yang dirumuskan dalam pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang
dimaksud dalam salah satu dari pasal 140-143, 145-149, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut beluum daluwarsa”.
Selanjutnya pasal 487 “Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 131, 140 ayat
pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353-355, 438-443, 459, dan
460, begitu pun pidana penjara selama waktu tertentu yang diancam menurut pasal 104, 130
ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah
sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik
karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu maupun karena salah satu
kejahatan yang dimaksudkan dalam pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan
ketiga, 108 ayat kedua,sejauh kejahatan yang dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya
menyebabkan luka-luka atau kematian, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137, dan 1`38 KUHP
Tentara, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa”.
Dan pasal 488 “Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-311, 483,
dan 484, dapat ditambah sepertiga jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan belum lewat
lima tahun sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana
tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan,
kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa”.
2 gambaran kasus diatas merupakan 2 dari 3 alasan pemberatan pidana yaitu:
1. Penyalahgunaan kewenangan (abuse of power)
2. Pengulangan delik (residive)
3. Gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik (Samenloop atau Concursus).

Kesimpulan

Menurut pasal 135 KUHP, pemberat pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari
maksimum ancaman pidana. Menurut  Johnkers bahwa dasar umum strafverhogingsgronden atau
dasar pemberatan atau penambahan pidana umum adalah :

a.    Kedudukan sebagai pegawai negeri

b.    Recideive (Penggulangan delik)

c.    Samenloop (gabungan atau perbarengan dua atau lebih delik) atau concorcus.

            Kemudian Jonkers menyatakan bahwa title ketiga Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia hanya menyebut yang pertama, yaitu Pasal 52 KUHP yang berbunyi :“Jikalau seorang
pegawai negeri (ambtenaar) melanggar kewajibannya yang istimewa kedalam jabatannya karena
melakukan kejahatan perbuatan yang dapat dipidana, atau pada waktu melakukan perbuatan yang
dapat dipidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh karena
jabatannya, maka pidananya boleh ditambah dengan sepertiganya”. Menurut pasal 45 KUHP
ialah hal yang memperingan pidana ialah sebab si pembuat adalah seorang anak yang umurnya
belum mencapai 16 tahun. Peringanan pidana menurut UU no.3 tahun 1997 dasar peringanan
pidana umum ialah sebab perbuatannya anak (disebut nakal) yang umurnya telah 8 (delapan)
tahun tetapi belum 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Jika hal itu terbukti bersalah maka
hakim dapat menjatuhkan satu di antara dua kemungkinan ialah menjatuhkan pidana atau
tindakan.
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk
tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau terdakwa yang diajukan ke
pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana. Alasan-alasan tersebut dinamakan
alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan
kepada hakim. Meskipun KUHP Pidana yang sekarang ini ada mengatur tentang alasan
penghapus pidana, akan tetapi KUH Pidana sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas
tentang alasan penghapus pidana tersebut.
Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/35394442/
makalah_Diperberat_dan_diperingannya_pidana_docx ( akses 28
November 2021 )

Cicajoli, Dasar Pemberatan Pidana & Dasar Peringanan Pidana

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan, Pemberatan &
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Jakarta, RajaGrafindo Persada.

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,


Jakarta, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti.
https://manplawyers.co/2020/04/22/7805/ ( akses 28 November 2021 )

 
 

Anda mungkin juga menyukai