Anda di halaman 1dari 8

Nama : Meilani Sinta Uli R

NIM : 02011382025423

TUGAS RESUME HUKUM PENITENSIER

HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI PEMIDANAAN

A. HAL-HAL YANG MEMBERATKAN

1) Kedudukan sebagai Pejabat (Pasal 52 KUHP)


Yang dimkasud dengan pejabat adalah mereka yang diangkat oleh penguasa
umum yang berwnang dalam jabatan umum untuk melaksanakan sebagian tugas
Negara atau alat-alat perlengkapannya.
Berdasarkan uraian tersebut, termasuk juga pegawai negeri karena pegawai
negeri diangkat oleh kekuasaan umu, menjadi pejabat umum untuk menjalankan
sebagian dari tugas Negara atau bagian-bagiannya.
Menurut Pasal 52 KUHP, apaibila seorang pejabat karena melakukan tindak
pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada melakukan tindak
pidana menggunakan kekuasaannya, kesempatan, atau sarana yang diberikan padanya
karena jabatannya, pidananya ditambah 1/3 nya.
Syarat-syarat bahwa si pelaku adalah pegawai negeri, harus melanggar
kewajiban yang istimewa dalam jabatannya, atau memakai kekuasaan, kesempatan atau
daya upaya yang diperoleh dari jabatannya.
Yang dimaksud dengan melanggar kewajiban istimewa, contohnya : seorang
polisi yang diberi tugas menjaga uang Bank Negara, ternyata kemudian justru ia yang
melakukan pencurian. Yang dimaksud dengan memakai kekuasaan, kesempatan atau
sarana yang diberikan padanya karena jabatannya, misalnya : seorang Bendaharawan
Negara yang menggelapkan uang kas Negara.
Demikian juga delik jabatan, juga salah satu alasan pemberatan pidana. Adapun
yang dimaksud dengan delik jabatan adalah delik yang dilakukan oleh seorang pejabat
yang ada hubungannya dengan ketentuan pasal lain, misalnya : penggelapan yang
dilakukan seorang pejabat (Pasal 415 KUHP) ini merupakan kualifikasi dengan
ketentuan pasal 372 KUHP tentang penggelapan, maka delik yang dikualifikasikan bisa
merupakan hal yang memberatkan pemidanaan.
2) Pengulangan Tindak Pidana (Residive)

Pengulangan tindak pidana dapat dijadikan alasan pemberatan pidana, namun tidak
semua yaitu hanya yang ditentukan dalam KUHP: Pasal 486, 487, dan 488 yang menurut
beberapa macam kejahatan yang apabila dalam waktu tertentu dilakukan pengulangan lagi
dapat dikenakan pidana yang diperberat sampai 1/3 nya dari ancaman masing-masing
pidana.

Pada pasal 486, penambahan pidana itu hanyalah untuk pidana penjara biasa, sedangkan
pasal 488, tambahan pidana dapat mengenai seglala pidana yang diancamkan sehingga
pidana dendapun dapat ditambah 1/3 nya.

Disamping pasal tersebut di atas, ada kemungkinan pula penambahan pidana tehadap
Pasal 137 (2), 216 (3), 489 (2), 492 (2), 523 (2), 536 (2),(3), dan (4), akan tetapi tenggang
waktunya lebih pendek.

Adapun syarat-syarat yang diperlukan untuk berlakunya ketetuan residive ialah bahwa
orang yang bersalah itu pernah menjalani pidana penjara baik untuk seluruhnya maupun
untuk sebagian, atau terhadapnya diberikan pembebasan untuk seluruh pidana yang
dikenakan, ataupun waktu melakukan perbuatan kedua dengan perbuatan pertama belum
kadaluarsa. Disamping itu orang yang bersalah melakukan pengulangan tindak pidana itu
belum lima tahun berselang sejak dijalani hukumannya. Untuk pengulangan tindak pidana
yang tersebut dalam Pasal 137 (2), 216 (3), 489 (2), 492 (2), 523 (2), 536 (2),(3), dan (4),
tenggang waktu lebih pendek dari apa yang diatur dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP,
tetapi pidananya tidak ditambah sepertiga.

Menurut hukum pidana modern, residive dibedakan menajdi dua yaitu :

a) Residive Kebetulan
Adalah pengulangan tindak pidana secara kebetulan, missal : seorang pegawai yang
dipidana yang berakibat dipecat dari pekerjaannya, karena keluarganya yang kemudian
terlantar menyebabkan ia melakukan tindak pidana lagi. Terhadap residive yang
demikian tidak dikenakan pemberatan pidana.
b) Residive Biasa
Adalah pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan,
yaitu karena penjahat memang memiliki bakat/watak jahat. Terhadap residive yang
demikian hakim harus menjatuhkan pemberatan pidana.
3) Perbarengan (Samenloop)

Samenloop dapat terjadi apabila seseorang :

- Bersikap tindak dan sikap tindaknya itu memenuhi perumusan beberapa peraturan
pidana sekaligus;
- Berkali-kali bersikap tindak yang masing-masing sikap tidak merupakan tindak pidana
yang berdiri sendiri dan antara peristiwa itu belum ada putusan pengadilan dan semua
tindak pidana itu akan diadili sekaligus.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam samenloop ialah pengenaan


pidana/straftoemeting terhadap orang yang bertanggung jawab atas pemenuhan beberapa
ketentuan hukum pidana. Berhubung dengan hal tersebut, KUHP mengenal 4 stelsel/sistem
yang terdiri dari 2 stelsel pokok, yaitu : Absorptive Stelsel Dan Zuivere Cumulatie Stelsel
dan 2 stelsel antara, yaitu : Verschrepte Absortie Stelsel Dan Gematigde Cumulatie Stelsel.

Absorptive Stelsel, (Sistem Hisapan), yang dikenakan hanya pidana yang terberat saja.
Pidana lainnya seakan-akan terhisap ke dalamnya.

Zuivere Cumulatie Stelsel, (Sistem Himpunan Yang Murni), sejumlah pidana dijatuhkan
dengan tidak diadakan pengurangan.

Verschrepte Absortie Stelsel, (Sistem Himpunan Yang Diperkeras), Pidana yang terberat
ditambah dengan sepertiga dari maksimum.

Gematigde Cumulatie Stelsel, (Sistem Himpunan Yang Terbatas), beberapa pidana


dijatuhkan akan tetapi jumlah seluruhnya tidak boleh melibihi dari pidana terberat
ditambah sepertiga.

Adapun Samenloop mempunyai tiga (3) bentuk, yaitu :

1. Eendaadse Samenloop/Concurcus Idealis/Perbarengan Peristiwa, terjadi apabila


seseorang melakukan suatu perbuatan itu ia memenuhi beberapa perumusan ketentuan
hukum pidana, untuk bentuk ini istilah perbarengan amat tepat. Contoh : penipuan yang
dilakukan dengan menggunakan dokumen palsu adalah sesuai perumusan Pasal 378
KUHP dengan ancaman 4 tahun dan Pasal 263 (2) dengan ancaman 6 tahun.
2. Meerdaadse samenloop/concorcus realis/gabungan peristiwa, terdapat apabila
sesorang menimbulkan beberapa peristiwa yang masing-masing merupakan kejahatan
dan atau pelanggaran dan diatara tindak pidana tersebut belum ada yang diadili oleh
hakim, maka akan diadili sekaligus, untuk bentuk ini lebih tepat dipakai istilah
gabungan. Dalam KUHP, bentuk ini dibedakan menajadi tiga (3), yaitu :
- Meerdaadse samenloop yang berupa kejamakan kejahatan yang diancam dengan
pidana pokok yang sejenis (Pasal 65) dan tentang stelsel yang dikenakan, ada dua
pendapat, yaitu Cumulatie Stelsel dan Verschrepte Absortie Stelsel.
- Meerdaadse samenloop yang berupa kejamakan kejahatan yang diancam dengan
pidana yang tidak sejenis (Pasal 66 KUHP), dan stelsel yang digunakan adalah
Gematigde Cumulatie Stelsel.
- Meerdaadse samenloop yang berupa kejamakan pelanggaran (Pasal 70 KUHP).
Tentang stelsel yang dapat digunakan adalah Zuivere Cumulatie Stelsel, Verschrepte
Absortie Stelsel, dan Gematigde Cumulatie Stelsel.
3. Voortgezette Handeling/Peristiwa berlanjut, terjadi apabila seorang melakukan
beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan sendiri, diantara
perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian eratnya sehingga rangkaian
perbuatan itu diartikan sebagai perbuatan lanjutan. Berdasarkan Pasal 64 KUHP, maka
stelsel yang dapat digunakan adalah Absortie Stelsel.

B. HAL-HALYANG MERINGANKAN

1) Percobaan (Poging)

Percobaan diatur dalam Pasal 53 KUHP, yang tidak memberikan definisi tentang apa
itu percobaan tetapi hanya memberikan suatu batasan bilakah ada percobaan untuk
emlakukan suatu tindak pidana.

Adapun unsur-unsur dari tindak pidana percobaan,adalah :

a. Harus ada niat,artinya orang harus dengan sengaja melakukan perbuatan jahat;
b. Harus ada permulaan pelaksanaan, yaitu orang harus sudah mulai melakukan perbuatan
pelaksanaan kejahatan ini;
c. Pelaksanan itu tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak sendiri, maksudnya
niat jahat itu batal bukan karena kehendaknya sendiri.

Ancaman pidana hanya ditujukan pada percobaan melakukan kejahatan saja, sementara
untuk percobaan melakukan pelanggaran tidak diancam pidana (Pasal 54 KUHP). Namun
ada aturan hukum pidana khusus yang menyimpang dari norma pasal 54 dan 60 KUHP,
yaitu seperti yang tertuang di dalam Pasal 4 Undang-Undang Darurat no.7 tahun 1955
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonom, yaitu terhadap
percobaan dan pembantuan melakukan tindak pidana ekoomi, dapat diancam maksimum
pidana pokok dikurangi 1/3-nya.

Ayat 2 pasal 53 KUHP mengatur bahwa pidana yang dapat dikenakan atas perbuatan
percobaan adalah maksimum pidan pokok dikurangi 1/3-nya. Apabila kejahatn itu diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan percobaannya
diancamkan maksimum 15 tahun penjara.

2) Pembantuan (Medeplichtige)
Pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP yang berisi ketentuan dipidana sebagai
pembantu melakukan kejahatan terhadap barangsiapa :
a. Dengan sengaja membantu melakukan kejahatan;
b. Yang dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya, atau keteranga untuk
melakukan kejahatan.

Ancaman bagi pembantuan maksimum pidana pokok dikurangi 1/3-nya, dan apabila
kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dikarenakan
pidana maksimum 15 tahun. Pembantuan dalam melakukan pelanggaran tidak dipidana (Pasal
60 KUHP).

Pembantuan dapat dilakukan pada saat dilakukan kejahatan, yaitu dilakukan pada saat
yang berbarengan dengan saat orang yang dibantu itu melakukan perbuatannya. Di samping
itu, pembunuhan dapat dilakukan pada saat sebelum kejahatan itu dilakukan, yakni dengan
memakai kesempatan, alat-alat, atau keterangan untuk menjalankan kejahatan itu.

3) Belum Cukup Umur (Belum Dewasa)

Dalam KUHP, usia anak yang dianggap belum dewasa adalah tertuang dalam pasal 45
KUHP, yaitu belum berumur 16 tahun. Bagi anak-anak tersebut apabila melakukan
kejahata, hakim dapat memutuskan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tua,
wali, atau orang tua asuhnya tanpa dikenakan pidana; atau anak tersebut diserahkan kepada
pemerintah tanpa dipidana; atau dipidana dengan ancaman pidana dikurangi 1/3 dari
maksimum pidana pokok.

Setelah diterbitkannya Undang-Undang tentang Pengadilan Anak (UU No.3 tahun


1997), berdasarkan pasal 1 angka 1 bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak
nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah
kawin. Dalam Undang-Undang ini, dikenal dengan istilah anak nakal (Pasal 1 angka 2)
adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana;


b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup
yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Terhadap anak nakal yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat, maka hakim dapat menjatuhkan tindakan seperti yang tertuang dalam Pasal
24 UU No. 3 tahun 1997.

Berkaitan dengan pengaturan saksi (ukuran dan pelaksanaannya) terhadap anak nakal, UU
No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mengatur sebagai berikut :

 Bagi anak nakal (Pasal 1 angka 2 butir b) hanya dikenakan tindakan


 Bagi anak nakal (Pasal 1 angka 2 butir a) dapat dikenai pidana atau tindakan
 Anak nakal rentang usia 8 tahun- menjelang 12 tahun yang diancam Pidana Mati, hanya
dikenai Tindakan Anak Negara
 Anak nakal rentang usia 8 tahun- menjelang 12 tahun yang diancam di luar Pidana Mati,
diancam salah satu sanksi tindakan
 Anak nakal rentang usia 12 tahun-menjelang 18 tahun yang diancam pidana mati, hanya
dikenai maksimal 10 tahun;
 Anak nakal rentang usia 12 tahun-menjelang 18 tahun yang diancam di luar Pidana
Mati, diancam ½ dari ancaman orang dewasa
 Tidak dikenal penghapusan ancaman minimal khusus

Setelah terbitnya Undang-Undang pengganti yakni UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem
Peradilan Pidana Anak, mengalami penggantian yang signifikan, diawali dengan perubahan
terminologi dan perubahan lain yang mendasar. Dalam UU tersebut dikenal istilah seperti :

- Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana
(Pasal 1 Angka 2);
- Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3);
- Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami pederitaan
fisik,mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1
angka 4);
- Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri (Pasal
1 angka 5).

Terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, pengaturan lebih lanjut pada bab
selanjutnya.
CONTOH KASUS HAL YANG MERINGANKAN “PERCOBAAN (POGING)”

Bahwa terdakwa Muhammad Akib Als Pemau Bin Toni Effendi pada hari Selasa
tanggal 23 Juni 2015 sekira pukul 02.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam
bulan Juni 2015, bertempat di Jln. Perintis Kemerdekaan Lrg. Produksim Lama No. 47 Rt. 24
Kel. Duku Kec. IT II Palembang, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk
dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Palembang, telah mengambil barang sesuatu berupa 1
(satu) unit motor Honda Jenis GL 2000 SPORT (TIGER 2000) BG 5855 PE tahun 2004, warna
merah Nosin : SABHE-1022352 yang keseluruhan ditaksir senilai Rp. 9.000.000,- (sembilan
juta rupiah) atau setidak-tidaknya lebih dari Rp. 250,- yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain yaitu saksi KARSONO ALS SONO BIN KARSIMIN dengan maksud
dimiliki secara melawan hukum yang didahului atau disertai dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan terhadap orang, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya,
atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan
karena kehendaknya sendiri. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan cara sebagai
berikut :

Pada waktu dan tempat seperti tersebut di atas ketika terdakwa berjalan ke Jln. Perintis
Kemerdekaan Lrg. Produksim Lama No. 47 Rt. 24 Kel. Duku Kec. IT II Palembang dan
terdakwa melihat 1 (satu) unit motor Honda Jenis GL 2000 SPORT (TIGER 2000) BG 5855
PE tahun 2004, warna merah Nosin : SABHE-1022352 yang sedang terpakir diteras rumah
saksi KARSONO ALS SONO BIN KARSIMIN melihat hal tersebut lalu terdakwa mendekati
sepeda motor tersebut dan langsung menusuk kunci kontak sepeda motor dengan menggunakan
senjata tajam jenis pisau kemudian kunci kontak sepeda motor tersebut diputar dan pada saat
terdakwa memutar kunci kontak sepeda motor tiba-tiba pintu depan rumah dibuka lalu datang
saksi EDY Purnomo Bin Nasuka melihat kedatangan saksi Edu Purnomo Bin Nasuka, terdakwa
terkejut sambil terdakwa memegang pisau dan berkata kepada saksi Edy Purnomo Bin Nasuka
dengan kata-kata, “ EEEST-EEST, diam kak ado wong nak maling motor “ karena curiga lalu
saksi Edy Purnomo Bin Nasuka langsung berteriak maling.......maling......., mendengar teriakan
Edy Purnomo Bin Nasuka lalu terdakwa langsung melarikan diri dan akhirnya terdakwa dapat
ditangkap oleh warga sekitar.

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 365 Ayat (1)
KUHP Jo pasal 53 Ayat (1) KUHP.

Anda mungkin juga menyukai