Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Harta kekayaan merupakan salah satu hal yang perlu dilindungi dalam
hukum. Segala tindak kejahatan atau percobaan kejahatan terhadap harta kekayaan
perlu diadili demi terciptanya kepastian hukum dalam masyarakat. Kejahatan
terhadap harta kekayaan adalah berupa perkosaan atau penyerangan terhadap
kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik tertindak),
dimuat dalam buku II (dua) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
tindak pidana pencurian, pemerasan, penggelapan barang, penipuan, merugikan
orang berpiutang dan berhak, dan penghancuran atau pengrusakan barang, dan
penadahan (begunsting).1 Diantara beberapa kejahatan yang berhubungan dengan
harta kekayaan dan benda terdapat suatu kejahatan yang dikenal dengan istilah
penggelapan dimana penyalahgunaan kepercayaan yang mendominasi sebagai
unsur utama terjadinya tindak pidana ini.
Penggelapan merupakan suatu tindak pidana yang berhubungan dengan
masalah moral ataupun mental dan suatu kepercayaan atas kejujuran seseorang.
Oleh karena itu tindak pidana ini bermula dari adanya suatu kepercayaan pihak yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana penggelapan tersebut. Penggelapan dengan
segala macam bentuknya merupakan suatu jenis tindak pidana yang cukup berat
bila dilihat dari akibat yang ditimbulkan dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Tindak pidana penggelapan diatur di KUHP dalam Pasal 372 (penggelapan biasa),
Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 374 dan Pasal 375 (penggelapan dengan
pemberatan) dan Pasal 376 (penggelapan dalam keluarga). Pasal 372 KUHP
dirumuskan sebagai berikut:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu
yang seluruhnya bukan atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.

1
Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Harta Benda (Malang: Bayu Media, 2007), hlm. 1.

1
2

Berdasarkan rumusan penggelapan sebagaimana di dalam pasal tersebut,


maka apabila ditelaah lebih lanjut rumusan tersebut terdiri dari unsur subjektif yaitu
dengan sengaja dan unsur-unsur objektif yaitu barang siapa, menguasai secara
melawan hukum, suatu benda, sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain dan
berada padanya bukan karena kejahatan.
Jabatan merupakan hal paling bergengsi di suatu institusi baik di swasta
maupun negeri, tindak pidana atas nama jabatan pun semakin banyak terjadi, salah
satunya adalah tindak pidana penggelapan. Oleh karena itu Setiap perusahaan atau
institusi apapun juga rentan akan terjadinya penggelapan, terlebih-lebih
perusahaan. Pemanfaatan jabatan untuk melakukan tindak pidana penggelapan
semakin banyak terjadi karena kesempatan dalam melakukan tindak pidana tersebut
sangat besar dan mudah terlebih jika orang tersebut mempunyai jabatan yang tinggi
dalam suatu perusahaan karena lebih tahu tentang ruanglingkup dan kelemahan
perusahaan tersebut, penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 374 KUHP
yang berbunyi :
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap
barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau
karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.

Banyaknya tindak pidana yang terjadi di sekitar kita, dimana tindak pidana
tersebut tidak hanya dilakukan sekali oleh pelaku yang sama, bahkan pelaku
melakukannya secara berulang-berulang. Terkadang seseorang melakukan lebih
dari satu perbuatan tindak pidana sekaligus dimana tindak pidana yang dilakukan
pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan
tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim yang dalam ilmu
hukum pidana disebut gabungan tindak pidana atau perbarengan tindak pidana yang
dalam bahasa latin disebut dengan concursus.
Ketentuan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang “perbuatan
berlanjut” (voortgezette handeling), tercantum dalam BAB VI tentang Perbarengan
(concursus). Didalam KUHP tidak dijelaskan mengenai arti dari perbarengan itu
seperti apa, tetapi rumusan Pasal 63 s/d 71 KUHP diperoleh
pengertian concursus adalah dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus
idealis), perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) dan perbarengan perbuatan
(concursus realis). Ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan:
3

Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan


kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan satu
aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat.

Hal pertama yang harus dibuktikan adalah adanya beberapa perbuatan berupa
kejahatan atau pelanggaran, dimana hukum mensyaratkan perbuatan-perbuatan
tersebut harus sejenis. Tetapi hukum juga mengartikan perbuatan sejenis tidak
seluruhnya dalam bentuk fisik perbuatan yang sama, bisa juga bentuk perbuatan
yang berbeda, pengertian ini khusus dalam konstruksi jika orang melakukan
pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau
yang dirusak itu (Vide Pasal 64 ayat 2 KUHP). Selanjutnya beberapa tindak pidana
yang sejenis bisa disebut sebagai perbuatan berlanjut apabila dipenuhi syarat
lanjutannya yakni berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam
tenggang waktu yang tidak terlalu lama.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas tindak pidana penggelapan
merupakan kejahatan terhadap harta kekayaan atau benda. Hal yang berhubungan
dengan moral, mental, dan kepercayaan yang berarti berhubungan dengan
kesadaran seseorang dalam melakukan tindak pidananya dalam arti lain orang
tersebut dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam
pertanggungjawaban pidana dikenal dengan unsur kesalahan, kesalahan dalam arti
luas atau kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban pidana merupakan wujud
dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. 2 Kesalahan sebagai unsur
pertanggungjawaban dinilai setelah terpenuhinya semua unsur tindak pidana atau
terbuktinya tindak pidana.3 Jika setelahnya unsur perbuatan pidana terpenuhi maka
akan ditentukan sanksi atau penjatuhan pidana terhadap pelaku. Penjatuhan pidana
atau lebih dikenal dengan pemidaaan ialah tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana.
Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan pengadilan
negeri, putusan pemidanaan terjadi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan pidana yang didakwakan kepadanya (vide Pasal 193 ayat (1)

2
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta:Prenadamedia,
2015), hlm. 127-128.
3
Ibid., hlm. 133.
4

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Dengan demikian, dapat disimpulkan


bahwa dari hasil pemeriksaaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang telah didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan.
Terbukti melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim yakin
terdakwa bersalah melakukan. 4
Pidana hanya dapat dijatuhkan apabila ada kesalahan terdakwa, yang
dibuktikan dalam sidang pengadilan. Kesalahan terdakwa tentunya sebagaimana
termaktub dalam dakwaan Penuntut Umum. Jadi, pengadilan menjatuhkan pidana
apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya. Terdakwa bukan begitu saja dapat dinyatakan
bersalah dan dijatuhi pidana, tetapi harus didukung oleh alat bukti minimum yang
sah. Alat bukti tersebut harus dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa,
setelah itu baru pidana dapat dijatuhkan. Hal tersebut sesuai dengan rumusan Pasal
183 KUHAP yang menegaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam hal itu undang-undang
menghendaki adanya minimun alat bukti yaitu dua alat bukti dengan tujuan untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang.5
Salah satu contoh kasus yang penulis kaji tentang putusan tindak pidana
penggelapan di Pengadilan Negeri Bandung. Dengan amar putusan Majelis Hakim
di Pengadilan Negeri Bandung pada hari selasa, tanggal 10 Juli 2018 oleh Hakim
Ambo Masse, S.H.,M.H. selaku Hakim Ketua mengadili menyatakan terdakwa
Raden Enkom Wijaya Bin Kokom Sastrawijaya telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penggelapan” menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa Raden Enkom Wijaya bin Kokom Sastrawijaya dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun. Menetapkan penahanan yang telah dijalani oleh
terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,
menetapkan agar terdakwa tetap dalam tahanan. Memerintahkan barang bukti
berupa 46 (empat puluh enam) Faktur warna hijau CV. Alle Mandiri Bandung

4
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidana (Jakarta: Sinar Grafika,2018), hlm. 86.
5
Ibid., hlm. 88-89.
5

(ALBA), 1 (satu) examplar laporan tagihan periode bulan April 2017s/d Januari
2018 a/n Sales Raden Engkom Wijaya, 3 (tiga) faktur warna putih CV. Alle Mandiri
Bandung (ALBA).
Dalam putusan tersebut pelaku didakwa dengan dakwaan tunggal, yaitu
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 374 KUHP jo. Pasal 64 ayat
(1) KUHP. Apabila dikaitkan dengan posisi kasus yang telah dibahas sebelumnya
maka unsur-unsur pidana harus dipenuhi, agar perbuatan itu dapat dihukum.
Penerapan ketentuan pidana pada perkara ini yakni Pasal 374 Jo.Pasal 64 ayat (1)
KUHP memenuhi unsur melawan hukum, kejahatan terhadap harta benda yaitu
penggelapan.
Penjatuhan pidana oleh hakim dalam putusan nomor: 442/Pid.B/2018/PN
Bdg, terdakwa hanya dipidana dengan 1 (satu) tahun penjara padahal sebagaimana
diketahui dalam Pasal 374 KUHP pelaku yang melakukan tindak pidana
penggelapan dihukum dengan penjara maksimal 5 (lima) tahun. Selain itu pasal
tersebut juga merupakan pasal dengan pemberatan karena, terdakwa diserahi
menyimpan barang yang di gelapkannya itu karena hubungan pekerjaan, terdakwa
menyimpan barang tersebut karena jabatannya, dan karena mendapat upah.
Maksudnya keberadaan benda yang ada di tangan pelaku yang disebabkan
ketiga hal tadi menunjukan adanya suatu kepercayaan yang besar terhadap pelaku
oleh karena itu seharusnya pelaku lebih menjaga keselamatan dan pengurusan
terhadap barang tersebut bukan menyalahgunakan kepercayaan tadi. Sebagaimana
telah di sebutkan di atas bahwa unsur dari tindak pidana penggelapan yang di
lakukan terdakwa sudah terpenuhi tetapi dalam penjatuhan pidana yang diberikan
bisa dibilang ringan, maka dari itu peneliti ingin mengatahui apa yang menjadi
dasar pertimbangan hakim dalam memberikan pidana terhadap terdakwa karena
tindak pidana penggelapan dalam Pasal 374 KUHP merupakan penggelapan dengan
pemberatan.
Oleh karena itu seharusnya hakim lebih tegas dalam memutuskan suatu sanksi
terhadap pelaku tindak pidana karena dikahawatikannya penjatuhan sanksi pidana
oleh hakim yang terlalu ringan akan memberikan dampak negatif yaitu akan
munculnya pelaku-pelaku yang lain untuk melakukan tindak pidana karena
penjatuhan pidana yang relatif ringan, padahal hakim dalam menjatuhkan pidana
haruslah menyadari apa makna pemidanaan itu, serta harus menyadari apa yang
hendak dicapai dengan ia menjatuhkan sanksi kepada seseorang yang telah
6

melanggar ketentuan Undang-Undang. Hakim juga dalam menetapkan hukum tidak


semata-mata hanya menegakkan hukum dari hukum itu sendiri melainkan untuk
mengejar kemanfaatan sosial. 6
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
mengenai Tindak Pidana Penggelapan dalam jabatan yang dilakukan secara
berlanjut dengan mengambil judul: “ANALISIS YURIDIS TERHADAP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGELAPAN DALAM
JABATAN YANG DILAKUKAN SECARA BERLANJUT DALAM
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG NOMOR:
442/Pid.B/2018/PN Bdg.”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini hanya terbatas
pada ruang lingkup yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana serta dasar
penjatuhan pidana yang diberikan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana
penggelapan dengan identifkasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Terdakwa yang
melakukan Tindak Pidana Penggelapan dalam Jabatan yang Dilakukan Secara
Berlanjut dalam Putusan Nomor: 442/Pid.B/2018/PN Bdg ?
2. Bagaimanakah Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Terhadap
Pelaku Penggelapan dalam Jabatan yang Dilakukan Secara Berlanjut Dalam
Putusan Nomor: 442/Pid.B/2018/PN Bdg ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah :
1. Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban pidana terhadap
terdakwa yang melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang
dilakukan secara berlanjut dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor
442/Pid.B/2018/PN. Bdg.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana
terhadap pelaku penggelapan dalam jabatan yang dilakukan secara berlanjut
dalam putusan Nomor: 442/Pid.B/2018/PN Bdg.

6
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1998), hlm.100.
7

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis
a. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberi sumbangsih dalam
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan
dalam bidang hukum pidana pada khusunya. Diharapkan pula penulisan ini
dapat dijadikan sebagai sumber referensi tambahan bagi para akademisi,
penulis, dan kalangan yang memiliki minat yang sama terhadap kajian yang
ada dalam penulisan ini.
b. Dapat dijadikan sumber pemikiran bagi lembaga-lembaga yang terkait dalam
rangka penegakan hukum khususnya.
2. Secara Praktis
Sebagai tambahan wawasan penulis terkait hukum di Indonesia khususnya
dalam bidang hukum pidana, serta merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi hukum di Sekolah Tinngi Hukum Bandung.

E. Kerangka Pemikiran
Hukum pidana menurut Moeljatno adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancam.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut. 7

7
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 1.
8

Selanjutnya Moeljatno menyatakan bahwa istilah tindak pidana merupakan


istilah lain dari perbuatan pidana yang sering dipakai dalam perudangan oleh
kementrian kehakiman. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari “perbuatan” tapi
tindak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya
menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan
perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap
jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan
bertindak dalam belakangan juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena tindak
sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang
menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun
dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula perbuatan. 8
Beliau juga mengatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan
ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.9
Suatu perbuatan dapat dikatakan tindak pidana apabila memenuhi unsur-
unsur objektif dan subjektif. Unsur objektif yaitu unsur yang terdapat diluar diri
sipelaku yang meliputi:
1. Perbuatan atau kelakuan manusia;
2. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik;
3. Unsur melawan hukum;
4. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana;
5. Unsur yang memberatkan;
6. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana.

Sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri sipelaku
tindak pidana yang meliputi:

8
Ibid., hlm. 60-61.
9
Ibid., hlm. 59.
9

1. Kesengajaan (dolus);
2. Kealpaan (culpa);
3. Niat (voornemen);
4. Maksud (oogmerk);
5. Dengan rencana lebih dahulu (mevoorbedachte rade).

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan


perbuatannya tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana merupakan penilaian yang dilakuakan setelah
dipenuhinya seluruh unsur tindak pidana atau terbuktinya tindak pidana. Penilaian
ini dilakukan secara objektif dan subjektif, penilaiaan secara objektif berhubungan
dengan pembuat dengan norma hukum yang dilarangnya, sehingga berkaitan
dengan perbuatan dan nilai-nilai moralitas. Sedangakn penilaian secara subjektif
dilakukan terhadap pembuat bahwa keadaan-keadaan psycologis tertentu yang telah
melanggar moralitas patut dicela atau tidak dicela. 10
Karena kesalahan merupakan unsur tindak pidana, maka berdasarkan asas
“tiada pidana tanpa kesalahan”, kesalahan juga merupakan unsur
pertanggungjawaban pidana. Terbuktinya seluruh unsur pidana dapat membuktikan
tindak pidana sekaligus adanya pertanggungjawaban pidana. 11 Kesalahan tidak
hanya sebagai dasar dipertanggungjawabkannya pembuat, tetapi tidak adanya
kesalahan juga menjadi dasar tidak di pertanggungjawabkannya pembuat. 12
Pengertian kesalahan tidak dapat dijumpai dalam undang-undang hukum pidana
(KUHP) maupun undang-undang khusus yang mengatur tentang hukum pidana.
Kesalahan dalam menentukan pertanggungjawaban pidana dalam hubungannya
dengan kesalahan yang mempunyai unsur :
1. Melakukan tindak Pidana;
2. Diatas umur tertentu dan mampu bertanggungjawab;
3. Dengan kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak ada alasan pemaaf. 13
Tindak pidana penggelapan adalah salah satu jenis kejahatan terhadap
kekayaan manusia yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP).

10
Agus Rusianto, Tidak Pidana.....op.cit.,hlm. 14.
11
Ibid., hlm. 15.
12
Ibid., hlm. 35.
13
Ibid., hlm. 37-38.
10

Tindak pidana penggelapan diatur dalam Buku Kedua Bab XXIV dari Pasal 372
sampai dengan Pasal 377 KUHP yang dalam bentuk pokoknya disebutkan sebagai
berikut:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik
sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

Unsur tindak pidana penggelapan adalah sebagai berikut:


1. Barang siapa;
2. Dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain;
3. Tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Berikut jenis-jenis penggelapan berdasarkan bab XXIV, dari Pasal 372 sampai
dengan Pasal 377 KUHP :
1. Penggelapan Biasa
Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal
372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku
sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara
paling lama empat tahun”.
2. Penggelapan Ringan
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan
ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3. Penggelapan dengan Pemberatan
Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang
yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya
atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).
4. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga
Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan
dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau
11

oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga
sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya (Pasal 375
KUHP).
Perbarengan dalam tindak pidana atau lebih dikenal dengan concursus
digunakan kepada orang yang melakukan beberapa peristiwa tindak pidana.
Concursus ini terdapat pada BAB VI Buku I KUHP. Maksud dari tindak pidana
perbarengan ini ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang mana tindak pidana yang dilakukan peratama kali belum dijatuhi
pidana atau antara satu tindak pidana lain belum dibatasi oleh putusan hakim.
Seumpama, diantara kedua tindak pidana tersebut sudah ada putusan hakim maka
perbuatan pidana tersebut sudah tidak lagi disebut sebagai perbarengan tindak
pidana, melainkan disebut sebagai residive.
Dalam merumuskan sanksi pidananya, menggunakan sistem penyerapan
(absorbsi), artinya pelaku tindak pidana perbarengan akan dikenakan satu ancaman
pidana yang terdapat dalam satu pasal saja tetapi dipilih pasal yang terberat yang
dijatuhkan kepadanya. Jenis-jenis Concursus dalam KUHP ada 3 (tiga) yakni,
perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), pebarengan peraturan (concursus
idealis),dan perbarengan perbuatan (concusus realis).
Perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) merupakan gabungan dari
beberapa perbuatan yang dilakukan seseorang, namun perbuatan yang satu dengan
perbuatan yang lainnya belum pernah diselingi dengan putusan hakim. Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut ini belum begitu terkait dengan
rumusannya dalam undang-undang, seperti yang dikemukakan oleh salah satu ahli
hukum Lamintang, beliau mengungkapkan :
Undang-undang tindak menjelaskan lebih lanjut mengenai perkataan
beberapa perbuatan itu harus mempunyai hubungan yang demikian rupa.
Hubungan ini dapat ditafsirkan secara macam-macam, misalnya karena
adanya persamaan waktu, persamaan tempat dari terjadinya beberapa
perbuatan itu dan sebagainya. Hoge Raad mengartikan voortgezette
handeling atau tindakan yang dilanjutkan itu sebagai perbuatan-perbuatan
yang sejenis sekaligus merupakan pelaksanaan dari satu maksud yang sama.
Demikian itu pendapat Hoge Raad anatara lain dalam arrestnya tanggal 19
Oktober 1932 N.J. 1932.14

14
P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 48-49.
12

Ada beberapa petunjuk untuk mengetahui perbuatan tersebut adalah


perbuatan berlanjut, diantaranya harus ada satu keputusan kehendak, masing-
masing perbuatan harus sejenis, dan tenggang waktu antara satu perbuatan dengan
perbuatan lainnya tidak terlalu lama. Dalam pemberian sanksi pidananya
menggunakan sistem absorbsi maksudnya hanya dikenakan satu aturan pidana
terberat, dan jika berbeda-beda maka, dikenakan ketentuan yang memuat pidana
pokok yang terberat.
Concursus Idealis,yang dimaksud dengan concursus idealis adalah dalam
satu tindak pidana terjadi dua atau lebih tindak pidana. Concursus idealis ini diatur
dalam Pasal 63 ayat (1) :
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana , maka yang
dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu jika berbeda-beda,
yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

Concursus Idealis bisa dikenakan kepada seseorang, apabila orang tersebut


melakukan satu tindak pidana, tetapi dengan melakukan satu tindak pidana itu, ia
memenuhi rumusan dari beberapa ketentuan pidana (perbarengan peraturan).
Concurusu Realis, ialah seseorang yang melakukan beberapa tindak pidana,
sedangkan masing-masing perbuatan tersebut berdiri sendiri atau hubungan delik
yang satu dengan delik yang lainnya berdiri sendiri-sendiri. Concursus realis diatur
dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang pada pokoknya berbunyi :
Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa
kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya
dijatuhi satu pidana.

Menurut Sudarto pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada


orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.15
Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa istilah “penghukuman” dapat
disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali
sinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. 16
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemidanaan merupakan suatu proses atau cara untuk
menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana.

15
Sudarto dalam Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:
Alumni, 2010), hlm. 2.
16
Ibid., hlm. 1.
13

Jenis pidana menurut KUHP, seperti yang terdapat dalam pasal 10 dibagi
kedalam 2 (dua) jenis yaitu:
1. Pidana pokok, yaitu:
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda;
e. Pidana tutupan;

2. Pidana tambahan, yaitu :


a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu; dan
c. Pengumuman putusan hakim. 17

Tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagaimana dalam Pasal 374 KUHP
yang berbunyi:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap
barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya
atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun.

Pasal tersebut merupakan pasal yang mengatur “Penggelapan dengan


Pemberatan”, dimana pelaku penggelapan dalam jabatan diancam pidana penjara
maksimal 5 (lima) tahun. Dasar diperberatnya pidana dalam tindak pidana
penggelapan dalam Pasal 374 KUHP ialah terdakwa diserahi barang yang
digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya, terdakwa menyimpan barang itu
karena jabatannya, dan karena mendapat upah uang (bukan upah berupa barang).
Ancaman paling lama 5 (lima) tahun penjara bagi yang melakukan tindak pidana
tersebut merupakan sanksi yang cukup berat bagi pelanggar pasal, karena pada
hakikatnya dimaksudkan sebagai alat pemaksa untuk menjamin agar aturan ditaati
oleh seluruh warga masyarakat.

F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam spesifikasai penelitian ini, digunakan metode penelitian deskriptif
(descriptive research) yaitu salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk

17
Ibid., hlm. 44.
14

menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau dimaksudkan untuk


eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan
jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit
yang diteliti antara fenomena yang diuji. 18
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif. Menurut Soerjono Soekanto
penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan
cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 19
3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan penelitian yang
mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai
bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. 20 Sedangkan, pendekatan
kasus (case approach) adalah pendekatan yang dilakukan dengan melakukan telaah
pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus
yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap.21
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan studi dokumen (study
of document) dan studi Literatur (study of luterature).Studi dokumen (study of
document) ialah teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen untuk
mendapatkan data atau informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 22
Sedangkan, studi literatur (study of literature) yaitu dengan melakukan pencarian
terhadap berbagai sumber tertulis, baik berupa buku-buku, arsip, majalah, artikel,

18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia UI-
Press,1986), hlm. 10.
19
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia, 2005), hlm. 136.
21
Ibid., hlm. 158.
22
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2015), hlm. 97.
15

dan jurnal, atau dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang


dikaji. 23
5. Metode Analisa Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, dari data yang
diperoleh kemudian disusun secara sistematis, kemudian dianalisis secara kualitatif
untuk mencapai kejelasan masalah yang di bahas. Analisis data kualitatif, adalah
suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis dan lisan diteliti kembali dan dipelajari
sebagai suatu yang utuh.24 Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan
disajikan secara deskriptif, yaitu dengan mengemukakan dan menggambarkan apa
adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Dari hasil tersebut kemudian
ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini.

23
Ibid., hlm. 102.
24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum....op.cit.,hlm.12.
16

Anda mungkin juga menyukai