PENDAHULUAN
1
Adami Chazawi, Kejahatan terhadap Harta Benda (Malang: Bayu Media, 2007), hlm. 1.
1
2
Banyaknya tindak pidana yang terjadi di sekitar kita, dimana tindak pidana
tersebut tidak hanya dilakukan sekali oleh pelaku yang sama, bahkan pelaku
melakukannya secara berulang-berulang. Terkadang seseorang melakukan lebih
dari satu perbuatan tindak pidana sekaligus dimana tindak pidana yang dilakukan
pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan
tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim yang dalam ilmu
hukum pidana disebut gabungan tindak pidana atau perbarengan tindak pidana yang
dalam bahasa latin disebut dengan concursus.
Ketentuan dalam Pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang “perbuatan
berlanjut” (voortgezette handeling), tercantum dalam BAB VI tentang Perbarengan
(concursus). Didalam KUHP tidak dijelaskan mengenai arti dari perbarengan itu
seperti apa, tetapi rumusan Pasal 63 s/d 71 KUHP diperoleh
pengertian concursus adalah dalam bentuk perbarengan peraturan (concursus
idealis), perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) dan perbarengan perbuatan
(concursus realis). Ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan:
3
Hal pertama yang harus dibuktikan adalah adanya beberapa perbuatan berupa
kejahatan atau pelanggaran, dimana hukum mensyaratkan perbuatan-perbuatan
tersebut harus sejenis. Tetapi hukum juga mengartikan perbuatan sejenis tidak
seluruhnya dalam bentuk fisik perbuatan yang sama, bisa juga bentuk perbuatan
yang berbeda, pengertian ini khusus dalam konstruksi jika orang melakukan
pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau
yang dirusak itu (Vide Pasal 64 ayat 2 KUHP). Selanjutnya beberapa tindak pidana
yang sejenis bisa disebut sebagai perbuatan berlanjut apabila dipenuhi syarat
lanjutannya yakni berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan dalam
tenggang waktu yang tidak terlalu lama.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas tindak pidana penggelapan
merupakan kejahatan terhadap harta kekayaan atau benda. Hal yang berhubungan
dengan moral, mental, dan kepercayaan yang berarti berhubungan dengan
kesadaran seseorang dalam melakukan tindak pidananya dalam arti lain orang
tersebut dapat mempertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam
pertanggungjawaban pidana dikenal dengan unsur kesalahan, kesalahan dalam arti
luas atau kesalahan sebagai unsur pertanggungjawaban pidana merupakan wujud
dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. 2 Kesalahan sebagai unsur
pertanggungjawaban dinilai setelah terpenuhinya semua unsur tindak pidana atau
terbuktinya tindak pidana.3 Jika setelahnya unsur perbuatan pidana terpenuhi maka
akan ditentukan sanksi atau penjatuhan pidana terhadap pelaku. Penjatuhan pidana
atau lebih dikenal dengan pemidaaan ialah tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana.
Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan pengadilan
negeri, putusan pemidanaan terjadi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan pidana yang didakwakan kepadanya (vide Pasal 193 ayat (1)
2
Agus Rusianto, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta:Prenadamedia,
2015), hlm. 127-128.
3
Ibid., hlm. 133.
4
4
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidana (Jakarta: Sinar Grafika,2018), hlm. 86.
5
Ibid., hlm. 88-89.
5
(ALBA), 1 (satu) examplar laporan tagihan periode bulan April 2017s/d Januari
2018 a/n Sales Raden Engkom Wijaya, 3 (tiga) faktur warna putih CV. Alle Mandiri
Bandung (ALBA).
Dalam putusan tersebut pelaku didakwa dengan dakwaan tunggal, yaitu
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 374 KUHP jo. Pasal 64 ayat
(1) KUHP. Apabila dikaitkan dengan posisi kasus yang telah dibahas sebelumnya
maka unsur-unsur pidana harus dipenuhi, agar perbuatan itu dapat dihukum.
Penerapan ketentuan pidana pada perkara ini yakni Pasal 374 Jo.Pasal 64 ayat (1)
KUHP memenuhi unsur melawan hukum, kejahatan terhadap harta benda yaitu
penggelapan.
Penjatuhan pidana oleh hakim dalam putusan nomor: 442/Pid.B/2018/PN
Bdg, terdakwa hanya dipidana dengan 1 (satu) tahun penjara padahal sebagaimana
diketahui dalam Pasal 374 KUHP pelaku yang melakukan tindak pidana
penggelapan dihukum dengan penjara maksimal 5 (lima) tahun. Selain itu pasal
tersebut juga merupakan pasal dengan pemberatan karena, terdakwa diserahi
menyimpan barang yang di gelapkannya itu karena hubungan pekerjaan, terdakwa
menyimpan barang tersebut karena jabatannya, dan karena mendapat upah.
Maksudnya keberadaan benda yang ada di tangan pelaku yang disebabkan
ketiga hal tadi menunjukan adanya suatu kepercayaan yang besar terhadap pelaku
oleh karena itu seharusnya pelaku lebih menjaga keselamatan dan pengurusan
terhadap barang tersebut bukan menyalahgunakan kepercayaan tadi. Sebagaimana
telah di sebutkan di atas bahwa unsur dari tindak pidana penggelapan yang di
lakukan terdakwa sudah terpenuhi tetapi dalam penjatuhan pidana yang diberikan
bisa dibilang ringan, maka dari itu peneliti ingin mengatahui apa yang menjadi
dasar pertimbangan hakim dalam memberikan pidana terhadap terdakwa karena
tindak pidana penggelapan dalam Pasal 374 KUHP merupakan penggelapan dengan
pemberatan.
Oleh karena itu seharusnya hakim lebih tegas dalam memutuskan suatu sanksi
terhadap pelaku tindak pidana karena dikahawatikannya penjatuhan sanksi pidana
oleh hakim yang terlalu ringan akan memberikan dampak negatif yaitu akan
munculnya pelaku-pelaku yang lain untuk melakukan tindak pidana karena
penjatuhan pidana yang relatif ringan, padahal hakim dalam menjatuhkan pidana
haruslah menyadari apa makna pemidanaan itu, serta harus menyadari apa yang
hendak dicapai dengan ia menjatuhkan sanksi kepada seseorang yang telah
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini hanya terbatas
pada ruang lingkup yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana serta dasar
penjatuhan pidana yang diberikan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana
penggelapan dengan identifkasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Terdakwa yang
melakukan Tindak Pidana Penggelapan dalam Jabatan yang Dilakukan Secara
Berlanjut dalam Putusan Nomor: 442/Pid.B/2018/PN Bdg ?
2. Bagaimanakah Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Terhadap
Pelaku Penggelapan dalam Jabatan yang Dilakukan Secara Berlanjut Dalam
Putusan Nomor: 442/Pid.B/2018/PN Bdg ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah :
1. Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban pidana terhadap
terdakwa yang melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang
dilakukan secara berlanjut dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor
442/Pid.B/2018/PN. Bdg.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana
terhadap pelaku penggelapan dalam jabatan yang dilakukan secara berlanjut
dalam putusan Nomor: 442/Pid.B/2018/PN Bdg.
6
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1998), hlm.100.
7
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1. Secara Teoritis
a. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberi sumbangsih dalam
kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan
dalam bidang hukum pidana pada khusunya. Diharapkan pula penulisan ini
dapat dijadikan sebagai sumber referensi tambahan bagi para akademisi,
penulis, dan kalangan yang memiliki minat yang sama terhadap kajian yang
ada dalam penulisan ini.
b. Dapat dijadikan sumber pemikiran bagi lembaga-lembaga yang terkait dalam
rangka penegakan hukum khususnya.
2. Secara Praktis
Sebagai tambahan wawasan penulis terkait hukum di Indonesia khususnya
dalam bidang hukum pidana, serta merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan studi hukum di Sekolah Tinngi Hukum Bandung.
E. Kerangka Pemikiran
Hukum pidana menurut Moeljatno adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancam.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut. 7
7
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 1.
8
Sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri sipelaku
tindak pidana yang meliputi:
8
Ibid., hlm. 60-61.
9
Ibid., hlm. 59.
9
1. Kesengajaan (dolus);
2. Kealpaan (culpa);
3. Niat (voornemen);
4. Maksud (oogmerk);
5. Dengan rencana lebih dahulu (mevoorbedachte rade).
10
Agus Rusianto, Tidak Pidana.....op.cit.,hlm. 14.
11
Ibid., hlm. 15.
12
Ibid., hlm. 35.
13
Ibid., hlm. 37-38.
10
Tindak pidana penggelapan diatur dalam Buku Kedua Bab XXIV dari Pasal 372
sampai dengan Pasal 377 KUHP yang dalam bentuk pokoknya disebutkan sebagai
berikut:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik
sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.
Berikut jenis-jenis penggelapan berdasarkan bab XXIV, dari Pasal 372 sampai
dengan Pasal 377 KUHP :
1. Penggelapan Biasa
Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal
372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku
sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara
paling lama empat tahun”.
2. Penggelapan Ringan
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan
ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3. Penggelapan dengan Pemberatan
Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang
yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya
atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).
4. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga
Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan
dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau
11
oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga
sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya (Pasal 375
KUHP).
Perbarengan dalam tindak pidana atau lebih dikenal dengan concursus
digunakan kepada orang yang melakukan beberapa peristiwa tindak pidana.
Concursus ini terdapat pada BAB VI Buku I KUHP. Maksud dari tindak pidana
perbarengan ini ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang mana tindak pidana yang dilakukan peratama kali belum dijatuhi
pidana atau antara satu tindak pidana lain belum dibatasi oleh putusan hakim.
Seumpama, diantara kedua tindak pidana tersebut sudah ada putusan hakim maka
perbuatan pidana tersebut sudah tidak lagi disebut sebagai perbarengan tindak
pidana, melainkan disebut sebagai residive.
Dalam merumuskan sanksi pidananya, menggunakan sistem penyerapan
(absorbsi), artinya pelaku tindak pidana perbarengan akan dikenakan satu ancaman
pidana yang terdapat dalam satu pasal saja tetapi dipilih pasal yang terberat yang
dijatuhkan kepadanya. Jenis-jenis Concursus dalam KUHP ada 3 (tiga) yakni,
perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), pebarengan peraturan (concursus
idealis),dan perbarengan perbuatan (concusus realis).
Perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) merupakan gabungan dari
beberapa perbuatan yang dilakukan seseorang, namun perbuatan yang satu dengan
perbuatan yang lainnya belum pernah diselingi dengan putusan hakim. Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut ini belum begitu terkait dengan
rumusannya dalam undang-undang, seperti yang dikemukakan oleh salah satu ahli
hukum Lamintang, beliau mengungkapkan :
Undang-undang tindak menjelaskan lebih lanjut mengenai perkataan
beberapa perbuatan itu harus mempunyai hubungan yang demikian rupa.
Hubungan ini dapat ditafsirkan secara macam-macam, misalnya karena
adanya persamaan waktu, persamaan tempat dari terjadinya beberapa
perbuatan itu dan sebagainya. Hoge Raad mengartikan voortgezette
handeling atau tindakan yang dilanjutkan itu sebagai perbuatan-perbuatan
yang sejenis sekaligus merupakan pelaksanaan dari satu maksud yang sama.
Demikian itu pendapat Hoge Raad anatara lain dalam arrestnya tanggal 19
Oktober 1932 N.J. 1932.14
14
P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 48-49.
12
15
Sudarto dalam Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:
Alumni, 2010), hlm. 2.
16
Ibid., hlm. 1.
13
Jenis pidana menurut KUHP, seperti yang terdapat dalam pasal 10 dibagi
kedalam 2 (dua) jenis yaitu:
1. Pidana pokok, yaitu:
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda;
e. Pidana tutupan;
Tindak pidana penggelapan dalam jabatan sebagaimana dalam Pasal 374 KUHP
yang berbunyi:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap
barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencahariannya
atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Dalam spesifikasai penelitian ini, digunakan metode penelitian deskriptif
(descriptive research) yaitu salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk
17
Ibid., hlm. 44.
14
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia UI-
Press,1986), hlm. 10.
19
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia, 2005), hlm. 136.
21
Ibid., hlm. 158.
22
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2015), hlm. 97.
15
23
Ibid., hlm. 102.
24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum....op.cit.,hlm.12.
16