Anda di halaman 1dari 32

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana tercantum didalam KUHP eks WvS yang dalam bahasa

belanda yaitu staafbarfeit. Straafbarfeit yang diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia menurut sarjana-sarjana Indonesia, diartikan sebagai: tindak pidana,

perbuatan pidana dan delik.

Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana mendefinisikan

mengenai delik adalah “Suatu perbuatan atau tindak tindakan yang terlarang

yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana)”.1 Sedangkan

Simons dalam buku yang sama mendefinisikan strafbaarfeit adalah “Suatu

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungg jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang

telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.2

Sehingga dari pengertian yang dinyatakan Simons, dapat diartikan bahwa

setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia yang hidup dalam sebuah tatanan

sosial (bermasyarakat) akan mempunyai suatu ketertarikan dengan norma yang

sudah berlaku, dimana setiap tindakan memiliki nilai baik dan buruk yang

kemudian diatur oleh masyarakat atau pemerintah yang mempunyai otoritas

didalamnya dalam hal membuat sebuah aturan.

Kemudian sesuai dengan asas legalitas yang tercantum didalam pasal 1 ayat

(1) menyebutkan bahwa: “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali

1
Andi Hamzah.1994.Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta.Jakarta. Hal.71
2
Ibid. Hal 71-72

13
14

berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.3

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan yang

melanggar ketentuan dalam hukum pidana dikategorikan sebagai tindak pidana.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

2.1 Pelaku Tindak Pidana

Pelaku tindak pidana adalah orang yang melakukan perbuatan pidana

sebagaimana perbuatan tersebut telah dirumuskan didalam undang-undang

(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Berdasarkan Pasal 55 dan 56 KUHP

menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana adalah sebagai berikut:4

“Pasal 55

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut

serta melakukan perbuatan;

2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan martabat, dengan

kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi

kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain

supaya melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah

yang diperhitungkan beserta akibatnya.”

Sedangkan ketentuan pidana dari Pasal 56 KUHP menyebutkan bahwa :5

(1) Mereka yang dengan sengaja memberikan suatu bantuan untuk melakukan

3
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
4
Pasal 55 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
5
Pasal 56 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
15

kejahatan. (2) Mereka yang dengan sengaj memberikan kesempatan, sarana-

sarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan.

Sehingga berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP diatas, dapat dikatakan

bahwa pelaku tindak pidana dibagi menjadi 5 (lima) golongan yaitu:

a. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana tersebut

Menurut H.M Ikhwan Rays, orang yang melakukan sendiri tindak pidana atau

pleger adalah setiap orang yang melakukan perbuatan seorang diri, yang mana

perbuatan tersebut memenuhi unsur delik seperti yang telah ditentukan didalam

rumusan delik yang bersangkutan.6

Sehingga dapat dikatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang

pelaku saja maka yang perlu diselidiki adalah bentuk perbuatan dan kemampuan

dari pelaku bertanggungjawab atas tindakan pidana yang ia lakukan. Perbuatan

yang dilakukan tersebut apakah telah memenuhi unsur objektif dan subjektif dari

tindak pidana atau tidak. Jika memang terbukti maka pelaku harus

bertanggungjawab atas perbuatannya sehingga dapat dijatuhkan sanksi pidana

sesuai dengan hukum yang berlaku.

b. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana tersebut

Menuyuruh melakukan atau doenplegen adalah seseorang yang menyuruh

orang lain untuk melakukan suatu perbuatan pidana. Syarat dari doenplegen ini

adalah :7

6
H.M Ikhwan Rays.2019. Analisis Yuridis Penerapan Pasal 55 Ayat 1 Ke 1 Pada Tindak Pidana
Penganiayaan Terhadap Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk
No;285/Pid.B/2013/PM.Lwk). Jurnal Yustisiabel. Vol.III No.2 Fakultas Hukum Univeristas
Muhammadiyah Luwuk. Hal 165
7
Ibid, hal 167
16

- Orang yang menyuruh (manus domina) merupakan orang yang memiliki

kehendak pidana namun dalam melaksanakan kehendaknya menyuruh orang

lain atau perantara. Oleh karena itu orang yang menyuruh tersebut adalah

sebagai penanggungjawab pidana atas suatu kehendak pidana tersebut.

- Orang yang disuruh (manus ministra) merupakan orang yang disuruh untuk

melakukan suatu perbuatan pidana dengan syarat bahwa seseorang tersebut

tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sehingga ia tidak dapat

dijatuhi pidana.

Sehingga berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa doenplegen

adalah seseorang yang memiliki kehendak atau tujuan untuk melakukan suatu

perbuatan pidana, namun untuk menjalankan kehendaknya tersebut

menggunakan perantara atau orang lain untuk menjalankannya. Orang yang

disuruh dalam hal ini disyaratkan bahwa orang tersebut tidak dapat dijatuhi

pidana atau tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

c. Turut melakukan tindak pidana

Turut serta melakukan tindak pidana atau medeplegen adalah bentuk

penyertaan dari seseorang atau lebih secara langsung dan sadar untuk melakukan

suatu tindak pidana.8 Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa

terjadinya medeplegen terdiri atas beberapa orang atau lebih yang bersepakat

untuk bersama-sama melakukan tindak pidana. Sehingga para pelaku

mempunyai derajat atau kedudukan yang sama.

d. Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakkan orang lain untuk

melakukan tindak pidana.

8
Ibid, hal 167
17

Membujuk atau menggerakan seseorang untuk melakukan tindak pidana atau

Uitlokking adalah pelaku yang sengaja melakukan suatu tindak pidana atas

bujukan atau gerakkan dari orang lain. Orang yang sengaja menggerakkan ini

disebut uitlokker.9 Sehingga Uitlokking harus terdiri atas orang yang sengaja

membujuk untuk melakukan tindak pidana dan orang yang dibujuk untuk

melakukan tindak pidana. Sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan

tindak pidana ini dilakukan dengan daya upaya yang diatur dan ditentukan oleh

Pasal 55 ayat 2 yaitu memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu,

menyalahgunakan kekuasaan, menyalahgunakan martabat, menggunakan

kekerasan, menggunakan ancaman, melakukan tipu daya atau penyesatan, dan

memberikan kesempatan saran atau keterangan.

e. Membantu melakukan

Bentuk penyertaan ini diatur didalam Pasal 56 KUHP, yang sering diartikan

sebagai Medeplichtigheid atau turut bersalah.10 Membantu melakukan atau

Medeplichtigheid adalah keikutsertaan seseorang untuk membantu dan

mempermudah terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

(dader) baik sebelum atau saat tindak pidana tersebut dilakukan.

2.2 Perbuatan Pidana

Suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan atau tindak pidana harus

memenuhi unsur-unsur yang telah diatur didalam KUHP. Menurut

Tongat,perbuatan pidana memiliki unsur subjektif dan objektif yang masing-

masing dari unsur tersebut pengertiannya adalah sebagai berikut :

a. Unsur Objektif

9
Ibid. hal 168
10
Ibid, hal 170
18

Yang dikatakan unsur objektif adalah unsur yang ada di luar pelaku atau

dalam istilah bahasa asing disebut dader, unsur objektif misalnya:

1) Perbuatan baik dalam arti berbuat maupun tidak berbuat;

2) Akibat, yang menjadi syarat mutlak dari tindak pidana materiil; dan

3) Keadaan atau perbuatan tertentu yang dilarang serta diancam oleh

undang-undang.11

b. Unsur Subjektif

Yang dikatakan unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri

pelaku, berupa:12

1) Kemampuan pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya;

2) Kesalahan atau schuld berkaitan dengan masalah bertanggungjawab

pada point pertama, persoalannya adalah kapan seseorang

dikategorikan mampu bertanggungjawab. Seseorang atau pelaku dapat

dikategorikan mampu bertanggungjawab harus memenuhi 3 (tiga)

syarat, yaitu:

a) Keadaan jiwa seseorang sedemikian rupa, sehingga ia mengerti

nilai dan akibat dari perbuatannya;

b) Keadaan jiwa seseorang sedemikian rupa, sehingga ia dapat

menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan;

c) Seseorang tersebut sadar mana perbuatan yang dilarang dan tidak

dilarang oleh undang-undang.

Pendapat diatas, selaras dengan unsur-unsur tindak pidana menurut

Lamintang, yang mana ia menyebutkan bahwa tindak pidana secara umum dapat

11
Tongat. 2015. Hukum Pidana Materiil. Malang. UMM Press hal 3
12
Ibid. hal 4
19

dijabarkan menjadi dua unsur yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP).13 Unsur yang pertama yaitu unsur objektif merupakan

unsur yang berasal dari luar diri si pelaku yang melakukan tindak pidana.

Misalnya terkait dengan kualitas dari pelaku yang melakukan tindak pidana

tersebut dan terkait dari sifat melanggar hukum tersebut. Sedangkan unsur

subjektif merupakan unsur yang hanya ada dalam diri si pelaku yang melakukan

tindak pidana, termasuk segala sesuatu yang ada didalam hatinya. Misalnya

terkait dengan kesengajaan atau ketidaksengajaan pelaku dalam melakukan

tindak pidana atau culpa dan dolus, terkait dengan apakah si pelaku dalam

melakukan tindak pidana merencanakan terlebih dahulu atau tidak, terkait

dengan maksud dan tujuan dari pelaku melakukan tindak pidana tersebut, dan

terkait dengan perasaan takut atau vress.

Kemudian Amir Ilyas dalam bukunya menambahkan bahwa unsur-unsur

tindak pidana terdiri atas:

a) Perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku dilarang oleh Undang-Undang;


b) Perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan
hukum;dan
c) Tidak adanya alasan pembenar.14

2.3 Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang dapat dikatakan memiliki aspek pertanggungjawaban pidana jika

terpenuhi beberapa syarat yang menyatakan bahwa seseorang tersebut dapat

13
P.A.F Lamintang.2014. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hal 193
14
Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan (Disertai teori-teori pengantar dan
beberapa komentar. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta. Hal
29
20

dimintakan pertanggungjawaban. Menurut Moeljatno syarat dalam pertanggung

jabawan pidana adalah:15

a. Seseorang melakukan perbuatan pidana;


b. Kemampuan seseorang bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang
dilakukan;
c. Adanya kesalahan, baik berupa kesengajaan atau kelalaian dalam
melakukan tindak pidana;
d. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf yang menghapuskan
pertangggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

2.4 Sanksi Pidana

Sanksi pidana merupakan hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang

melakukan suatu tindak pidana. Menurut Bemmelen, seperti yang dikutip oleh

Mahrus Ali, menyatakan bahwa tujuan dari sanksi pidana adalah untuk

mempertahankan ketertiban dari masyarakat dan mempunyai tujuan kombinasi

untuk menakutkan, memperbaiki, dan membinasakan kejahatan tertentu.16

Sehingga dalam penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana, tidak

hanya tujuannya untuk memberikan efek jera kepada si pelaku saja, namun

sanksi tersebut berguna pula untuk menjaga ketertiban serta kerukunan dari

masyarakat.

Pasal 10 KUHP menjelaskan mengenai bentuk-bentuk sanksi pidana yang

dibedakan atas sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Dibawah ini bentuk-

bentuk sanksi pidana, baik pidana pokok maupun pidana tambahan:17

a. Pidana Pokok

1) Pidana Mati;

15
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Cetakan ke-6. Jakarta. Rineka Cipta. Hal 152
16
J.M Van Bemmelen.1987. Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum). Bandung.
Terjemahan Hasnan Bina Cipta. Hal 128, dalam Mahrus Ali. 2008. Kejahatan Korporasi Kajian
Relevansi Sanksi Tindakan bagi Penanggulangan Kejahatan Korupsi. Yogyakarta. Arti Bumi
Intaran. Hal 137
17
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
21

2) Pidana Penjara;

3) Pidana Kurungan;

4) Pidana Denda;

5) Pidana Tutupan;

b. Pidana Tambahan

1) Pencabutan hak-hak tertentu;

2) Perampasan barang-barang tertentu;

3) Pengumuman putusan hakim.

B. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin

1. Pengertian Pertambangan

Menurut Pasal 1 angka (1) UU Minerba, Pertambangan adalah sebagian atau

seluruh tahapan kegiatan dalam rangka pengelolaan dan pengusahaan mineral

atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,

kontruksi, penambangan, pengelolaan dan/atau pemurnian atau pengembangan

dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan

pascatambang.18

Pengertian menurut Pasal 1 angka (1) UU Minerba tersebut dijabarkan dalam

arti luas, karena menjelaskan terkait dengan ruang lingkup pertambangan yang

dilakukan mulai dari sebelum kegiatan penambangan dilakukan, proses

penambangan sehingga sesudah proses penambangan. Berkaitan dengan

Undang-Undang Mineral dan Batubara, yang disebut dengan pertambangan

mineral adalah pertambangan kumpulan dari mineral yang berupa bijih atau

18
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
22

batuan, diluar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah (Pasal 1 angka 4

Undang-Undang Minerba).

Pengertian pertambangan menurut Asril secara sederhana adalah suatu

kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuati berupa hasil tambang baik

mineral, minyak, gas bumi dan batu bara dengan cara penggalian ke dalam tanah

(bumi)19.

Sehingga kegiatan pertambangan dapat dikatakan bahwa kegiatan untuk

mengoptimalkan pemanfaatan dari sumber daya alam tambang (bahan galian)

yang ada didalam bumi Indonesia.

2. Ruang Lingkup Hukum Pertambangan

Menurut Salim, seperti yang dikutip oleh Asril (17), ruang lingkup dari

hukum pertambangan meliputi pertambangan umum dan pertambangan minyak

dan gas bumi. Pertambangan umum merupakan pertambangan bahan galian

selain dari minyak dan gas bumi, terbagi atas lima golongan yaitu:

1) Pertambangan mineral radiokatif;


2) Pertambangan mineral logam;
3) Pertambangan mineral non logam;
4) Pertambangan batuan; dan
5) Pertambangan batubara dan panas bumi.20

Mengenai jenis pertambangan bahan galian tersebut, terkait dengan

pertambangan mineral radiokatif contohnya yaitu radium, thorium, uranium.

Terkait dengan mineral logam contohnya yaitu emas, nikel dan tembaga. Terkait

dengan mineral non logam contohnya yaitu intan dan bentonit. Terkait dengan

19
Asril. 2014. Dampak Pertambangan Galian C Terhadap Kehidupan Masyarakat Kecamatan Koto
Kampar Hulu Kabupaten Kampar. Jurnal Kewirausahaan. Vol 13 No.1 Menara Riau Hal. 24
20
Salim. 2020. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta. Rajawali Pers. Cetakan kelima hal. 9-
11, dalam Asril. 2014. Dampak Pertambangan Galian C Terhadap Kehidupan Masyarakat
Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar. Jurnal Kewirausahaan. Vol 13 No.1 Menara
Riau Hal. 24
23

batuan contonya yaitu andesit, tanah liat, tanah urug, kerikil galian dari bukit,

kerikil sungai dan pasir urug. Terakhir yaitu terkait dengan pertambangan batu

yang berasal dari endapan karbon yang ada didalam bumi, contohnya yaitu

batuan aspal, bitumen padat dan gambut (pasal 1 angka 5 UU Minerba) dan

panas bumi contonya yaitu minyak bumi.

Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal masyarakat yaitu

komoditas pertambangan mineral non logam yang antara lain emas, tembaga,

nikel dan komoditas batubara. Selain komoditas mineral non logam, komoditas

pertambangan batuan pun memiliki peranan yang penting dalam memberikan

dukungan untuk pembangunan infrastruktur seperti pembangunan perumahan,

perkantoran dan jalan.

3. Izin Usaha Pertambangan Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara

Terkait dengan izin dari usaha pertambangan, secara umum telah diatur

didalam UU Minerba. Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh orang atau

masyarakat atau badan usaha dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Ilegal mining merupakan kegiatan pertambangan yang dilakukan tanpa

adanya izin dari pejabat yang berwenang.

2) Legal Mining merupakan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh

masyarakat atau badan usaha atau badan hukum yang didasarkan pada izin

yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.


24

Bentuk dari izin usaha pertambangan berdasarkan UU Minerba, secara

umum ada 9 bentuk izin pertambangan yaitu21:

1) Izin Usaha Pertambangan (IUP)

Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat diberikan kepada badan usaha,

koperasi, dan perusahaan perorangan.22 Pemberian izin usaha dalam bentuk IUP

terdiri atas dua tahap kegiatan, yaitu sebagai berikut:

- Eksplorasi merupakan kegiatan yang meliputi penyelidikan umum,

eksplorasi dan studi kelayakan.

- Operasi Produksi merupakan kegiatan yang meliputi konstruksi,

penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan

dan/atau pemanfaatan, serta pengangkutan dan penjualan.23 Izin usaha

pertambangan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat:

a. profil perusahaan;

b. lokasi dan luas wilayah;

c. jenis komoditas yang diusahakan;

d. kewajiban menempatkan jaminan kesungguhan Eksplorasi;

e. modal kerja;

f. jangka waktu berlakunya IUP;

g. hak dan kewajiban pemegang IUP;

h. perpanjangan IUP;

21
Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
22
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU Minerba)
23
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
25

i. kewajiban penyelesaian hak atas tanah;

j. kewajiban membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah,

termasuk kewajiban iuran tetap dan iuran produksi;

k. kewajiban melaksanakan Reklamasi dan Pascatambang;

l. kewajiban menyusun dokumen lingkungan; dan

m. kewajiban melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat

di sekitar WIUP.24

Berdasarkan pasal 40 UU Minerba menyatakan bahwa “IUP sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis Mineral atau

Batubara”. Artinya IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam

pemberian IUP tersebut. Jika dalam WIUP yang dikelola ada ditemukannya

mineral atau batubara lain yang tidak disebutkan di dalam IUP, maka untuk

mengusahakannya wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada menteri.

Karena pemilik IUP di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) tersebut

diberikan prioritas oleh Menteri untuk mengelola, sehingga dapat memiliki lebih

dari 1 (satu) IUP. Syarat untuk pemegang IUP lebih dari 1 (satu) adalah IUP

yang dimiliki oleh BUMN atau IUP untuk komoditas Mineral bukan logam

dan/atau batuan.

Namun, jika pemilik IUP tersebut tidak berminat untuk mengelola

komoditas tambang lain tersebut, maka dapat menyatakan tidak berminat untuk

mengusahakannya dan Menteri dapat memberikan Izin Usaha Pertambangan

tersebut kepada pihak lain.

2) Izin Pertambangan Rakyat (IPR)

24
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU Minerba)
26

Definisi dari izin pertambangan rakyat berdasarkan pasal 1 angka 10 UU

Minerba menyebutkan “Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut

IPR, adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan dalam wilayah

pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.” Dikatakan

terbatas, karena dalam pelaksanaannya berbeda dengan izin usaha pertambangan

(IUP) yang wilayah pertambangannya lebih luas.

Izin pertambangan rakyat (IPR) menurut pasal 67 UU Minerba, diberikan

oleh Menteri kepada perseorangan yang merupakan penduduk setempat dengan

luas wilayah maksimal 5 (lima) hektare dan koperasi yang anggotanya

merupakan penduduk setempat dengan luas wilayah maksimal 10 (sepuluh)

hektare.

Untuk memperoleh IPR tersebut maka pemohon wajib menyampaiakannya

dengan surat permohonan kepada menteri tersebut dengan jangka waktu paling

lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5

(lima) tahun.25 Pemegang IPR wajib:

a) melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah

IPR diterbitkan;

b) mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan

pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang

berlaku;

c) mengelola lingkungan hidup bersama Menteri;

d) membayar iuran Pertambangan Rakyat; dan

25
Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut
UU Minerba)
27

e) menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan

rakyat secara berkala kepada Menteri.

3) Izin usaha pertambangan khusus (IUPK)

Izin usaha pertambangan khusus diberikan oleh menteri dengan

memperhatikan kepentingan daerah untuk satu jenis mineral logam atau

batubara dalam satu WIUPK.26 Wilayah usaha pertambangan khusus (WIUPK)

merupakan wilayah yang memiliki potensi, data, ketersediaan dan informasi

geologi berupa mineral dan/atau yang dapat diusahakan guna kepentingan

strategis nasional.

IUPK dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum baik

BUMN, BUMD maupun badan usaha swasta. Badan usaha milik negara dan

daerah mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. Sedangkan badan usaha

swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK

(wilayah izin usaha pertambangan khusus) dengan mempertimbangakan luas

WIUPK yang akan dilelang, kemampuan administratif/manajemen, kemampuan

teknis dan pengelolaan lingkungan dan kemampuan finansial.27 Sama hal nya

dengan izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK)

terdiri atas 2 (dua) tahap, yaitu sebagai berikut:

- “IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan

studi kelayakan;

26
Pasal 74 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut
UU Minerba)
27
Pasal 75 ayat (2), (3), (4, dan (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan
ini disebut UU Minerba)
28

- IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan”.28

Berdasarkan UU Minerba, pemegang IUP eksplorasi sudah dijaminkan untuk

melanjutkan kegiatan produksi dengan mendapatkan IUPK Produksi, yang

diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia yang sudah

memiliki data hasil kajian studi kelayakan. Dalam rangka konservasi Mineral

dan batubara, pemilik IUPK Operasi Produksi dapat mengajukan permohonan

untuk mengajukan perluasan wilayah izin usaha pertambangan khusus yang

diajukan kepada Menteri.29

4) Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB)

Surat izin penambangan batuan adalah “izin yang diberikan untuk

melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk

keperluan tertentu”30.

Berdasarkan UU Minerba, BAB XIA tentang Surat Izin Penambangan Batuan

menjelaskan bahwa SIPB diterbitkan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari

badan usaha milik daerah/badan usaha milik desa, badan usaha swasta dalam

rangka penanaman modal dalam negeri, koperasi atau perusahaan perorangan.

Permohonan tersebut ditetapkan bagi yang telah memenuhi persyartan

adminsitratif, teknis, lingkungan dan finansial serta harus dilengkapi dengan

28
Pasal 76 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
29
Pasal 83B Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
30
Pasal 1 angka 13b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
29

koordinat dan luas wilayah batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu

yang dimohon.

Tahap kegiatan dari SIPB adalah kegiatan perencanaan, penambangan,

pengelolaan serta pengangkutan dan penjualan. Namun kegiatan penambangan

tersebut dapat dilakukan oleh pemegang SIPB setelah memenuhi dokumen

perencanaan penambangan, yang terdiri atas:31

- “dokumen teknis yang memuat paling sedikit informasi cadangan dan

rencana Penambangan;dan

- dokumen lingkungan hidup”.

5) Izin Penugasan

Berdasarkan Pasal 35 ayat (3) huruf f, menyebutkan bahwa “izin penugasan

adalah izin rangka pengusahaan Mineral radioaktif sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran”. Izin penugasan

dikeluarkan dalam rangka melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan dari

Batubara. Sehingga pemerintah dapat memberikan penugasan kepada lembaga

riset negara, lembaga riset daerah, BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan

usaha swasta untuk melakukan penyelidikan dan penelitian dan/atau kegiatan

pengembangan proyek pada wilayah penugasan.

6) Izin Pengangkutan dan Penjualan

lzin Pengangkutan dan Penjualan adalah “izin usaha yang diberikan kepada

perusahaan untuk membeli, mengangkut, dan menjual komoditas tambang

31
Pasal 86 A angka (8) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
30

Mineral atau Batubara”.32 Sehingga dalam hal ini sekalipun suatu perusahaan

tidak melakukan usaha pertambangan dalam hal kegiatan eksplorasi dan operasi

produksi, wajib memiliki izin yang dikeluarkan oleh Menteri. Sehingga setiap

perusahaan yang memiliki izin pengangkutan dan penjualan nantinya

berkewajiban untuk membayar pajak penjualan yang besarnya diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

7) IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak perjanjian

IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian adalah “izin usaha

yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya pelaksanaan Kontrak

Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara”. Sama

halnya dengan izin pertambangan lainnya, IUPK sebagai kelanjutan operasi

kontrak perjanjian diberikan oleh Menteri dan wajib memberikan laporan

pelaksanaan dari kelanjutan operasi kontrak perjanjian. Karena pada dasarnya

Menteri akan melakukan pengawasan terhadapa pelaksanaan kegiatan usaha

pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IUPK, IUPK sebagai

Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, IPR, SIPB, Izin Pengangkutan dan

Penjualan, atau IUJP, kegiatan tersebut meliputi:33

a) Teknis pertambangan

b) Produksi dan pemasaran

c) keuangan;

d) pengolahan data Mineral dan Batubara;

32
Pasal 1 angka 13 b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
33
Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
31

e) konservasi sumber daya Mineral dan Batubara;

f) keselamatan Pertambangan;

g) pengelolaan lingkungan hidup, Reklamasi, dan Pascatambang;

h) pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan

rancang bangun dalam negeri;

i) pengembangan tenaga kerja teknis Pertambangan;

j) pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; dan

k) penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi Pertambangan.

8) Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP)

Izin usaha jasa pertambangan (IUJP) berdasarkan Pasal 1 angka 13d UU

Minerba adalah izin yang diberikan untuk melakukan usaha jasa pertambangan

inti yang berkaitan dengan tahapan dan/atau bagian dari kegiatan usaha

pertambangan. Misalnya terkait dengan tahap penyelidikan umum, eksplorasi,

studi kelayakan dan operasi produksi. Izin usaha jasa pertambangan sama

dengan izin pertambangan lainnya diberikan oleh Menteri dan Menteri

bertanggungjawab untuk melaksanakan pembinaan atas pelaksanaan dari

kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan.

9) IUP untuk Penjualan.

Berdasarkan pasal 105 UU Minerba menjelaskan bahwa, IUP penjualan

diberikan oleh Menteri yang diperuntukkan kepada badan usaha yang tidak

bergerak pada usaha operasi produksi pertambangan . Hasil penjualan mineral

dan/atau batubara tersebut nantinya akan dikenai iuran produksi atau pajak

daerah sesaui dengan peraturan perundang-undangan dan wajib menyampaikan

laporan hasil penjualan yang tergali kepada Menteri.


32

4. Pertambangan Emas Tanpa Izin

Pertambangan emas tanpa izin adalah kegiatan pertambangan yang

dilakukan oleh orang atau masyarakat tanpa adanya izin dari pejabat yang

berwenang. Penambang emas tanpa izin sangat sulit di hindari, karena PETI

tersebut merupakan suatu kesalahan akses dari masyarakat untuk memanfaatkan

sumber daya alam yang kemudian berdampak negatif kepada daerah. Hal

tersebut dikarenakan keterbatasannya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam

mengelola sumber mineral (emas) tersebut yang ada didaerahnya untuk

menunjang taraf hidup dan ekonomi masyarakat. Penambangan tanpa izin

umumnya dilakukan oleh penambang kecil tradisional yang mana lahan tersebut

merupakan warisan dari generasi ke generasi sehingga pelaku menganggap tidak

memerlukan izin untuk kegiatan tambang tersebut.

Menurut Mark L. Wilson, kegiatan usaha pertambangan tanpa izin memang

dapat menunjang ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah tersebut, tetapi akan

menimbulkan kerusakan lingkungan atau tata ruang penggunaan lahan dan

mengabaikan perlindungan terhadap keselamatan kerja karena tidak adanya

standarisasi kerja34. Sehingga dapat dikatakan kegiatan pertambangan emas

tanpa izin dapat memberikan dampak negatif kepada daerah, diantaranya

menimbulkan kerusakan lingkungan, dan timbulnya pasar-pasar gelap sehingga

mengabaikan dari pajak resmi penjualan produk tambang.

5. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pertambangan Emas Tanpa Izin

34
Mark L.Wilson, Elisha Renne, dkk. 2015. Integrated Assessment Of Artisanal and Small-Scale
Gold mining in Ghana part 3: Sosial Sciences an Economics”. International Journal of
Environmental Research an Public Healt. Hal 8134
33

Pengaturan terkait dengan kejahatan penambangan tanpa izin, diatur didalam

UU Minerba, dalam BAB XXIII tentang ketentuan pidana, yaitu:

• “Pasal 158 : Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00

(seratus miliar rupiah)”35.

Berdasarkan substansi pasal diatas, unsur-unsur yang harus dipenuhi agar

perbuatan yang dimaksud dikategorikan sebagai pertambangan tanpa izin

sehingga dapat dipidana dengan penjara dan denda adalah:

a. Frasa “setiap orang” ditujukan kepada orang, kelompok, koperasi,

dan/atau badan usaha yang melakukan usaha pertambangan tanpa

memiliki izin resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Izin

resmi tersebut berupa IUP, IPR,IUPK, SIPB, IUPK sebagai Kelanjutan

Operasi Kontrak Perjanjian, Izin Penugasan, IUP Penjualan, Izin

pengangkutan dan Penjualan, dan IUJP .

b. Pada prinsipnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 tentang

Pertambangan mineral dan Batubara menganut sistem legalitas tunggal.

Sistem legalitas tunggal berarti dalam pelaksanaan usaha pertambangan

hanya beraku untuk satu jenis mineral atau batubara saja, apabila dalam

pelaksanaannya pemilik izin usaha pertambangan memproduksi mineral

lain selain yang tercantum pada izin, maka juga dapat dijatuhi pidana

berdasarkan pasal 158 ini.

35
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
34

Apabila unsur-unsur pidana pada pasal 158 telah terpenuhi, maka pelaku

usaha pertambangan tanpa izin ini dapat dijatuhi hukuman sebagai berikut:

• “Pasal 160 ayat (2) : Setiap orang yang mempunyai IUP atau IUPK

Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)”36.

Pada dasarnya usaha pertambangan terdapat dua tahap yaitu eksplorasi dan

eksploitasi. Sehingga seluruh rangkaian persyaratannya dalam pengeluaran

izinnya pun harus sesuai dengan prosedur. Berdasarkan pasal 160 UU Minerba,

pemegang IUP atau IUPK eksplorasi melakukan kegiatan produksi juga dapat

dikategorikan sebagai perbuatan pidana, karena dalam melakukan kegiatan

produksi pelaku usaha pertambangan wajib memiliki IUP atau IUPK Produksi.

Sehingga perbuatan pidana berdasarkan pasal 160 UU Minerba tersebut dapat

dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milyar).

• Pasal 161 : “ Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan

Pengolahan dan/atau Pemurnian, Pengembangan dan/atau Pemanfaatan,

Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal

dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105

36
Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
35

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda

paling banyak Rp 100.000.00O.00O,00 (seratus miliar rupiah).”37

Berdasarkan substansi dari pasal 161 UU Minerba diatas, dapat dikatakan

bahwa jika orang, masyarakat, badan usaha dan/atau koperasi melakukan

kegiatan usaha pertambangan tanpa didasarkan izin yang dikeluarkan oleh pihak

yang berwenang atau tidak berasal dari pemegang IUP,IUPK, IPR atau SIPB

maka perbuatan tersebut juga dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Jika

dipenuhi unsur-unsur berdasarkan pasal 161 tersebut, maka dapat dipidana

dengan pidana penjara lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp

100.000.00O.00O,00 (seratus miliar rupiah).”

• Pasal 163

(1) “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini

dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda

terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan

hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3

(satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang

dijatuhkan.

(2) “Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan

hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum”.38

37
Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut UU
Minerba)
38
Pasal 163 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Jo Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubaru (selanjutnya dalam penulisan ini disebut
UU Minerba)
36

Berdasarkan substansi dari Pasal 163 UU Minerba diatas, subjek hukum yang

melakukan tindak pidana pertambangan tanpa izin merujuk pada badan hukum.

Mengenai kegiatan pertambangan tanpa izin ini dilakukan oleh suatu badan

hukum maka sanksi pidana yang dijatuhkan tidak sama dengan kegiatan

pertambangan tanpa izin yang dilakukan perorangan. Secara rinci dijelaskan

bahwa adanya pemberatan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada badan hukum

selain pidana penjara, yaitu mengenai pengaturan pidana denda dengan

pemberatan 1/3 (satu per tiga) dari ketentuan maksimum denda yang dijatuhkan.

Selain pidana penjara dan pemberatan pidana denda, badan hukum tersebut juga

dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan

status badan hukum.

• Pasal 164

“ Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159,

Pasal 160, Pasal 161, Pasal 161 A, Pasal 161 B, dan Pasal 162 kepada

pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:

a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak

pidana;

b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

dan/atau

c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.”

Sehingga dari substansi pasal-pasal mengenai ketentuan pidana kejahatan

pertambangan tanpa izin diatas, dapat dikatakan unsur-unsur delik yang

dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap terjadinya

kejahatan penambangan tanpa izin, yaitu sebagai berikut:


37

a. Seseorang, masyarakat, badan usaha melakukan usaha penambangan tanpa

memiliki IUP, IPR, IUPK, SIPB, atau IUJP yang dikeluarkan oleh pejabat

yang berwenang;

b. Melakukan kegiatan eksplorasi tanpa memiliki IUP, IUPK, atau SIPB;

c. Memanfaatkan, menampung, melakukan pengolahan dan pemurnian,

pengangkutan, penjualan mineral dan batubara tanpa IUP, IUPK, IPR,

SIPB, IUP Penjualan, atau Izin Pengangkutan dan Penjualan.

C. Tinjauan Umum Tentang Kepolisian

1. Pengertian Polisi

Pengertian Polisi dijelaskan didalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia adalah “ segala

hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan

peraturan perundang-undangan”. Pasal diatas memiliki 2 (dua) makna yaitu

mengenai fungsi kepolisian dan lembaga dari kepolisian. Lembaga kepolisian

dapat dikatakan sebagai suatu organ yang dibentuk pemerintah secara terstruktur

yang diberikan kewenangan untuk menjalankan fungsi dari kepolisian ini sendiri

yang fungsinya sudah diatur didalam peraturan perundang-undangan.

Sedangkan mengenai fungsi dari kepolisian disebutkan didalam Pasal 5 angka

(1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik

Indonesia, menjelaskan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia

merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan,


38

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpelliharanya

keamanan dalam negeri”39.

Berdasarkan substansi pasal diatas dapat diketahui bahwa polisi merupakan

alat atau badan yang dibentuk oleh negara dalam menjaga dan memelihara yang

berkaitan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat baik dalam mencegah

terjadinya pelanggaran atau kejahatan dengan memberikan pengayoman, serta

menegakkan hukum dengan memberikan perlindungan dan pelayanan kepada

masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa polisi dan masyarakat tidak dapat

dipisahkan, karena jika tidak ada masyarakat maka tidak akan ada polisi.

Begitupun sebaliknya jika tidak ada polisi, maka kegiatan sehari-hari tidak akan

berjalan dengan lancar dan kondusif.

Pernyataan diatas sejalan dengan pendapat W.J.S. Poerwadarminta40 yang

mendefiniskan kata polisi sebagai badan pemerintahan yang memiliki tugas

memelihara keamanan dan ketertiban umum seperti menangkap orang yang

melanggar undang-undang atau pegawai negara yang bertugas menjaga

keamanan.

2. Tugas dan Wewenang Polisi

Tugas dari Polisi dijelaskan didalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia adalah:41 “memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan

perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.

39
Pasal 5 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia
40
W.J.S.Poerwadarminta. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN Balai Pustaka.Jakarta. Hal
763 dalam Kasman Tasaripa. 2013. Tugas dan Fungsi Kepolisian Dalam Perannya Sebagai
Penegak Hukum Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Jurnal Ilmu
Hukum Legal Opinion Edisi 2 Volume 1. Hal 03
41
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
39

Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa polisi merupakan badan yang

dibentuk untuk melakukan penegakan hukum serta pembina ketertiban dan

keamanan masyarakat. Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa polri

dengan keberadaannya memiliki tugas, yakni:

a. Melakukan perlindungan terhadap masyarakat;

b. Melakukan penegakan hukum;

c. Melakukan pencegahan terhadap pelanggaran hukum

d. Melakukan pembinaan keamanan dan ketertiban dari masyarakat.

Sehingga dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, polisi menurut pasal 14

ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik

Indonesia adalah:42

a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap

kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap

hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

pengamanan swakarsa;

42
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia
40

g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan

lainnya;

h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas

kepolisian;

i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk

memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi

manusia;

j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya

dalam lingkup tugas kepolisian; serta

l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sehingga dalam hal ini polisi merupakan organ berperan aktif dalam

pembinaan kepada masyarakat serta dalam penegakan hukum. Pembinaan yang

di maksud adalah polisi memiliki tugas dan wewenang untuk mewujudkan

keinginan hukum agar menjadi suatu kewajiban dan ditaati oleh masyarakat.

D. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Dalam Pertambangan

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum atau Law enforcement yaitu suatu bentuk usaha untuk

mewujudkan citra moral yang terkandung di dalam hukum, yang bisa ditegakkan

oleh aparat penegak hukum. Menurut Barda Nawawi, penegakan hukum adalah
41

usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa keadilan

dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan tersebut, ada dua

pilihan sarana yang dapat diberikan kepada pelaku yaitu berupa sarana pidana

dan non pidana yang dapat dikaitkan satu sama lain. Artinya adalah ketika sarana

pidana yang dijalankan oleh aparat penegak hukum, secara otomatis juga

dijalankan politik pidana. Politik pidana ini berarti mengadakan pemilihan untuk

mencapai hasil hukum atau aturan pidana yang sesuai dengan situasi pada suatu

waktu dan masa yang akan datang. 43

Sehingga berdasarkan pendapat dari Barda Nawawi diatas, dapat dikatakan

bahwa penegakan hukum merupakan suatu proses penanggulangan kejahatan

dengan dua pilihan yaitu pidana atau non pidana guna mewujudkan keadilan.

Jika dalam penanggulangan kejahatan tersebut dilakukan dengan jalan pidana,

maka secara langsung menjalankan aturan hukum yang dibentuk oleh badan

pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam bentuk peraturan-peraturan

hukum.

2. Konsep dan Unsur-Unsur Penegakan Hukum

Menurut Reksodipuro ada tiga konsep dalam penegakan hukum, yaitu sebagai

berikut:44

a) Total enforcement concept, konsep yang menuntut agar semua nilai yang
ada pada norma hukum harus ditegakkan tanpa terkecuali.
b) Full enforcement concept, konsep yang menyatakan bahwa konsep total
perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan dari
kepentingan individual.
c) Actual enforcement concept, konsep yang muncul ketika diyakini adanya
diskresi dalam penegeakan hukum karena keterbatasan baik dari kualitas

43
Barda Nawawi Arief. 2002. Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Hal
109
44
Mardjono Reksodipuro. 1997. Kriminologi dan sistem peradilan pidana kumpulan karangan buku
kedua, pusat pelayanan keadilan dan pengabdian hukum lembaga kriminologi. Jakarta. Universitas
Indonesia. Hal 56
42

sumber daya manusia, kurangnya pastisipasi dari masyarakat, kualitas


perundang-undangan dan sarana-prasarana.

Hukum sebagai sebuah sistem, dapat berperan dengan baik dan benar di

tengah masyarakat jika dilengkapi dengan instrumen pelaksanaan disertai

dengan kewenangannya dibidang penegakan hukum. Penegakan hukum dapat

berlangsung jika terjadi pelanggaran hukum, akibatnya hukum yang dilanggar

tersebut harus ditegakkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Sehingga dalam menegakkan hukum, tentunya memperhatikan tujuan

atau unsur utama dalam penegakan hukum. Menurut Hasaziduhu dalam

jurnalnya menyatakan ada 3(tiga) tujuan atau unsur utama yang harus

diperhatikan dalam penegakan hukum, yaitu sebagai berikut:45

a. Kepastian Hukum (rechtssicherheit);

Kepastian hukum bagi setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya


sebuah hukum dalam hal terjadinya suatu peristiwa yang konkrit. Karena
pada dasarnya hukum bersifat mengikat dan mengatur setiap orang, artinya
adalah ketika seseorang melanggar hukum maka harus ditegakkan sesuai
dengan apa yang telah diatur tanpa membeda-bedakan subjek atau pelaku
yang melanggar tersebut.46

Sehingga dalam penegakan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum

bersifat menyamaratakan. Hukum yang telah berlaku pada dasarnya tidak

boleh menyimpang, hal tersebut dikenal dengan istilah fiat justitia et pereat

mundus (meskipun dunia akan runtuh hukum harus ditegakkan).

b. Keadilan (Gerechtigkeit);

“Keadilan merupakan harapan yang terpenuhi dalam penegakan hukum.

Keadilan dalam penegakannya bersifat subkjektif, individualistis, dan tidak

45
Hasaziduhu Moho. 2019. Penegakan Hukum di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum,
Keadilan dan Kemanfaatan. Jurnal Warta Edisi:59 ISSN 1829-7463 Universitas Dharmawangsa.
Hal 07
46
Ibid
43

menyamaratakan.”47 Namun dalam penegakan hukum, keadilan bukanlah

satu-satunya unsur yang harus ditegakkan, keadilan selalu berdampingan

dengan kepastian dan kemanfaatan hukum. Karena jika hanya

memperhatikan unsur keadilan, sedangkan kepastian dan kemanfaatan

diabaikan maka hukum tersebut tidak berjalan dengan baik.

c. Kemanfaatan (Zweckmassigkeit).

“Kemanfaatan merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dalam mengukur

suatu keberhasilan dalam penegakan hukum. Karena hukum dibentuk untuk

manusia, sehingga dalam pelaksanaan penegakan hukum harus dapat

memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat”.48 Hukum ditegakkan

bukan hanya sekedar untuk membalas suatu perbuatan pidana atau

memberikan efek jera kepada si pelaku, namun hukum harus mempunyai

tujuan-tujuan tertentu yang memiliki manfaat kepada masyarakat khususnya

berkaitan dengan ketertiban dan memberikan kebahagiaan kepada

masyarakat itu sendiri.

Sehingga dalam penegakan hukum tentunya harus memperhatikan unsur

kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Penegakan hukum jika

menitikberatkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kepastian dan

kemanfaatan dikesampingkan maka hukum tidak berjalan dengan baik.

Sebaliknya, jika menitikberatkan kepada kemanfaatan, sedang keadilan dan

kepastian dikesampingkan maka hukum tersebut tidak jalan. Idealnya adalah

dalam menegakkan hukum maka ketiga unsur tersebut dijalankan atau

diterapkan secara seimbang.

47
Ibid
48
Ibid
44

3. Penegakan Hukum Dalam Bidang Pertambangan Tanpa Izin

Upaya penegakan hukum terkait dengan penambangan tanpa izin dapat

menggunakan berbagai instrumen hukum, yaitu pidana, administrasi ataupun

perdata. Namun dalam penelitian ini upaya hukum yang difokuskan yaitu

penggunaan upaya hukum pidana. Ketentuan pidana tersebut ditegaskan dalam

pasal 158 UU Minerba yang menyatakan bahwa bagi setiap orang yang memiliki

usaha pertambangan tanpa memiliki IUP,IPR dan IUPK maka akan diancam

dengan pidana penjara paling lama ancamannya yaitu 10 tahun dan denda

maksimal yaitu Rp.10.000.000,00 (sepuluh milyar). Namun dalam membongkar

kejahatan penambangan tanpa izin tidaklah mudah, karena daerah penambangan

umumnya merupakan daerah pedalaman yang jauh dari keramaian, susah akses

jalannya dan sepi dari petugas. Sehingga dibutuhkannya pengawasan ketat dan

kerja sama antara aparat kementrian pertambangan, kepolisian dan pemerintah

daerah setempat.

Anda mungkin juga menyukai