Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

A. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda, yaitu strafbaar feit yang terdiri

dari tiga suku kata yaitu straf yang diterjemahkan sebagai pidana atau hukum, kata baar

yang diterjemahkan dapat atau boleh, dan kata feit yang diterjemahkan sebagai tindak,

peristiwa, pelanggaran atau perbuatan.1 Berdasarkan uraian tersebut maka strafbaar feit

dapat dikatakan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, atau perbuatan yang dapat atau

boleh dipidana atau dikenakan hukuman. Tindak pidana dalam Kamus Lengkap Bahasa

Indonesia diartikan sebagai perbuatan jahat, perbuatan pidana, tingkah laku, dan sepak

terjang.2

Roeslan Saleh, mengatakan bahwa tindak pidana adalah setiap perbuatan yang oleh

masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan

sehingga perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu,

sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan

tercapainya tatanan dalam pergaulan yang dicita-citakan masyarakat.3

Schaffmeister mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang

termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik bersifat melawanhukum, dan dapat dicela.

Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam

dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan

yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Van Hamel

merumuskan sebagai berikut: straffbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)

1
Adami Chawari, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 69.
2
EM Zul Fajri, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 819.
3
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grapindo Persada,2012, hlm. 8.
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana

(strafwaardig) dan dilakukan dengankesalahan.4

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan

melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang

lain atau merugikan kepentingan umum. Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu

kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan undang-undang, jadi suatu

kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan

pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut5.

R. Abdoel Djamali, mengatakan bahwa peristiwa Pidana atau sering disebut

Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat

dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa

pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Tindak Pidana merupakan suatu

perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran, baik yang

disebutkan dalam KUHP maupun peraturan perundangundangan lainnya6.

Hal senada juga dikemukakan Indriyanto Seno Adji mengatakan tindak pidana

adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum,

terdapat suatu kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya.7Wirjonno Prodjodikoro menjelaskan bahwa strafbaar feit dapat diartikan

4
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 61.
5
Ibid, hlm, 20.
6
Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm 493.
7
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa kesalahan, Jakarta: Kencana, 2015, hlm. 27.
sebagai tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum

pidana.8

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu

sebagai berikut:9

1. Unsur-unsur yang dilihat dari sudut teoritis, yaitu unsur-unsur yang dikemukakan
berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyirumusannya.
2. Unsur-unsur yang dilihat dari sudut undang-undang yang merupakan unsur-unsur
tindak pidana dilihat dari kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak
pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

Teguh Prasetyo juga mengemukakan beberapa hal yang menjadi unsur dalam suatu

tindak pidana, yaitu sebagai berikut:

1. Unsur Objektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di luar pelaku dan berhubungan
dengan keadaan. Unsur-unsur ini antara lain sebagai berikut:
a) Sifat melanggarhukum
b) Kualitas (jabatan)pelaku
c) Klausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakansebagai penyebab dengan
kenyataan sebagaiakibat.
2. Unsur Subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat atau melekat pada diri pelaku
dan termasuk segala sesuatu yang ada di dalam hati pelaku. Unsur-unsur ini terdiri
dari beberapa hal,yaitu:
a. Kesengajaan atau tidak sengaja (dolus atauculpa)
b. Maksud pada suatu percobaan (Pasal 53 ayat (1)KUHP)
c. Perencanaan
d. Perasaan takut (Pasal 308KUHP)10

Selanjutnya Moeljatno mengatakan meskipun perbuatan pidana pada umumnya

adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun adakalanya dalam

perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif adalah

unsur yang terdapat dalam diri pelaku tindak pidana yang meliputi: kesengajaan, kealpaan,

niat, maksud, dengan rencana lebih dahulu, dan perasaan takut.11

Dalam arti sempit, dari segi subjeknya, penegakan hukum hanya diartikan sebagai

upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu

8
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT.Eresco, 1981, hlm.
12.
9
Sudarto, Hukum Pidana, Semarang: Universitas Diponegoro, 1997, hlm. 12.
10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 50.
11
Ibid, hlm. 19.
aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum,

adiperlukan aparatur penegak hukum yang diperkenankan untuk menggunakan daya

paksa. Ditinjau dari sudut objeknya, mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti

luas, penegakan hukum mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi

aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam arti

sempit, penegakan hukum hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan

tertulis12.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah, keserasian hubungan

antara nilai-nilai yang dijelaskan dalam kaidah-kaidah yang pasti dan berwujud dengan

perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan

hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun

kenyataan di indonesia kecendrungannya adalah demikian13.

2. Tindak Pidana Penggelapan dan Unsur-Unsurnya

Tongat, mengemukakan penjelasannya mengenai tindak pidana penggelapan yaitu :

Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV KUHPidana lebih tepat disebut

sebagai “tindak pidana penyalahgunaan hak”atau “penyalahgunaan kepercayaan”. Sebab,

inti dari tindak pidana yang diatur dalam BAB XXIV KUHPidana tersebut adalah

“penyalahgunaan hak”atau “penyalahgunaan kepercayaan”. Karena dengan penyebutan

tersebut maka akan lebih memudahkan bagi setiap orang untuk mengetahui perbuatan apa

yang sebenarnya dilarang dan diancam pidana dalam ketentuan tersebut14. Selanjutnya,

Tongat, menegaskan perihal telaah pengertian tentang penggelapan ini, bahwa : Apabila

12
Bevi Septrina, dikutip dalam (Skripsi), Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penipuan Calon Jamaah Umrah Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung), Fakultas
Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung, 2017, hlm, 9-10.
13
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986,
hlm.3
14
Tongat, Hukum Pidana Materiil. UMM Press Malang, 2006, hlm, 57.
suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan karena tindak pidana, tetapi karena

suatu perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, dan

14 sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan dan

sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk diri sendiri secara melawan hukum, maka

orang tersebut berarti melakukan “pengelapan”15.

Penggelapan merupakan penyelewengan, korupsi, proses, cara atau perbuatan

menggelapkan, hal ini diatur dalam Pasal 372 KUHP.9 Menurut Cleiren inti delik

penggelapan adalah penyalahgunaan kepercayaan selalu menyangkut secara melawan

hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu.16

Barangsiapa dengan sengaja secara tidak sah memiliki barang yang seluruhnya atau

sebagian adalah kepunyaan orang lain dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, ia

pun telah bersalah melakukan tindak pidana penggelapan17.

Perumusan dari tindak pidana penggelapan ini termuat dalam Pasal 372 KUHP dari

titel XXIV buku II sebagai berikut: Dengan sengaja memiliki dengan melanggar hukum

suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dan yang ada di bawah

kekuasaannya (onder zich hebben) secara lain daripada dengan melakukan suatu

kejahatan. Penggelapan adalah perbuatan mengambil tanpa hak oleh seseorang yang telah

diberi kewenangan, untuk mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap negara, oleh

pejabat publik maupun swasta, yang memiliki unsur-unsuryaitu:18

1) Dengan sengaja dapat diartikan dengan menghendaki danmengetahui, jadi dapat


dikatakan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.
Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan di
samping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukanitu.
2) Melawan hukum. Menurut Rosa Agustina dalam menentukan suatu perbuatan dapat
dikualifisi sebagai melawan hukum diperlukan empat syarat:19

15
Ibid, hlm, 60.
16
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 107.
17
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 111.
18
Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, Depok: Kencana, 2017, hlm. 302.
19
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003,
hlm. 117.
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku
b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
c. Bertentangan dengan kesusilaan
d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
3) Barang berada di bawah kekuasaan sipelaku unsur ini adalah unsur pokok dari
“penggelapan barang” yang membedakannya dari tindak tindak pidana lain mengenai
kekayaan orang. Ditambah bahwa barang harus ada di bawah kekuasaan sipelaku
dengan cara lain dari pada dengan melakukan kejahatan. Dengan demikian tergambar
bahwa barang itu oleh yang mempunya dipercayakan atau dapat dianggap
dipercayakan kepada sipelaku. Maka pada pokoknya dengan perbuatan “penggelapan”
sipelaku tidak memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap
dilimpahkan kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang.
4) Barang yang menjadi objek penggelapan haruslah milik orang lain baik sebagian atau
seluruhnya. Perkataan seluruhnya kepunyaan orang berarti pengambil barang itu tidak
berhak sama sekali atas barang itu, sedangkan perkataan sebagian berarti ada hak
sipelaku di dalamnya, misalnya suatu warisan yang belum dibagikan. Dengan
demikian suatu barang yang tidak ada kepunyaan orang lain tidak dapat menimbulkan
tindak pidana penggelapan. Sudah jelas dan dapat diketahui barang yang digelapkan
itu adalah milik oranglain.20

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penggelapan

Adapun jenis-jenis penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai 377

KUHP, yaitu:

1. Penggelapan Biasa yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang


diatur dalam Pasal 372 yang unsur-unsurnya telah disebutkan di atas. Artinya semua
jenis penggelapan harus memenuhi bagian inti delik Pasal 372 ditambah bagian inti
lain. Bagian inti delik yang dimaksud adalah: sengaja, melawan hukum, memiliki
suatu barang yang seluruhnya atau kepunyaan orang lain, yang ada pada
kekuasaannya bukan karena kejahatan. Misalnya karena barang itu dipinjam, disewa,
dititipkan.
2. Penggelapan Ringan (Lichte Verduistering) Penggelapan ringan adalah penggelapan
yang diatur dalam Pasal 373 dimana yang digelapkan itu bukan ternak dan nilainya
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Suatu jumlah yang sudah tidak sesuai
dengan zaman. Penggelapan ini menjadi ringan terletak pada objeknya bukan ternak
dan nilainya tidak lebih dari Rp.250,00. Dengan demikian terhadap ternak tidak
mungkin terjadi tindak pidana penggelapan ringan. Di dalam Pasal 101 KUHP
dinyatakan “yang dinyatakan hewan, yaitu binatang yang berkuku satu, binatang
yang memamah biak dan babi”. Binatang yang berkuku satu misalnya kuda, keledai
dan sebagainya sedangkan binatang yang memamah biak misalnya kambing, kerbau,
sapi dan lain sebagainya. Harimau, anjing, kucing bukan termasuk golongan hewan
karena tidak berkuku satu dan 25 juga binatang yang memamah biak 21. Mengenai
nilai yang tidak lebih dari Rp.250,00 itu adalah nilai menurut umumnya.

20
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, cet ke-4, Bandung:
Eresco,1985, hlm. 31-32.
21
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1993, hlm. 105.
3. Penggelapan dengan Pemberatan (Gequaliviceerde verduistering) Penggelapan ini
diatur dalam dua pasal yaitu Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP. Penggelapan yang
diperberat pertama ialah yang diatur dalam Pasal 374 artinya suatu delik
(penggelapan, Pasal 372 KUHP sebagai delik pokok), ditambah satu bagian inti
delik lagi, yaitu dilakukan karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya atau
karena mendapat upah. Contoh, perhubungan antara majikan dan pembantu rumah
tangga atau majikan dan buruh, bengkel yang menggelapkan (menjual) mobil orang
lain yang sedang diperbaiki, binatu yang menggelapkan atau yang menjual pakaian
orang lain, tukang jahit yang menggelapkan kain atau pakaian orang yang disuruh
jahit. Kemudian penggelapan yang diperberat kedua ialah dalam Pasal 375 KUHP
yang terdiri dari unsur-unsur khusus yang sifatnya memberatkan, yakni beradanya
benda objek penggelapan di dalam kekuasaan petindak disebabkan karena, seorang
kepada siapa benda itu karena terpaksa telah dititipkan, seorang wali, seorang
pengampu, seorang pelaksana dari sebuah wasiat dan seorang pengurus dari lembaga
badan amal atas yayasan22.

B. Pengertian dan Ciri-Ciri Hukum Adat

a. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat adalah bagian dari hukum yang berasal dari adat istiadat, yakni

kaidah-kaidah sosial yang dibuat dan dipertahankan oleh para fungsionaris hukum

(penguasa yang berwibawa) dan berlaku dan dimaksudkan untuk mengatur hubungan-

hubungan hukum dalam masyarakat Indonesia. Dengan kata lain hukum adat adalah

aturan kebiasaan dalam hidup bermasyarakat. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan

kelompok-kelompok masyarakat dan lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang

seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat”. Jadi

hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat yang

bersangkutan23. Hukum adat itu ada dua unsur, yaitu:

1. Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh
rakyat.
2. Unsur psychologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat
dimaksudkan mempunyai kekuatan hukum. Unsur inilah yang menimbulkan adanya
kewajiabn hukum (opinion necescitatis)24.

22
Ibid, hlm, 106.
23
Airi Safrijal, Hukum Adat Dalam Perspektif Hukum nasional, Edisi Revisi, FH-UNMUHA PRESS,
Banda Aceh, 2017, hlm, 1.
24
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1973, hml, 7.
Berikutnya perlu kiranya dibahas beberapa pengertian tentang hukum adat yang

dikemukakan oleh beberapa para ahli, yang diantaranya sebagai berikut:

1. Menurut Cornelis van Vollenhoven


Hukum adat adalah himpunan peraturan-peraturan tentang perilaku yang berlaku
bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena
bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan
(karena adat).
2. Menurut B. Ter Haar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan
para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang memiliki kewibawaan serta
pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan ditaati dengan
sepenuh hati.
3. Menurut J.H.P. Bellefroid
Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh
penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-
peraturan tersebut berlaku sebagai hukum25.
4. Menurut Bushar Muhammad
Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkahlaku manusia Indonesia dalam
hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan
dan kesusilaan yang benar-benar hidup dimasyarakat adat karena dianut dan
dipertahankan oleh anggota masyarakatnya itu, maupun yang merupakan
keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran yang
ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat, mereka yang mempunyai
kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu
dalam keputusan lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat, dan hakim.
5. Menurut Soerojo Wignjodipoero
Hukum adat adalah suatu komplek norma yang bersumber pada perasaan keadilan
rakyat yang selalu berkembang yang meliputi peraturan tingkahlaku manusia dalam
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa
ditaati, dan dihormati oleh masyarakat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
6. Menurut Hilman Hadikusuma
Yang disebut hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi, sedangkan istilah
hukum adat yang tidak mengandung sanksi adalah kebiasaan yang normatif yaitu
kebiasaan yang berujud tingkahlaku yang berlaku di dalam masyarakat. Pada
kenyataannya antara hukum adat dengan adat kebiasaan itu batasnya tidak jelas.
7. Menurut Djaren Saragih
Hukum adat adalah suatu komplek normnorma yang bersumber pada peraturan
keadilan rakyat yang selalu berkembang yang meliputi peraturan tingkahlaku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak
tertulis, senantiasa ditaati, dan dihormati oleh masyarakat karena mempunyai akibat
hukum (sanksi)26.

25
Dewi Wulansari, C. Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2010, hml,
3-4
26
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Dalam Kajian Kepustakaan, Alfabeta, Bandung, 2008,
hlm, 23.
b. Istilah Hukum Adat

Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus-

menerus), dipertahankan oleh para pendukungnya. Kebiasaan merupakan cerminan

penjelmaan dari jiwa bangsa itu yang terus-menerus berkembang secara evolusi dari abad

ke abad. Perkembangannya itu ada yang cepat dan ada yang lamban. Secepat apapun

perkembangannya, namun tidak yang bersifat revolusioner, karena perkembangan yang

revolusioner bersifat membongkar ke akar-akarnya. Perkembangan kebiasaan, walaupun

cepat tetapi tidak membongkar semua akar kebudayaan bangsa itu, sebab di dalamnya

terdapat nilai-nilai yang menjadi dasarnya. Perkembangan selalu dilandasi oleh nilai dasar

yang menjadi pedoman mereka untuk mengubah, memperbaharui, atau menghilangkan

sesuatu bagian dari kebiasaan itu jika kebiasaan itu sudah tidak berfungsi 27.

Meskipun istilah hukum adat atau adat seperti di Aceh, dari zaman dahulu sudah

kita pakai, akan tetapi penggunaan istilah tersebut dalam berbagai literatur justru pertama

kali diperkanalkan secara ilmiah oleh C. Snouck Hurgronje, dalam bukunya “De

Atjehers”. Menyebutkan istilah hukum adat sebagai “adat recht” (bahasa belanda) yaitu

untuk memberi nama pada suatu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup

dalam masyarakat Indonesia. Pada dasarnya penegak hukum adat adalah pemuka adat

sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan

masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera28. Ketika Christian Snouck

Hurgrnoje, melakukan penelitiannya di Aceh pada tahun 1891-1892 untuk kepentingan

pemerintah penjajah Belanda yang menerjemahkannya ke dalam istilah bahasa Belanda

“adat recht” untuk membedakan antara kebiasaan atau pendirian dengan adat yang

memiliki sanksi hukum. Sejak itulah Hurgronje disebut orang yang pertama
27
Dominikus Rato, Hukum Adat (suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di Indonesia),
Laksbang PRESSindo, Yogyakarta, 2011, hlm, 1.
28
Airi Safrijal, Op. Cit, hlm, 11.
menggunakan istilah “adat recht” yang kemudian diterjemahkan sebagai hukum adat,

yang menghasilkan sebuah buku yang berjudul De Atjehers (Orang-orang Aceh) pada

tahun 1894. Selanjutnya istilah tersebut menjadi terkenal sejak digunakan oleh Cornelis

van Vollenhoven dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Het Adat-Recht van

Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda).

Sebelum istilah “adat recht” diterjemahkan, oleh Cristian Snouck Hurgronje dan

Cornelis van Vollenhoven, berbagai istilah telah dipergunakan oleh pemerintah Hindia

Belanda, hal ini dapat ditemukan dalam Peraturan Perundang-undangan Pemerintah

Hindia Belanda antara lain:

1. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving = “Ketentuan-ketentuan


Umum Perundang-undangan”) Pasal 11 dipakai istilah: “Godsdienstige Wetten,
Volksinstellingen en Gebruken”. (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-
lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
2. Dalam R.R. 1854 Pasal 75 ayat 3 : Godsdientige Wetten, in stellengen en
Gebruiken”. (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan
Kebiasaan-kebiasaan).
3. Dalam I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturaan hukum Negara Belanda
semacam Undang-Undang Dasar bagi Hindia Belanda) Pasal 128 ayat 4:
“Instelingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari Rakyat).
4. Dalam I.S. Pasal 131 ayat 2, sub. B: “Met Hunne Godsdiensten en Gewoonten
Samenhangende Rechts Regelen”. (Aturan-aturan Hukum yang Berhubungan
dengan Agama-agama dan Kebiasaan-kebiasaan Mereka).
5. Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat 2: “Godssdienstige Wetten en Oude
Herskomsten” (Peraturan-peraturan Keagamaan dan Kebiasaan-kebiasaan
Lama/Kuno). Godsdientige Wetten en Oude Herkomsten ini oleh Ind. Stbl. 1929
nr jo nr 487 diganti dengan istilah “Adat Recht”29.

c. Pengertian dan sifat hukum pidana adat

Soepomo menyatakan bahwa hukum pidana adat merupakan hukum yang

mengatur segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin

masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang

menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya.

Menurut Teer Haar, suatu delik itu sebagai tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-

29
Ibid, hlm, 12-13.
tiap gangguan pada barang-barang materiil dan immaterial milik hidup seorang atau

kesatuan orang-orang yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, yang dengan reaksi

ini keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Pada dasarnya suatu adat

delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya

yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta

keseimbangan masyarakat yang bersangkutan, guna memulihkan keadaan ini maka

terjadilah reaksi-reaksi adat30.

Istilah hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda “adat

delecten recht” atau hukum pelanggaran adat. Istilah-istilah ini tidak dikenal dikalangan

masyarakat adat31.

Menurut I Made Winyana menyatakan bahwa, hukum pidana adat adalah hukum

hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus-menerus, dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut

dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap

mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh karena itu bagi si pelanggar

diberikan reaksi adat, koreksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya 32. Dari

pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga hal pokok tentang pengertian hukum

pidana adat yaitu:

a. Rangkaian peraturan tata tertib yang dibuat, diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat
yang bersangkutan;
b. Pelanggaran terhadap tata tertib tersebut dapat menimbulkan kegoncangan karena
dianggap mengganggu keseimbangan kosmis perbuatan melanggar tata tertib dapat
disebut delik adat;
c. Pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi oleh
masyarakat adat.

30
Surojo Wionjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1968, hlm,
228
31
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1989, hlm, 20.
32
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembagan Penyusunan Konsep
KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, hlm, 73-74.
Hilman Hadikusuma menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana

adat adalah, hukum yang hidup dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak

dapat dihapuskan dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang

yang menghapuskannya, akan percuma juga malahan hukum pidana perundang-undangan

akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih dekat

hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada hukum perundangundangan.

Dari definisi hukum pidana adat di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Hukum pidana adat adalah hukum yang tak tertulis dan berfungsi sebagai
pendamping hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan;
b. Hukum pidana adat merupakan salah satu alat untuk menciptakan dan
mengembangkan hukum positif yang akan dibentuk dan akan diberlakukan dimasa
akan datang33.

Menurut I Made Widnyana, menyebutkan ada 5 (lima) sifat hukum pidana adat,

antara sebagai berikut:

1. Menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling
berhubungan sehingga hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang
bersifat pidana dan perdata.
2. Ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa
yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu
terbuka untuk segala peristiwa atau pebuatan yang mungkin terjadi.
3. Membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa pelanggaran yang
dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi
latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, dengan alam pikiran demikian
maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
4. Peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran adat sebagian
besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau
gugatan dari pihak yang dirugikan ataudiperlakukan tidak adil.
5. Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelaku tetapi
dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga
dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan
yang terganggu34.

Hukum pidana adat tidak mengadakan perpisahan antara pelanggaran hukum yang

diwajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum didalam lapangan hukum pidana dan

pelanggaran hukum hukum yang hanya dapat dituntut dalam perdata. Oleh karenanya
33
Ibid, hlm, 10.
34
I Made Widnyana, Eksistensi Delik Adat dalam Pembangunan, Universitas Udayana, Denpasar,
1992, hlm, 5.
maka sistem hukum adat hanya mengenal prosuder baik penuntutan secara perdata

maupun penuntutan secara pidana (kriminal). Ini berarti , petugas hukum adat yang

berwenang untuk mengambil tindakan-tindakan kongkret (reaksi adat), guna membetulkan

hukum yang dilanggar itu, tidak sampai hukum barat yaitu hakim pidana untuk kasus

pidana dan hakim perdata untuk kasus perdata, melainkan satu pejabat saja yaitu kepala

adat, hakim perdamaian desa atau hakim pengendalian negeri untuk semua macam

pelanggaran adat35. Pembetulan hukum yang dilanggar sehingga dapat memulihkan

kembali keseimbangan yang semula ada itu, dapat berupa sebuahtindakan saja tetapi

kadang-kadang mengingat sifatnya perlu diambil beberapa tindakan. Contohnya:

1. Pembetulan keseimbangan hanya berwujud satu tindakan saja. Contohnya utang


uang tidak membayar pada waktunya kembali. Tindakan koreksinya adalah harus
membayar kembali pinjaman.
2. Pembetulan keseimbangan diperlukan beberapa tindakan melarikan gadis pada
suku Dayak di Kalimantan. Perbuatan ini mencemarkan kesucian masyarakat yang
bersangkutan, serta melanggar kehormatan keluarga gadis tersebut. Untuk
memulihkan keseimbangan hukum diperlukan dua macam upaya, yaitu
pembayaran denda kepada keluarga yang terkena serta penyerahan seekor binatang
korban pada kepala persekutuan untuk membuat jamuan adat agar supaya
masyarakat menjadi bersih dan seimbang kembali36.

d. Corak atau ciri hukum adat

Beberapa corak yang melekat dalam hukum adat yang dapat dijadikan sebagai

sumber pengenal hukum adat, oleh karena itu adapun corak atau ciri-ciri tersebut, antara

lain yaitu:

a. Hukum adat tidak tertulis

Soejono Soekanto, menggambarkan bahwa jika suatu kebiasaan (yang pada

hakikatnya merupakan keteraturan) diterima sebagai kaidah, kebiasaaan tersebut

memiliki daya mengikat, menjadi tata kelakuan yang ciri-ciri pokoknya adalah:

1. Merupakan sarana untuk mengawasi perikelakuan warga masyarakat;

35
Surojo Wionjodipuro, Op.Cit, hlm, 229.
36
Ibid, 230.
2. Tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau sebagai patokan
yang membatasi aspek-aspek terjang warga masyarakat;
3. Tata kelakukan mengidentifikasikan pribadi dengan kelompoknya; dan
4. Tata kelakukan merupakan salah satu sarana untuk mempertahankan
solidaritas masyarakat37.
b. Prinsip musyawarah/mufakat
Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya prinsip
musyawarah/mufakat dalam mengambil keputusan, baik di dalam keluarga,
ataupun di dalam hubungan kekerabatan. Asas musyawarah/mufakat ini
didasarkan pada asas kekeluargaan, apalagi di dalam perselisihan atau
persengketaan baik yang bersifat pidana maupun perdata yang kedua bentuk
peristiwa hukum tersebut merupakan sifat “peradilan” dengan semangat itikad
baik, adil, dan bijaksana oleh orang-orang yang berwibawa dan terjaga
martabatnya ditengah-tengah masyarakat mereka. Hadih maja yang selalu
diungkapkan dalam menyelesaikan perselisihan atau persengketaan dalam
musyawarah/mufakat, berbunyi38:
c. Prinsip hukum adat/perdamaian
Perlu dipahami, bahwa sikap hidup bangsa Indonesia seperti pada masyarakat
hukum di Aceh yang berfokus pada keyakinan agama Islam. Sehingga hampir
dalam semua aspek kehidupannya, mereka terikat oleh “Syari’at Islam” dalam
arti luas, yaitu menyangkut bidang aqidah, bidang aklhak, dan bidang fiqh.
d. Prinsip Hukum Adat/Kekeluargaan (Kebersamaan)
Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksud bahwa di dalam hukum adat
lebih diutamakan kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu,
hubungan hukum antara anggota masyarakat adat didasarkan oleh rasa
kebersamaan, kekelurgaan, tolong-menolong, dan gotong royong.
e. Prinsip hukum adat/kekeluargaan (kebersamaan)
Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksud bahwa di dalam hukum adat
lebih diutamakan kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu,
hubungan hukum antara anggota masyarakat adat didasarkan oleh rasa
kebersamaan, kekelurgaan, tolong-menolong, dan gotong royong.
Menurut Airi Safrijal, yang disebut asas kekeluargaan, dimana dalam hal
terjadinya suatu peristiwa hukum, anggota keluarga serta seluruh masyarakat
duduk secara bersama-sama dalam mengambil keputusan yang dilandasi pada
asas musyawarah/mufakat, sehingga dapat dipulihkan kembali keseimbangan
dalam masyarakat, pada masyarakat Aceh disebut “duek sapat” (duduk bersama)
yang melibatkan semua komponen masyarakat dalam mengambil suatu keputusan
bersama dalam menyelesaikan masalah-masalah untuk mencapai suatu tujuan
perdamaian39.
f. Tradisional
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun-
temurun dari zaman nenek monyang sampai ke anak cucu dan cicitnya sekarang
dimana keadaannya masih tetap berlaku dan tetap dipertahankan oleh masyarakat
yang bersangkutan.
g. Keagamaan

37
Airi Safrijal, Op. Cit, hlm, 66.
38
Ibid, hlm, 69-70.
39
Ibid, hlm, 72-74.
Hukum adat itu pada umumnya “bersifat keagamaan (magis relegius)”, artinya
perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang Ghaib dan atau berdasarkan Ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa40.
h. Kongkrit dan Visual
Corak hukum adat adalah kongkrit, artinya jelas, nyata, berwujud, visual, artinya
dapat terlihat, tampak dan terbuka tidak tersembunyi. Jadi, sifat hubungan hukum
yang berlaku dalam hukum adat itu adalah terang dan tunai, tidak samar-samar,
terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain dan nampak terjadi
ijab kabul, (serah terima).
i. Terbuka dan Sederhana
Corak hukum adat terbuka, artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang
datang dari luar, asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Sederhana, artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya, bahkan
kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkaan
saling percaya mempercayai.
j. Dapat Berubah dan Menyesuaikan
Menurut Soepomo, hukum adat sebagaimana telah ditegaskan oleh Mr. Cornellis
van Vollenhoven, dinyatakan sebagai berikut: “Hukum adat terus menerus dalam
keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum adat pada
waktu yang telah lampau agak berbeda isinya, hukum adat menunjukkan
perkembangan, dan seterusnya”.
Beberapa literatur mengungkapkan bahwa kata adat berasal dari kata adah, yang

dalam bahasa Arab dapat berarti sebagai suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-

ulang.41Hukum adat juga dapat dikatakan sebagai suatu hal yang telah diterima dan harus

dilaksanakan oleh setiap masyarakat di suatu daerah tertentu.42

Istilah hukum adat jarang digunakan dalam kehidupan masyarakat, namun cukup

menggunakan istilah “adat” saja. Adat berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘ adat – ya‟udu –
43
‘adah atau al-‘uruf yang mengandung makna tikrar yaitu perulangan. Hal ini dapat

berarti bahwa adat dapat juga diartikan sebagai suatu perkataan dan perbuatan yang

diulang-ulang oleh suatu masyarakat.

Hal tersebut juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Zainuddin Ali, yang

menyatakan bahwa urf merupakan suatu kebiasaan (adat) istiadat yang sudah dilakukan

40
Ibid, hlm, 75.
41
I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia: Perkembangan dari Masa ke Masa, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2005, hlm. 3.
42
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 1.
43
Muliadi Kurdi, Aceh dimata Sejarawan: Rekontruksi Sejarah Sosial Budaya, Banda Aceh: Lembaga
Kajian Agama dan Sosial (LKAS), 2009, hlm. 41.
secara turun temurun di dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 44

Para ulama membagi urf (adat) kepada dua macam, yaitu sebagai berikut:45

1) Al-uruf ash-shahih (adat yang benar), yaitu adat yang tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam, sopan santu dan berbudaya yang luhur.
2) Al-uruf af-fasid (adat yang salah), yaitu adat yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam dan ketentuan perundang-undangan.

Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang

nilai budaya cipta, karya, rasa manusia. Hal ini berarti bahwa hukum adat lahir dari

kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk dapat hidup secara adil dan

beradap.Selain itu, hukum adat juga merupakan produk sosial sebagai hasil kerja bersama

(kesepakatan) dan milik bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat. 46 Setiap hukum atau

aturan mempunyai perbedaan dengan aturan hukum yang lainnya, begitu juga dengan

aturan dalam hukum adat. Hukum adat mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan

dengan aturan hukum yang lain, yaitu antara lain sebagai berikut:47

1. Tidak tertulis dalam bentuk undang-undang dan tidak terkodifikasi


2. Tidak tersusun secara sistematis
3. Tidak teratur.
4. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundang-undangan
5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan)
6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai aturan.

C. Dasar Berlakunya Hukum Adat

Dasar hukum pemberlakuan hukum adat di Aceh telah dirumuskan berdasarkan

beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:

1) UUD 1945
2) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh, yang menegaskan bahwa salah satu jenis keistimewaan yang diberikan kepada
wilayah Aceh berupa kewenangan untuk menghidupkan dan menerapkan adat yang

44
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm.
43.
Rusjdi Ali Muhammad, Kearifan Tradisional Lokal: Penerapan Syari‟at Islam dalam Hukum Adat
45

Aceh,Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011, hlm. 42.


46
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, hlm. 2.
47
Muhammad Busbar, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: PT. Penebar Swadaya, 2004,
hlm. 5.
sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang
menjelaskan pada ketentuan Bab XIII mengenai lembaga adat, yaitu pada Pasal 98
ayat (2), menyatakan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat
ditempuh melalui lembaga adat.
4) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan
Adat, menegaskan bahwa “lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan,
ketentraman, kerukunan dan ketertiban masyarakat. Selain tu juga menjelaskan bahwa
lembaga adat bertugas menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan (Pasal
5) dan bertugas sebagai hakim perdamaian (Pasal 6), serta diberikan prioritas utama
oleh aparat penegak hukum untuk menyelesaikan berbagai kasus (Pasal 10).
5) Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, yang memberikan wewenang kepada mukim untuk memutuskan
dan menetapkan hukum, memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan
perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap
perselisihan dan pelanggaran adat, memberikan kekuatan hukum terhadap suatu hal
dan pembuktian lainyan menurut adat, menyelesaikan perkara yang berhubungan
dengat adat istiadat.
6) Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, yang menegaskan bahwa tugas dan kewajiban
pemerintahan gampong untuk menyelesaikan sengketa adat, menjaga dan memelihara
kelestarian adat dan adat istiadat, memelihara ketentraman danketertiban serta
mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat, serta bersama tuha peut
dan imum meunasah menjadi hakim perdamaian.

Keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut memperkuat dan mempertegas

mengenai pelaksanaan keistimewaan Aceh dalam menegakkan syari’at Islam, termasuk

menyangkut peradilan adat Aceh. Meskipun negara mengakui tentang keberadaan

peradilan adat, namun kewenangan peradilan adat masih dibatasi oleh perkara-perkara

tertentu yang bisa diselesaikan secara peradilan adat, sebagaimana yang dirumuskan dalam

ketentuan Pasal 13 Qanun Nomor 9 Tahun 2008, yaitu sebagai berikut:48

1. Perselisihan dalam rumah tangga, yaitu permasalahan yang terjadi antara sesama
keluarga yang dapat menyebabkan keharmonisan dan kenyamanan di dalam
masyarakat dapat terganggu.
2. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraid, yaitu permasalahan yang
terjadi dalam keluarga mengenai permasalahan pembagian harta warisan yang
dianggap tidak sesuai dengan aturan hukum
3. Perselisihan antar warga, yaitu permasalahan yang terjadi antara sesama
masyarakat gampong tersebut.
4. Khalwat/ mesum, yaitu permasalahan khalwat/ mesum yang kedapatan atau
dilakukan di gampong tersebut.

48
Badruzzaman Ismail, Panduan Adat dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh: MAA, 2009, hlm. 27.
5. Perselisihan tentang hak milik, yaitu permasalahan yang ditimbulkan mengenai
hak milik barang atau tanah masyarakat dalam gampong tersebut.
6. Pencurian dalam keluarga, yaitu pencurian yang dilakukan oleh keluarga sendiri.
7. Perselisihan harta sehareukat, yaitu perselisihan yang terjadi antara suami istri
dalam hal pembagian harta.
8. Pencurian ringan, yaitu pencurian yang menimbulkan kerugian yang kecil bagi
korban dan tanpa kekerasan
9. Pencurian ternak peliharaan, yaitu pencurian yang dilakukan terhadap binatang
ternak warga gampong tersebut.
10. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian dan hutan, yaitu pelanggaran terhadap
aturan-aturan tertentu yang dibuat oleh gampong, seperti aturan mengenai jadwal
menanam padi, larangan melepas binatang ternak pada saat musim tanam padi, dan
sebagainya.
11. Persengketaan di laut, yaitu permasalahan yang disebabkan hal-hal yang berkaitan
dengan kelautan, permasalahan masih tanggapan dan lain sebagainya.
12. Persengketaan di pasar, yaitu permasalahan-permasalahan yang ditumbulkan atau
terjadi di pasar.
13. Penganiayaan ringan, yaitu penganiayaan yang terjadi terhadap masyarakat tersebut
yang hanya menyebabkan luka ringan (kecil)
14. Pembakaran hutan, yaitu permasalahan yang terjadi akibat pembakaran hutan yang
menjadi wilayah gampong tersebut.
15. Pelecehan, fitnah, hasut dan pencemaran nama baik, yaitu permasalahan yang
terjadi terhadap hak pribadi masyarakat yang dilecehkan.
16. Pencemaran lingkungan, yaitu permasalahan yang terjadi terhadap kerusakan
lingkungan di wilayah gampong tersebut.
17. Ancam mengancam, yaitu permasalahan yang terjadi akiban proses ancaman yang
dialami oleh warga gampong tersebut.

D. Teori Pencegahan Kejahatan

Pencegahan kejahatan merupakan tindakan yang melibatkan semua unsur di

dalamnya, dan dalam hubungan ini S.M.Ainin memberikan komentar tentang tindakan

preventif, yaitu : tugas preventif ini bermacam-macam corak ragamnya, umpamanya

dengan mengadakan patroli di waktu malam hari dengan maksud supaya kaum pencuri

tidak mempunyai kesempatan melakukan pencurian, mengatur lalu lintas supaya

penyelenggaaraan lalu lintas terjamin dan sebagainya.49

Pendidikan bagi pengemudi, juga merupakan salah satu cara dalam menangani

para pelanggar lalu lintas. Pada masyarakat lain di luar Indonesia, sekolah mengemudi

merupakan suatu lembaga pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghasilkan

49
S.M.Amin, Hukum Acara Peradilan Negeri, Pradya Paramita, Jakarta, 1998, hlm, 65.
pengemudi-pengemudi yang cakap dan terampil di dalam mencegah terjadinya kecelakaan

lalu lintas. Sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh para ahli, yang tidak hanya melingkupi

mereka yang biasa menangani masalah-masalah lalu lintas, akan tetapi kadang-kadang

juga ada psikologinya maupun ahli ilmu-ilmu sosial lainnya. Di dalam sekolah pendidikan

pengemudi tersebut, yang paling pokok adalah sikap dari instruktur. Instruktur harus

mampu menciptakan suatu suasana dimana murid-muridnya dengan konsentrasi penuh

menerima pelajarannya.

Allan R. Coffey mengemukakan bahwa strategi-strategi pencegahan kejahatan dan

delinkuensi dapat memusatkan perhatian pada dua fokus dasar, yaitu usaha-usaha untuk

mencegah kejahatan untuk pertama kali dan mencegab kontak dengan sistem peradilan

pidana.

Soejono D, berpendapat bahwa penanggulangan kejahatan secara preventif dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Cara moralistik, dilakukan dengan menyebarluaskan ajaran-ajaram agama dan


moral, perundang-undangan yang balk, sarana-sarana lain yang dapat mengekang
nafsu seseorang untuk berbuat jahat.
2. Cara aholiolinistik, berusaha menanggulangi kejahatan dengan memberantas sebab
musababnya.50

Sajipto Rahardjo berpendapat bahwa fungsi dan peranan polisi tidak hanya sekedar

menegakkan hukum yang pada hakekatnya mempertahankan status qua tertentu

melainkan “mempertahankan atau menjaga kualitas kehidupan.51 Artinya, polisi tidak

hanya dituntut untuk dapat menindak orang yang melakukan pelanggaran atau kejahatan,

akan tetapi sebaliknya lebih menekankan pembinaan moral masyarakat.

Walter C. Reckless sebagaimana dikutip oleh Sujono D, mengemukakan beberapa

syarat yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar penanggulangan kejahatan dapat lebih

berhasil. Syarat-syarat tersebut adalah:

50
D. Sujono, Penanggulangan Kejahatan (Crime Preventieons) Alumni, Bandung, 2001, hlm, 75.
51
Sajipto Rahardjo dan Anton Tabah, Polisi Pelaku dan Pemikir, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm, 77.
1. Sistem organisasi Kepolisian yang baik
2. Pelaksanaan peradilan yang efektif
3. Hukum yang berwibawa
4. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang lebih terkoordinir
5. Patrtisipasi masyarakat dalam penggolongan kejahatan 52.

Sehubungan dengan teori-teori di atas, Shutherland dan Cressey sebagaimana

dikutip oleh G.W. Bawengan mengatakan bahwa penegakan kejahatan dapat dilakukan

dengan cara :

a. Merubah mereka yang mungkin dirubah dengan menggunakan teknik tertentu.


b. Mengasingkan mereka yang tidak dapat diperbaiki;
c. Koreksi atau pengasingan terhadap mereka itu yang terbukti gemar melakukan
kejahatan;
d. Menghapuskan atau membatasi kondisi masyarakat yang bersifat mendorong ke
arah kejahatan.53

Kejahatan adalah masalah sosial yang di hadapi oleh masyarakat di seluruh Negara

semejak dahulu dan pada hakikat nya merupakan produk dari masyarakat sendiri.

Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang di kenal

masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral hukum.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan

mencakup aktivitas preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku

seseorang yang telah dinyatakan bersalah (sebagai seorang narapidana) dilembaga

permasyarakatan. Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan

secara preventif dan refresif.

1) Upaya preventif

Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya

atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik dari pada

mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan

dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan

52
Soejono D, Sosial Kriminal Amalar Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Studi Kejahatan, Sinar Baru, Bandung,
2002, hlm, 138-139.
53
G.W. Bawengan, Pengantar Psychology Kriminal, Pradya Darmita, Jakarta, 2000, hlm, 45.
diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan. Sangat beralasan bila upaya

preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa

suatu keahlian khusus dan ekonomis.

Barnest dan Teeters menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan

yaitu:

a. Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan


dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang
dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat.
b. Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas
kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-
gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial
ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang
harmonis.

Dari pendapat Barnest dan Teeters tersebut di atas menunjukkan bahwa kejahatan

dapat kita tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang

mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada

keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan.

Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja54.

2) Upaya represif

Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional

yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif

dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta

memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya

merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga

tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat

sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat .

Dalam membahas sistem represif, tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan

pidana kita, dimana dalam sistem peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 (lima) sub-

54
Ramli Atmasasmita, Kapita Selekta Kriminologi, Armico, Bandung, 1993, hlm, 79.
sistem yaitu sub sistem kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, dan

kepengacaraan, yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai dan berhubungan

secara fungsional. Lebih jelasnya uraiannya sebagai berikut:

a. Perlakuan (treatment)
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang
membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan, yaitu :
1. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan
yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan
kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu
berbahaya sebagai usaha pencegahan.
2. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak
berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku
kejahatan.
b. Penghukuman (punishment)
Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan
(treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah
dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-
undangan dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem
pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan,
maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar
hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan
berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan55.

55
Abdul Syani, Sosiologi Kriminalitas, Remadja Karya, Bandung. 1989, Hlm, 139.

Anda mungkin juga menyukai