Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda, yaitu strafbaar feit yang terdiri
dari tiga suku kata yaitu straf yang diterjemahkan sebagai pidana atau hukum, kata baar
yang diterjemahkan dapat atau boleh, dan kata feit yang diterjemahkan sebagai tindak,
peristiwa, pelanggaran atau perbuatan.1 Berdasarkan uraian tersebut maka strafbaar feit
dapat dikatakan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, atau perbuatan yang dapat atau
boleh dipidana atau dikenakan hukuman. Tindak pidana dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia diartikan sebagai perbuatan jahat, perbuatan pidana, tingkah laku, dan sepak
terjang.2
Roeslan Saleh, mengatakan bahwa tindak pidana adalah setiap perbuatan yang oleh
masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan
sehingga perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu,
sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan
termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik bersifat melawanhukum, dan dapat dicela.
Simons menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam
dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan Van Hamel
merumuskan sebagai berikut: straffbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)
1
Adami Chawari, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 69.
2
EM Zul Fajri, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 819.
3
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grapindo Persada,2012, hlm. 8.
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang
lain atau merugikan kepentingan umum. Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu
kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut5.
Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa
perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran, baik yang
Hal senada juga dikemukakan Indriyanto Seno Adji mengatakan tindak pidana
adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum,
4
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 61.
5
Ibid, hlm, 20.
6
Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm 493.
7
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa kesalahan, Jakarta: Kencana, 2015, hlm. 27.
sebagai tindak pidana, yaitu suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum
pidana.8
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu
sebagai berikut:9
1. Unsur-unsur yang dilihat dari sudut teoritis, yaitu unsur-unsur yang dikemukakan
berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyirumusannya.
2. Unsur-unsur yang dilihat dari sudut undang-undang yang merupakan unsur-unsur
tindak pidana dilihat dari kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak
pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.
Teguh Prasetyo juga mengemukakan beberapa hal yang menjadi unsur dalam suatu
1. Unsur Objektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di luar pelaku dan berhubungan
dengan keadaan. Unsur-unsur ini antara lain sebagai berikut:
a) Sifat melanggarhukum
b) Kualitas (jabatan)pelaku
c) Klausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakansebagai penyebab dengan
kenyataan sebagaiakibat.
2. Unsur Subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat atau melekat pada diri pelaku
dan termasuk segala sesuatu yang ada di dalam hati pelaku. Unsur-unsur ini terdiri
dari beberapa hal,yaitu:
a. Kesengajaan atau tidak sengaja (dolus atauculpa)
b. Maksud pada suatu percobaan (Pasal 53 ayat (1)KUHP)
c. Perencanaan
d. Perasaan takut (Pasal 308KUHP)10
adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun adakalanya dalam
perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif adalah
unsur yang terdapat dalam diri pelaku tindak pidana yang meliputi: kesengajaan, kealpaan,
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya, penegakan hukum hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu
8
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT.Eresco, 1981, hlm.
12.
9
Sudarto, Hukum Pidana, Semarang: Universitas Diponegoro, 1997, hlm. 12.
10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 50.
11
Ibid, hlm. 19.
aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum,
paksa. Ditinjau dari sudut objeknya, mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti
luas, penegakan hukum mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi
aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam arti
sempit, penegakan hukum hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan
tertulis12.
antara nilai-nilai yang dijelaskan dalam kaidah-kaidah yang pasti dan berwujud dengan
perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan
Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV KUHPidana lebih tepat disebut
inti dari tindak pidana yang diatur dalam BAB XXIV KUHPidana tersebut adalah
tersebut maka akan lebih memudahkan bagi setiap orang untuk mengetahui perbuatan apa
yang sebenarnya dilarang dan diancam pidana dalam ketentuan tersebut14. Selanjutnya,
Tongat, menegaskan perihal telaah pengertian tentang penggelapan ini, bahwa : Apabila
12
Bevi Septrina, dikutip dalam (Skripsi), Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penipuan Calon Jamaah Umrah Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung), Fakultas
Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung, 2017, hlm, 9-10.
13
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986,
hlm.3
14
Tongat, Hukum Pidana Materiil. UMM Press Malang, 2006, hlm, 57.
suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan karena tindak pidana, tetapi karena
suatu perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, dan
sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk diri sendiri secara melawan hukum, maka
menggelapkan, hal ini diatur dalam Pasal 372 KUHP.9 Menurut Cleiren inti delik
hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu.16
Barangsiapa dengan sengaja secara tidak sah memiliki barang yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, ia
Perumusan dari tindak pidana penggelapan ini termuat dalam Pasal 372 KUHP dari
titel XXIV buku II sebagai berikut: Dengan sengaja memiliki dengan melanggar hukum
suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dan yang ada di bawah
kekuasaannya (onder zich hebben) secara lain daripada dengan melakukan suatu
kejahatan. Penggelapan adalah perbuatan mengambil tanpa hak oleh seseorang yang telah
diberi kewenangan, untuk mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap negara, oleh
15
Ibid, hlm, 60.
16
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu dalam KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 107.
17
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 111.
18
Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, Depok: Kencana, 2017, hlm. 302.
19
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia, 2003,
hlm. 117.
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku
b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
c. Bertentangan dengan kesusilaan
d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
3) Barang berada di bawah kekuasaan sipelaku unsur ini adalah unsur pokok dari
“penggelapan barang” yang membedakannya dari tindak tindak pidana lain mengenai
kekayaan orang. Ditambah bahwa barang harus ada di bawah kekuasaan sipelaku
dengan cara lain dari pada dengan melakukan kejahatan. Dengan demikian tergambar
bahwa barang itu oleh yang mempunya dipercayakan atau dapat dianggap
dipercayakan kepada sipelaku. Maka pada pokoknya dengan perbuatan “penggelapan”
sipelaku tidak memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap
dilimpahkan kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang.
4) Barang yang menjadi objek penggelapan haruslah milik orang lain baik sebagian atau
seluruhnya. Perkataan seluruhnya kepunyaan orang berarti pengambil barang itu tidak
berhak sama sekali atas barang itu, sedangkan perkataan sebagian berarti ada hak
sipelaku di dalamnya, misalnya suatu warisan yang belum dibagikan. Dengan
demikian suatu barang yang tidak ada kepunyaan orang lain tidak dapat menimbulkan
tindak pidana penggelapan. Sudah jelas dan dapat diketahui barang yang digelapkan
itu adalah milik oranglain.20
Adapun jenis-jenis penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai 377
KUHP, yaitu:
20
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, cet ke-4, Bandung:
Eresco,1985, hlm. 31-32.
21
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1993, hlm. 105.
3. Penggelapan dengan Pemberatan (Gequaliviceerde verduistering) Penggelapan ini
diatur dalam dua pasal yaitu Pasal 374 dan Pasal 375 KUHP. Penggelapan yang
diperberat pertama ialah yang diatur dalam Pasal 374 artinya suatu delik
(penggelapan, Pasal 372 KUHP sebagai delik pokok), ditambah satu bagian inti
delik lagi, yaitu dilakukan karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya atau
karena mendapat upah. Contoh, perhubungan antara majikan dan pembantu rumah
tangga atau majikan dan buruh, bengkel yang menggelapkan (menjual) mobil orang
lain yang sedang diperbaiki, binatu yang menggelapkan atau yang menjual pakaian
orang lain, tukang jahit yang menggelapkan kain atau pakaian orang yang disuruh
jahit. Kemudian penggelapan yang diperberat kedua ialah dalam Pasal 375 KUHP
yang terdiri dari unsur-unsur khusus yang sifatnya memberatkan, yakni beradanya
benda objek penggelapan di dalam kekuasaan petindak disebabkan karena, seorang
kepada siapa benda itu karena terpaksa telah dititipkan, seorang wali, seorang
pengampu, seorang pelaksana dari sebuah wasiat dan seorang pengurus dari lembaga
badan amal atas yayasan22.
Hukum adat adalah bagian dari hukum yang berasal dari adat istiadat, yakni
kaidah-kaidah sosial yang dibuat dan dipertahankan oleh para fungsionaris hukum
(penguasa yang berwibawa) dan berlaku dan dimaksudkan untuk mengatur hubungan-
hubungan hukum dalam masyarakat Indonesia. Dengan kata lain hukum adat adalah
aturan kebiasaan dalam hidup bermasyarakat. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan
kelompok-kelompok masyarakat dan lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang
seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat”. Jadi
hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat yang
1. Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh
rakyat.
2. Unsur psychologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat
dimaksudkan mempunyai kekuatan hukum. Unsur inilah yang menimbulkan adanya
kewajiabn hukum (opinion necescitatis)24.
22
Ibid, hlm, 106.
23
Airi Safrijal, Hukum Adat Dalam Perspektif Hukum nasional, Edisi Revisi, FH-UNMUHA PRESS,
Banda Aceh, 2017, hlm, 1.
24
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1973, hml, 7.
Berikutnya perlu kiranya dibahas beberapa pengertian tentang hukum adat yang
25
Dewi Wulansari, C. Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2010, hml,
3-4
26
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Dalam Kajian Kepustakaan, Alfabeta, Bandung, 2008,
hlm, 23.
b. Istilah Hukum Adat
Adat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg (dilakukan terus-
penjelmaan dari jiwa bangsa itu yang terus-menerus berkembang secara evolusi dari abad
ke abad. Perkembangannya itu ada yang cepat dan ada yang lamban. Secepat apapun
cepat tetapi tidak membongkar semua akar kebudayaan bangsa itu, sebab di dalamnya
terdapat nilai-nilai yang menjadi dasarnya. Perkembangan selalu dilandasi oleh nilai dasar
sesuatu bagian dari kebiasaan itu jika kebiasaan itu sudah tidak berfungsi 27.
Meskipun istilah hukum adat atau adat seperti di Aceh, dari zaman dahulu sudah
kita pakai, akan tetapi penggunaan istilah tersebut dalam berbagai literatur justru pertama
kali diperkanalkan secara ilmiah oleh C. Snouck Hurgronje, dalam bukunya “De
Atjehers”. Menyebutkan istilah hukum adat sebagai “adat recht” (bahasa belanda) yaitu
untuk memberi nama pada suatu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Pada dasarnya penegak hukum adat adalah pemuka adat
sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan
masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera28. Ketika Christian Snouck
“adat recht” untuk membedakan antara kebiasaan atau pendirian dengan adat yang
memiliki sanksi hukum. Sejak itulah Hurgronje disebut orang yang pertama
27
Dominikus Rato, Hukum Adat (suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat di Indonesia),
Laksbang PRESSindo, Yogyakarta, 2011, hlm, 1.
28
Airi Safrijal, Op. Cit, hlm, 11.
menggunakan istilah “adat recht” yang kemudian diterjemahkan sebagai hukum adat,
yang menghasilkan sebuah buku yang berjudul De Atjehers (Orang-orang Aceh) pada
tahun 1894. Selanjutnya istilah tersebut menjadi terkenal sejak digunakan oleh Cornelis
van Vollenhoven dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Het Adat-Recht van
Sebelum istilah “adat recht” diterjemahkan, oleh Cristian Snouck Hurgronje dan
Cornelis van Vollenhoven, berbagai istilah telah dipergunakan oleh pemerintah Hindia
mengatur segala perbuatan atau kejadian yang sangat menggangu kekuatan batin
masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mencemarkan suasana batin, yang
Menurut Teer Haar, suatu delik itu sebagai tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-
29
Ibid, hlm, 12-13.
tiap gangguan pada barang-barang materiil dan immaterial milik hidup seorang atau
kesatuan orang-orang yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat, yang dengan reaksi
ini keseimbangan akan dan harus dapat dipulihkan kembali. Pada dasarnya suatu adat
delik itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatuhannya
Istilah hukum pidana adat adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda “adat
delecten recht” atau hukum pelanggaran adat. Istilah-istilah ini tidak dikenal dikalangan
masyarakat adat31.
Menurut I Made Winyana menyatakan bahwa, hukum pidana adat adalah hukum
hidup (the living law), diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus-menerus, dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut
diberikan reaksi adat, koreksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adatnya 32. Dari
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ada tiga hal pokok tentang pengertian hukum
a. Rangkaian peraturan tata tertib yang dibuat, diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat
yang bersangkutan;
b. Pelanggaran terhadap tata tertib tersebut dapat menimbulkan kegoncangan karena
dianggap mengganggu keseimbangan kosmis perbuatan melanggar tata tertib dapat
disebut delik adat;
c. Pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi oleh
masyarakat adat.
30
Surojo Wionjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1968, hlm,
228
31
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1989, hlm, 20.
32
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembagan Penyusunan Konsep
KUHP Baru), Kencana, Jakarta, 2008, hlm, 73-74.
Hilman Hadikusuma menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana
adat adalah, hukum yang hidup dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak
akan kehilangan sumber kekayaannya oleh karena hukum pidana adat itu lebih dekat
Dari definisi hukum pidana adat di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Hukum pidana adat adalah hukum yang tak tertulis dan berfungsi sebagai
pendamping hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan;
b. Hukum pidana adat merupakan salah satu alat untuk menciptakan dan
mengembangkan hukum positif yang akan dibentuk dan akan diberlakukan dimasa
akan datang33.
Menurut I Made Widnyana, menyebutkan ada 5 (lima) sifat hukum pidana adat,
1. Menyeluruh dan menyatukan karena dijiwai oleh sifat kosmis yang saling
berhubungan sehingga hukum pidana adat tidak membedakan pelanggaran yang
bersifat pidana dan perdata.
2. Ketentuan yang terbuka karena didasarkan atas ketidakmampuan meramal apa
yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu
terbuka untuk segala peristiwa atau pebuatan yang mungkin terjadi.
3. Membeda-bedakan permasalahan dimana bila terjadi peristiwa pelanggaran yang
dilihat bukan semata-mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi
latar belakang dan siapa pelakunya. Oleh karena itu, dengan alam pikiran demikian
maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
4. Peradilan dengan permintaan dimana menyelesaikan pelanggaran adat sebagian
besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau
gugatan dari pihak yang dirugikan ataudiperlakukan tidak adil.
5. Tindakan reaksi atau koreksi tidak hanya dapat dikenakan pada si pelaku tetapi
dapat juga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin juga
dibebankan kepada masyarakat bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan
yang terganggu34.
Hukum pidana adat tidak mengadakan perpisahan antara pelanggaran hukum yang
diwajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum didalam lapangan hukum pidana dan
pelanggaran hukum hukum yang hanya dapat dituntut dalam perdata. Oleh karenanya
33
Ibid, hlm, 10.
34
I Made Widnyana, Eksistensi Delik Adat dalam Pembangunan, Universitas Udayana, Denpasar,
1992, hlm, 5.
maka sistem hukum adat hanya mengenal prosuder baik penuntutan secara perdata
maupun penuntutan secara pidana (kriminal). Ini berarti , petugas hukum adat yang
hukum yang dilanggar itu, tidak sampai hukum barat yaitu hakim pidana untuk kasus
pidana dan hakim perdata untuk kasus perdata, melainkan satu pejabat saja yaitu kepala
adat, hakim perdamaian desa atau hakim pengendalian negeri untuk semua macam
kembali keseimbangan yang semula ada itu, dapat berupa sebuahtindakan saja tetapi
Beberapa corak yang melekat dalam hukum adat yang dapat dijadikan sebagai
sumber pengenal hukum adat, oleh karena itu adapun corak atau ciri-ciri tersebut, antara
lain yaitu:
memiliki daya mengikat, menjadi tata kelakuan yang ciri-ciri pokoknya adalah:
35
Surojo Wionjodipuro, Op.Cit, hlm, 229.
36
Ibid, 230.
2. Tata kelakuan merupakan kaidah yang memerintahkan atau sebagai patokan
yang membatasi aspek-aspek terjang warga masyarakat;
3. Tata kelakukan mengidentifikasikan pribadi dengan kelompoknya; dan
4. Tata kelakukan merupakan salah satu sarana untuk mempertahankan
solidaritas masyarakat37.
b. Prinsip musyawarah/mufakat
Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya prinsip
musyawarah/mufakat dalam mengambil keputusan, baik di dalam keluarga,
ataupun di dalam hubungan kekerabatan. Asas musyawarah/mufakat ini
didasarkan pada asas kekeluargaan, apalagi di dalam perselisihan atau
persengketaan baik yang bersifat pidana maupun perdata yang kedua bentuk
peristiwa hukum tersebut merupakan sifat “peradilan” dengan semangat itikad
baik, adil, dan bijaksana oleh orang-orang yang berwibawa dan terjaga
martabatnya ditengah-tengah masyarakat mereka. Hadih maja yang selalu
diungkapkan dalam menyelesaikan perselisihan atau persengketaan dalam
musyawarah/mufakat, berbunyi38:
c. Prinsip hukum adat/perdamaian
Perlu dipahami, bahwa sikap hidup bangsa Indonesia seperti pada masyarakat
hukum di Aceh yang berfokus pada keyakinan agama Islam. Sehingga hampir
dalam semua aspek kehidupannya, mereka terikat oleh “Syari’at Islam” dalam
arti luas, yaitu menyangkut bidang aqidah, bidang aklhak, dan bidang fiqh.
d. Prinsip Hukum Adat/Kekeluargaan (Kebersamaan)
Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksud bahwa di dalam hukum adat
lebih diutamakan kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu,
hubungan hukum antara anggota masyarakat adat didasarkan oleh rasa
kebersamaan, kekelurgaan, tolong-menolong, dan gotong royong.
e. Prinsip hukum adat/kekeluargaan (kebersamaan)
Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksud bahwa di dalam hukum adat
lebih diutamakan kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu,
hubungan hukum antara anggota masyarakat adat didasarkan oleh rasa
kebersamaan, kekelurgaan, tolong-menolong, dan gotong royong.
Menurut Airi Safrijal, yang disebut asas kekeluargaan, dimana dalam hal
terjadinya suatu peristiwa hukum, anggota keluarga serta seluruh masyarakat
duduk secara bersama-sama dalam mengambil keputusan yang dilandasi pada
asas musyawarah/mufakat, sehingga dapat dipulihkan kembali keseimbangan
dalam masyarakat, pada masyarakat Aceh disebut “duek sapat” (duduk bersama)
yang melibatkan semua komponen masyarakat dalam mengambil suatu keputusan
bersama dalam menyelesaikan masalah-masalah untuk mencapai suatu tujuan
perdamaian39.
f. Tradisional
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun-
temurun dari zaman nenek monyang sampai ke anak cucu dan cicitnya sekarang
dimana keadaannya masih tetap berlaku dan tetap dipertahankan oleh masyarakat
yang bersangkutan.
g. Keagamaan
37
Airi Safrijal, Op. Cit, hlm, 66.
38
Ibid, hlm, 69-70.
39
Ibid, hlm, 72-74.
Hukum adat itu pada umumnya “bersifat keagamaan (magis relegius)”, artinya
perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang Ghaib dan atau berdasarkan Ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa40.
h. Kongkrit dan Visual
Corak hukum adat adalah kongkrit, artinya jelas, nyata, berwujud, visual, artinya
dapat terlihat, tampak dan terbuka tidak tersembunyi. Jadi, sifat hubungan hukum
yang berlaku dalam hukum adat itu adalah terang dan tunai, tidak samar-samar,
terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain dan nampak terjadi
ijab kabul, (serah terima).
i. Terbuka dan Sederhana
Corak hukum adat terbuka, artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang
datang dari luar, asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Sederhana, artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya, bahkan
kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkaan
saling percaya mempercayai.
j. Dapat Berubah dan Menyesuaikan
Menurut Soepomo, hukum adat sebagaimana telah ditegaskan oleh Mr. Cornellis
van Vollenhoven, dinyatakan sebagai berikut: “Hukum adat terus menerus dalam
keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum adat pada
waktu yang telah lampau agak berbeda isinya, hukum adat menunjukkan
perkembangan, dan seterusnya”.
Beberapa literatur mengungkapkan bahwa kata adat berasal dari kata adah, yang
dalam bahasa Arab dapat berarti sebagai suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-
ulang.41Hukum adat juga dapat dikatakan sebagai suatu hal yang telah diterima dan harus
Istilah hukum adat jarang digunakan dalam kehidupan masyarakat, namun cukup
menggunakan istilah “adat” saja. Adat berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘ adat – ya‟udu –
43
‘adah atau al-‘uruf yang mengandung makna tikrar yaitu perulangan. Hal ini dapat
berarti bahwa adat dapat juga diartikan sebagai suatu perkataan dan perbuatan yang
Hal tersebut juga sesuai dengan yang diungkapkan oleh Zainuddin Ali, yang
menyatakan bahwa urf merupakan suatu kebiasaan (adat) istiadat yang sudah dilakukan
40
Ibid, hlm, 75.
41
I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia: Perkembangan dari Masa ke Masa, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2005, hlm. 3.
42
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 1.
43
Muliadi Kurdi, Aceh dimata Sejarawan: Rekontruksi Sejarah Sosial Budaya, Banda Aceh: Lembaga
Kajian Agama dan Sosial (LKAS), 2009, hlm. 41.
secara turun temurun di dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 44
Para ulama membagi urf (adat) kepada dua macam, yaitu sebagai berikut:45
1) Al-uruf ash-shahih (adat yang benar), yaitu adat yang tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam, sopan santu dan berbudaya yang luhur.
2) Al-uruf af-fasid (adat yang salah), yaitu adat yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam dan ketentuan perundang-undangan.
Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang
nilai budaya cipta, karya, rasa manusia. Hal ini berarti bahwa hukum adat lahir dari
kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk dapat hidup secara adil dan
beradap.Selain itu, hukum adat juga merupakan produk sosial sebagai hasil kerja bersama
(kesepakatan) dan milik bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat. 46 Setiap hukum atau
aturan mempunyai perbedaan dengan aturan hukum yang lainnya, begitu juga dengan
aturan dalam hukum adat. Hukum adat mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan
dengan aturan hukum yang lain, yaitu antara lain sebagai berikut:47
1) UUD 1945
2) Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Aceh, yang menegaskan bahwa salah satu jenis keistimewaan yang diberikan kepada
wilayah Aceh berupa kewenangan untuk menghidupkan dan menerapkan adat yang
44
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm.
43.
Rusjdi Ali Muhammad, Kearifan Tradisional Lokal: Penerapan Syari‟at Islam dalam Hukum Adat
45
peradilan adat, namun kewenangan peradilan adat masih dibatasi oleh perkara-perkara
tertentu yang bisa diselesaikan secara peradilan adat, sebagaimana yang dirumuskan dalam
1. Perselisihan dalam rumah tangga, yaitu permasalahan yang terjadi antara sesama
keluarga yang dapat menyebabkan keharmonisan dan kenyamanan di dalam
masyarakat dapat terganggu.
2. Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraid, yaitu permasalahan yang
terjadi dalam keluarga mengenai permasalahan pembagian harta warisan yang
dianggap tidak sesuai dengan aturan hukum
3. Perselisihan antar warga, yaitu permasalahan yang terjadi antara sesama
masyarakat gampong tersebut.
4. Khalwat/ mesum, yaitu permasalahan khalwat/ mesum yang kedapatan atau
dilakukan di gampong tersebut.
48
Badruzzaman Ismail, Panduan Adat dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh: MAA, 2009, hlm. 27.
5. Perselisihan tentang hak milik, yaitu permasalahan yang ditimbulkan mengenai
hak milik barang atau tanah masyarakat dalam gampong tersebut.
6. Pencurian dalam keluarga, yaitu pencurian yang dilakukan oleh keluarga sendiri.
7. Perselisihan harta sehareukat, yaitu perselisihan yang terjadi antara suami istri
dalam hal pembagian harta.
8. Pencurian ringan, yaitu pencurian yang menimbulkan kerugian yang kecil bagi
korban dan tanpa kekerasan
9. Pencurian ternak peliharaan, yaitu pencurian yang dilakukan terhadap binatang
ternak warga gampong tersebut.
10. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian dan hutan, yaitu pelanggaran terhadap
aturan-aturan tertentu yang dibuat oleh gampong, seperti aturan mengenai jadwal
menanam padi, larangan melepas binatang ternak pada saat musim tanam padi, dan
sebagainya.
11. Persengketaan di laut, yaitu permasalahan yang disebabkan hal-hal yang berkaitan
dengan kelautan, permasalahan masih tanggapan dan lain sebagainya.
12. Persengketaan di pasar, yaitu permasalahan-permasalahan yang ditumbulkan atau
terjadi di pasar.
13. Penganiayaan ringan, yaitu penganiayaan yang terjadi terhadap masyarakat tersebut
yang hanya menyebabkan luka ringan (kecil)
14. Pembakaran hutan, yaitu permasalahan yang terjadi akibat pembakaran hutan yang
menjadi wilayah gampong tersebut.
15. Pelecehan, fitnah, hasut dan pencemaran nama baik, yaitu permasalahan yang
terjadi terhadap hak pribadi masyarakat yang dilecehkan.
16. Pencemaran lingkungan, yaitu permasalahan yang terjadi terhadap kerusakan
lingkungan di wilayah gampong tersebut.
17. Ancam mengancam, yaitu permasalahan yang terjadi akiban proses ancaman yang
dialami oleh warga gampong tersebut.
dalamnya, dan dalam hubungan ini S.M.Ainin memberikan komentar tentang tindakan
dengan mengadakan patroli di waktu malam hari dengan maksud supaya kaum pencuri
Pendidikan bagi pengemudi, juga merupakan salah satu cara dalam menangani
para pelanggar lalu lintas. Pada masyarakat lain di luar Indonesia, sekolah mengemudi
49
S.M.Amin, Hukum Acara Peradilan Negeri, Pradya Paramita, Jakarta, 1998, hlm, 65.
pengemudi-pengemudi yang cakap dan terampil di dalam mencegah terjadinya kecelakaan
lalu lintas. Sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh para ahli, yang tidak hanya melingkupi
mereka yang biasa menangani masalah-masalah lalu lintas, akan tetapi kadang-kadang
juga ada psikologinya maupun ahli ilmu-ilmu sosial lainnya. Di dalam sekolah pendidikan
pengemudi tersebut, yang paling pokok adalah sikap dari instruktur. Instruktur harus
menerima pelajarannya.
delinkuensi dapat memusatkan perhatian pada dua fokus dasar, yaitu usaha-usaha untuk
mencegah kejahatan untuk pertama kali dan mencegab kontak dengan sistem peradilan
pidana.
Sajipto Rahardjo berpendapat bahwa fungsi dan peranan polisi tidak hanya sekedar
hanya dituntut untuk dapat menindak orang yang melakukan pelanggaran atau kejahatan,
syarat yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar penanggulangan kejahatan dapat lebih
50
D. Sujono, Penanggulangan Kejahatan (Crime Preventieons) Alumni, Bandung, 2001, hlm, 75.
51
Sajipto Rahardjo dan Anton Tabah, Polisi Pelaku dan Pemikir, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm, 77.
1. Sistem organisasi Kepolisian yang baik
2. Pelaksanaan peradilan yang efektif
3. Hukum yang berwibawa
4. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang lebih terkoordinir
5. Patrtisipasi masyarakat dalam penggolongan kejahatan 52.
dikutip oleh G.W. Bawengan mengatakan bahwa penegakan kejahatan dapat dilakukan
dengan cara :
Kejahatan adalah masalah sosial yang di hadapi oleh masyarakat di seluruh Negara
semejak dahulu dan pada hakikat nya merupakan produk dari masyarakat sendiri.
Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang di kenal
1) Upaya preventif
atau timbulnya kejahatan yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik dari pada
mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan
52
Soejono D, Sosial Kriminal Amalar Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Studi Kejahatan, Sinar Baru, Bandung,
2002, hlm, 138-139.
53
G.W. Bawengan, Pengantar Psychology Kriminal, Pradya Darmita, Jakarta, 2000, hlm, 45.
diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan. Sangat beralasan bila upaya
preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa
yaitu:
Dari pendapat Barnest dan Teeters tersebut di atas menunjukkan bahwa kejahatan
dapat kita tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang
keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan.
2) Upaya represif
dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta
tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat
Dalam membahas sistem represif, tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan
pidana kita, dimana dalam sistem peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 (lima) sub-
54
Ramli Atmasasmita, Kapita Selekta Kriminologi, Armico, Bandung, 1993, hlm, 79.
sistem yaitu sub sistem kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, dan
a. Perlakuan (treatment)
Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang
membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan, yaitu :
1. Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan
yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan
kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu
berbahaya sebagai usaha pencegahan.
2. Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak
berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku
kejahatan.
b. Penghukuman (punishment)
Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan
(treatment), mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah
dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang-
undangan dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem
pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan,
maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar
hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin (bukan pembalasan) dengan
berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan55.
55
Abdul Syani, Sosiologi Kriminalitas, Remadja Karya, Bandung. 1989, Hlm, 139.