Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA

PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA

A. Pengertian Tindak Pidana

Beberapa pengertian tindak pidana menurut para ahli, adalah sebagai

berikut :

1. Menurut Simons tindak pidana adalah perbuatan manusia yang bertentangan

dengan hukum. Perbuatan yang mana dilakukan oleh seseorang yang

dipertanggungjawabkan, dapat diisyaratkan kepada pelaku.20

2. Menurut A. Ridwan Halim menggunakan istilah delik untuk

menterjemahkan strafbaarfeit, dan mengartikannya sebagai suatu perbuatan

atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-

undang.21

3. Menurut R. Abdoel Djamali, mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering

disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum

dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur

pidananya. Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam

hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran, baik yang disebutkan dalam

KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya.22

20
C.S.T. Kansil, Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, PT Sinar Grafika, Jakarta, 1994,
hal. 106.
21
Ridwan A. Halim, Hukum Pidana dan Tanya Jawab. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
hal. 31.
22
Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hal. 493.

16 Universitas Bung Karno


17

4. Menurut Hazewinkel-Suringga memberikan suatu rumusan yang bersifat

umum mengenai strafbaarfeit yaitu suatu perilaku manusia yang pada suatu

saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan

dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan

menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat

didalamnya.23

5. Menurut Moeljatno, pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman

atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut.24 Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana, lebih

lanjut Moeljatno mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu

diperhatikan:

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan

diancam pidana

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian

yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana

ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.

c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh

karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada

hubungan erat pula. ”Kejadian tidak dapat dilarang jika yang

23
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, 1984, hal. 172.
24
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 54.
Universitas Bung Karno
18

menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika

tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.25

Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu

pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian

yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap

istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau

pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana

dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,

sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan

pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini

bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti

khusus sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan

sebagai ”hukuman”.26

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan ”strafbaarfeit”

untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam KUHP tanpa memberikan

penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit,

sehingga timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang

sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti yang

dikemukakan oleh Hamel dan Pompe. Pendapat yang dikemukakan oleh Hamel

tentang Strafbaarfeit adalah sebagai berikut: Strafbaarfeit adalah kelakuan

orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat

melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan


25
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal.
34.
26
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. 1987, hal. 37.
Universitas Bung Karno
19

kesalahan.27 Sedangkan pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit adalah

sebagai berikut : Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran

norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku.28

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barangsiapa melanggar larangan tersebut. Terhadap perbuatan-perbuatan yang

menyimpang tersebut, hukum harus tetap ditegakkan. Hukum berfungsi

sebagai pengendalian sosial (social control), memaksa warga masyarakat untuk

mematuhi perundang-undangan yang berlaku.29

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut pendapat Sudarto bahwa untuk mengenakan pidana itu harus

dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut

dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang dapat dikenakan pidana

apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi unsur-unsur tindak pidana

(strafbaarfeit). Hal ini sesuai dengan pengertian tindak pidana, yaitu suatu

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang

yang memungkinkan adanya pemberian pidana.30

Unsur-unsur (strafbaarfeit) atau unsur-unsur tindak pidana menurut

Simons ialah:

27
Ibid., hal. 38.
28
Lamintang, Op.Cit. hal. 173-174.
29
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 6.
30
Lamintang, Op.Cit. hal. 36.
Universitas Bung Karno
20

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau

membiarkan);

2. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3. Melawan hukum (onrechtmatig);

4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar

persoon).31

Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut di atas, Simons kemudian

membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit.

Bahwa yang dimaksud unsur obyektif adalah perbuatan orang, akibat yang

kelihatan dari perbuatan itu dan keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.

Sedangkan yang dimaksud unsur subyektif adalah orang yang mampu

bertanggung jawab dan adanya kesalahan (dolus atau culpa).

Menurut Van Hamel bahwa unsur-unsur tindak pidana meliputi:

1. Adanya perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

2. Bersifat melawan hukum;

3. Dilakukan dengan kesalahan, dan

4. Patut di pidana.32

Unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat Moeljatno sebagai sarjana

yang berpandangan dualistis mengemukakan sebagai berikut: “Untuk

memungkinkan pemindahan secara wajar maka tidak cukup apabila seseorang

itu telah melakukan perbuatan pidana belaka, di samping itu pada seseorang

31
Ibid., hal. 32.
32
Ibid., hal. 33.
Universitas Bung Karno
21

tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab. Jadi unsur-

unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikenakan pemidanaan adalah

harus dipenuhinya unsur-unsur dalam perbuatan pidana (criminal act) dan

unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana (criminal responbility) ”.

Hari Saherodji mengatakan, bahwa Tindak Pidana merupakan suatu

kejahatan yang dapat diartikan sebagai berikut :

1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada

suatu waktu tertentu.

2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang

sengaja, merugikan, serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana

dapat dihukum oleh negara.

Adapun tujuan dari hukum pidana, ialah :

1. Untuk menakut-nakuti orang agar tidak melakukan kejahatan, baik

menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun menakut-nakuti

orang tertentu yang telah melakukan kejahatan, agar di kemudian hari tidak

melakukan kejahatan lagi (speciale preventie).

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan

suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang tidak baik, sehingga

bermanfaat bagi masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan

hukum pidana adalah untuk melindungi invidu dan sekaligus masyarakat

terhada kejahatan dan pejabat.

Unsur-unsur Hukum Pidana, yaitu :

Universitas Bung Karno


22

1. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum

dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman

hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah

tindakannya.

2. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh

undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang

atau beberapa orang).33

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka suatu perbuatan yang dilakukan

oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai

peristiwa pidana. Menurut Abdoel Djamali, syarat-syarat yang harus dipenuhi

ialah sebagai berikut:

1. Harus adanya suatu perbuatan.

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan

hukum.

3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.

4. Harus berlawanan dengan hukum.

5. Harus tersedia ancaman Hukumannya.

Hari Saherodji mengatakan, bahwa Tindak Pidana merupakan suatu

kejahatan yang dapat diartikan sebagai berikut :

1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada

suatu waktu tertentu.

2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

33
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hal. 175.
Universitas Bung Karno
23

3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang

sengaja, merugikan, serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana

dapat dihukum oleh negara.

Hukum pidana mempunyai azas-azas, yang menunjukkan sifat-sifat

tertentu, sifat-sifat mana tidak tedapat dalam macam-macam hukum lainnya,

yakni:

1. Sesuatu perbuatan itu boleh dihukum, jika berdasarkan peraturan pidana,

yang telah ada terlebih dahulu (Pasal 1 ayat 1 KUHP).

2. Penafsiran peraturan-peraturan pidana itu hanya berdasarkan arti kata-kata,

yang terdapat dalam peraturan pidana itu saja.

3. Tidak ada hukuman jika tidak ada kesalahan.

4. Hukum pidana menjatuhkan sanksinya, yaitu hukuman jika dilanggar.

5. Yang dapat dihukum hanya orang biasa saja, sedangkan badan hukum dan

binatang tidak.

C. Tindak Pidana Penyalahgunaan Psikotropika

Dalam suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang tertentu

saja ada pihak yang menjadi korban ataupun dirugikan baik kerugiaan materiil

maupun non materiil atau kedua-duanya. Dalam perbuatan pidana sekurang-

kurangnya terdapat 2 (dua) pihak yang kontradiktif dari pihak pelanggar

(pelaku) dan pihak terlanggar (korban). Dalam peristiwa perbuatan pidana

dengan dua pihak diatas adalah telah memenuhi unsur pidana dan dapat

diproses melalui prosedur hukum pidana karena di dalamnya ada unsur

Universitas Bung Karno


24

kerugian yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak yaitu pihak terlanggar

(korban).

Lebih lanjut ada suatu perbuatan pidana yang didalamnya hanya

melibatkan satu pihak sebagai pelanggar sekaligus sebagai korban diantaranya

adalah dalam perbuatan pidana penyalahgunaan psikotropika. Pada perbuatan

pidana penyalahguna psikotropika meskipun secara riil tidak ditemukan korban

akibat penyimpangan, tetapi jika ditinjau lebih jauh dalam perbuatan pidana

penyalahguna psikotropika terdapat korban berstatus pelaku itu sendiri.

Golongan psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain adalah

ekstasi (MDMA), nama kimia yang tercantum dalam Permenkes RI Nomor :

124/Menkes/Per/1993, 8 Februari 1993 tentang obat keras tertentu dalam

lampiran 1 disebut –N,a-dimetyl-3 4 (methyllendioksi) fene tilamina (MDMA).

Pemakaian obat psikotropika dapat menimbulkan ketergantungan emosional

dan sosial, dan apabila digunakan secara berlanjut zat ini dapat membahayakan

pemakai bahkan dapat menimbulkan kematian. Meski tidak ada tanda-tanda

fisik yang mencurigakan seperti layaknya pada penyalahgunaan narkotika atau

alkohol.34

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika

telah dijelaskan mengenai berbagai hal tentang psikotropika termasuk adanya

ketentuan pidana bagi para pelaku penyalahgunaan psikotropika adalah mereka

yang menggunakan psikotropika di luar kepentingan kesehatan dan ilmu

34
Sarlito Wirawan, Ekstasi sebagai masalah Psiko-sosial, Pramuka Saka Bhayangkara,
Jakarta, 1996, hal. 27.
Universitas Bung Karno
25

pengetahuan.Dalam pasal 59 (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun1997,

disebutkan mereka yang dikategorikan menyalahgunakan adalah :

1. Menggunakan psikotropika golongan 1, yang dimaksud adalah pengguna

psikotropika di luar ketentuan perundang-undangan.

2. Memproduksi dan atau menggunakan dalam proses produksi.

3. Mengedarkan psikotropika golongan 1 tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 3.

4. Menyimpan psikotropika golongan I selain untuk kepentiangan ilmu

pengetahuan.

5. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika

golongan 1.

Ancaman pidana dari Pasal 59 ayat (1) penjara paling singkat 4 (empat)

tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.

750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Ketentuan itu jelas

mengenai klasifikasi penyalahgunaan beserta ancaman pidananya.

Seorang pengguna (pemakai) psikotropika di luar ketentuan Undang-

Undang akan mengalami pengorbanan dua kali di dalam dirinya, pertama

bahwa ia harus menanggung sanksi hukum atas perbuatan pidananya, dan

kedua akibat perbuatan yang di lakukan sebagai dampak dari pemakaian

psikotropika yang menyimpang kerusakan pada fisik, dan mental dimana hal

yang terakhir memerlukan pemecahan untuk memperbaiki diri si pelaku di luar

kebijaksanaan pidana. Di dalam hal akibat korban yang kedua, maka pelaku

Universitas Bung Karno


26

perbuatan pidana tersebut dapat dikategorikan sebagai “Viktim”atas

perbuatannya sendiri.

Proses pidana terhadap penyalahguna psikotropika (pemakai murni)

tersebut diperlukan pemikiran sebagai pertimbangan dari pihak aparat penegak

hukum tentang kebijaksanaan yang tepat bagi penyalahguna psikotropika untuk

menghindarkan akibat yang lebih buruk bagi pelaku. Dalam hal tertentu polisi

dengan tugas preventif untuk mencegah, serta represif untuk menindak dan

menanggulangi, dapat dikatakan sebagai membina atau menindak pelaku

pelanggar hukum (pidana) kearah yang lebih baik.35

Penyalahgunaan psikotropika dengan berbagai implikasi dan dampak

negatifnya merupakan suatu masalah yang harus dipecahkan dengan berbagai

sudut pandang sehingga pelaku tidak menjadi korban untuk kedua kalinya

akibat penerapan kebijaksanaan yang kurang bermanfaat bagi pemulihan atau

perbaikan pelaku. Tindakan pemidanaan pada dasarnya bukanlah untuk

membalas dendam atas perbuatan pelaku tetapi untuk memperbaiki diri

pelanggar, dapat mengembalikan kembali ke masyarakat dan menimbulkan

efek jera agar tidak dilakukan perbuatan penyalahgunaan psikotropika lagi.

D. Sanksi Pidana Penyalahgunaan Psikotropika

Menurut Pasal 59 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika ditegaskan bahwa : "menggunakan, memproduksi, mengedarkan,

mengimpor, memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika golongan

35
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi/Diskresi Kepolisian, Pradya Paramita,
Jakarta, 1990, hal. 169.
Universitas Bung Karno
27

I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama

15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 dan paling banyak

Rp.750.000.000,00.".

Hukum adalah kenyataan sosial, Antony Allot menyebut “Laws or actual

legal systems are a social reality.” Secara sosiologi, tindak pidana

penyalahgunaan psikotropika telah bersifat transnasional yang dilakukan

dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,

didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan

korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat

membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Tindak pidana

penyalahgunaan psikotropika bukan lagi menjadi masalah di masing-masing

negara melainkan masalah bagi semua negara di dunia. Oleh sebab itu

dibutuhkan mekanisme kerjasama antara penegak hukum di masing-masing

negara. Pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana

merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung

sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah

melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak pidana atau

tin Bab I pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “Nullum Delicttum

Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenale”, yang pada intinya menyatakan

bahwa tiada sutau perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan

Undang-undang yang mengatur sebelumnya. Jadi disinilah letak perbedaan

istilah hukum dan pidana. Artinya adalah bahwa pidana harus berdasarkan

ketentuan Undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya.

Universitas Bung Karno


28

Guna memahami lebih jauh tentang, pidana, hukum dan hukum pidana

maka perlu dicermati definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum,

diantaranya adalah :

1. Pendapat Sudarto, tentang pidana, beliau menyatakan pidana adalah

penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.

2. Simorangkir, merumuskan definisi hukum, sebagai peraturan-peraturan

yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku mausia dalam

lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,

pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya

tindakan, yaitu dengan hukuman yang tertentu.

3. Chaerudin, memberikan deginisi hukum pidana yaitu sebagai berikut;

a. Hukum pidana adalah hukum sanksi, definisi ini diberikan berdasarkan

ciri yang melekat pada hukum pidana yang membedakan dengan

lapangan hukum lain.

b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai

perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.

c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai :

1) Perbuatan yang dilarang yang disertai ancaman berupa pidana bagi

pelanggannya.

2) Dalam keadaan apa terhadap pelanggar dapat dijatuhi hukuman

3) Bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya.

Universitas Bung Karno


29

Definisi tersebut di atas, dapat dicermati bahwa hukum pidana dapat

dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi. Selain itu, antara

hukum dan pidana juga mempunyai persamaan, keduanya berlatar belakang

tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat

sesuatu dan seterusnya. Dengan demikian norma dan sanksi sama-sama

merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia

ada ketentuan yang harus di taati dalam pergaulan yang menjamin ketertiban

hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman

pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat di taati.

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah : “Perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.” 36 Jadi

berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang

dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa

merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan

hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan

sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan

sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang

melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.

Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi

dalam 3 (tiga) kelompok teori, yaitu:

1. Teori absolut atau pembalasan (retributive/vergeldings theorieen);

2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitirian/doelthorieen);


36
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hal. 59.
Universitas Bung Karno
30

3. Teori gabungan (verenigings teorieen).

Ad. 1. Teori absolut

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah

melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana

merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada

orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak

pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johannes Andenaes

tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah “untuk

memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the clams of justice) sedangkan

pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.37

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam

pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai

berikut: “...pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk

mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun

bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang

yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk

menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh

terakhir yang masih ada di dalam penjara harus di pidana mati sebelum

resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus

dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari

perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota

37
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
2005, hal. 10-17.
Universitas Bung Karno
31

masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang

sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan

pelanggaran terhadap keadilan umum”.

Jadi menurut pendapat Kant, pidana merupakan suatu tuntutan

kesusilaan. Kant, memandang pidana sebagai “Kategorische Imperatief” yakni:

seseorang harus di pidana oleh hakim karena ia telah melakukan kejahatan.

Pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan

mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).

Dalam buku John Kalpan, teori retribution ini dibedakan lagi menjadi

dua teori, yaitu:

1. Teori pembalasan (the revenge theory), dan

2. Toeri penebusan dosa (the expiation theory).

Menurut John Kalpan kedua teori ini sebenarnya tidak berbeda,

tergantung dari cara orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana yaitu

apakah pidana itu dijatuhkan karena kita “menghutangkan sesuatu kepadanya”

atau karena “ia berhutang sesuatu kepada kita”. Pembalasan mengandung arti

bahwa hutang si penjahat “telah dibayarkan kembali” (the criminal is paid

back) sedangkan penebusan mengandung arti bahwa si penjahat “membayar

kembali hutangnya” (the criminal pays back).

Ad. 2. Teori relatif

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut

dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya

sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu

Universitas Bung Karno


32

menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai “teori perlindungan

masyarakat” (the theory of social defence). Menurut Nigel Walker teori ini

lebih tepat disebut teori aliran reduktif (the “redictive” point of view) karena

dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi

kejahatan. Oleh karena itu para penganutnya dapat disebut golongan

“Reducers” (Penganut teori reduktif).

Pidana bukan sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-

tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga

disebut teori tujuan (Utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana

menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan

“quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne

peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).

Ad. 3. Teori gabungan

Di samping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti

dikemukakan di atas, yaitu teori absolut dan teori relatif, ada teori ketiga yang

disebut teori gabungan (verenigings theorieen). Penulis yang pertama

mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi (1787-1848). Pellegrino

Rossi, selain tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan

bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pebalasan yang adil,

namun Pellegrino Rossi berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai

pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan

prevensi general. Penulis-penulis lain yang berpendirian bahwa pidana

Universitas Bung Karno


33

mengandung pelbagai kombinasi tujuan ialah Binding, Merkel, Kohler,

Richard Schmid dan Beling.

Teori gabungan mendasarkan pidana pada asas pertahanan tata terbit

masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu adalah menjadi dasar dari

penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu

tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya

dipertahankannya tata tertib masyarakat.

2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,

tetapi penderitaan atas dijatuhnya pidana tidak boleh lebih berat dari pada

perbuatan yang dilakukan terpidana.

Pendukung dari teori gabungan yang lebih menitikberatkan pada

pembalasan ini didukung oleh Pompe, yang mempunyai pandangan bahwa

pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk

mempertahankan tata tertib hukum agar supaya kepentingan umum dapat

diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu

dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib hukum di

dalam masyarakat.38

Tujuan pemidanaan di Indonesia adalah sebagai tahap formulatif dalam

penegakan hukum yang erat kaitannya dengan pelaksanaan pemidanaan

khususnya pidana penjara dan pembinaan narapidana sebagai tahap eksekusi

dalam penegakan hukum. Salah satu upaya untuk mengetahui tujuan

38
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002. hal. 162.
Universitas Bung Karno
34

pemidanaan adalah dengan melihat pada peraturan perundang-undangan yang

dalam hal ini KUHP.39

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelaku adalah orang yang

melakukan suatu perbuatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Pelaku Tindak

Pidana adalah orang yang melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan yang

dapat dikenakan hukuman pidana, dalam hal ini perbuatan pidana yang

dilakukan adalah tindakan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.

Menurut KUHP, macam pelaku yang dapat dipidana terdapat pada Pasal

55 dan Pasal 56 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :

1. Pasal 55 KUHP.

a. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana : Mereka yang melakukan, yang

menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Mereka

yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman

atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau

keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.

b. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja yang dianjurkan

sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

2. Pasal 56 KUHP. Dipidana sebagai pelaku kejahatan : Mereka yang dengan

sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. Mereka yang

39
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal (Criminal Policy). Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 1984, hal. 34.
Universitas Bung Karno
35

dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.

Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis,

terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan

pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak

dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial.

Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil

dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan

dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa

diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan.40

Tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, adalah

sebagai berikut : ”Untuk menakut-nakuti orang agar orang tersebut jangan

sampai melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (general

preventive) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan

kejahatan agar di kemudian hari orang itu tidak melakukan lagi kejahatan”.41

Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan tujuan

umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum adalah

berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang

sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk sama-sama yang akan

datang. Lebih lanjut Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan adalah:

40
Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. ELSAM,
Jakarta, 2005, hal. 10
41
Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Akademika
Pressindo, Jakarta, 1983, hal. 26.
Universitas Bung Karno
36

1. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan

orang banyak (general preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu

orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak

melakukan kejahatan lagi (special preventie);

2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan

suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga

bermanfaat bagi masyarakat;

3. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara,

masyarakat, dan penduduk, yakni:

a. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota

masyarakat yang berbudi baik dan berguna

b. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Romli Atmasasmita, mengemukakan, jika dikaitkan dengan teori

restributif tujuan pemidanaan adalah:

1. Dengan pemidanaan maka si korban akan merasa puas, baik perasaan adil

bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan tersebut tidak dapat

dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai

hukum. Tipe restributif ini disebut vindicative.

2. Dengan pemidanaan akan memberikan peringatan pada pelaku kejahatan

dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan

orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sah atau

tidak wajar, akan menerima ganjarannya.

Universitas Bung Karno


37

3. Pemidanaan dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara

apa yang disebut dengan the grafity of the offence dengan pidana yang

dijatuhkan. Tipe restributif ini disebut dengan proportionality. Termasuk ke

dalam ketegori the grafity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau

dapat juga termasuk sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang

dilakukan dengan sengaja maupun karena kelalainnya.42

Bahwa terhadap tindak pidana psikotropika golongan I, apapun

kualifikasi perbuatan pelaku tindak pidana diancam dengan pidana yang sama.

Hal ini berbeda dengan tindak pidana terhadap psikotropika golongan lainnya

yang membedakan ancaman hukuman satu dengan lainnya sesuai dengan

kualifikasi perbuatan yang dilakukan pelaku. Dengan tidak dibedakannya

pemidanaan terhadap kualifikasi perbuatan didalam tindak pidana psikotropika

golongan I atau dengan kata lain pembuat UndangUndang menyama ratakan

ancaman pidana terhadap kualifikasi perbuatan, maka pada gilirannya akan

bermuara pada persoalan pada saat hakim menjatuhkan putusan terhadap

pelaku tindak pidana psikotropika golongan I tersebut.

Ketika hakim dihadapkan pada kasus tindak pidana psikotropika

golongan I, maka bagaimanapun bentuk kualifikasi perbuatan, hakim tidak

mempunyai pilihan kecuali menjatuhkan pidana seperti yang diatur di dalam

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika yaitu

pidana penjara minimal 4 (empat) tahun dan pidana. denda minimal

Rp.150.000.000,00. Pidana. tersebut merupakan pidana minimal yang terdapat

42
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Mandar Maju,
Bandung. 1995, hal. 83-84.
Universitas Bung Karno
38

di dalam Pasa 159 Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

Apabila dilihat dari sisi keadilan, maka pemidanaan tersebut dirasa kurang

memenuhi rasa keadilan, akan tetapi majelis hakim tidak mempunyai pilihan

lain. Tujuan pidana memang semakin hari semakin menuju kearah sistem yang

lebih manusiawi dan lebih rasional.43 Yang dipandang tujuan yang sekarang

ialah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan, baik ditujukan kepada pelanggar

hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi

penjahat, perlindungan kepada masyarakat serta perbaikan kepada penjahat.

43
Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia, Bina
Cipta, Bandung, 1992, hal. 61.
Universitas Bung Karno

Anda mungkin juga menyukai