Anda di halaman 1dari 27

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

Studi tentang motif pelaku penganiayaan yang menyebabkan matinya orang


yang dilakukan oleh ayah terhadap anak kandung
( Suatu Studi deskriptif di Pengadilan Negeri Surakarta)

Oleh :
Umi Prasetyaningrum
E.0000212

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Motif


Menurut W.J.S. Poerwadarminto, motif adalah sebab-sebab yang menjadi
dorongan; tindakan seseorang; dasar pikiran/pendapat, sesuatu yang menjadi
pokok alasan. Sedang pendapat dari E.S.T. Harahap, motif adalah dasar atau
alasan sesuatu perbuatan atau kelakuan.
Penulis berpendapat bahwa, motif adalah suatu alasan, sebab, power (daya
penggerak) yang mendasar berasal dari hati untuk melakukan suatu perbuatan
yang dikehendaki oleh pelaku sendiri.

B. Tinjauan Tentang Tindak Pidana


1. Pengertian Tindak Pidana
Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang
juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Oleh karena KUHP
Indonesia bersumber pada WvS Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu
strafbaar feit. Simon menerangkan, bahwa strafbaar feit adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggung jawab. Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan
orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.(Moeljatno, 1993;56)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Maka timbullah masalah dalam menterjemahkan istilah itu kedalam


bahasa Indonesia. Ada beberapa istilah mengenai tindak pidana antara lain :
1. Tindak pidana
2. Perbuatan Pidana
3. Pelanggaran Pidana
4. Perbuatan yang Boleh Dihukum
5. Perbuatan yang dapat Dihukum
Pengertian dari istilah itu juga bermacam-macam yang disampaikan
oleh para ahli hukum.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum yang melarang.(Moeljatno, 1993;130)
Peristiwa pidana menurut Simon adalah perbuatan salah dan melawan
hukum yang diancam pidana, yang dilakukan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab.(zamhari Abidin, 1986;21)
Perbuatan pidana menurut Bambang Poernomo adalah suatu perbuatan
yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi
siapa saja yang melanggar larangan tersebut.(1982;130)
R. Tresna berpendapat peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman.(R. Tresna, 1959;271)
Sudarto melihat adanya dua kelompok sarjana yang berpendirian atau
berpandangan monistis yaitu semua unsur-unsur dari tindak pidana itu sebagai
satu kesatuan yang utuh, sehingga memungkinkan dijatuhkan pidana kepada
pelakunya, dan mereka yang berpandangan dualistis yang memisahkan
perbuatan dengan pelakunya, artinya jika perbuatan itu telah memenuhi unsur-
unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang, maka perbuatan itu
merupakan suatu tindak pidana, tentang masalah dapat dipidananya pelaku
masih harus ditinjau secara tersendiri apakah pelaku itu memenuhi kualifikasi
tertentu sehingga ia dapat dijatuhi pidana. Dengan kata lain mereka yang
berpandangan dualistis memisahkan antara perbuatan yang jahat dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pertanggungjawaban pelakunya, atau memisahkan antara criminal act dan


criminal responsibility. Pandangan dualistis memiliki manfaat guna
mempertajam pengertiannya yaitu apakah syarat-syarat tertentu itu melekat
pada perbuatannya atau pelakunya.
Wirjono Prodjodikoro merumuskan definisi pendek mengenai tindak
pidana yaitu suatu perbuatan yang pelakunya bisa dikenakan pidana. Dalam
pasal 1 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan.
Berdasar hal tersebut diatas seseorang dapat dihukum jika :
1. ada norma pidana tertentu
2. norma pidana berdasar undang-undang
3. norma pidana tersebut harus telah berlaku sebelum perbuatan itu
terjadi.
Mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat beberapa pendapat yang
berbeda antara lain menurut Prof. Sudarto yaitu pertanyaan unsur-unsur tindak
pidana tidak mempunyai arti penting atau prinsipil bagi hukum pidana
materiil, yang penting adalah untuk hukum acara pidana formal yaitu guna
syarat penuntutan dan yang bersangkut paut dengan itu, maka unsur-unsur
dalam perumusan peraturan pidana itu yang harus dituduhkan dan dibuktikan.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk menjabarkan suatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka
yang mula-mula dapat kitajumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan
manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan
yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat
didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat
dijabarkan ke dalam unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang
melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan
termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur obyektif itu adalah unsur-


unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam
keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan.
Menurut P.A.F. Lamintang kedua unsur-unsur tersebut adalah :
Unsur-unsur subyektif dari tindak pidana itu adalah :
1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus/culpa);
2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging
seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat1 KUHP;
3. macam-macam maksud atau oogmerk;
4. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad;
5. perasaan takut atau vress
Unsur-unsur obyektif dari tindak pidana adalah :
1. sifat melanggar hukum;
2. kualitas dari pelaku;
3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
(P.A.F. Lamintang, 1997:193-194)
Sedang menurut van Bemmelen, ia membedakan unsur-unsur tindak
pidana menjadi dua yaitu unsur dalam arti yang luas yang ada dalam azas-
azas hukum umum dan unsur-unsur dalam arti sempit yang dijumpai dalam
setiap rumusan delik. Unsur dalam arti luas yang tidak terdapat dalam
rumusan delik yang terdapat dalam buku 1 KUHP yaitu :
1. hal dapat dipertanggungjawabkannya suatu tindakan atau akibat
kepada pelaku;
2. hal dapat dipertanggungjawabkannya tindakan atau akibat nya;
3. dapat dipersilahkannya tindakan atau akibat kepada pelaku
karena telah dilakukannya dengan bentuk dolus atau culpa;
4. bersifat melawan hukum.
Menurut Hazwinkel Suringa mengemukakan unsur-unsur tindak pidana
yang diambil dari rumusan undang-undang adalah :
1. tindakan atau perbuatan orang;
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. adanya akibat konstitutif (dalam delik materiil);


3. dalam beberapa delik disebutkan mengenai unsur-unsur psikis;
4. adanya keadaan obyektif dalam beberapa delik;
5. dalam beberapa delik terdapat faktor subyektif psikis atau
subyektif non psikis;
6. ada yang memuat syarat tambahan untk dapat dipidana;
7. dalam beberapa delik terdapat sifat melawan hukum yang
disebut dengan tegas.
Menurut Pompe, maka unsur-unsur peristiwa pidana adalah :
1. pelanggaran norma;
2. adanya kesalahan;
(Zamhari Abidin, 1986;21)
Menurut Simon, maka unsur-unsur peristiwa pidana itu adalah :
1. perbuatan atau tindakan manusia (handeling), bersumber dari salah
satu :
a) Undang-undang
b) Jabatan
c) Perjanjian
2. bersifat melawan hukum
3. diancam oleh hukuman
4. dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab
5. harus dilakukan karena kesalahan si pembuat.
(Zamhari Abidin, 1986:22)
Dari berbagai uraian tentang unsur-unsur tindak pidana maka dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana itu dapat digolongkan menjadi
dua yaitu yang terdapat dalam diri pelaku dan di luar pelaku.
C. Pertanggungjawaban Pidana
Azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah : “Tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan”(Geen straf Zonder schuld; Actus non facit
reum nisi mens sir rea).(Moeljatno,1993:153)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu perbuatan


pidana tidak mungkin dikenakan pidana, sekalipun banyak orang mengerti
misalnya, bahwa perangai atau niatnya orang itu buruk. Pendek kata bahwa
orang yang tidak disukai atau dicemooh dalam masyarakat, tetapi untuk
dijatuhi pidana, untuk dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana
tidaklah mungkin selama dia tidak melanggar larangan pidana. Dengan
demikian ternyata, bahwa orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika
dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat
dapat dicela karena, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan
masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut.
Kecuali itu, orang juga dapat dicela karena melakukan perbuatan
pidana, jika dia meskipun tidak sengaja dilakukan, tapi terjadinya perbuatan
tersebut dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-
kewajibannya yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang sepatutnya
dijalankan. Selain dari dua hal tersebut diatas orang juga dapat melakukan
perbuatan pidana pada hal tidak mungkin dikatakan bahwa ada kesengajan
atau kealpaan, sehingga dia tidak dapat dicela apa-apa.
Sedang untuk arti kesalahan adalah adanya syarat-syarat yang
mendasarkan celaan personil terhadap orang yang melakukan perbuatan.
Menurut Simon, “Kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu
pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara
keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa,
hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan
tadi.(Moeljatno,1993;158)
Dari ucapan itu ternyata bahwa untuk adanya kesalahan harus
dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana, yaitu :
adanya keadaan psychis (batin) yang tertentu, dan
adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan
perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.
Mengenai masalah keadan batin orang yang melakukan perbuatan
sebagai hal yang kedua adalah apa yang dalam teori merupakan masalah :
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kemampuan bertanggung jawab. Ini adalah dasar yang penting untuk adanya
kesalahan, sebab bagaimanapun juga, keadaan jiwa terdakwa harus demikian
rupa hingga dapat dikatakan sehat normal.
Jadi untuk adanya kesalahan, hubungan antara keadaan batin dengan
perbuatannya yang menimbulkan celaan tadi harus berupa kesengajaan atau
kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk-bentuk
kesalahan.
Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar,
sedangkan kealpaan merupakan kesalahan yang kecil. Karena dalam
kesengajaan orang yang melakukan perbuatan dan mengerti bahwa itu
dilarang menunjukkan sikap batin yang lebih jahat daripada sikap batin orang
karena alpa atau lalai tentang kewajiban-kewajiban, menimbulkan perbuatan
pidana. Tapi kalau dilihat bukan dari segi orang yang melakukan, melainkan
dari segi masyarakat yang dirugikan karena perbuatan tadi, menurut Moeljatno
kedua bentuk itu adalah sama beratnya.(Moeljatno, 1993;163)
Kesengajaan menurut MvT adalah kehendak yang disadari yang
ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Untuk itu perlu dikemukakan
tentang adanya teori-teori sengaja, yaitu :
teori kehendak atau wilstheorie yaitu kehandak merupakan hakikat
sengaja yang berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan
ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh
perbuatan yang dilakukan itu.
Teori membayangkan atau Voorstellings-theorie yaitu bahwa
secara psikologis, tidak mungkin suatu suatu akibat dapat
dikehendaki, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu
akibat, ia hanya dapat membayangkan, mengingini mengharapkan
atau membayangkam adanya suatu akibat.
(Andi Hamzah, 1997;108)
Dalam hukum pidana kita dikenal tiga macam corak kesengajaan
yaitu :
1. Sengaja dengan maksud
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Yaitu apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia


tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pembuat
mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi.
2. Sengaja dengan sadar kepastian
Yaitu apabila pembuat yakin bahwa akibat yang
dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat
yang tidak dimaksud. Menurut teori kehendak, apabila pembuat
juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut serta
mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih duli telah dapat
digambarkan sebagai suatu akibat yang tidak dapat dielakkan
terjadinya maka orang itu melakukan kesengajaan dengan sadar
kepastian.
3. Sengaja dengan kemungkinan terjadi
Yaitu disebut pula sengaja bersyarat, apabila pembuat tetap
melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan
akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi.
(Andi Hamzah, 1997;103-113)
Untuk kelalaian undang-undang tidak memberikan definisinya. MvT
mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan.
Van Hamel membagi culpa atas dua jenis :
Kurang melihat ke depan yang perlu,
Terjadi jika terdakwa tidak menbayangkan secara tepat akibat yang
akan terjadi.
Kurang hati-hati yang perlu
Harus ada perbuatan yang tidak boleh atau tidak dengan cara
demikian dilakukan.
(Andi Hamzah, 1997;125)
Dengan demikian bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa harus :
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
b. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa


kesengajaan atau kealpaan
d. Tidak ada alasan pemaaf

D. Beberapa Teori Tentang Kausalitas


1. Pentingnya Kausalitas
Sebagaimana diketahui bahwa hubungan sebab akibat akan senantiasa
ditemui dalam setiap peristiwa atau kejadian dalam kehidupan yang
merupakan rangkaian kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Namun
demikian keanekaragaman hubungan sebab akibat tersebut kadang
menimbulkan berbagai permasalahan yang tidak pasti, karena tidaklah
mudah untuk menentukan mana yang menjadi sebab dan mana menjadi
akibat, terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkai yang
menimbulkan akibat. Ajaran sebab akibat diperlukan dalam :
Penting dalam hubungan dengan delik materiil, yaitu delik yang
melihat pada akibat dari suatu perbuatan. Dalam delik materiil,
terjadinya akibat yang dilatang itulah yang menyebabkan jatuhnya
hukuman.
Untuk menentukan tanggung jawab pidana
Sebagai akibat daripada delik dengan pemberatan.
Ajaran-ajaran yang membahas hubungan antara penyebab dengan
sesuatu akibat dalam pengertiannya yang bersifat prinsipal ataupun yang
bersifat umum, yaitu tentang bilamana sesuatu faktor itu dapat dianggap
sebagai suatu penyebab dari sesuatu akibat, sebenarnya merupakan ajaran-
ajaran yang baru di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, oleh karena
hingga abad kesembilan belas baik para penulis maupun Undang-undang
Pidana sendiri masih membatasi pembicaraan mengenai hubungan antara
penyebab dengan sesuatu akibat itu hanya pada satu masalah saja yaitu pada
delik pembunuhan.(P.A.F. Lamintang, 1997;237)
Dalam ajaran-ajaran yang baru, orang berusaha untuk menemukan
sesuatu azas yang sifatnya umum yang dapat dipergunakan sebagai suatu
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pedoman untuk memastikan tentang bilamana sesuatu tindakan itu dapat


dipandang sebagai penyebab dari sesuatu akibat yang telah timbul.
Dari penjelasan di atas kiranya segera dapat diketahui bahwa tidak
setiap tindakan atau tidak setiap keadaan itu dengan sendirinya dapat
dianggap sebagai suatu penyebab dari sesuatu akibat, melainkan hanyalah
tindakan-tindakan atau keadaan-keadaan yang telah dilakukan dengan
sengaja atau keadaan yang terjadi itu disebabkan karena adanya kesengajaan
pada diri pelaku.
2. Teori Conditio Sine Qua Non
Merupakan teori yang pertama kali lahir. Yang mencetuskan
adalah Von Buri pada tahun 1873, bahwa semua faktor, yaitu semua
syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat
dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus
dianggap causa (sebab) akibat itu. Tiap faktor-faktor yang adanya tidak
perlu untuk terjadinya akibat yang bersangkutan, (tidak diberi nilai).
Demikian sebaliknya tiap faktor yang tidak dapat dihilangkan dari
rangkaian faktor-faktor tersebut, yaitu yang adanya perlu untuk terjadinya
akibat yang bersangkutan, harus diberi nilai yang sama. Semua faktor
tersebut adalah sama dan sederajat. Karena adanya faktor-faktor yang
tidak dapat dihilangkan itu perlu untuk terjadinya akibat yang
bersangkutan, maka teori Von Buri disebut pula dengan teori conditio sine
qua non. Karena menurut Von Buri semua faktor yang tidak dapat
dihilangkan itu harus diberi nilai sama, maka teorinya juga dikenal
dengan teori ekuivalensi. Apabila faktor-faktor diartikan sebagai tindakan
manusia, maka setiap tindakan itu haruslah dipandang sebagai penyebab-
penyebab yang secara bersama-sama telah memungkinkan timbulnya
akibat, dimana nasing-masing tindakan itu telah tidak kehilangan sifatnya
sebagai suatu penyebab dikarenakan adanya lain-laun tindakan atau lain-
lain keadaan yang telah ikut berperan atas timbulnya akibat yang sama.
Dengan perkataan lain maka setiap syarat itu juga merupakan penyebab
dari akibat yang sama. Dengan demikian teori Von Buri menerima
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

beberapa causa. Disamping itu juga disebut dengan Bedingungstheorie,


oleh karena antara Bedingung (syarat) dengan causa (sebab) itu tidak ada
perbedaan.(Andi Hamzah, 1994;168-169)
MenurutVan Hamel, teori conditio sine qua non merupakan satu-satunya
teori yang secara logis dapat dipertahankan. Teori-teori lain tidak
mempunyai dasar yang pasti dan tegas di dalam menentukan batasnya
musabab. Untuk digunakan di dalam hukum pidana pasti teori conditio
sine qua non adalah baik, asal saja didampingi atau dilengkapi dengan
teori tentang kesalahan yang baik.(Moeljatno, 1993;92)
Sedang menurut Moeljatno, beliau tidak menyetujui jalan pikiran dari Van
Hamel, karena dengan menyamaratakan nilai tiap-tiap musabab dan syarat,
meskipun hal itu secara logis adalah benar, tapi itu bertentangan dengan
pandangan umum dalam pergaulan masyarakat, yang justru membedakan
antara syarat dan musabab. Bagi mereka seperti Van Hamel, tidak
mengadakan pemisahan tersebut, bahkan strafbaar feit adalah dapat
dipidananya seseorang karena perbuatannta cara yang dianjurkan oleh Van
Hamel tidak menjumpai keberatan. Di samping perbedaan pandangan di
atas masih ada keberatan lain yaitu bahwa, hubungan kausal tak mungkin
dikorigir oleh ajaran tentang kesalahan, sebab yang pertama letaknya
dalam lapangan lahir, sedangkan yang belakangan ada dalam lapangan
batin.(Moeljatno, 1993;93)
Dengan tidak mengadakan perbedaan antara syarat musabab, maka
sekalipun secara teoritis adalah betul, teori conditio sine qua non tidaklah
sesuai dengan praktek, karena dalam pergaulan masyarakat justru diadakan
perbedaan antara syarat dan musabab tadi. Juga dapat dikatakan, bahwa
apa yang dipandang sebagai musabab oleh teori conditio sine qua non itu,
untuk praktek adalah terlampau luas. Karena itu harus diadakan batasan
dengan mengadakan perbedaan antara mana yang menjadi musabab dan
mana yang merupakan syarat belaka.
Penganut dari teori Von Buri antara lain Van Hamel, Zevenbergen, Vos,
dan Hazewinkel Suringa.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam perkembangannya teori Von Buri banyak menimbulkan berbagai


tanggapan dari kalangan ahli hukum yang selanjutnya telah timbul
berbagai teori yang semuanya bermaksud untuk memberikan suatu
pembatasan terhadap pendapat Von Buri di atas, di mana teori-teori
tersebut oleh L.Trager di dalam bukunya telah dibagi menjadi dua
kelompok teori dan masing-masing ia sebut sebagai individualiseerende-
theorie dan generaliseerende-theorie.(P.A.F. Lamintang, 1997;239)
3. Teori Individualisasi
Teori ini melihat sebab in concreto. Hal-hal yang khusus diukur
menurut pandangan individual, antara syarat dan sebab diadakan
pembedaan(Zamhari Abidin,1986;17)
Dalam teori ini orang berusaha untuk mnyelidiki semua syarat
yang kiranya ada dalam post factum untuk menemukan satu syarat yang
dapat dianggap sebagai syarat yang paling menentukan atau paling
berperan atas timbulnya sesuatu akibat.(P.A.F. Lamintang, 1997;239)
Yang terkenal dalam golongan ini adalah teori yang diajukan oleh
Brickmeyer, beliau mengambil sebagai pangkal bertolak teori Conditio
Sine Qua Non. Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat
dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicarinya syarat manakah yang
dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk
terjadinya akibat. Karenanya maka teori ini dinamakan Theory der meist
wirksame Bedingung. Kebertan yang diajukan terhadap teori ini ialah :
bagaimana dapatnya mengukur kekuatan sesuatu syarat untuk
menentukan mana yang paling kuat, yang paling banyak membantu pada
timbulnya akibat. (Moeljatno, 1993;100)
Teori ini juga ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah terutama
apabila di antara semua faktor berpengaruh atau apabila sifat dan
coraknya dalam rangkaian faktor-faktor itu tidak sama. Di dalam teori
mengindividualisasi ini termasuk juga teori Ubergewichts-theori yang
dikemukakan oleh Binding yang dianut pula oleh Scheper(Andi Hamzah,
1994;171)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Scheper hal-hal yng penting dalam pandangannya adalah :


a. Hubungan kausal letaknya di lapangan Sein, lapangan lahir, hal
mana harus dipisahkan dari pertanggungjawaban yang ada di
lapangan Sollen, lapangan bathin.
b. Musabab adalah kelakuan yang mengadakan faktor perubahan
dalam suasana keseimbangan yang menjadi pangkal peninjauan
dari kompleks kejadian yang harus diselidiki dan memberi arah
dalam proses alam, menuju kepada akibat yang dilarang.
c. Meskipun ukuran Faktor perubahan yang menuju ke arah akibat
tersebut dalam positifnya dan kepastiannya hanya relatif saja,
tetapi secara negatif sudah dapat ditarik batas yang pasti, yaitu
bahwa : manakala untuk kejadian itu selain daripada hubungan
yang kita dapatkan, masih ada lain kemungkinan untuk
menerangkannya yang sama kuatnya atau melebihi dari
hubungan yang pertama itu tidak kuat untuk dijadikan dasar
dari delik.(Moeljatno, 1993;102)
Dalam teori ini Binding telah melukiskan seolah-olah
terdapat dua macam syarat, di mana yang pertama itu merupakan
syarat-syarat yang mempunyai peranan atas timbulnya sesuatu
akibat dan yang kedua merupakan syarat-syarat yang menghambat
timbulnya sesuatu akibat. Yang dipandang sebagai penyebab dari
sesuatu akibat itu hanyalah tindakan yang paling positif telah
mendukung syarat-syarat yang pertama dibanding dengan tindakan-
tindakan yang lainnya.(P.A.F. Lamintang, 1997;240)
Menurut Kohler, dalam teori ini dipilih manakah yang
paling memberi ketentuan bagi timbulnya sesuatu (Art des
Werdens).(Zamhari Abidin, 1986;17)
4. Teori Generalisasi
Teori ini melihat sebab in abstracto, menurut perhitungan yang
layak, mana-mana yang kiranya akan menimbulkan sesuatu
akibat.(Zamhari Abidin, 1986;17)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Yang termasuk dalam teori Generalisasi yaitu :


4.1 Teori Adaequaat dari J. Von Kries
Golongan yang paling terkenal dari teori Generalisasi adalah teori
adaequaat, yang dipelopori oleh J. Von Kries seorang sarjana mathematica
Jerman. Adaequaat artinya ialah sebanding, seimbang, sepadan. Jadi
dikaitkan dengan delik, maka perbuatan harus sepadan, seimbang, atau
sebanding dengan akibat yang sebelumnya dapat diketahui, setidak-
tidaknya dapat diramalkan dengan pasti oleh pembuat. Teori Von Kries
dapat juga disebut sabagai teori generalisasi yang subyektif adaequaat,
oleh karena menurut beliau yang menjadi sebab dari rangkaian faktor-
faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja
yang dapat diterima yaitu sebelumnya telah dapat diketahui oleh si
pembuat.(Andi Hamzah, 1994;171)
Menurut teori ini, musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada
umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu
menimbulkan akibat atau kejadian tersebut.(Moeljatno, 1993;96)
Yang dimaksud dengan normal ialah sepanjang terdakwa
mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan-keadaan di sekitar
akibat.
Simon berpendapat, bahwa tindakan yang dapat dianggap sebagai
suatu penyebab itu sebaiknya adalah tindakan yang menurut pengalaman
orang, biasanya diketahui dapat menimbulkan akibat semacam itu. Dengan
demikian maka untuk menentukan apakah sesuatu tindakan itu dapat
dipandang sebagai suatu penyebab dari sesuatu akibat atau tidak, orang
tidak perlu terlalu mencurahkan perhatiannya masalah pengetahuannya
tentang sesuatu hal yang berkenaan dengan tingkat pendidikannya dan
lain-lain, melainkan cukup apabila orang memperhatikan keadaan-keadaan
yang pada umumnya diketahui orang, termasuk diri pelaku dengan
mengingat pengalaman apakah dalam keadaan-keadaan semacam itu
biasanya orang dapat memperhitungkan kemungkinan timbulnya sesuatu
akibat tertentu.(P.A.F. Lamintang, 1997;241-242)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sedang menurut Pompe mengenai hal ini berpendapat sebagai berikut :


musabab adalah hal yang cenderung atau yang mengandung kekuatan
untuk menimbulkan akibat di dalam keadaan itu. Untuk menentukan
apakah sesuatu tindakan itu dapat disebut sebagai suatu penyebab dari
timbulnya sesuatu akibat, maka orang harus berusaha untuk menyelidiki
semua keadaan yang terdapat pada waktu tindakan tersebut telah dilakukan
oleh pelakunya dan memberikan suatu penilaian secara wajar apakah
tindakan dari pelaku tersebut hanya layak untuk disebut sebagai suatu
penyebab dari timbulnya akibat tersebut.(P.A.F. Lamintang, 1997;243)
Dalam teori ini juga orang berusaha untuk membuat pemisahan
antara syarat yang satu dengan syarat yang lain untuk kemudian kepada
masing-masing syarat tersebut diberikan suatu penilaian sesuai dengan
pengertiannya yang umum dan layak untuk dipandang sebagai penyebab
dari sesuatu peristiwa yang terjadi. Dan juga orang berusaha untuk melihat
ke dalam ante factum atau berusaha untuk melihat pada sesuatu tindakan
itu telah dilakukan untuk menemukan faktor-faktor yang layak atau faktor-
faktor yang adekuat untuk dapat disebut sebagai penyebab dari sesuatu
peristiwa yang terjadi.(P.A.F. Lamintang, 1997;239)
4.2 Teori Adaequaat dari Traeger
Menurut Traeger bahwa akibat delik haruslah in het algemen
voorzienbaar yang artinya adalah pada umumnya dapat disadari sebagai
suatu yang ungkin sekali dapat terjadi. Teori tersebut diberi komentar oleh
Van Bemmelen bahwa yang disebut dengan in het aldemeen voorzienbaar
ialah een hogemate van waarschijnlijkheid yang artinya adalah disadari
sebagai sesuatu yang sangat mungkin dapat terjadi. Teori Traeger dalam
hal ini dapat dimasukkan atau dikelompokkan ke dalam teori adaequat dari
Von Kries.(Andi Hamzah, 1994;172)
4.3 Teori Obyektif-Nachtragliche Prognose
Menurut Moeljatno, bahwa teori adequat Von Kries dan juga teori
menggeneralisir lainnya, sedikit atau banyak dalam menentukan ukuran
untuk adanya hubungan kausal adalah kurang obyektif, masih kecampuran
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pandangan subyektif (pengetahuan terdakwa). Oleh karena itu


pandangannya dinamakan subyektif prognose (peramalan yang subyektif).
Di samping ini ada teori adequat yang berpendirian atas peramalan
obyektif, yaitu dengan mengingat keadaan-keadaan. Yang menganjurkan
ini ialah Rumelin.(Moeljatno,1993;110)
Teori Rumelin mengajarkan bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah
faktor obyektif yang diramalkan dari rangkaian faktor-faktor yang
berkaitan dengan terwujudnya delik setelah delik itu terjadi. Tolak ukur
teori tersebut adalah bukan ramalan tetapi menetapkan harus timbul suatu
akibat. Jadi akibat itu walau bagaimanapun harus tetap terjadi dengan cara
mengingat keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudah
terjadinya delik. Tolok ukur tersebut merupakan logika yang dicapai
menurut pengetahuan alam yang subyektif.(Andi Hamzah, 1994;171-172)
Pendek kata dapat disimpulkan, bahwa faktor-faktor yang layak untuk
disebut sebagai penyebab dari sesuatu peristiwa yang terjadi itu adalah
keadaan-keadaan yang pada umumnya dapat diketahui oleh setiap manusia
normal pada saat sesuatu tindakan itu dilakukan, bahwa tindakan tersebut
dapat menimbulkan sesuatu akibat tertentu.(P.A.F. Lamintang, 1997;241)
5. Teori Relevansi
Menurut teori ini, tidak dimulai dengan mengadakan perbedaan antara
musabab dan syarat, seperti teori yang menggenaralisir dan yang
mengindividualisir, tetapi dimulai dengan menginterpretir rumusan delik
yang bersangkutan. Dari rumusan delik yang hanya memuat akibat yang
dilarang dicoba untuk menentukan kelakuan-kelakuan apakah kiranya
yang dimaksud pada waktu membuat larangan tersebut. Meurut Moeljatno,
teori relevansi bukanlah lagi suatu teori mengenai hubungan kausal, tetapi
mengenai penafsiran undang-undang, suatu teori mengenai interpretasi
belaka, maka tentu saja kelakuan yang relevan tadi harus menjadi musabab
dalam proses timbulnya akibat.(Moeljatno, 1993;113)
Menurut Mezger penganut dari teori ini, teori relevansi mengadakan
perbedaan antara pengertian kausal dan pengertian pertanggungjawaaban.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam soal kausal teori tersebut berpegang pada makna kausal secara ilmu
yang umum. Akan tetapi soal pertanggungjawaban ditentukan semata-
mata menurut pandangan dalam hukum pidana, yakni menurut maksudnya
rumusan delik masing-masing pada waktu itu. (Moeljatno, 1993;114)

E. Faktor-faktor Penyebab Kejahatan


1). Faktor-faktor yang timbul dari diri individu (intern)
Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri individu (intern) ini
mempunyai hubungan dengan timbulnya suatu tindakan kejahatan. Untuk
lebih jelasnya faktor intern dapat dibagi dua yaitu, faktor intern yang
bersifat khusus dan faktor intern yang bersifat umum.(Abdulsyani,
1987:43)
1.1 Sifat khusus dalam diri individu
Sifat khusus ini adalah keadaan psikologis diri individu.
Masalah kepribadian sering dapat menimbulkan kelakuan
yang menyimpang, lebih-lebih jika seseorang (individu) dapat
dikategorikan tertekan perasaannya. Orang yang tertekan
perasaannya mempunyai kecenderungan untuk melakukan
penyimpangan, dan penyimpangan ini mungkin terhadap
sistem sosial ataupun terhadap pola-pola kebudayaan.
Ada beberapa sifat khusus yang dapat menimbulkan
kejahatan, yaitu :
1.1.1 Sakit jiwa : orang yang terkena sakit jiwa
mempunyai kecenderungan untuk bersikap
antisosial. Sakit jiwa ini bisa disebabkan adanya
konflik mental yang berlebihan, atau mungkin juga
karena pernah melakukan perbuatan yang dirasa
sebagai dosa besar dan berat. Oleh karena itu
mempunyai kecenderungan untuk melakukan
penyimpangan berupa kejahatan dalam
ketidaksadarannya. Terhadap kejahatan yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dilakukan oleh yang berpenyakit jiwa menurut


hukum tidak dikenakan sanksi, tetapi segera
diamankan.
1.1.2 Daya emosional : masalah emosional erat
hubungannya dengan masalah sosial yang dapat
mendorong seseorang untuk berbuat menyimpang.
Penyimpangan ini dapat mengarah kepada sesuatu
perbuatan kriminal jika orang tersebut tidak mampu
untuk mencapai keseimbangan antara emosinya
dengan kehendak masyarakat.
1.1.3 Rendahnya mental : rendahnya mental ada
hubungannya dengan intelegensia. Jika seseorang
mempunyai daya intelegensia yang tajam dapat
menilai realitas, maka ia dapat menyesuaikan dalam
masyarakat. Sebaliknya, jika seseorang mempunyai
intelegensia rendah, maka ia tidak mampu
menyesuaikan diri dengan masyarakat.
1.1.4 Anomi : Secara psikologis, kepribadian manusia itu
sifatnya dinamis, yang ditandai dengan adanya
kehendak, berorganisasi, berbudaya, dan
sebagainya. Masa anomi biasanya ditandai dengan
ditinggalkannya keadaan yang lama dan mulai
menginjak dalam keadaan yang baru. Sebagai
ukuran orang akan menjadi anomi (bingung) adalah
di kala seseorang berhadapan dengan suatu kejadian
atau perubahan yang belum pernah dialaminya dan
di kala seseorang berhadapan dengan situasi yang
baru, ketika harus menyesuaikan diri dengan cara-
cara yang baru pula.
1.2 Sifat umum dalam diri individu
Dapat dikategori menjadi :
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1.2.1 Umur : sejak kecil hingga dewasa, manusia selalu


mengalami perubahan di dalam jasmani dan
rohaninya. Dengan adanya perubahan-perubahan
tadi maka tiap-tiap masa manusia dapat berbuat
kejahatan, hanya ada perbedaan dalam tingkatan
kejahatan sesuai dengan perkembangan alam pikiran
serta keadaan lain yang ada di sekitar individu pada
masanya.
1.2.2 Sex : hal ini berhubungan dengan keadaan fisik.
Fisik laki-laki lebih kuat daripada wanita. Maka
kemungkinan berbuat jahat sangatlah besar.
1.2.3 Kedudukan individu di dalam masyarakat.
1.2.4 Pendidikan individu : hal ini mempengaruhi
keadaan jiwa, tingkah laku terutama
intelegensianya.
1.2.5 Masalah rekreasi atau hiburan individu : sangat
kurang rekreasi dapat pula menimbulkan kejahatan
dalam masyarakat.
2) Faktor-faktor yang bersumber dari luar diri individu
Faktor-faktor ini berpangkal pada lingkungan di luar
dari manusia, terutama hal-hal yang mempunyai hubungan
dengan timbulnya kejahatan. Antara lain :
2.1 Faktor ekonomi
Menurut teori Karl Marx, bahwa kejahatan hanya suatu
produk dari suatu sistem ekonomi yang buruk terutama
dari sistem ekonomi kapitalis, maka tugas kriminologi
ialah menunjukkan hubungan yang sesungguhnya
antara ekonomi dan kejahatan. Untuk dapat diperjelas
maka dapat dilihat dari :
a. Adanya perubahan harga, maka ada
kecenderungan angka kejahatan semakin naik.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Pengangguran, sempitnya lapangan kerja,


pertambahan penduduk, dan lain-lain.
c. Urbanisasi, karena faktor kegagalan, frustasi,
dan sebagainya yang dapat menimbulkan
kejahatan.
2.2 Faktor agama : norma ini menunjukkan hal-hal yang
dilarang dan yang diharuskan, mana yang baik dan
mana yang buruk, sehingga manusia jika telah
mendalami dan mengerti isi agama ia akan senantiasa
menjadi manusia yang baik.
2.3 Faktor bacaan :bacaan-bacaan yang buruk, porno, dan
kriminalitas merupakan faktor-faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya kejahatan.
2.4 Faktor film : pengaruh film terhadap timbulnya
kejahatan hampir sama dengan pengaruh bacaan, hanya
bedanya terletak pada khayalan si pembaca atau
penonton. Karena penonton dapat langsung
menganalogikan dirinya pada film yang sedang
ditontonnya. Kesan yang mungkin mendalam dari apa
yang telah disaksikan dan didengar serta penyajiannya
yang berbau negatif dipertunjukkan dalam film, dapat
memperjelas sanubari untuk dapat menggugah
khayalan-khayalan baru tentang apa yang disaksikan
tersebut
Dapat juga ditambahkan bahwa kejahatan dapat pula
disebabkan oleh faktor lingkungan, ada pendapat jika
lingkungan merupakan titik sentral. Pengertian lingkungan
meliputi wilayah yang luas dan mencakup faktor fisik dan
juga lingkungan sosial dan ekonomis, di mana kemiskinan
dan pengangguran dipandang sangat penting dan perlu
diperhatikan.(W.M.E. Noach, 1989;94)
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

F. Tinjauan umum Tentang Penganiayaan


1. Pengertian tentang tindak pidana penganiayaan
Undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan
dengan penganiayaan. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan
sebagai penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Termasuk pula sengaja
merusak kesehatan orang. Adanya luka apabila terdapat perubahan
dalam badan manusia yang berlainan dari bentuk semula, sedang
adanya rasa sakit apabila orang lain merasa sakit tanpa adanya
perubahan dalam bentuk badan. Tujuan dari penganiayaan ini tidak
lain adalah untuk melukai orang lain.
2. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan yang menyebabkan mati
Yang berakibat mati disini harus hanya merupakan akibat yang
tidak dimaksud oleh si pelaku. Sedang jika kematian itu dimaksud
maka perbuatan itu masuk pembunuhan.
3. Jenis-jenis Tindak Pidana Penganiayaan
Kejahatan terhadap badan seseorang merupakan salah satu
perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan manusia.
Termasuk didalamnya yang dapat dikategorikan kejahatan semacam
ini adalah penganiayaan, turut serta dalam suatu perkelahian atau
penyerangan, dan sebagainya.
Secara universal kejahatan terhadap badan atau tubuh manusia itu
digolongkan sebagai tindak pidana materiil yang berarti bahwa akibat
yang timbul itu diancam dan dilarang oleh undang-undang.
Jenis-jenis kejahatan terhadap badan atau tubuh antara lain :
a. Penganiayaan biasa
Yang termasuk adalah
Membuat perasaan orang lain tidak enak
Membuat rasa sakit pada orang lain
Menyebabkan luka
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Merusak kesehatan
Semua ini dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud
yang patut atau melewati batas yang diizinkan. Yang termasuk
dalam penganiayaan biasa antara lain yang terdapat dalam Pasal :
1. Pasal 351 ayat (1) : didalam rumusan pasal 351 ayat (1) tidak
terdapat unsur-unsur dari kejahatan ini, hanya disebutkan
kualifikasi atau sebutan kejahatan saja. Kejahatan penganiayaan
dirumuskan sebagai dengan sengaja memberikan penderitaan
badan kepada orang lain dan dengan sengaja merugikan kesehatan
orang lain. Perumusan itu selanjutnya menjadi penganiayaan saja.
Sedang dengan sengaja merugikan kesehatan orang lain
merupakan interpretasi dari Pasal 351 ayat (4) yaitu dengan
penganiayaan dipersamakan dengan sengaja merusak kesehatan
orang.
Unsur dengan sengaja harus meliputi tujuan menimbulkan rasa
sakit atau luka kehendak atau tujuan ini harus disimpulkan dari
perbuatan yang dapat menimbulkan rasa sakit atau luka itu.
Didalam pembuktian atas penganiayaan adalah cukup apabila
termuat bahwa pelaku telah dengan sengaja melakukan perbuatan-
perbuatan tertentu yang menimbulkan kerugian pada kesehatan
orang lain diartikan sebagai melakukan perbuatan dengan maksud
agar orang lain menderita sakit.
2. Pasal 351 ayat (2) : apabila perbuatan dalam ayat (1)
menimbulkan akibat luka berat, yang tidak dikehendaki, hal
ini masalah yang memperberat hukuman. Disini luka berat
bukan menjadi tujuan tapi timbul diluar kehendak. Definisi
luka berat ada dalam Pasal 90 KUHP.
3. Pasal 351 ayat (3): apabila jika mengakibatkan mati, dan
akibat itu tidak dikehendaki oleh pelaku. Tapi jika kematian
dari korban adalah dimaksud maka sudah masuk dalam unsur
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pembunuhan. Tapi akibat dalam ayat ini adalah tidak


dikehendaki oleh pelaku.
4. Pasal 351 ayat (4) : apabila melakukan perbuatan dengan
maksud agar orang lain menderita suatu penyakit sedang
penyakit adalah gangguan atas fungsi dari alat-alat tubuh.
5. Pasal 351 ayat (5) : percobaan untuk melakukan kejahatan
ini tidak dipidana.
a. Penganiayaan Ringan
Adalah penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau
halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan.
b. Penganiayaan dengan Rencana
Adalah penganiayaan yang dilakukan dengan rencana
terlebih dahulu dan diancam dengan hukuman yang lebih
berat. Untuk unsur dengan rencana terlebih dahulu tidak
perlu ada tenggang waktu yang lama antara waktu
merancangkan dan waktu melakukan perbuatan
penganiayaan.
c. Penganiayaan Berat
Adalah penganiayaan yang mengakibatkan luka berat pada
korban dan juga akibat jauh dari penganiayaan berat itu
menyebabkan matinya orang.
d. Penganiayaan Berat dengan Rencana
Adalah Penganiayaan dalam berat yang dilakukan dengan
rencana terlebih dahulu.
4. Sanksi-sanksi terhadapTindak Pidana Penganiayaan
Dalam KUHP dijelaskan bahwa untuk sanksi terhadap
tindak pidana penganiayaan itu telah diatur dalam Pasal 351
sampai dengan Pasal 358. Sanksi-sanksinya antara lain :
a) Untuk penganiayaan biasa
Diatur dalam pasal :
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1. Pasal 351 ayat (1) yaitu Penganiayaan diancam dengan


pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2. Pasal 351 ayat (2) yaitu jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama lima tahun.
3. Pasal 351 ayat (3) yaitu jika mengakibatkan mati,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Pasal 351 ayat (4) yaitu dengan penganiayaan
disamakan sengaja merusak kesehatan.
5. Pasal 351 ayat (5) yaitu percobaan untuk melakukan
kejahatan ini tidak pidana.
b) Untuk penganiayaan ringan
Diatur dalam pasal :
1. Pasal 352 ayat (1) yaitu selain dari pada apa yang
tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, sebagai
penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya
tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 300,00.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang
melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya, atau menjadi bawahannya
Yang termasuk dalam pasal ini ialah penganiayaan yang
tidak :
Menjadikan sakit
Terhalangnya untuk melakukan jabatan atau
pekerjaannya sehari-hari.
2. Pasal 352 ayat (2) yaitu percobaan untuk melaukan
kejahatan ini tidak dipidana.
c) Untuk penganiayaan dengan rencana
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Diatur dalam Pasal:


1. Pasal 353 ayat (1) yaitu penganiayaan dengan rencana
lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
2. Pasal 353 ayat (2) yaitu jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
3. Pasal 353 ayat (3) yaitu jika perbuatan mengakibatkan
mati, dia dikenakan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
d) Untuk penganiayaan berat
Diatur dalam Pasal :
1. Pasal 354 ayat (1) yaitu barangsiapa sengaja
melukai berat orang lain diancam, karena melakukan
penganiayan berat, dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
2. Pasal 354 ayat (2) yaitu jika mengakibatkan mati, yang
bersalah dikenakan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun.
e) Untuk penganiayaan berat dengan rencana
Diatur dalam Pasal :
1. Pasal 355 ayat (1) yaitu penganiayaan berat yang
dilakukan dengan rencana lebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2. Pasal 355 ayat (2) yaitu jika perbuatan mengakibatkan
mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara lima
belas tahun.
f) Pidana dengan pemberatan
diatur dalam Pasal 356 :
Yaitu pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 354,
355 dapat ditambah sepertiga :
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ke-1. bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya,


bapaknya menurut undang-undang, isterinya atau
anaknya;
ke-2. jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat
ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;
ke-3. jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan
yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk
dimakan atau diminum.
g) Pasal 357 yaitu dalam pemidanan karena salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 353 dan 355,
dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut dalam pasal
35 nomor 1-4.
Antara lain :
Ke-1 hak memegang jabatan pada umumnya atau
jabatan yang tertentu.
Ke-2 hak memasuki angkatan bersenjata
Ke-3 hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum
Ke-4 hak menjadi penasehat (raadsman)/ pengurus
menurut hukum (gerechtelijkebewindvoerder) hak
menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak
sendiri.
Disamping adanya ke lima jenis penganiayaan tersebut
diatas, dari Pasal 358 dapat ditarik kesimpulan adanya jenis
penganiayan yang lain, yaitu adanya suatu bentuk perkelahian atau
penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok,
dimana ada akibat orang luka parah atau berat atau bahkan mati,
akan tetapi jika tidak diketahui siapa dari orang banyak itu yang
telah melukai berat atau membunuh orang tersebut jika perkelahian
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

itu tidak akibat luka berat atau mati maka tidak terkena rumusan
pasal ini.

G. BATASAN TENTANG PELAKU DAN KORBAN


Disini terdakwa sebagai pelaku penganiayaan adalah seorang ayah yang
telah mempunyai seorang anak, sedangkan korbannya adalah anak kandungnya
sendiri. Anak itu tinggal bersama ayahnya karena ditinggal pergi oleh ibunya guna
mengurus surat-surat yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Dan karena
ibunya juga sedang sakit lagi pula hamil, maka tidak bisa kembali seperti waktu
yang ditentukan. Maka pengawasan anak ini berada ditangan ayahnya.
Karena anak ini rewel terus, emosi ayahnya tidak dapat dikendalikan. Dan
akhirnya anak ini menjadi korban dari ayahnya sendiri yang dianiaya hingga mati.

H. KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam beberapa tahun terakhir ini angka kejahatan semakin meningkat,
salah satunya adalah penganiayaan yang menyebabkan matinya orang. Para
pelaku tindak pidana ini banyak juga korbannya adalah anggota keluarga
sendiri. Disini mungkin sulit dimengerti mengapa seseorang tega melakukan
penganiayaan yang berakibat mati dengan seseorang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan dirinya, baik hubungan darah, atau hubungan
semenda, dan tentu saja tidak dapat dipungkiri merupakan seseorang yang
disayangi. Biasanya penganiayaan yang berakibat matinya orang yang
dilakukan terhadap anggota keluarga disebabkan karena emosi yang terpancing
oleh hal-hal sederhana, jadi biasanya merupakan kumulasi konflik yang telah
lama dan dapat terpancing karena hal-hal yang sederhana yang seharusnya
dapat diselesaikan dengan keluarga. Oleh sebab itu penulis ingin mengetahui
tentang motif pelaku penganiayaan yang menyebabkan matinya orang yang
dilakukan oleh ayah terhadap anak kandung. Hal-hal apakah yang menjadi
motif penganiayaan tersebut dan apa saja saja kendala-kendala dalam
memperoleh keterangan dari terdakwa yang berkaitan dengan motifnya.

Anda mungkin juga menyukai