Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Turut Serta Melakukan Tindak Pidana

a. Turut Serta Melakukan Perbuatan Pidana menurut Hukum Nasional (KUHP)

Kata Penyertaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan menyertai
atau menyertakan. Jelas bahwa makna dari istilah ini ialah bahwa ada dua orang atau lebih yang
melakukan suatu tindak pidana atau dengan kata lain dua orang atau lebih mengambil bagian
untuk mewujudkan suatu tindak pidana.1 Pengertian turut serta (ikut serta, bersama-
sama)melakukan perbuatan pidana (delict) dapat dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama.
Turut serta (deelneming) dari beberapa orang dalam perbuatan pidana dapat merupakan
kerjasama, yang masingmasing dapat berbeda-beda sifat dan bentuknya.2 Sedangkan arti kata
penyertaan menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. adalah turut sertanya seorang atau
lebih pada waktu seorang lain melakukan tindak pidana.3

Secara luas dapat disebutkan bahwa seorang turut serta ambil bagian dalam hubungannya dengan
orang lain, untuk mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya:
merencanakan), dekat sebelum terjadinya (misalnya: menyuruh atau menggerakkan untuk
melakukan, memberikan keterangan atau seorang itu dibantu oleh orang lain), atau setelah
terjadinya suatu tindak pidana (menyembunyikan pelaku atau hasil tindak pidana pelaku).

Dalam proses penegakkan hukum pidana kerap dipergunakan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang
lazim digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dan melibatkan lebih dari
satu orang pelaku. Dalam kajian hukum pidana terkait pasal 55 KUHP secara teoritik dikenal
dengan deelneming atau penyertaan. Dalam konteks ini deelneming merupakan suatu yang
berkaitan peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari satu orang, sehingga harus dicari peranan
dan tanggung jawab masing-masing pelaku dari perbuatan pidana itu.

Penyertaan dapat diartikan juga sebagai terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
lebih dari satu orang, yang mana antara orang satu dengan yang lainnya terdapat hubungan sikap
bathin dan atau perbuatan yang sangat erat terhadap terwujudnya tindak pidana.4

Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan
yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya
yang semua mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.

1
Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonnesia Dan Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika, 2002), h. 336.
2
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2015), h. 243.
3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cet. Ke-7(Bandung: Refika, 1989), h.108.
4
Satochid Kartanegara, hukum pidana islam kumpulan kuliah, balai lektur
mahasiswa.tt.th
b. Turut Serta Melakukan Perbuatan Pidana menurut Isalam

perbuatan jarimah atau tindak pidana adakalanya dilakukan secara perseorangan atau secara
kelompok. Seperti halnya turut serta melakukan jarimah adalah melakukan perbuatan pidana
secara bersama-sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang
lain, memberi bantuan maupun keluasan. Sehingga Turut serta berbuat jarimah dalam hukum
Islam berada dalam empat kemungkinan, yakni:

a. Pelaku melakukan jarimah bersama orang lain (mengambil bagian dalam


melaksanakanjarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan bersama-sama.

b. Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.

c. Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan berbagai cara, tanpa turut
serta melakukannya.

d. Pelaku menghasut(menyuruh)orang lain untuk melakukan jarimah.5

Dengan demikian pengertian turut serta melakukan jarimah dalam hukum Islam adalah
melakukan jarimah secara bersama-sama, baik melalui kesepakatan, atau kebetulan, menghasut,
menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan turut serta meliputi pertama, baik
dikehendaki bersama secara kebetulan sama-sama melakukan perbuatan tersebut; kedua,
memberi fasilitas bagi terselenggaranya suatu perbuatan jarimah.6

B. Bentuk-bentuk Turut Serta Melakukan Perbuatan Pidana

Dalam hukum pidana di Indonesia bentuk-bentuk penyertaan diterangkan dalam Pasal 55


dan 56. Pasal 55 KUHP menerangkan tentang golongan yang disebut mededader ( para pembuat)
dan Pasal 56 menerangkan tentang medeplichtige (pembuat pembantu).

Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :

1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana


a. Mereka yang melakukan,yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan
b. Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu , dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat ,dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan
2. Terhadap penganjur hanya perbuatan sengaja yang dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan ,beserta akibat-akibatnya.

5
Mustofa hasan, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung: Pustaka Setia, 2013.
6
Rahmat Hakim, HukumPidana Islam (FiqhJinayah)(Bandung: PustakaSetia, 2000), h. 55.
Pasal 56 merumuskan dipidana sebagai pembantu kejahatan sebagai berikut:

a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan


b. Mereka yang sengaja memberi kesempatan saran atau keterangan untuk melakukan
kejahatan

Dari kedua Pasal 55 dan 56 tersebut kita ketahui bahwa menurut KUHP penyertaan
dibedakan dalam dua kelompok yaitu :

1. Kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam Pasal 55 ayat 1 tentang para
pembuat
a) Yang melakukan (pleger )
b) Yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya disebut pembuat penyuruh
c) Yang turut serta melakukan (medepleger )orangnya disebut pembuat peserta
d) Yang sengaja menganjurkan (uitlokken) orangnya disebut pembuat penganjur

2. Orang yang disebut dengan pembuat pembantu medeplichtige kejahatan . Dibedakan


menjadi
a) Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan
b) Pemberian bantuan pada saat sebelum pelaksanaan kejahatan.

a. Mereka yang melakukan (pembuat pelaksana atau pleger)

Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan
tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku (plager) bukan seorang yang turut
serta (deelnemer), kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping
pihak-pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan
dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku (dader), sedangkan cara penyertaan
dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku (pleger) adalah orang
yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya),
termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka.7

Pada umumnya hukum pidana mempertanggungjawabkan pidana kepada seseorang yang


telah melakukan perbuatan yang telah dirumuskan oleh undang-undang. Dengan kata lain
seseorang dapat dipertanggung-jawabkan pidana jika telah melakukan tindak pidana.
Seseorang yang telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana, sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam undang–undang hukum pidana disebut sebagai pelaku tindak pidana.
Beberapa sarjana hukum mendefinisikan pelaku (yang melakukan) tindak pidana demikian.

7
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2003), hlm. 308.
Moeljatno mengemukakan yang dimaksud dengan pelaku (pleger) yaitu untuk rumusan delik
yang disusun cara formal mengenai orangnya yang melakukan perbuatan tingkah laku seperti
yang tercantum dalam rumusan delik. Kalau rumusan delik itu disusun secara material, maka
siapa yang menimbulkan akibat seperti dalam rumusan delik, yang harus kita tentukan
dengan ajaran kausal.8 Berdasarkan pandangan tersebut, membedakan tindak pidana kedalam
dua bentuk, yaitu tindak pidana yang disusun secara formal dan tindak pidana yang disusun
secara material. Konsekuensi dari pembedaan tersebut berupa pemenuhan unsur tindak
pidana yang menentukan seorang sebagai pelaku (pleger) tindak pidana tidak selalu harus
memenuhi seluruh unsur tindak pidana, melainkan juga seorang yang menjadi penyebab
timbulnya tindak pidana.

Dalam bahasa sehari-hari sering kita dengar bahwa yang dimaksud dengan petindak
(penulis:pelaku) adalah seorang yang melakukan suatu tindakan. Dalam rangka pembahasan
hukum pidana, istilah petindak selalu dikaitkan dengan unsur-unsur dari sesuatu tindak
pidana. Jadi, menurut ilmu hukum pidana yang dimaksud dengan petindak adalah barang
siapa yang telah mewujudkan/ memenuhi semua unsur-unsur (termasuk unsur subjek) dari
sesuatu tindak pidana sebagaimana unsur-unsur itu dirumuskan dalam undang-undang.9

b. Mereka yang Menyuruh Melakukan (Doen Pleger)

Bentuk penyertaan “menyuruh melakukan” haruslah terdiri dari lebih dari dua orang
pembuat. Di satu sisi terdapat seorang yang berperan sebagai penyuruh (manus domina,
onmiddelijke dader, intellectueele dader) dan di sisi lain terdapat seorang yang berperan
sebagai orang yang disuruh melakukan (onmiddelijke dader, materiel dader, manus ministra)
bentuk tersebut merupakan syarat terjadinya bentuk penyertaan “menyuruh melakukan”.
Karena tanpa adanya pihak yang menyuruh dan juga sebaliknya jika tanpa ada pihak yang
“disuruh melakukan”, maka tidak sempurna makna “menyuruh melakukan”.

Dalam bentuk penyertaan menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara


langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) peran lain. Penyuruh (manus domina,
omniddelijke dader, intellectueele dader) berada dibelakang layar, sedangkan yang
melakukan tindak pidana adalah seseorang lain yang disuruh itu merupakan alat ditangan
penyuruh.Dikatakan orang yang “disuruh melakukan” sebagai alat yang dipergunakan oleh
pelaku (penyuruh) karena memang orang yang disuruh tersebut merupakan alat yang tidak
dapat dipidana. Hal ini yang menjadi syarat penting dalam bentuk “menyuruh melakukan”.

Roeslan Saleh menyebutkan bahwa dalam konstruksi “menyuruh melakukan” yang


pelaksanaannya bukanlah suatu alat kehendak, tetapi tidak dapat dipidana hanyalah oleh
karena pada dia kualitas untuk melakukan delik (penulis:tindak pidana) tidak ada. 10 Menurut
8
Moeljatno, Delik-delik Percobaan Delik-delik Penyertaan, cetakan kedua, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), hlm.
105.
9
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983), hlm. 332.
10
Roeslan Saleh, Tentang Delik Penyertaan, (Pekanbaru: Fakultas Hukum Islam Riau, 1989), hlm. 20.
Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dapat dipidananya orang yang disuruh,
karena:11

1) Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan ataupun kemampuan bertanggungjawab.

2) a) berdasarkan Pasal 44 KUHP;

b) dalam keadaan dayapaksa Pasal 48 KUHP;

c) berdasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP; dan

d) orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik,
misalnya Pasal 413-437 KUHP.

Dalam hal ini yang disuruh itu telah melakukan tindakan tersebut karena ketidaktahuan,
kekeliruan (dwaling) atau paksaan sehingga padanya tiada unsur kesalahan. Penyuruh
dipidana sebagai petindak, sedangkan yang disuruh tidak dipidana karena padanya tiada
unsur kesalahan atau setidak-tidaknya unsur kesalahannya ditiadakan. Penyuruh mungkin
hanya satu orang saja, walupun digunakan istilah mereka yang melakukan, tetapi mungkin
juga lebih dari satu orang. Dapat disimpulkan bahwa penyuruh adalah merupakan petindak
yang melakukan suatu tindak pidana dengan memperalat orang lain untuk melakukannya,
yang pada orang lain itu tiada kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidak-tahuannya,
kekeliruannya atau dipaksa.12

Sebagai yang menyuruh melakukan, apakah harus memiliki kwalitas sebagaimana yang
dirumuskan dalam detlik. Misalnya S adalah buruh pelabuhan yang bukan pegawai negeri.
Disuruh oleh pegawai douane untuk menerima/meminta suap dari seseorang importer yang
memasukan barang-barang. Dari hipotesa tersebut, selanjutnya dapatkah seseorang yang
bukan pegawai negeri dianggap sebagai penindak, jika ia menyuruh seorang pegawai negeri
untuk melakukan suatu tindak pidana jabatan?

Arrest HR (15 Juni 1914 W.9667) memberi jawaban bahwa kwalitas itu tidak perlu selalu
ada pada diri penyuruh untuk dapat memidananya. Alasan-alasan yang diberikan antara lain
ialah bahwa dalam hal penyertaan tidak selalu harus melihat hanya dari keadaan pribadi
petindak tetapi juga dari segala sudut yang sudah diketahui tentang tindakan itu untuk mana
kesengajaannya ditunjukan.

Dalam Reispas-arrest (HR 21 April 1913, W 9501, NJ 1913, p. 961), Hoge Raad telah
menempuh jalan ini. Terdakwa dalam kasus ini adalah walikota Zaandam yang menulis surat
yang dialamatkan kepada Commisaris der koningin (Gubernur Provinsi Noord Holland),
memohon surat jalan demi kepentingan J.M.E untuk perjalanan ke Rusia. Dalam surat
tersebut ia dengan sengaja bertentangan dengan kebenaran mencantumkan umur J.M.E
11
Moeljatno, op.cit, hlm. 123-124.
12
S.R. Sianturi, op.cit, hlm. 335.
sebagai 21 tahun padahal baru 17 tahun sehingga Commissaris menerbitkan surat jalan ‘asli
tapi palsu’ dalam hal ini Hoge Raad berpendapat bahwa hal itu mungkin. Dengan demikian
bentuk hukum menyuruh melakukan telah berubah jauh dan sekarang ini dapat dirumuskan
sebagai daya upaya sengaja dari A sehingga suatu tindak pidana dilakukan oleh B, sedangkan
B sendiri, karena satu dan lain hal, tidak dapat dikenai pidana. Karakter khas dari bentuk
menyuruh melakukan semata sebagai instrument tidak lagi bersifat menentukan.13

c. Mereka yang Turut Serta Melakukan (Medepleger)

Pada tujuan ajaran penyertaan bahwa seseorang yang tidak memenuhi seluruh unsur tindak
pidana dapat dipidana karena peranannya dalam terwujudnya tindak pidana. Dalam turut
serta ini yang termasuk dalam bagian bentuk penyertaan mensyaratkan seseorang terlibat
dalam tindak pidana. Namun apakah seorang tersebut harus memiliki kesengajaan atau
kualitas yang sama dengan pelaku materil, undang-undang tidak memberikan pengertian
secara mendalam mengenai hal demikian. Hanya saja para sarjana memberikan pengertian
dari maksud “turut serta melakukan” sebagai bagian dari bentuk penyertaan.

Menurut Roeslan Saleh “mereka yang turut serta melakukan” perbuatan tindak pidana adalah
mereka yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Jadi mereka yang dengan sengaja
ikut mengerjakan. Namun beliau juga mengingatkan bahwa janganlah hendak mengartikan
bahwa dalam hal turut serta melakukan ini tiap-tiap peserta ini harus melakukan perbuatan-
perbuatan pelaksanaan. Yang utama adalah bahwa dalam pelaksanaan perbuatan pidana itu
ada kerja sama yang erat antara mereka itu, hal ini kiranya dapat ditentukan sebagai hakekat
dari turut serta melakukan.

Selain itu juga A.Z. Abidin dan A. Hamzah memberikan definisi turut serta sebagai
berikut:]14 Para pelaku-peserta (penulis: turut serta (medepleger)) ialah dua orang atau lebih
orang bekerja sama secara sadar dan bersama-sama melakukan perbuatan-perbuatan yang
secara keseluruhan mewujudkan delik atau pun sesuai dengan kesepakatan pembagian peran,
seorang melakukan perbuatan yang sangat penting bagi terwujudnya delik (tindak pidana).

Pengertian turut serta di atas memberikan dua syarat dapat dikatakan sebagai turut serta
melakukan, yaitu adanya kesadaran dalam bekerja sama, sehingga terdapat kerja sama yang
erat dan adanya kesengajaan dalam mewujudkan tindak pidana. Selain itu juga Loebby
Luqman memberikan syarat dalam terbentuknya turut serta melakukan, yaitu syarat yang
diperlukan adanya penyertaan yang berbentuk ikut serta adalah:

13
Jan Remmelink, op.cit, hlm. 311.
14
A.Z. Abidin dan A. Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Perobaan, Penyertaan, dan Gabungan
Delik) dan Hukum Penetensier, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2002), hlm. 211.
1) Harus ada kerja sama dari tiap; dan

2) Kerja sama dalam tindak pidana harus secara phisik.

Pada ukuran turut serta yang disebabkan karena adanya kerja sama yang erat, apakah pada
tiap pelaku-peserta (pelaku materil dan turut serta) harus memenuhi seluruh unsur tindak
pidana atau hanya sebatas pada peserta yang lain melakukan sebagian saja dari rumusan
unsur tindak pidana. Dalam hal ini para sarjana memiliki pendapat yang berbeda-beda.

Van hamen menyamakan pengertian medeplegerschap dan medeplegen, mensyaratkan


bahwa dua orang yang dapat termasuk medeplegers masing-masing tersendiri harus
memenuhi seluruh isi delik (penulis: tindak pidana), dengan kata lain bahwa tiap-tiap pelaku
peserta harus memahami semua unsur-unsur delik yang diuraikan di dalam undang-undang
pidana secara sempurna.Pendapat tersebut mensyaratkan bahwa mereka yang “turut serta
melakukan” juga harus memenuhi seluruh rumusan dalam tindak pidana. Sehingga jika tidak
terpenuhinya seluruh rumusan tindak pidana, menurut pendapat ini bukanlah sebagai “turut
serta melakukan”.

Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Langemeijer, bahwa medeplegen
(turut serta melakukan), sebagai suatu bentuk penyertaan tidak mensyaratkan bahwa tiap-tiap
orang yang bekerja sama harus mewujudkan semua unsur delik (penulis: tindak pidana)
seperti rumusan doen plegen (penyuruh, hal pembuat pelaku) semua unsur-unsur delik dapat
dibagi oleh pelbagai orang. Akan tetapi harus dimungkinkan pula bahwa seseorang pelaku-
peserta melakukan perbuatan, yang menurut uraian delik merupakan perbuatan pelaksanaan,
sedangkan pelaku-peserta lain melakukan perbuatan yang tidak merupakan perbuatan yang
sesuai uraian delik, namun untuk pelaksanaan perbuatan disebut pertama sangat penting.

Dalam hal ini pengertian yang dikemukakan oleh Langemeijer yang menurut penulis sesuai
dengan ajaran penyertaan. Bahwa tujuan dari ajaran penyertaan adalah memidana seorang
yang terlibat dalam tindak pidana, tetapi perbuatannya tidak memenuhi seluruh rumusan
tindak pidana. Hal ini penting untuk digaris bawahi karena tujuan kriminalisasi turut serta
adalah, dalam konteks dualistis, memperluas norma dan kaedah yang terkadung dalam tindak
pidana, baik subjek, norma perbuatan yang menjadi unsur pembentuk tindak pidana ataupun
sifat melwan hukum yang melekat pada perbuatan itu, sehingga kontruksi tindak pidana tidak
lagi dirumuskan untuk pelaku tunggal, melainkan diperluas dan dapat dilakukan oleh
beberapa orang.15

d. Mereka yang Menganjurkan Orang Lain Melakukan Tindak Pidana (Uitlokkers)

Istilah dalam bentuk penyertaan ini oleh para sarjana digunakan dengan istilah yang saling
berbeda. Istilah uitlokker oleh sebagian sarjana hukum pidana di Indonesia diterjemahkan

15
M. Ainul Syamsu, Pergeseran Turut Serta Melakukan dalam Ajaran Penyertaan, Telaah Kritis Berdasarkan Teori
Pemisah Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 66.
dengan istilah pembujuk, hanya Moeljatno menggunakan istilah penganjuran untuk
uitlokking. Selain itu Lamintang menerjemahkan uitlokken dengan menggerakkan orang lain.
Kemudian juga Andi Zainal Abidin dan Andi hamzah menggunakan istilah memancing.16

Penganjuran merupakan bentuk dari penyertaan yang terjadi sebelum dilaksanakannya tindak
pidana. Sebelum pelaku tindak pidana melakukan perbuatannya, penganjur terlebih dahulu
melaksanakan bentuk penganjurannya kepada pelaku tindak pidana. Sebagaimana menurut
Moeljatno, dalam hal uitlokken terdapat dua orang atau lebih yang masing-masing
berkedudukan sebagai orang yang menganjurkan (auctor intellectuallis) dan orang yang
dianjurkan (auctor materialis atau materiele dader). Bentuk menganjurkan, berarti auctor
intellectuallis (si pelaku intelektual), menganjurkan orang lain (materiele dader) untuk
melakukan perbuatan pidana. Antara daya upaya yang dipergunakan oleh auctor
intellectuallis dengan tindak pidana yang dilakukan oleh auctor materriallis harus ada
hubungan kausal.17

Selain itu menurut Roeslan Saleh, penganjur menganjurkan seseorang lain melakukan suatu
delik (penulis: tindak pidana), yang karenanya orang lain diancam dengan pidana. Jika orang
lain tersebut melakukan delik, maka ia tentu harus memenuhi unsur-unsur delik, tidak boleh
ada alasan penghapusan pidana.[Pendapat tersebut menjelaskan bahwa bentuk penganjuran
berbeda dengan penyuruhan. Dalam hal penyuruhan seorang yang disuruh tidak dapat
dipidana, tetapi sebaliknya penganjuran seorang yang dianjurkan untuk melakukan tindak
pidana dapat dipidana. Hal tersebut yang menjadi pembatas tajam antara penyuruhan dan
penganjuran. Oleh karena itu untuk dikatakan ada penganjuran harus memenuhi syarat-
syarat:

1) Harus ada yang memiliki kesengajaan untuk melakukan tindak pidana dengan cara
menganjurkan orang lain;

2) Harus ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang sengaja dianjurkan;

3) Cara menganjurkan harus dengan cara-cara atau salah satu daya upaya sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) Ke-2 KUHP, yaitu:

a) Dengan memberi atau menjanjikan sesuatu;

b) Dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat;

c) Dengan kekerasan;

d) Dengan memakai ancaman atau penyesatan; dan

e) Dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan.


16
A.Z. Abidin dan A. Hamzah, op.cit, hlm. 220-221.
17
Ramelan, Perluasan Ajaran Turut Serta dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Transnasional, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal Departemen Pertahanan, 2009), hlm. 134.
e. Pembantuan (Medeplichtige)

Pembantuan merupakan bagian dari penyertaan yang diatur secara tersediri dalam Pasal
56,57, 60 KUHP. Istilah pembantuan sebagai terjemahan medeplichtigheid merupakan istilah
yang dipakai oleh para ahli hukum pidana Indonesia. Dalam berbagai literatur hukum pidana
sudah umum dipakai istilah pembantuan tersebut.

Pembantuan dapat terjadi pada saat terjadinya tindak pidana yang sedang dilakukan. Hal
tersebut sesuai dengan rumusan tentang pembantuan “mereka yang sengaja memberi bantuan
pada waktu kejahatan dilakukan”. Selain itu juga pembantuan dapat terjadi sebelum tindak
pidana dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh, bahwa pembantuan
dibedakan dari antara dua macam, yaitu pembantuan pada saat melakukan kejahatan, dan
pembantuan yang mendahului perbuatannya, dengan memberi kesempatan, sarana (alat-alat)
atau keterangan-keterangan. Namun demikian Jan Remmelink berpandangan bahwa bantuan
seorang pembantu pelaku (medeplichtige) tidak mutlak harus memberi pengaruh seperti yang
dibayangkan semula. Pada prinsipnya, bantuan harus merupakan sumbangan (yang
signifikan) terhadap terwujudnya tindak pidana pokok. Bagi pelaku, bantuan ini secara
rasional berdasarkan ukuran pengalaman sehari-hari, harus memiliki satu makna khusus
meskipun hanya sekedar sebagai penyemangat atau hanya sebagai tanda bahwa keadaan
aman (untuk melakukan tindak pidana). Ini segera tampak bilamana pelaku benar dapat
mengambil keuntungan dari bantuan yang diberikan. Sebaliknya, bantuan tersebut juga dapat
tidak sedemikian penting bagi pelaku. Tidaklah perlu dibuktikan bahwa tanpa bantuan,
pelaku tidak mungkin dapat menuntaskan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, kualitas
adekuat sebagai suatu kemungkinan juga dianggap memadai. Dengan demikian menurut
Ramelan, dalam bentuk pembantuan diperlukan adanya hubungan kausalitas antara bantuan
yang diberikan dengan terwujudnya tindak pidana pokok yang dilakukan oleh pembuat.
Hubungan kausal ini tidak perlu menunjukkan adanya kausalitas adekuat sebagai suatu
kepastian, tetapi juga bila hanya sebagai suatu kemungkinan yang diperlihatkan dalam
bentuk peranan yang tidak penting dari orang yang membantu.18

Ketentuan tersebut di atas merupakan suatu upaya dalam membedakan secara tajam antara
turut serta dan pembantuan yang dalam praktek memang sulit untuk dibuktikan. Pembedaan
tersebut tidak hanya sebatas pada peranan yang dilakukan oleh seorang yang terlibat pada
terwujudnya tindak pidana, tetapi juga memiliki implikasi pada putusan pengadilan yang
membedakan antara turut serta dan pembantuan. Menurut KUHP, ancaman pidana pada
pembantuan, yaitu maksimum pidana pokok terhaap kejahatan, dikurangi sepertiga, jika
kejahatan diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling
lama lima belas tahun. Selanjutnya juga membantu melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Ketentuan tersebut menjadikan pembantuan dipandang kurang keterlibatannya dengan
bentuk penyertaan lainnya.

18
Jan Remmelink, op.cit, hlm. 324.
C. Pertanggung Jawaban Pidana Turut Serta Melakukan Tindak Pidana

Hukum Pidana berdasarkan KUHP diatur perihal beberapa hal yang menghapuskan,
mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana, di dalam Bab III KUHP. Ketentuan ini
mengatur tentang pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan kemampuan
bertanggungjawabnya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban
pidana menurut Pasal 44 ayat-ayatnya KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya


karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan.

3. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan
Pengadilan Negeri.14 Roeslan Saleh,15 menjelaskan tentang ketidakmampuan
bertanggungjawab menurut Pasal 44 KUHP tersebut, bahwa dalam merumuskan
kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP orang dapat menempuh beberapa cara:

4. dengan menentukan sebab-sebabnya;

5. dengan menentukan akibatnya; dan (3) Dengan menentukan sebab-sebab dan Akibatnya.

Ketidakmampuan bertanggungjawab Menurut KUHP tersebut merupakan bagian dari Dasar-


dasar yang menyebabkan tidak Dipidananya si pelaku tindak pidana, yang oleh Adami Chazawi
bahwa dalam Undang-Undang (Bab III KUHP) ditentukan Tujuh dasar yang menyebabkan tidak
dapat Dipidananya si pembuat, ialah:

 Adanya ketidakmampuan bertanggung Jawab si pembuat (ontoerekeningsvatbaarheid),


Pasal 44 Ayat (1);

 Adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48);

 Adanya pembelaan paksa (noodweer, Pasal 49 ayat (1)

 Adanya pembelaan terpaksa yang Melampaui batas (noodweerexes, Pasal 49 ayat (2);
 Karena sebab menjalankan perintah Undang-undang (Pasal 50);

 Karena melaksanakan perintah jabatan Yang sah (Pasal 51 ayat (1);

 Karena menjalankan perintah jabatan Yang tidak sah dengan itikad baik (Pasal 51 ayat
(2).16

Menurut beberapa pendapat para ahli dan Berdasarkan KUHP, bahwa ketidakmampuan
Bertanggungjawab seorang dapat ditempuh Beberapa cara, artinya ketentuan-ketentuan ini
Mengatur tentang pertanggungjawaban pidana Berkenaan dengan kemampuan
Bertanggungjawabnya seseorang atas tindak Pidana yang dilakukannya. Persoalannya ialah
dalam Memorie van Toelichting (MvT) tidak diberikan penjelasan Dan rumusan tentang
ketidakmampuan Bertanggungjawab, sehingga berkembang Doktrin mengenai
pertanggungjawaban seperti Terhadap ketentuan Pasal 44 KUHP menyangkut Orang gila
yang tidak dapat Dipertanggungjawabkan pidana kepadanya. Berdasarkan pendapat para
pakar Terkemuka (doktrin) terdapat perbedaan Mengenai kemampuan bertanggungjawab
atau Dapat dipertanggungjawabkan dalam hal Kejiwaan seseorang tersebut. Doktrin yang
Dihimpun oleh Adami Chazawi berdasarkan Pendapat Jonkers, bahwa hakim tidak
Diperkenankan menjatuhkan pidana, akan Tetapi ada juga berpendapat lain misalnya Pompe
yang menyatakan, bahwa hakim tetap Menjatuhkan pidana. Alasannya karena hal
Kemampuan bertanggungjawab pidana Bukanlah merupakan bagian inti (bestanddeel) Dari
tindak pidana, tapi tidak mampu Bertanggungjawab itu merupakan dasar Peniadaan pidana.
Menurut Adami Chazawi Sendiri lebih cenderung pada pendapat Jonkers, Karena apabila ada
keragu-raguan mengenai Berbagai hal yang menyangkut kesalahan Terdakwa, keadaan
keraguan itu harus Menguntungkan terdakwa, dan tidak boleh Merugikan kemudian ditarik
menjadi Pasal 7 UndangUndang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1. Turut serta melakukan adalah bagian dari Penyertaan (Deelneming) yang dalam
Istilah bahasa Belanda, Turut Serta Melakukan disebut dan dikenal sebagai
Medeplegen yang mensyaratkan adanya Beberapa orang dalam tindak pidana Yang
mengalami perkembangan pesat Sehubungan meningkat pula tindak Pidana yang
dikualifikasikan sebagai lingkup turut serta. Timbulnya pergeseran dari konsep dan
praktik yang dikenal selama ini merupakan konsekuensi logis dari perkembangan
sejumlah kasus dan disebabkan oleh kebebasan atau kemandirian hakim yang tidak
selamanya mengikuti ajaran atau doktrin yang baku mengenai kasus-kasus turut serta.

2. Pertanggungjawaban pidana pada Turut Serta menunjukkan perubahan ke arah


perluasan keadaan tertentu yang dipertanggungjawabkan kepada pembuat tindak
pidana ke perluasan dilarangnya perbuatan. Pergeseran tersebut menyebabkan ajaran
atau doktrin yang selama ini dikenal dan dianut menyebabkan tarik-tarikan antara
pandangan dan teori yang mendasarkan pemisahan tindak pidana dengan
pertanggungjawaban pidana. Ajaran atau doktrin bahwa tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan, akan mengalami perubahan yang merupakan konsekuensi logis dari
pandangan para hakim belakangan ini untuk menyikapi dan memutuskan perkara-
perkara yang terkait dengan Turut Serta (Medeplegen) sebagai bagian dari Penyertaan
(Deelneming).

Anda mungkin juga menyukai