Anda di halaman 1dari 23

PERSPEKTIF HUKUM TERKAIT

NIAT JAHAT DAN TURUT SERTA


DALAM PENGADAAN
BARANG/JASA PEMERINTAH

Dr. Somawijaya,SH,.MH.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
Bandung

Disampaikan dalam Diskusi Interaktif Pengadaan Barang/Jasa


Pemerintah, tanggal 5 November 2021 di Hotel Aston Bandung
Pengadaan Barang dan Jasa dan Subjek Hukum :
Pengadaan barang dan Masuk dalam ranah Ini berkaitan dengan
jasa dalam hukum tidak hukum pidana bila ada: U p a y a
sebatas masalah hukum memperkaya/menguntungkan
Perbuatan Jahat
Administratif maupun melalui proses pengadaan barang
o(actus reus) dan Niat
dan jasa yang berakibat pada
hukum perdata, Jahat (mens rea)
kerugian negara; atau bentuk lain
melainkan juga dapat
masuk ke ranah hukum
pidana

Disinilah pembuat/pelaku (secara pribadi atau bersama-sama yang berkaitan dengan


pengadaan barang dan jasa perlu memastikan tidak adanya Niat Jahat dan Perbuatan
Jahat yang menjurus pada memperkaya/menguntungkan yang mengakibatkan kerugian
negara, atau bentuk lain.
PERBUATAN BERSIFAT MELAWAN HUKUM (ACTUS REUS)
A. PENENTUAN PERISTIWA PIDANA :
• Harus ada aktivitas dan atau Tindakan Pembiaran
• Mengarah pada perbuatan yang bertentangan
• Harus disertai bukti baik berupa Dokumen maupun petunjuk
lain

B. BENTUK ATAU WUJUD


• Bersifat melawan hukum (tanpa ijin) Mens Rea sebagai
• Berkesesuaian perbuatan dengan akibatnya
bentuk sikap bathin
• Tidak ada tindakan antisipasi atau pembiaran
baik sengaja maupun
kealpaan

Kesalahan (Mental
elements of crime)
Tindakan Memperkaya yang Merugikan Keuangan Negara

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor Pasal 3 UU Tipikor


Setiap orang yang secara melawan hukum Setiap orang yang dengan tujuan
melakukan perbuatan memperkaya diri menguntungkan diri sendiri atau orang lain
sendiri atau orang lain atau suatu atau suatu korporasi, menyalahgunakan
korporasi yang dapat merugikan keuangan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
n e ga ra a t a u p e r e ko n o m i a n n e g a ra , ada padanya karena jabatan atau
dipidana penjara dengan penjara seumur ke d u d u ka n ya n g d a p at m e r u g i ka n
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 keuangan Negara atau perekonomian
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua negara, dipidana dengan pidana penjara
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. seumur hidup atau pidana penjara paling
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta
milyar rupiah). dan paling banyak Rp 1 miliar.
Konsepsi Turut Serta
Ketentuan Pasal 55 KUHP menyebut bentuk-bentuk dari penyertaan, dimana
terminologi dari istilah tersebut mengandung maksud bahwa perbuatan di
lakukan secara bersama-sama dan atau melibatkan lebih dari 1 ( satu ) orang
untuk mewujudkan/ melakukan suatu tindak Pidana, yang pada prinsifnya
tindak pidana itu bisa terjadi hanya dengan 1 (satu ) orang saja tetapi dalam
praktek tindak pidana terjadi oleh banyak orang untuk melakukan suatu tindak
pidana. Oleh karena itu istilah penyertaan untuk menunjukan bahwa
perbuatan dapat terjadi dengan melibatkan pihak-pihak baik yang mempunyai
hubungan kerja maupun pihak yang tidak mempunyai hubungan kerja ( pihak
ketiga ), yang disesuaikan atas dasar peran dan fungsinya dari masing-
masing pihak yang terlibat.
Prinsip yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP untuk
menentukan pertanggungjawaban pidana sebagai syarat
pemidanaan, yang mengatur bentuk-bentuk penyertaan terdiri
dari:
a. Pelaku (dader, pleger)
Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan
siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana secara
tuntas. Perkataan dader berasal dari kata daad, yang
memiliki arti sebagai hal melakukan, atau sebagai tindakan.
Orang yang melakukan daad itulah yang disebut sebagai
dader, dan orang yang melakukan tindakan itulah yang
dalam bahasa Indonesia lazim disebut sebagai pelaku.
Lanjutan…
2. Menyuruh melakukan (doen pleger)
Doen plegen atau dengan kata lain dikenal dengan sebutan middelijk
daderschap, dalam bahasa Jerman dikenal dengan istilah mittelbare
Täter adalah dimana seseorang mempunyai kehendak untuk
melaksanakan suatu perbuatan pidana, akan tetapi seseorang yang
mempunyai kehendak tersebut tidak mau melakukannya sendiri,
namun mempergunakan orang lain yang digerakkan (disuruh) untuk
melakukannya (pelaku tidak langsung). Jadi si pelaku (dader) itu
seolah-olah menjadi alat belaka (instrument) yang dikendalikan oleh
orang yang menggerakkan (penyuruh). Si pelaku semacam ini dalam
ilmu pengetahuan hukum dinamakan manus ministra (tangan yang
dikuasai), dan orang yang menggerakkan (penyuruh) dinamakan
manus domina (tangan yang menguasai).
Lanjutan…
3. Turut serta / turut melakukan (medepleger);
Dalam medeplegen, selalu terdapat seorang pelaku
dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan
tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya,
sehingga bentuk ini sering juga disebut sebagai
bentuk mededaderschap. Memorie van Toelichting
mengemukakan bahwa turut melakukan adalah tiap
orang yang dengan sengaja (turut berbuat) dalam
melakukan suatu peristiwa pidana. Jadi dalam turut
serta harus ada kesadaran yang sama dari para
pelaku untuk terjadinya tindak pidana.
Lanjutan…
4. Mereka yang menganjurkan (Uitlokken)
Penganjur (Uitlokken): Orang yang menggerakkan
orang lain untuk melakukan suatu perbuatan
dengan menggunakan sarana yang ditentukan oleh
UU, semacam menyalahgunakan jabatan dll.
Lanjutan…
Bedanya penganjur dengan menyuruh melakukan :
1.Penganjur menggunakan sarana yang ditentukan UU,
sedangkan menyuruh melakukan tidak;
2.Pe n ga n j u r d a p at m e m p e r ta n g g u n g j awa b ka n
perbuatannya, menyuruh melakukan alatnya tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Lanjutan…
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) KUHP dan atau
Pasal harus di dasarkan adanya “kesengajaan” untuk
melakukan kejahatan (tindak pidana) artinya mereka yang di
kategorikan turut serta melakukan dan atau turut serta
membantu harus mempunyai kesengajaan melakukan
penyimpangan dalam proses pelelangan. Selain itu, ketentuan
Pasal dimaksud di dasarkan pula pada peran dan fungsi atau
sesuai dengan Tupoksinya. Dalam hal suatu tindak pidana
dilakukan oleh lebih dari satu orang maka akan berlaku ajaran
penyertaan (deelneming).
Lanjutan…
Penyertaan adalah suatu ajaran (leerstuk) yang menjelaskan
mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang.
Secara teori ajaran penyertaan disatu pihak dipandang sebagai
ajaran yang memperluas dapat dipidananya perbuatan
(strafbaarheid van het feit) dan dipihak lain dipandang sebagai
ajaran yang d a p a t m e m p e rl u a s d a p a t d i p i d a n a n y a o ra n g
(strafbaarheid van de persoon) karena berkait an dengan
pertanggungjawaban atau kesalahan. Penyertaan menurut KUHP
terdiri dari pembuat (dader), vide: Pasal 55 KUHP, dan pembantu
(medeplichtige), vide: Pasal 56 KUHP.
Lanjutan…
Dalam pelaksanaan perbuatan pidana itu ada kerja sama yang
erat antara mereka itu, hal ini sebagai hakekat dari turut serta
melakukan;
a) Bekerja sama secara sadar; dan
b) bersama-sama melakukan perbuatan-perbuatan yang secara
keseluruhan mewujudkan delik atau pun sesuai dengan
kesepakatan pembagian peran, seorang melakukan
perbuatan yang sangat penting bagi terwujudnya delik
(tindak pidana).
Lanjutan…
Selain itu, tujuan “turut serta” dan atau “bersama-
sama” adalah memperluas norma dan kaedah yang
terkadung dalam tindak pidana, baik subjek, norma
perbuatan yang menjadi unsur pembentuk tindak
pidana ataupun sifat melwan hukum yang melekat
pada perbuatan itu, sehingga kontruksi tindak pidana
tidak lagi dirumuskan untuk pelaku tunggal, melainkan
diperluas dan dapat dilakukan oleh beberapa orang.
Lanjutan…
Ketentuan Pasal 56 KUHPidana bahwa orang “membantu melakukan” jika
ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi
tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Selain itu, turut membantu
harus ada elemen “sengaja”, sehingga orang yang secara kebetulan
dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya,
atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dapat diminta
pertanggungjawaban sebagaimana diatur Pasal 56 KUHP, dimana “Niat”
untuk melakukan kejahatan itu harus timbul dari orang yang diberi
bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika niatnya itu
timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah
berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).
TAHAPAN PERSIAPAN PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI DI LINGKUNGAN

RUP Anggaran KU RUP RPP KU RPP RPLP

• Identifikasi • RKAKL • Kebijakan • Spek. • Spek. • Dokumen


Kebutuhan • DIPA Umum Teknis/KAK Teknis/KAK Pengadaan
• Kebijakan • RAB • HPS • HPS • Jadwal
Umum • KAK • Rancangan • Rancangan Pelelangan
• RAB Kontrak Kontrak
• KAK

PA/KPA PPK POKJA/ULP

Alur Tugas dan Tanggung Jawab


Garis Besar Pengadaan Barang/Jasa
• Rencana Umum
Pengadaan (RUP)
1. Pengumuman
• Rencana Pelaksaaan
2. Pendaftaran dan
Pengadaan (RPP)
Pengambilan
Persiapan • Rencana Pemilihan
Dokumen
Penyedia (RPLP)
3. Penjelasan
4. Pemasukan Dokumen
Penawaran
5. Pembukaan Dokumen Pemilihan
6. Evaluasi Dokumen
Penawaran • Penandatanganan
7. Penetapan Pemenang Kontrak
8. Pengumuman • Pelakasanaan
Pemenang Pelaksanaan Pekerjaan
9. Sanggahan • Serah Terima
10. SPPBJ
Hubungan Niat dan Mens Rea Dengan Tindak Pidana
Bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan
dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu
adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea
(mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan
itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens
rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.
Doktrin mens rea dan actus reus
• Doktrin mens rea ditautkan pada kesalahan pelaku
diartikan setiap perkara pelanggaran hukum yang
dilakukan disebabkan pada diri orang itu sudah
melekat sikap batin yang jahat (evil will). Selain itu,
mens rea ditautkan pada perbuatan (feit) sebagai
pengaruh pandangan monistis.
Lanjutan…
Kesalahan Dalam Asas Hukum Pidana Indonesia : Actus Non Facit Reum
Nisi Mens Sit Rea (An Act Does Not Make Guilty, Unless The Mind Be
Guilty) “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Geen Straf Zonder Schuld)
“TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” DALAM HUKUM POSITIF” :
PASAL 6 AYAT (2) Pasal 6 UU KEKUASAAN KEHAKIMAN (2) Tidak seorang
pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah
atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
RUU KUHP PASAL 38 (1) : “Tidak seorang pun yang melakukan tindak
pidana dipidana tanpa kesalahan”
APAKAH UNSUR “KESALAHAN” MUTLAK TANPA KECUALI ?

• Keberadaan”kesalahan” Dalam Penjatuhan Pidana “Mutlak” Berdasarkan Pasal


6 Ayat (2) Uu Ttg Kekuasaan Kehakiman.
• RUU KUHP (Pasal 39 Ayat 1) Membuka Pengecualian Terhadap Tindak Pidana
Tertentu : “Bagi Tindak Tertentu, Undang-undang Dapat Menentukan Bahwa
Seseorang Dapat Dipidana Semata-mata Karena Telah Dipenuhinya Unsur-
unsur Tindak Pidana Tersebut Tanpa Memperhatikan Adanya Kesalahan”.
• Penjelasan PSL 39 : Asas Strict Liability Diterapkan Apabila Tindak Pidana
Tersebut Dilakukan Oleh Seseorang Dalam Menjalankan Profesinya, Yang
Mengandung Elemen Keahlian Yang Memadai (Expertise), Tanggung Jawab
Sosial (Social Responsibility) Dan Kesejawatan (Corporateness) Yang Didukung
Suatu Kode Etik.
Membuktikan “Kesalahan” Subjek Hukum
• Bentuk “Kesalahan” : Sengaja dan Lalai
• “Kesalahan” Sebagai Unsur Tertulis (Written Element) - Keberadaan
Kesalahan Harus Dibuktikan
• “Kesalahan” Sebagai Unsur Tidak Tertulis (Unwritten Element) -
“Kesalahan Tidak Perlu Dibuktikan, Terdakwa Dapat Membuktikan
Sebaliknya Termasuk Keberadaan Alasan Pemaaf.
• UU Tipikor Dan UU TPPU Merumuskan “Kesalahan” Secara Tertulis
Dalam Beberapa Pasal Tertentu, Sebagian Besar Perumusan Tidak
Mencantumkan Kesalahan Dalam Bentuk Kesengajaan, Sekalipun
Secara Gramatikal Dapat Ditafsirkan Adanya Syarat Kesalahan
(Sengaja) Dalam Perbuatan Dimaksud
TERIMA
KASIH
Dr. Somawijaya, SH,MG.

Anda mungkin juga menyukai