Anda di halaman 1dari 20

KEBIJAKAN FORMULASI UU-TPPU :

TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM


PEMBERANTASAN
MONEY LAUNDERING
DI INDONESIA
(Tinjauan Hukum Pidana Materiel)
KEBIJAKAN FORMULASI
 ada keterkaitan erat antara kebijakan formulasi/legislasi
dengan “law enforcement policy” dan “criminal policy”
 namun secara konseptual dan dari sudut realita,
penanggulangan kejahatan tidak dapat dilakukan
semata-mata hanya dengan memperbaiki/memperba-
harui sarana/formulasi UU melalui berbagai seminar.
 Habib-Ur-Rahman Khan :
“People are busy day and night, doing research work, holding
seminar, international conferences and writing books trying to
understand crime and its causes in order to control it. But the net
result of all these efforts is to the contrary. Crime marches on”.

Orang-Orang sibuk siang malam, melakukan riset bekerja, memegang seminar,


buku tulis dan konferensi internasional [yang] berusaha untuk memahami kejahatan
dan penyebab nya dalam rangka mengendalikan itu. Hanyalah [netto/jaring]
menghasilkan semua usaha ini untuk penyimpangannya. Kejahatan berbaris
KEBIJAKAN FORMULASI

 Tahap paling strategis :


 Tahap “perencanaan” (planning)
 Merancang “penal system”

 Yang dirancang The Structure of the Penal


System (Nils Jareborg) :
 criminalization
 sentencing
 execution of punishment
Identifikasi Masalah Kebijakan Formulasi

Formulasi Pengertian Umum

1. Pengertian Pencucian Uang


- dapat menimbulkan salah pengertian dan tidak sesuai
dengan fungsinya sebagai “Ketentuan Umum”

2. Pengertian Permufakatan Jahat


- karena merupakan “istilah juridis”  harus ada
pengertiannya;
- karena pengertian "permupakatan jahat" dalam KUHP (Psl.
88) tidak berlaku umum ;
Masalah Formulasi Tindak Pidana
(Kriminalisasi)
Unsur-unsur TPPU (Psl. 3:1)

 Element of Money Laundering :


1. unsur “perbuatan” (“act”)
2. unsur “pengetahuan” ("knowledge“)
3. unsur “tujuan” ("objective“)

 Perumusan unsur ke-3 dalam Psl. 3 (1) tidak


sama dgn. Psl. 1 sub 1  seyogyanya sesuai
dgn. formulasi Psl. 1 sub 1.
Masalah Formulasi Tindak Pidana

 Masalah “Predicate Offence”


 Perluasan cakupan “predicate offence” dapat
mencapai ratusan delik  mirip dengan
Malaysia (119) dan Filipina (114).
 Tidak ada perincian limitatif
 Rincian limitatif :
- dalam lampiran UU (seperti di Malaysia)
- dalam UU pelaksanaan (seperti di Filipina)
 Rincian bertolak dari rambu-rambu/kriteria yang
jelas.
Masalah Formulasi Tindak Pidana

 Ketentuan Psl. 3 (2) : “percobaan, pem-


bantuan, dan permufakatan jahat dipidana
sama” :

 seyogyanya tidak hanya untuk TPPU dalam


Psl. 3 (1);

 tetapi juga untuk TPPU dalam Psl. 6 (1)


Masalah Formulasi Pasal 7
• warga negara dan/atau korporasi Indonesia di
luar wilayah negara Republik Indonesia
• memberikan bantuan, kesempatan, sarana,
atau keterangan untuk terjadinya TPPU dalam
Pasal 3

Janggal ditempatkan di bawah Pasal 6.


Seyogyanya Pasal 7 dihapuskan saja, karena :

1. perbuatan terlarang (delik) dalam Pasal 7 sudah


tercakup dalam Pasal 3 (2), karena pengertian
“pembantuan” dalam Pasal 3 (2) secara juridis berarti
menunjuk Pasal 56 KUHP yang mencakup :
- “membantu pada saat kejahatan dilakukan” dan
- “membantu sebelum kejahatan dilakukan, yaitu
dengan memberi kesempatan, sarana, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan”.

2. berlakunya hukum pidana terhadap warga negara


Indonesia di luar wilayah RI, juga sudah tercakup dan
diatur secara umum dalam Pasal 5 ayat (1) ke-2 KUHP
(asas nasional aktif atau asas personal) .
Penambahan Delik Baru
Pasal 10A dan Pasal 17A
(pelanggaran kewajiban/tugas oleh
pejabat/pegawai/aparat/lembaga yang terkait dengan TPPU )

Penempatan dan pengaturannya bermasalah :

 Menurut sistematika UU TPPU perumusan tindak pidana hanya


ditempatkan dalam dua bab, yaitu Bab II (tentang TPPU) dan Bab III
(tentang TP Lain Yang Berkaitan Dg. TPPU).

 Oleh karena itu, perumusan delik dalam Pasal 17A (3) seyogyanya
ditempatkan dalam Bab III .

 Kalau ditempatkan dalam Bab IV dapat menimbulkan masalah juridis


karena Pasal 12 (“Tindak pidana dalam Bab II dan Bab III adalah
kejahatan”) tidak diubah oleh UU No. 25/ 2003 .

 Sekiranya ditempatkan dalam Bab IV (tentang “Pelaporan”), Pasal 12


seharusnya diubah menjadi : “Tindak pidana dalam Bab II, Bab III, dan
Bab IV adalah kejahatan”.
Masalah Formulasi Subjek dan
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
 masih mengandung kelemahan :

korporasi baru dipertanggungjawabkan


apabila TP dilakukan oleh pengurus/kuasa
pengurus;

 PJP hanya didasarkan pada “the delegation


principle”, tidak didasarkan pada “the
employment principle” ;
Masalah Aturan Dan Pelaksanaan
Pemidanaan

 Belum ada aturan/pedoman penerapan


pidana minimal khusus;

 Belum ada aturan pelaksanaan pidana


denda untuk Korporasi ;
Disajikan di PPATK
Jakarta, 18 Mei 2005
Bahan Rapat Depkeh-PPATK
11 Oktober 2005
PASAL 1 SUB 1 (BARU) PASAL 3 (BARU)

Unsur ke-3 dirumuskan dengan Dirumuskan dengan kalimat :


kalimat : “Dengan maksud menyembunyi-
“Dengan maksud untuk menyem- kan atau menyamarkan asal usul
bunyikan, atau menyamarkan asal harta kekayaan yang dikeahuinya
usul harta kekayaan sehingga se- atau patut diduganya merupakan
olaholah menjadi harta kekayaan hasil tindak pidana”.
yang sah”.
Unsur ke-3 menjadi unsur umum Terkesan hanya menjadi unsur untuk
untuk semua bentuk perbuatan perbuatan sub g (“menukarkan atau
(“act”) pencucian uang; perbuatan lainnya”) ;
(CATATAN : walaupun mungkin
maksud pembuat UU tidak demikian).
PENGGABUNGAN PASAL 3 DAN 6
Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000. 000,00 (lima
belas milyar rupiah) :
1) Setiap orang :
– yang menempatkan Harta Kekayaan ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama
sendiri atau atas nama pihak lain;
– mentransfer Harta Kekayaan dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa
Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
– membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan, baik perbuatan itu atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
– menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan, baik atas namanya sendiri maupun
atas nama pihak lain;
– menitipkan Harta Kekayaan, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
– membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana; atau
– menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan dengan mata uang atau surat
berharga lainnya,
yang diketahuinya atau patut diduganya bahwa Harta Kekayaan itu merupakan hasil
tindak pidana, dan dengan tujuan untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal
usul Harta Kekayaan itu sehingga seolaholah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
2) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
– penempatan;
– pentransferan;
– pembayaran;
– hibah;
– sumbangan;
– penitipan; atau
– penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana.

3) Setiap orang yang melakukan percobaan,


pembantuan, atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana pencucian uang
sebagaimana dimaksud dalam sub (1) dan (2).
"Model Law on Money Laundering" (UNDCP)

Article 21
The penalty of imprisonment of ... to ... and a fine of ... to ..., or one of those two
penalties only, shall be imposed on :
1) Anyone who converts or transfers property or proceeds, knowing (1st variant: or
suspecting) (2nd variant: or if he ought to have known) that such property or proceeds
are derived directly or indirectly from illicit traffic in narcotic drugs, psychotropic
substances or precursors, for the purpose of concealing or disguising the illicit origin
of the property or proceeds, or of assisting any person who is involved in the
commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his
actions;
2) Anyone who collaborates in the concealment or disguise of the true nature, source,
location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property or
proceeds, knowing (1st variant: or suspecting) (2nd variant: or if he ought to have
known) that such property or proceeds were derived directly or indirectly from illicit
traffic in narcotic drugs, psychotropic substances or precursors;
3) Anyone who acquires, possesses or uses property, knowing (variant: or suspecting)
(variant: or if he ought to have known) that such property was derived from illicit traffic
in narcotic drugs, psychotropic substances or precursors or from an act of
participation in such an offence or offences.
USUL : ketentuan pelaksanaan pidana
denda untuk korporasi
• Pasal 5a

1) Jika korporasi tidak membayar pidana denda


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
paling lama satu bulan sesudah putusan penga-dilan
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
kekayaan atau aset korporasi dapat disita dan
dilelang untuk menutupi pidana denda tersebut.

2) Dalam hal harta kekayaan atau aset korporasi tidak


mencukupi untuk membayar pidana denda, maka
dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin
usaha atau pembubaran korporasi.
Aturan/pedoman pemidanaan
pidana minimal khusus
1) Dalam hal ada faktor/alasan peringanan pidana, ancaman pidana
minimal dikurangi (atau "dapat dikurangi") sepertiga, [kecuali untuk
percobaan, pembantuan dan permupakatan jahat];
(catatan :
– diadakannya klausul "pengecualian" dalam redaksi di atas, karena dalam
RUU TP-PU ini, delik percobaan/pembantuan/ permupakatan jahat diancam
pidana sama dengan tindak pidana;
– namun dapat saja klausul pengecualian di atas, dihapuskan/ditiadakan);

2) Dalam hal ada faktor/alasan pemberatan pidana, ancaman pidana


minimal tidak diperberat;

3) Menyimpang dari sub (2), ancaman pidana minimal dapat diperberat


sepertiga untuk pengulangan (recidive).

4) Dalam hal terjadi perbarengan tindak pidana (concursus), berlaku keten-


tuan KUHP dengan mengabaikan ancaman pidana minimal untuk
tindak pidana yang bersangkutan.
Pidana Tambahan untuk Korporasi
( Article 24 Model Law on Money Laundering)

• larangan melakukan aktivitas bisnis (selamanya atau


dalam waktu tertentu); (a permanent or temporary ban
on carrying on one or more business activities);

• penutupan tempat-tempat yang digunakan untuk


melakukan tindak pidana; (permanent or temporary
closure of the premises which were used for the
commission of the offence);

• pengumuman keputusan hakim di pers, radio, atau


televisi (Publicizing of the judgement in the press
or on radio or television).

Anda mungkin juga menyukai