Jika diperbandingkan dua ketentuan tersebut di atas dalam dua sistem hukum,
jelas konsep permufakatan jahat dalam sistem hukum Common Law -KUHP
Inggris 1997 lebih rinci/lengkap daripada KUHP Indonesia. Hal ini tampak dari
section 1 (1) huruf (b) yang menegaskan bahwa sekalipun kejahatan yang telah
disepakati tidak terjadi, tetap saja inisiator dan pihak dalam permufakatan
tersebut dapat dituntut pidana.
Sedangkan Pasal 88 KUHP hanya menegaskan permufakatan jahat jika ada dua
orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan dan tidak ada klausul
lain di dalam ketentuan tersebut sehingga ketika ada dugaan terjadi
permufakatan jahat, tidak mudah dalam penerapan hukumnya, dan sering
ditafsirkan keliru bahwa niat jahat (mens-rea ) telah terjadi ketika telah terjadi
kesepakatan akan melakukan kejahatansecara implisit, tetapi bukan eksplisit.
Konsep permufakatan jahat itu sendiri, jika hanya dicukupkan ada kesepakatan
antara para conspirator, dari aspek filosofi hukum pidana dan nalar abstraksi-
logis bertentangan dengan prinsip, “daad-dader strafrecht“, dan doktrin
mengenai “geen straf zonder schuld “ asas kesalahan (culpability principle ).
Peristiwa pertemuan MS(FI), SN, dan MR masih perlu dikaji lebih dalam karena
beberapa hal yaitu: Pertama, penggunaan sarana elektronik untuk merekam
pembicaraan segitiga yang tidak berlangsung secara terbuka (privasi). Kedua,
status hukum konten rekaman yang diperoleh secara ilegal dan telah
disebarluaskan kepada publik melalui media cetak dan elektronik.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan: Pertama, lahirnya KUHP Tahun 1981
didorong antara lain untuk menempatkan tersangka/terdakwa sebagai subjek
hukum yang wajib memperoleh hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi UUD
1945. Kedua, filosofi KUHAP 1981 yang bertujuan perlindungan hak asasi
tersangka/terdakwa sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum KUHAP,
Ketiga, Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa alat bukti harus diperoleh secara
sah yaitu minimal dua alat bukti. Hal ini harus diartikan bahwa perolehan alat
bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP harus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang khusus
mengatur tentang penyadapan/ perekaman berdasarkan perintah UU.
Penulis masih berpendapat bahwa perbuatan merekam yang telah dilakukan oleh
MS (FI) tanpa pengetahuan/seizinSNdanMRdi mana MS (FI) termasuk
penyadapan ilegal (illegal/unlawfull wiretapping) sehingga bukti rekaman
menjadi tidak sah secara hukum. Wiretapping adalah
“electronicormechanicaleavesdropping, done by law enforcement officers under
court order to listen to private conversations“ (Blacks Law Dictionary, 1993).
Bagaimana pertemuan segitiga MS(FI), SN, dan MR dapat dipandang sebagai ada
“probable cause to believe “ bahwa suatu tindak pidana telah atau sedang
dilakukan sehingga diperlukan penyadapan sekalipun tanpa perintah UU dan
dilakukan bukanolehpihakyangberwenang menurut UU