Anda di halaman 1dari 4

Sejarah permufakatan jahat atau conspiracy atau samenspaning pada awal

mulanya ditujukan untuk menghadapi kejahatan serius yang dilakukan organisasi


kejahatan terutama setelah lahirnya Konvensi PBB Menentang Kejahatan
Transnasional Terorganisasi 2000( UNConvention AgainstTransnationalOrganized
Crimes).

Penanganan peristiwa pertemuan MS (FI), SN, dan seorang pengusaha MR


dengan dugaan permufakatan jahat merupakan langkah progresif karena dari
personel pertemuan segitiga mereka tidak termasuk anggota organisasi
kejahatan, tetapi termasuk penyelenggara negara dan pimpinan korporasi dan
swasta lainnya.

Penangan peristiwa tersebut telah memunculkan kembali konsep permufakatan


jahat (sammenspaning/conspiracy). Konsep ini telah merupakan norma dalam
sistem hukum pidana Indonesia (KUHP) yang dicantumkan dalam Pasal 88. Isinya
yaitu “Dikatakan ada permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih telah
sepakat akan melakukan kejahatan”.

Dalam konsep “common law ofconspiracy “ yang telah diadopsi ke dalam UU


Hukum Pidana Inggris Tahun 1977 yang disebut “statutory conspiracy “, dalam
section 1 (1):permufakatan jahat (conspiracy ): “if a person agrees with any
other person or persons that a course of conduct shall be pursued which, if the
agreement is carried out in accordance with their intentions, either:

(a) will necessarily amount to or involve the commission of any offence or


offences by one or more of the parties to the agreement; or (b) would do so but
for the existence of facts which render the commission of the offence or any of
the offences impossible; he is guilty of conspiracy to commit offence or offences
in question “.

Jika diperbandingkan dua ketentuan tersebut di atas dalam dua sistem hukum,
jelas konsep permufakatan jahat dalam sistem hukum Common Law -KUHP
Inggris 1997 lebih rinci/lengkap daripada KUHP Indonesia. Hal ini tampak dari
section 1 (1) huruf (b) yang menegaskan bahwa sekalipun kejahatan yang telah
disepakati tidak terjadi, tetap saja inisiator dan pihak dalam permufakatan
tersebut dapat dituntut pidana.

Sedangkan Pasal 88 KUHP hanya menegaskan permufakatan jahat jika ada dua
orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan dan tidak ada klausul
lain di dalam ketentuan tersebut sehingga ketika ada dugaan terjadi
permufakatan jahat, tidak mudah dalam penerapan hukumnya, dan sering
ditafsirkan keliru bahwa niat jahat (mens-rea ) telah terjadi ketika telah terjadi
kesepakatan akan melakukan kejahatansecara implisit, tetapi bukan eksplisit.

Apakah benar demikian? GlanvilleWilliamsdalam Textbook of Criminal Law (1983)


menegaskan bahwa dalam menafsirkan perbuatan permufakatan jahat masih
diperlukan unsur “mensrea“ yaitu kesengajaan (intention), sebagaimana
ditegaskan: “It was said that the mental element required for conspiracy is
basically one of intention “, dan terhadap unsur sengaja terdapat dua tafsir
perluasan:

bahwapada conspirator adanya harapan atau pandangan ke depan bahwa ada


kepastian (kejahatan akan terjadi dilakukan) atau foresight of certainty, dan
kelalaian mengenai situasi/ keadaan atau recklessness as to circumstances.

Untuk membuktikan bahwa conspirator dapat dipertanggungjawabkan secara


pidana jika tidak terdapat fakta, (1) no liability where consequences unintended
and not foreseen as certain; (2) recklessness as to consequence insufficient , dan
(3) party no liable for conspiracy if he believed that the required circumstance
would not exist at the time of the intended conduct .

Jika tigafaktahukumterungkapdalam sidang pengadilan, conspirator tidak dapat


dipertanggungjawabkan secara pidana. Berdasarkan uraian ini, tafsir hukum
permufakatan jahat menurut sistem hukum Inggris (UU Pidana Tahun 1977) lebih
luas dan rinci dari ketentuan KUHP Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut dalam UU Pidana 1977 (Inggris), ada permufakatan


saja bukan merupakan“sufficientfactor“, melainkan hanya bersifat “necessary
factor “ yang masih diperkuat dengan alat bukti lain. KUHP Belanda Tahun 1996
telah mencantumkan konsep permufakatan jahat dalam Pasal 80: “from the
moment twoormore persons agree to commit a serious crime, this constitutes
conspiracy“.

Perbedaan dengan ketentuan Pasal 88 KUHP Indonesia bahwa permufakatan


jahat harus ditujukan terhadap kejahatan serius seperti terorisme, narkoba, atau
korupsi. Sedangkan dalam Pasal 88 KUHP Indonesia tidak secara khusus
ditujukan terhadap tindak pidana tertentu, di mana dinyatakan: “dikatakan ada
permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan
kejahatan“.

Di dalam Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi Tahun


2000 yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009, yang meliputi
antara lain, tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, telah
membedakan konsep permufakatan jahat antara sistem hukum Common Law
dan Civil Law.

Common Law Conspiracy Model yang telah diadopsi menjadi “statutory


conspiracy “ (UU Pidana Inggris 1977) mendefinisikan, permufakatan jahat
(conspiracy): “Agreeing withone or more persons to commit a serious crime for a
purpose relating directly or indirectly to the obtaining of a financial or other
material benefit.”

Sekalipun model conspiracy Common Law, Glanville selanjutnya menegaskan,


“this offence criminalize the mere agreement to commit serious crimes“, tetapi
penerapan huk u m ketent u a n tersebut harus merujuk pada penemuan tiga
faktor yang kesengajaan pada conspiracy di atas. Civil Law Conspiracy Model
mendefinisikan permufakatan jahat; “Conduct by a person or persons, who, with
knowledge of either the aim and general criminal activity...takes an active part in
that criminal activity“.

Petunjuk legislatif tersebut menegaskan bahwa,“..theCivilLawlegaltradition ... do


not recognize conspiracy or do not allow the criminalization of mere agreements
to commit offences “. Petunjuk legislatif tersebut semakin meyakinkan bahwa
terdapat perbedaan signifikan konsep permufakatan jahat dalam sistem hukum
Civil Law in casu KUHP Indonesia 1946 dan KUHP Belanda 1996 dibandingkan
dengan sistem hukum Common Law in casu KUHP Inggris 1977.

Konsep permufakatan jahat itu sendiri, jika hanya dicukupkan ada kesepakatan
antara para conspirator, dari aspek filosofi hukum pidana dan nalar abstraksi-
logis bertentangan dengan prinsip, “daad-dader strafrecht“, dan doktrin
mengenai “geen straf zonder schuld “ asas kesalahan (culpability principle ).

Peristiwa pertemuan MS(FI), SN, dan MR masih perlu dikaji lebih dalam karena
beberapa hal yaitu: Pertama, penggunaan sarana elektronik untuk merekam
pembicaraan segitiga yang tidak berlangsung secara terbuka (privasi). Kedua,
status hukum konten rekaman yang diperoleh secara ilegal dan telah
disebarluaskan kepada publik melalui media cetak dan elektronik.

Mengapa demikian? Hal ini disebabkan: Pertama, lahirnya KUHP Tahun 1981
didorong antara lain untuk menempatkan tersangka/terdakwa sebagai subjek
hukum yang wajib memperoleh hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi UUD
1945. Kedua, filosofi KUHAP 1981 yang bertujuan perlindungan hak asasi
tersangka/terdakwa sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum KUHAP,

butir 1 alinea keempat, angka 2 dan angka 3—dan sepuluh asas-asas


pembentukan KUHAP, menunjukkan bahwa KUHAP 1981 menganut “due process
model “ dan menolak “crime control model “ (The Limits of Criminal Sanction ,
1986) yang telah dianut Het Herziene Inlands Reglement (HIR) selama 35 tahun
dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Ketiga, Pasal 183 KUHAP menegaskan bahwa alat bukti harus diperoleh secara
sah yaitu minimal dua alat bukti. Hal ini harus diartikan bahwa perolehan alat
bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP harus sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang khusus
mengatur tentang penyadapan/ perekaman berdasarkan perintah UU.

Penulis masih berpendapat bahwa perbuatan merekam yang telah dilakukan oleh
MS (FI) tanpa pengetahuan/seizinSNdanMRdi mana MS (FI) termasuk
penyadapan ilegal (illegal/unlawfull wiretapping) sehingga bukti rekaman
menjadi tidak sah secara hukum. Wiretapping adalah
“electronicormechanicaleavesdropping, done by law enforcement officers under
court order to listen to private conversations“ (Blacks Law Dictionary, 1993).

Penggunaan wiretapping diperbolehkan sepanjang terdapat “probable cause to


believe that a particularoffensehasbeenorisbeing committed,” dan dugaan
tersebut harus secara jelas dicantumkan dalam surat perintah pengadilan
(Encyclopedia of Crime and Justice , 1983, Vol4).

Bagaimana pertemuan segitiga MS(FI), SN, dan MR dapat dipandang sebagai ada
“probable cause to believe “ bahwa suatu tindak pidana telah atau sedang
dilakukan sehingga diperlukan penyadapan sekalipun tanpa perintah UU dan
dilakukan bukanolehpihakyangberwenang menurut UU

Anda mungkin juga menyukai