Anda di halaman 1dari 4

Tindak-tindak pidana yang tegas mengenai kehormatan orang adalah yang termuat

dalam titel XVI Buku II tentang penghinaan. Tindak pidana membuka rahasia
digolongkan pada tindak-tindak pidana mengenai kehormatan orang ialah karena
dapat dikatakan bahwa semua atau sebagian besar yang dirahasiakan oleh
seseorang adalah mengenai kehormatan orang yang bersangkutan.

Penggelapan Kedudukan (Verduistering van Staat)

Tindak pidana penggelapan kedudukan ini oleh pasal 277 dirumuskan sebagai :
“dengan suatu perbuatan sengaja menjadikan keturunan orang tidak tentu, dan
diancam dengan kemungkinan hukuman tambahan berupa pencabutan hak-hak
yang dimuat dalam pasal 35 nomor 1-4. Sama sekali tidak dijelaskan perbuatan apa
yang kini dimaksudkan. Dapat dikatakan bahwa perbuatan ini hampir selalu brupa
memberikan keterangan palsu agar dimuat dalam daftar kelahiran atau daftar
perkawinan agar menajdi tidak tentu, apakah seorang tertentu adalah keturunan dari
seseorang bapak atau ibu atau kakek atau nenek, begitu seterusnya. Dengan
demikian, akan hampir selalu ada gabungan tindak pidana ini dengan tindak pidana
pemalsuan surat yang termuat dalam titel XII Buku II KUHP.

Pengakuan Anak Secara Palsu

Dengan nama (kualifikasi) pengakuan palsu (velsche erkenning) oleh pasal 278
diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga tahun seorang laki-laki yang
mengakui seorang lain sebagai anaknya menurut peratyran dari BW, sedangkan
diketahuinya bahwa ia bukan bapaknya anak itu. Tindak pidana ini pun hampir selalu
berupa memberikan keterangan palsu, yaitu kepada seorang pegawai pencatatan
sipil (Burgerlijke Stand) pasal 280-289 tentang pengakuan anak yang lahir di luar
perkawinan (erkenning van natuurlijke kinderen).

Melakukan Perkawinan Yang Tidak Sah Karena Ada Perkawinan Lain Lebih
Dulu

Tindak Pidana tentang melakukan perkawinan yang tidak sah karena ada
perkawinan lain lebih dulu ini diatur dalaam pasal 279 KUHP. Dalam pasal yang
bersangkutan dari KUHP Belanda, tindak pidana ini dinamakan dubbel huwelijk atau
bigami, karena di negeri Belanda seluruh warganya menganut prinsip monogami.
Maka, tindak pidana semacam ini selalu mengakibatkan adanya dua perkawinan.

Di Indonesia, diantara penganut agama Islam, ada kemungkinan seorang laki-laki


secara sah mempunyai dua, tiga, atau empat istri. Maka, di antara mereka seorang
laki-laki baru melakukan perkawinan yang kelima setelah empat kali melakukan
perkawinan secara sah. Bagi si istri, kawin kedua kali seudah melakukan tindak
pidana ini.

Bagi para penganut agama Hindu Bali yang mengizinkan seorang laki-laki
mempunyai sejumlah istri tanpa batas, tindak pidana ini hanya dapat dilakukan oleh
seorang istri bersama partnernya.
Pelanggaran Tentang Kedudukan Perdata

Titel IV Buku III KUHP memuat dua pasal tentang hal ini :

Ke-1 : pasal 529 yang mengancam dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya


seratus rupiah barang siapa yang tidak memenuhi kewaiban berdasar undang-
undang untuk melakukan suatu pemberitahuan kepada pegawai Pencatatan Sipil
(ambtenaar burgerlike stand) untuk dimasukkan dalam daftar kelahiran dan daftar
kematian.

Ke-2 : pasal 530 yang mengancam dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya


tiga ratus rupiah seorang pemuka agama yang melakukan upacara agama tentang
perkawinan, yang hanya dapat dilakukan di muka pegawai Pencatatan Sipil, jika
pemuka agamai itu belum mendapat kenyataan dari kedua belah pihak yang kawin
itu, bahwa mereka telah kawin di muka pegawai negeri tersebut.

Hukuman denda yang belakangan ini dapat diganti dengan hukuman kurungan
selama-lamanya dua bulan apabila pada waktu melakukan pelanggran itu belum lalu
dua tahun sejak penghukuman dahulu tentang pelanggaran semacam itu sudah
mendapat kekuatan tetap. Dengan adanya tindak pidana ke-2 ini, ditekankan bahwa
hukum hanya mengakui sah suatu perkawinan yang dilakukan menurut peraturan
hukum yang berlaku.

Penghinaan (Beleediging)

Ini adalah judul dari titel XVI Buku II KUHP tanpa penegasan dalam pasal-pasal
yang termuat di dalamnya yang benar-benar diartikan dengan kata penghinaaan.
Pasal pertama, yaitu pasal 310, memuat tindak pidana yang dinamakan menista
(smaad); pasal 311 memuat tindak pidana yang dinamakan memfitnah (laster) tanpa
memakai kata menghina. Baru pada pasal 314 orang yang difitnah dinamakan pihak
yang dihina (beleedigde). Pasal 315 memuat suatu tindak pidana yang dinamakan
penghinaan bersahaja (eenvoudige beleediging), dan yang dirumuskan sevagai
setiap penghinaan dengan sengaja (elken opzettelijke beleediging) yang tidak
bersifat menista. Tampaklah bahwa penistaan adalah suatu pengkhususan dati
penghinaan.

Tindak pidana penistaan (smaad) ini oleh pasal 310 dirumuskan sebagai dengans
engaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia
melakukan suatu perbuatan tertentu (bepaaldfeit) dengan tujuan yang nyata
(ruchtbaarheid geveng). Selanjutnya, disebut suatu perbuatan berupa dengan
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang, sedangkan kata-kata
selanjutnya dapat dianggap merupakan pengkhususan atau sifat dati tindak pidana
penistaan.

Dengan demikian, jika pengkhususan atau sifat dari penistaan dihilangkan, yang
tertinggal adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang. Maka,
dapat dianggap bahwa penghinaan berarti menyerang kehormatan atau nama baik
orang; dan hal ini memang agak sama dengan pengertian penghinaan pada
umunya.

Penghinaan Bersifat Objektif atau Subjektif

Sepanjang perbuatan penghinaan bersifat menyerang nama baik orang maka


tampak sifat objektif dari penghinaan, yaitu sampai di mana nama baik orang itu iti di
mata khalayak ramai menurun sebagai akibat perbuatan penghinaan. Berbeda
dengan pengertian penghinaan yang berupa menyerang kehormatan orang,
selanjutnya timbul persoalan karena konkretnya perbuatan atau penghinaan
menyinggung rasa kehormatan seseorang; dan rasa pada pokoknya bersifat
subjektif.

Rasa kehormatan ini menurut Wirjono harus sekedar diobjektifkan sedemikian rupa
bahwa harus ditinjau apa dengan suatu perbuatan tertentu seseorang biasa pada
umumnya akan merasa tersinggung atau tidak. Dapat dikatakan pula bahwa
seseorang anak yang masih sangat muda belum dapat merasakan tersinggung ini,
dan bahwa seorang yang sangat gila tidak dapat merasakan tersinggung itu. Maka,
tidak mungkin ada tindak pidana penghinaan kedua jenis orang tadi.

Penistaan (Smaad)

Tindak pidana ini yang perumusannya dalam pasal 310 sudah disebutkan di atas
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah. Hukuman pidana ini oleh ayat 2 dinaikkan
menjadi penjara satu tahun empat bulan apabila perbuatan ini dilakukan dengan
surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan. Tindak pidana
ini dinamakan penistaan dengan surat (smaadschrift). Menurut ayat 3, tidak ada
penistaan atau penistaan dengan surat jika perbuatan itu dilakukan untuk
kepentingan umum atau mutlak perlu (noodzakelijk) untuk membela sesuatu.

Tuduhan melakukan perbuatan tertentu

Perbuatan tertentu yang dituduhkan kepada si korban ini tidak perlu dikatakan tegas
dengan menyebutkan tempat dan waktu perbuatan itu dilakukan, tetapi sebaliknya
tidak boleh terlalu kabur. Perbuatan yang dituduhkan ini harus berdaya mengurangi
kehormatan atau nama baik si korban, misalnya ia dituduh melakukan pencurian
atau penipuan tertentu. Jadi, tuduhan ini harus bersifat kurang baik dalam penilaian
oleh umum. Sifat kurang baik ini sangat relatif dan sering ada peranan dari cara
mengucapkan tuduhan. C’est le ton, qui fait la musique adalah pepatah Perancis
yang kini dapat berlaku. Tidak menjadi masalah apakah benar atau tidak si korban
melakukan pencurian atau penipuan itu. Kalau itu dipermasalahkan, maka perkara
beralih kepada tindak pidana memfitnah (Laster) dari pasal 311.

Unsur lain dari tindak pidana penistaan (Smaad) adalah bahwa si pelaku bertujuan
untuk menyiarkan tuduhan itu kepada khalayak ramai. Untuk itu, tuduhan tidak perlu
diucapkan di muka umum bahkan dapat dikatakan di muka seorang saja tetapi
tampak dimaksudkan agar orang itu meneruskan tuduhan tersebut kepada orang-
orang lain.

Memfitnah (Laster)

Ketentuan hakim untuk meneliti kebenaran tuduhan si pelaku terhadap si korban


juga dapat diadakan apabila si korban adalah seorang pegawai negeri, dan ia
dituduh melakukan sesuatu perbuatan tercela dalam menjalankan jabatan.
Konsekuensi dari ketentuan hakim adalah bahwa pemeriksaan perkara beralih
kepada tindak pidana mamfitnah dari pasal 311.

Dalam hal ini, si pelaku harus membuktikan kebenaran tuduhannya. Jika ia gagal,
dianggap tuduhan itu dilakukan dengan diketahui kebohongan dari tuduhan itu,
maka ia dapat dihukum karena memfitnah dengan hukuman lebih berat, yaitu
maksimum empat tahun penjara. Di samping itu, menurut ayat 2, dapaty dicabut
hak-hak yang dimuat dalam pasal 35 nomor 1, 2, dan 3.

Menurut pasal 313, membuktikan kebenaran tuduhan ini juga tidak diperbolehkan
apabila kepada si korban dituduhkan suatu tindak pidana yang hanya dapat dituntut
atas pengaduan, dan pengaduan ini in concreto tidak ada.

Pasal ini sebetulnya mengenai hukum acara pidana. Demikian juga apsal 314 yang
berbunyi :

Kalau orang yang dihina, dengan keputusan hakim yang sudah berkekuatan tetap,
dinyatakan bersalah melakukan perbuatan yang dituduhkan itu, maka keputusan
hakim ini dianggap membuktikan penuh secara sempurna bahwa tuduhan itu tidak
benar.

Jika dengan keputusan hakim yang sudah berkekuatan tetap, ia dibebaskan dari
tidihan itu, maka keputusan hakim ini dianggap membuktikan penuh secaraa
sempurna bahwa tuduhan itu tidak benar.

Jika orang yang dihina sudah mulai dituntut karena perbuatan yang dituduhkan
kepadanya itu, maka penuntutan karena memfitnaah dipertangguhkan sampai
tentang perbuatan itu diambil putusan hakim yang sudah berkekuatan tetap.

Anda mungkin juga menyukai