Anda di halaman 1dari 3

Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (Tipikor) mengatur tentang tindak pidana suap menyuap. Berikut adalah
perbedaan ketiganya:
1. Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor mengatur tentang pemberian hadiah atau janji
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar bertindak atau tidak
bertindak dalam jabatannya. Sementara itu, Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU
Tipikor menjelaskan tentang tindak pidana suap, baik dari pemberi maupun
penerima suap

.
2. Pasal 11 UU Tipikor mengatur tentang pemberian hadiah atau janji kepada
hakim agar bertindak atau tidak bertindak dalam putusan perkara pidana. Hal
ini merupakan bentuk suap yang khusus ditujukan kepada hakim
1
.
3. Pasal 12 huruf a UU Tipikor mengatur tentang penerimaan hadiah atau janji
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara agar bertindak atau tidak
bertindak dalam jabatannya. Ini menekankan pada tindakan penerima suap
oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara

.
Dengan demikian, ketiga pasal tersebut secara khusus mengatur tentang perbuatan
suap menyuap, baik dari sisi pemberi maupun penerima suap, serta objek dari suap
tersebut, seperti pegawai negeri, penyelenggara negara, dan hakim
1
.
Tindak pidana pencucian uang pada umumnya melalui tiga tahap kegiatan yaitu
tahap penempatan, tahap penyebaran, dan tahap pengumpulan
1

2
.Berikut adalah penjelasan singkat mengenai ketiga tahapan tersebut:
1. Tahap penempatan: Pada tahap ini, uang hasil dari tindak pidana dimasukkan
ke dalam sistem keuangan melalui transaksi-transaksi keuangan yang
mencurigakan, seperti penempatan, penyetoran, dan penarikan uang dalam
jumlah besar. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menyembunyikan uang hasil
tindak pidana ke dalam sistem keuangan yang sah.
2. Tahap penyebaran: Pada tahap ini, uang hasil tindak pidana yang telah
dimasukkan ke dalam sistem keuangan akan disebarluaskan ke berbagai
rekening bank atau investasi lainnya. Tujuan dari tahap ini adalah untuk
menyamarkan asal usul uang hasil tindak pidana dan membuatnya sulit
dilacak.
3. Tahap pengumpulan: Pada tahap ini, uang hasil tindak pidana yang telah
disebarluaskan akan dikumpulkan kembali dan digunakan untuk kepentingan
pribadi atau bisnis yang sah. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengubah
uang hasil tindak pidana menjadi aset yang sah dan tampak berasal dari
sumber yang legal.
Dalam praktiknya, tindak kejahatan pencucian uang tidak selalu berjalan dengan
bertahap, melainkan dengan saling menggabungkan tahapan kemudian melakukan
tahapan-tahapan pencucian uang berulang-ulang kali sehingga semakin sulit dilacak
5
.
Pasal 6 dan Pasal 7 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur tentang
tindak pidana terorisme. Berikut adalah perbedaan antara Pasal 6 dan Pasal 7:
1. Pasal 6 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur tentang delik
materiil, yaitu delik yang menekankan pada akibat akhir dari kelakuan
seseorang yang secara hukum merupakan tindak pidana. Pasal ini
menetapkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang
sama
1

3
.
2. Pasal 7 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur tentang delik
formil, yaitu delik yang perumusan pasalnya menekankan pada aspek
perbuatan yang dilarang. Pasal ini menetapkan bahwa setiap orang yang
bermaksud melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling
lama 20 tahun
1

3
.
Dengan demikian, perbedaan antara Pasal 6 dan Pasal 7 UU Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme terletak pada jenis delik yang diatur, yaitu delik materiil dan delik
formil
Unsur pokok kejahatan terhadap kemanusiaan meliputi adanya serangan yang meluas atau
sistematik. Unsur "meluas" mengacu pada serangan yang ditujukan secara meluas terhadap
penduduk sipil, sedangkan unsur "sistematik" merujuk pada serangan yang dilakukan sesuai
dengan rencana atau kebijakan tertentu. Serangan yang meluas menunjukkan bahwa
targetnya adalah penduduk sipil secara umum, sementara serangan yang sistematik
menunjukkan adanya perencanaan dan organisasi dalam pelaksanaannya. Dengan demikian,
kedua unsur ini menegaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan secara
terorganisir dan terencana, serta ditujukan secara meluas terhadap penduduk sipil

Anda mungkin juga menyukai