Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan merupakan gejala sosial yang akan
selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat dan bahkan Negara. Masalah kejahatan
bukanlah masalah yang baru meskipun tempat dan waktunya berbeda tetapi modus operandinya
dinilai sama. Namun ringan dan beratnya setiap ancaman hukuman tidak menjadi penghalang
seseorang untuk tidak melakukan kejahatan atau pun pelanggaran. Hal ini menjadi masalah
sebab tidak berarti sebuah aturan hukum jika kejahatan yang dilakukan masyarakat tidak dapat
diikuti oleh aturan hukum itu sendiri, seperti kejahatan dengan cara penggelapan yang
merupakan salah satu dari jenis kejahatan terhadap harta benda manusia. Kejahatan tidak akan
dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus kejahatan semakin sering terjadi dan yang
paling dominan adalah jenis kejahatan terhadap harta kekayaan, khususnya yang termasuk
didalamnya adalah tindak pidana penggelapan.
Tindak pidana penggelapan adalah salah satu jenis kejahatan terhadap kekayaan manusia
yang diatur didalam Kitab Undang-undang Pidana (KUHP). Mengenai tindak pidana
penggelapan itu sendiri diatur di dalam buku kedua tentang kejahatan didalam Pasal 372 – Pasal
377 KUHP, yang merupakan kejahatan yang sering sekali terjadi dan dapat terjadi di segala
bidang bahkan pelakunya di berbagai lapisan masyarakat, baik dari lapisan bawah sampai
masyarakat lapisan atas pun dapat melakukan tindak pidana penggelapan yang merupakan
kejahatan yang berawal dari adanya suatu kepercayaan pada orang lain, dan kepercayaan tersebut
hilang karena lemahnya suatu kejujuran.
Pasal 374 pada dasarnya hanyalah pemberatan dari Pasal 372 KUHP, yaitu apabila
dilakukan dalam hubungan jabatan sehingga kalau Pasal 374 KUHP dapat dibuktikan maka Pasal
372 KUHP dengan sendirinya dapat dibuktikan juga.1 Disisi lain, tindak pidana penggelapan
memiliki masalah yang berhubungan erat dengan sikap, moral, mental, kejujuran dan
kepercayaan manusia sebagai individu. Tindak pidana penggelapan merupakan perbuatan yang
melawan hukum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta pelakunya dapat
diancam dengan hukuman pidana, yang diatur dalam Pasal 372, Pasal 373, Pasal 374, Pasal 375,
serta Pasal 376 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berdasarkan uraian tersebut dapat
1
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Edisi Kelima, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003,
hal. 239-240.

1
diketahui bahwa tindak pidana penggelapan merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan
dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai pemilik sendiri barang sesuatu seluruhnya
atau sebagian adalah milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya, yang diperoleh bukan
karena kejahatan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian penggelapan uang?
2. Bagaimanakah dalil tentang penggelapan uang?
3. Bagaimanakah penjelasan tentang penggelapan uang sebagai bentuk korupsi?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian penggelapan uang.
2. Untuk mengetahui dalil tentang penggelapan uang.
3. Untuk mengetahui penjelasan tentang penggelapan uang sebagai bentuk korupsi.

BAB II

2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penggelapan uang
Penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau
seluruhnya, di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu
terjadi secara sah. Pada dasarnya, arti penggelapan yang pada dasarnya sama dengan uraian Pasal
372 KUH.2
Tindak Pidana Penggelapan adalah “barang siapa dengan sengaja melawan hukum
memiliki barang sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang
ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.3
Penggelapan merupakan suatu tindakan tidak jujur dengan menyembunyikan
barang/harta orang lain oleh satu orang atau lebih tanpa sepengetahuan pemilik barang dengan
tujuan untuk mengalih-milik (pencurian), menguasai, atau digunakan untuk tujuan lain.
Penggelapan bisa juga berupa penipuan keuangan. Misalnya, seorang pengacara bisa
menggelapkan dana dari rekening yang telah dipercayakan kepadanya oleh nasabah,
seorang penasihat keuangan bisa menggelapkan dana dari investor, atau seseorang bisa
menggelapkan dana dari pasangannya. Penggelapan tergolong ke dalam jenis pelanggaran
hukum dan umumnya diatur oleh undang-undang pidana.4
Perbedaan antara pencurian, perampokan, dan penggelapan yaitu, pencurian yang diatur
dalam Pasal 362 KUHP adalah barang siapa yang mengambil suatu barang yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena
pencurian. Pencurian terbagi atas empat bagian yaitu, pencurian dalam bentuk pokok, pencurian
dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan dan pencurian dalam rumah tangga. 5
Perampokan termasuk ke dalam pencurian dengan kekerasan, yang diatur dalam Pasal 365
KUHP yang dilakukan oleh lebih dari satu orang secara terang-terangan yang disadari oleh
korban dengan melakukan tindak kekerasan.
2
Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan (Bandung; Sinar Baru,
1989), hal. 8.

3
Andi Hamzah, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, Jakarta, 1992), hal. 144

4
Singer and Lafond, Criminal Law, 4th ed. (Aspen: 2007), h. 261

5
Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana, 2014),
hlm. 127.

3
B. Dalil-Dalil tentang Penggelapan Uang
Agama Islam melindungi harta, karena harta adalah bahan pokok untuk hidup. Islam juga
melindungi hak-hak milik individu, sehingga hak-hak milik tersebut benar-benar merupakan hak
milik yang aman.6 Hukum Islam menghormati kepemilikan pribadi-pribadi terhadap harta dan
menjadikan hak mereka terhadap harta sebagai hak yang suci. Seorang pun tidak boleh
melakukan tindakan sewenang-wenang terhadapnya dengan pertimbangan apapun.7
Dalam hukum Islam tidak ada ketentuan hukum tersendiri yang mengatur mengenai
tindak pidana penggelapan uang, namun tindak pidana ini bisa dianalogikan dengan beberapa
kejahatan seperti ghulul (korupsi), ghasab (mengambil paksa hak/harta orang lain), sariqah
(pencurian), khianat (melanggar janji dan kepercayaan). Dengan demikian kejahatan ini memang
tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan lainnya selain jarimah ta’zir.
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam masalah penggelapan yang dihubungkan
dengan tindak pidana penggelapan memang tidak disebutkan secara jelas dan khusus dalam al-
Qur’an dan Hadist. Akan tetapi bukan berarti Islam tidak mengatur masalah ini. Justru
diperlukan kajian dari al-Qur’an untuk menemukan hukum dari masalah ini. Hukum Islam
merupakan hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadist. Apapun bentuk tindak kejahatan
yang dilakukan oleh manusia pasti ada hukumannya. Dalam hukum Islam bentuk tindak
kejahatan dikenal dengan istilah jarimah..
Dalam Islam tidak ada istilah khusus tentang penggelapan, jika dilihat dari sudut pandang
perbuatan dan unsur yang terdapat dalam penggelapan maka di sini terdapat persamaan antara
tindak pidana penggelapan dengan tindak pidana yang diatur dalam Islam yaitu: ghulul, ghasab,
sariqah, khianat.
Adapun kata ghulul secara etimologi berasal dari kata kerja yang masdar
invinitive atau verbal noun-nya ada beberapa pola yang semuanya
diartikan oleh ibnu al-Manzur dengan sangat kehausan dan kepanasan.8

6
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj.kahar Mansyhur), (Kuala Lumpur : Victori Agencis, 2001), hlm. 200.

7
M. Dipo Saputra Lubis, ”Perbandingan Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Pidana Nasional dan
Hukum Pidana Islam’’, Jurnal Univ.Sumatra Utara,Medan, 2013, hlm. 1.
8
M.Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, cet ke-1, (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2009), hlm. 94.

4
Kata ghulul dalam arti berkhianat terhadap harta rampasan juga disebutkan dalam firman
Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 161:
              
        
Artinya: ‘’Yang tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.
Barang siapa yang berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia akan datang dengan
membawa apa yang dikhianatinya itu, kemudian setiap orang akan diberi balasan yang
sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizhalimi.’’
Pada umumnya para ulama menghubungkan ayat 161 surah Ali-Imran ini dengan
peristiwa perang uhud yang terjadi pada tahun ke-3 H, walaupun ada juga riwayat yang
menginformasikan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kasus sehelai beludru merah yang
hilang pada waktu perang badar.9
Mutawalli Al-Sya’rawi mengemukakan pandangan yang sedikit berbeda. Menurutnya,
dalam perang badar, Rasul saw, mengumumkan bahwa “Siapa yang membunuh seseorang maka
harta rampasan perang yang ditemukan bersama sang terbunuh menjadi miliknya”.
Kebijaksanaan ini beliau tetapkan untuk mendorong semangat juang kaum muslimin.
Ayat ini menegaskan bahwa tidak mungkin dalam satu waktu atau keadaan seorang nabi
berkhianat karena salah satu sifat nabi adalah amanah, termasuk tidak mungkin berkhianat dalam
urusan harta rampasan perang. Hal itu tidak mungkin bagi semua nabi, apalagi Nabi Muhammad
saw, penghulu para nabi. Umatnya pun tidak wajar melakukan pengkhianatan.10
Nabi SAW menitahkan umat beliau untuk menghukum pencuri harta rampasan perang
dan membakar harta miliknya serta menderanya. Hal itu sebagai peringatan keras bagi umat
muslim yang lain, dan sebagai pelajaran agar mereka tidak ikut melakukannya. Umar r.a.
meriwayatkan Nabi saw bersabda,
“Jika kalian menemukan seseorang yang mencuri ganimah, bakarlah hartanya dan
deralah ia”.
Umar berkata “kami menemukan seorang pencuri harta rampasan perang yang berupa
mushaf. Kemudian kami menanyakan hal ini kepada Salim. Ia berpendapat, Juallah dan
bersedekahlah dari hasil penjualan harta itu.” Umar bin Syuaib meriwayatkan dari kakeknya

9
M.Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,… h. 95

10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 320.

5
bahwa Nabi saw, Abu Bakar, dan Umar pernah membakar harta orang yang mencuri ganimah
dan mendera mereka.
Kata al-ghulul (culas) berarti menyembunyikan sesuatu ke dalam barangbarangnya
dengan cara mengkhianati, menipu, dan berlaku culas kepada kawankawan, terutama sekali
menyembunyikan “harta rampasan” sebelum dibagi-bagi.
Menurut keterangan jumhur, pengertian membawa barang apa yang telah diculaskannya,
berarti di hari kiamat kelak, segala barang tipuan yang dilakukannya terhadap kawan-kawannya
akan dipikulnya sendiri di atas pundaknya, agar dia merasa malu dari perbuatannya yang culas
dan sebagai tambahan azab atas perbuatannya yang amat khianat itu.11
Dari definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa istilah ghulul diambil dari ayat 161 surah
Ali-Imran yang pada mulanya hanya terbatas pada tindakan pengambilan, penggelapan terhadap
harta baitul mal, harta milik bersama kaum muslimin, harta dalam suatu kerjasama, harta negara,
harta zakat dan harta lainlain.
Mencuri atau berkhianat terhadap harta rampasan perang (ganimah) merupakan tindakan
yang diharamkan dalam agama Islam. Tindakan ini dicela karena pencurian ganimah merupakan
perbuatan yang dapat meretakkan kesatuan hati umat Islam dan merupakan perbuatan yang dapat
menyebabkan pecahnya
persatuan, serta.dapat mendorong kaum muslimin untuk menyibukkan diri dengan
pencurian harta ini. Dari itu, akan memalingkan kaum muslimin dalam melawan musuh. Karena
itu, mencuri ganimah merupakan salah satu dosa besar menurut ijma’ kaum muslimin. 12 Allah
swt, berfirman:

              
        
Artinya: “Dan tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.
Barang siapa berkhianat niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa
yang dikhianatinya itu.” (Qs. Ali Imran:161).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pencurian merupakan suatu perbuatan mengambil barang milik orang lain

11
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 187.

12
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4 (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013), hlm. 520.

6
secara sembunyi dan tanpa kerelaan dari pemiliknya. Sehingga apabila perbuatan yang dilakukan
dengan tujuan untuk mengambil suatu barang, namun dilakukan pada suatu tempat dan kondisi
yang tidak disimpan atau tempat tertutup dan pemiliknya rela terhadap hal tersebut, maka tidak
dapat dikelompokkan ke dalam sariqah.
Dalil mengenai adanya hukuman untuk pencurian terdapat dalam Al-quran Surah Al-
Maidah ayat 38 sebagai berikut:
        
     
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah,
dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Nabi Muhammad SAW membenarkan mengenai hukuman tersebut, sebagai mana tertera
pada riwayat beliau “Seandainya Fatimah binti Muhammad SAW itu mencuri, niscaya Nabi
Muhammad SAW juga akan memotong tangannya”. Sebagaimana dapat dipahami dari hadits
Nabi SAW berikut:

Artinya: “sesunguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada
orang yang terpandang (terhormat) dari mereka mencuri, maka merekapun
membiarkannya. Namun jika ada orang yang lemah dan hina di antara mereka
ketahuan mencuri, maka dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya. Demi
dzat yang jiwaku berda di tangan-Nya, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri,
sungguh aku sendiri yang akan memotongnya”(HR. Bukhari Muslim).13
Dari ayat di atas, menjelaskan bahwa hukuman potong tangan bagi pencurian haruslah
dilaksanakan bagi siapa saja yang melakukannya, dilaksanakan dengan adil, tanpa melihat kasta

13
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa-Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, cet 1, 2011), hlm. 371

7
atau pangkat dan jabatan. Pencurian merupakan perbuatan yang sangat dilarang dalam Islam
karena perbuatan tersebut merugikan orang lain.

C. Penggelapan Uang Sebagai Bentuk Korupsi


Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menyebut sebagai korupsi yang
terkait dengan penggelapan dalam jabatan, yaitu Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10
huruf b, dan Pasal 10 huruf c.14 Pasal 8 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebelum
dilakukannya perubahan menentukan bahwa,
“Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”15
Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain
menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu. Adami Chazawi memerinci
perbuatan yang dilarang dalam unsur ini atas:
1) Menggelapkan
2) Membiarkan orang lain mengambil
3) Membiarkan orang lain menggelapkan
4) Membantu dalam melakukan perbuatan.16
Dilihat dari sudut perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2011 tampak bahwa tidak ada perbedaan dengan perbuatanperbuatan yang
dilarang dalam Pasal 415 KUH Pidana, di mana dalam Pasal 415 KUHPidana perbuatan yang
dlarang yaitu ^menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong
sebagai pembantu dalam melakukan hal tersebut.”

14
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk Memahami Tindak
Pidana Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, , 2006, h. 40

15
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3874).
16
Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 120.

8
Tentang pengertian membantu melakukan perbuatan, oleh Mahrus Ali dikatakan bahwa,
Unsur ini bemakna mempermudah atau memperlancar bagi orang-orang melakukan suatu
perbuatan berupa menggelapkan, membiarkan orang lain mengambil, membiarkan orang lain
menggelapkan, dan bantuan tersebut sifatnya hanyalah mempermudah terlaksananya perbuatan
tadi, tidak menentukan terjadinya delik yang dilarang.17
Rumusan korupsi pada Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 berasal dari Pasal 415 KUHP
yang dirujuk dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UU No. 3 Tahun 1971, dan Pasal 8 UU No. 31
Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian dirumuskan ulang pada UU No. 20
Tahun 2001.18
Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini, harus
memenuhi unsur-unsur:
1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu;
2. Dengan sengaja;
3. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain
menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu;
4. Uang atau surat berharga;
5. Yang disimpan karena jabatannya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas maka dalam hal itu penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau
seluruhnya, di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan
itu terjadi secara sah. Pada dasarnya, arti penggelapan yang pada dasarnya sama dengan
uraian Pasal 372 KUH.

17
Mahrus Ali, Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016) h. 172

18
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi,… h. 41

9
2. Tindak Pidana Penggelapan adalah “barang siapa dengan sengaja melawan hukum
memiliki barang sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah”.
3. Dalam khazanah pemikiran hukum Islam masalah penggelapan yang dihubungkan
dengan tindak pidana penggelapan memang tidak disebutkan secara jelas dan khusus
dalam al-Qur’an dan Hadist. Akan tetapi bukan berarti Islam tidak mengatur masalah ini.
Justru diperlukan kajian dari al-Qur’an untuk menemukan hukum dari masalah ini.
Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadist. Apapun
bentuk tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia pasti ada hukumannya. Dalam
hukum Islam bentuk tindak kejahatan dikenal dengan istilah jarimah..
4. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menyebut sebagai korupsi yang
terkait dengan penggelapan dalam jabatan, yaitu Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal
10 huruf b, dan Pasal 10 huruf c.

DAFTAR PUSTAKA

R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Edisi Kelima, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003
Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan Bandung;
Sinar Baru, 1989

Andi Hamzah, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, Jakarta, 1992

Singer and Lafond, Criminal Law, 4th ed. Aspen: 2007

10
Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta : Kencana,
2014
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj.kahar Mansyhur), Kuala Lumpur : Victori Agencis, 2001

M. Dipo Saputra Lubis, ”Perbandingan Tindak Pidana Pencurian Menurut Hukum Pidana
Nasional dan Hukum Pidana Islam’’, Jurnal Univ.Sumatra Utara,Medan, 2013

M.Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, cet ke-1,
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2009

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002

Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana, 2006

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4 Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2013
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa-Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, cet 1, 2011

Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk Memahami
Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, , 2006

Adami Chazawi, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2016
Mahrus Ali, Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Jakarta: Rajawali Pers, 2016

11

Anda mungkin juga menyukai