Anda di halaman 1dari 14

KORUPSI DAN UPAYA PEMBERANTASANYA

DALAM ISLAM

DISUSUN OLEH:
1. DESI AWALIYA FARHANI
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...............
1.2 Rumusan Masalah.......................

BAB II PEMBAHASAN
9.1 Korupsi: Pengertian, Ragam, dan Hukumnya
9.1.1 Pengertian korupsi
9.1.2 Bentuk-Bentuk Korupsi
9.1.3 Hukum Korupsi dalam Pandangan Islam
9.2 Motif-Motif Korupsi
9.2.1 Motif Internal
9.2.2 Motif Eksternal
9.3 Bahaya Korupsi bagi Kehidupan
9.4 Memegang Teguh Amanah

BAB III PENUTUP


1.3Kesimpulan
1.4 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Sepanjang sejarah manusia korupsi merupakan penyakit sosial yang kerap terjadi
dan seringkali menjadi awal runtuhnya peradaban yang maju. Penyakit sosial ini telah
muncul di sepanjang sejarah dunia bahkan disebut sebagai fenomena kebudayaan yang
hampir sama tuanya dibandingkan dengan sejarah manusia itu sendiri. Diperkirakan
korupsi muncul sejak manusia mengenal sistem hidup bersama yang terorganisasi.

Fakta sejarah tersebut dapat dilihat dari catatan-catatan sejarah, yang di antaranya
tersebar dalam kitab-kitab suci. korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan
prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi
dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap
kehidupan negara dan masyarakat. Adalah suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di
atas ditimpakan kepada Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk. Yang
perlu dikritisi di sini ialah orientasi keberagamaan kita yang menekankan kesalehan
ritual-formal dengan mengabaikan kesalehan moral-individual dan sosial. Model
beragama seperti ini memang sulit untuk dapat mencegah pemeluknya dari perilaku-
perilaku buruk (korupsi). Tulisan ini bertujuan memberikan sumbangsih pemikiran terkait
dengan status hukum bagi pelaku tindakan korupsi dalam perspektif ajaran Islam, agar
setidak-tidaknya menjadi bahan refleksi dan mengingatkan (lagi) bahwa korupsi
merupakan perbuatan terkutuk, karena dampak buruk yang ditimbulkannya bagi suatu
masyarakat dan bangsa sangatlah besar dan serius.
BAB II
PEMBAHASAN

9.1 KORUPSI: PENGERTIAN, RAGAM DAN HUKUMNYA


9.1.1 PENGERTIAN KORUPSI
Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam perbendaharaan Indonesia
menjadi korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan,
dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Dalam bahasa Arab, istilah korupsi sering diartikan dengan kata rishwah
yang juga dipakai dalam bahasa Melayu rasuah, dan al-ikhtila>s yang berarti
kerusakan, sogokan yakni memberikan harta agar orang yang diberi uang dapat
melakukan sesuatu sesuai dengan permintaan orang yang memberikan meskipun
tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Seseorang dianggap melakukan tindak korupsi apabila yang bersangkutan
menerima hadiah dari seseorang dengan tujuan mempengaruhi agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Termasuk juga
seseorang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa, bisa digolongkan
sebagai tindak korupsi.
Dalam sejarah Islam pun, tidak terlepas dari permasalahan korupsi. Hal ini
terlihat pada era kekhalifahan Khulafa>’ al-Rashidi>n, tepatnya pada era khali>fah„
Umar ibn al-Khat}t}a>b, yang mana beliau memerintahkan pada sebagian sahabat
untuk mengawasi harta kekayaan para pejabat pemerintahan. 16 Di Indonesia pun,
begitu banyak deretan nama para pejabat yang terlibat tindak korupsi, meskipun pada
awalnya mereka selalu berkoar-koar dengan jargonnya yang menjanjikan berbagai
macam janji-janji manis pada rakyat, akan tetapi pada akhirnya mereka jugalah yang
mematikan kepercayaan rakyat kepada para pejabat. Para pejabatpolitik dengan
semangat dan lantang mengemukakan “katakan tidak pada korupsi”, mereka seakan-
akan berlomba untuk membersihkan pemerintahan dan bangsa Indonesia dari tindak
korupsi, namun merekapun juga berlomba-lomba melakukan tindak korupsi.
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 29
yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu

9.1.2 BENTUK-BENTUK KORUPSI MENURUT ISLAM


Di dalam al-Qur‟an, diuraikan ayat-ayat yang berkaitan dengan bentuk
korupsi dengan memandang korupsi secara definitif pada konteks kekinian.
Bentuk-bentuk korupsi dalam al-Qur‟an antara lain:
1. Ghulu
Termasuk korupsi dalam al-Qur‟an salah satunya adalah dalam bentuk ghulu>l.
Disebutkan dalam Q.S Ali Imran (3): 161:
“Dan tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam urusan harta
rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia
akan membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi
balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak
dizalimi”.
Ayat di atas menggunakan termasuk Ghulul dalam mengungkapkan istilah
korupsi. Ghulul berasal dari kata Ghalla Yaghullu Ghallan Ghululan yang
mempunyai makna Khana (berkhianat), mengambil sesuatu secara sembunyi-
sembunyi. Ghulul juga dapat berarti penyalahgunaan jabatan, pencurian dana (harta
kekayaan) sebelum dibagikan, termasuk didalamnya adalah dana jaringan
pengamanan sosial.
Kata ghulul yang dalam bahasa Indonesia mempunyai makna curang,
yaitu seseorang yang mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi
kemudian dikumpulkan dengan barang-barang milik pribadinya yang lain. Kata
tersebut juga sering dipakai untuk menyatakan orang-orang yang mengambil harta
rampasan (ghani>mah) perang secara sembunyi-sembunyi sebelum
dibagikan kepadanya.
2. Akl al-Mal bi al-Bathil (Memakan Harta dengan Cara Bathil)
Lafaz al-bathil secara etimologi memiliki arti lawan kata dari
benar, yakni salah, kerusakan, melakukan perbuatan yang sia-sia.64
Sedangkan menurut al-Suyu>t}iy, makna lafaz al-ba>t}hil yaitu memakan
harta orang lain dengan cara yang z}alim. Ayat tersebut juga mengandung
makna suap, yakni dengan menyuap para hakim, atau pihak yang memiliki
kekuasaan untuk membebaskan suatu perkara sang penyuap dari tuntunan
sesuatu atau untuk melancarkan apa yang menjadi keinginannya.
Disebutkan dalam surat Surah al-Baqarah (2): 188
“Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang bathil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar
kamu dapat memakan sebagia harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui.”

Ayat ini berkaitan dengan seseorang yang menanggung suatu harta, tetapi
tidak ada alat bukti. Lalu dia berusaha mengelak dan membawanya kepada hakim,
padahal dia tahu bahwa dia yang harus bertanggung jawab dan dia tahu pula bahwa
dialah yang berdosa karena memakan harta yang haram (karena bukan haknya).
Dalam Terjemah Tafsir Ath-Thabrani, Abu Ja‟far berkata, bahwa Allah SWT
telah menganggap orang yang makan harta saudaranya sendiri dengan cara yang
bathil seperti ia memakan hartanya sendiri dengan cara yang bathil. Ayat ini senada
diengan ayat pada Surat Al-Nisa‟ ayat 29 yang mana maknanya bahwa Allah SWT
telah menjadikan orang-orang yang beriman saudara, maka orang yang membunuh
saudaranya seperti membunuh dirinya sendiri, dan orang yang memakan harta
saudaranya seperti memakan hartanya sendiri. Dan memakan harta dengan cara
yang batil, maksudnya dengan cara yang tidak dibenarkan oleh Allah SWT.
3. Sariqah
Korupsi merupakan salah satu bentuk pencurian yang sistematis dengan
memanfaatkan kekuasaan dan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara
yang tak benar. Pencurian dilarang dan pelakunya diancam hukuman di dunia
berupa potong tangan. Adapun ayat yang melarangnya adalah Q.S alMaidah (5) ayat
38:
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah keduanya
(sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana”. (QS. Al-Ma>’idah, 5: 38)
Kata Sariqah merupakan bentuk fa’il dari kata saraqa yang secara etimologi
bermakna mengambil barang milik orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dan
tipu daya. Sedangkan secara terminologi, Sariqah adalah mengambil sejumlah harta
senilai sepuluh dirham yang masih berlaku, disimpan di tempat penyimpanannya
atau dijaga dan dilakukan oleh seorang mukallaf secara sembunyi-sembunyi serta
tidak terdapat unsur syubhat sehingga bila barang tersebut kurang dari sepuluh
dirham yang masih berlaku maka tidak dikategorikan sebagai pencurian.
Kata Sariqah, menurut beberapa pendapat yang lain, mengandung tiga
pengertian yang bervariasi, antara lain:
1. Mengambil harta orang lain yang cukup terpelihara dengan cara
sembunyisembunyi.
2. Mengambil harta orang lain dengan jalan menganiaya.
3. Mengambil harta orang lain yang diamanatkan kepadanya.

4. Khiyanah
Khiyanah (khianat) secara umum berarti tidak menepati janji. Dalam Surat al-Anfal
ayat 27 dikemukakan tentang larangan mengkhianati Allah SWTdan Rasul-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”
5. Al-Suht
“Mereka sangat suka mendengar berita bohong, banyak memakan
(makanan) yang haram.87 Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu
(Muh}ammad untuk meminta keputusan), maka berilah keputusan
diantara mereka atau berpalinglah dari mereka. Dan jika engkau
berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan membahayakanmu
sedikitpun. Tetapi jika engkau memutuskan (perkara mereka), maka
putuskanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang adil”. (QS. Al-Ma>’idah, 5: 42)
Term al-Suh}t secara leksikal berasal dari kata sah}ata yang memiliki makna
memperoleh harta yang haram.89 Hal yang sama juga diungkapkan oleh al-
Zamakhshariy dalam tafsirnya al-Kashsha>f bahwa yang dimaksud dengan al-Suh}t
adalah harta yang haram. 90 Al-Suh}t dapat juga bermakna suap (rishwah), sesuatu
yang hilang keberkahannya, mendapatkan harta dengan jalan yang diharamkan.
Secara terminologi al-Suh}t yaitu memberikan harta kepada seseorang sebagai
kompensasi pelaksanaan tugas atau kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa harus
menunggu imbalan/uang tip. Jadi, al-Suh}t baik yang memberi, yang menerima, atau
yang menjadi perantara dalam perbuatan tersebuttermasuk dalam tindakan korupsi.

6. Kolusi
Kolusi (Collusion) adalah suatu kesepakatan atau persetujuan kerjasama dengan
tujuan yang bersifat secara melawan hukum atau penyelenggara Negara dan pihak
lain serta melakukan suatu tindakan penipuan yang dapat merugikan orang lain,
masyarakat atau Negara. Secara terminologis, kolusi selalu berkonotasi negatif
karena perbuatan tersebut senantiasa mengandung pelanggaran “wilayah publik”
dalam berbagai bentuknya. Begitu pula dalam konsep Islam, aktivitas kolusi tidak
memiliki alasan pembenaran dalam berbagai sumber hukumnya, yang salah satunya
adalah al-Qur‟an. Salah satu ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan kolusi adalah Q.S
al-Maidah (5) : 2
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya”.
al-Qurtubi berpendapat bahwa kata al-birri (kebajikan) dan taqwa merupakan
dua kata yang memiliki makna yang sama. Menurutnya, pengulangan kata tersebut
merupakan (penguat) dan menunjukkan urgensinya. Jadi, setiap kebajikan
merupakan ketaqwaan dan segala bentuk ketaqwaan adalah kebajikan.
Sedangkan al-Mawardi berpendapat bahwa kedua term tersebut disebutkan
secara beriringan karena ketaqwaan bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah SWT,
sedangkan kebajikan bertujuan untuk mendapatkan keridhaan dari manusia. Oleh
karena itu, berkumpulnya keridhaan Allah SWT dan keridhaan manusia merupakan
kebahagiaan dan kenikmatan yang sempurna.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa kata bahwa tidak boleh saling
tolongmenolong dalam perbuatan maksiat, dan tidak boleh pula saling
tolongmenolong dalam tindakan melawan yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT.
Kemudian Allah SWT memerintahkan untuk bertaqwa, yang oleh Imam Jalan lain
ditafsirkan dengan “takut akan siksaannya dengan mentaati-Nya”, karena siksaan
Allah SWT sangat berat bagi orang-orang yang melanggar perintah-Nya.
Berdasarkan penjelasan di atas, perbuatan kolusi yang merupakan bentuk dari
persekongkolan (kerja sama dalam perbuatan yang tidak baik) tidak diperbolehkan
dalam ajaran Islam. Selain itu, merupakan kewajiban dari muslim yang lain untuk
mencegah perbuatan kolusi tersebut, karena pencegahan tersebut merupakan
bagian dari “saling tolong menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan” yang
merupakan perintah Allah SWT sebagaimana yang dijelaskan pada ayat 2 surat al-
Maidah tersebut.

Kolusi mengakibatkan buruknya sistem dan nilai dalam suatu bangsa. Karena
kolusi adalah suatu bentuk kerja sama untuk maksud persekongkolan. Terdapat dua
unsur utama dalam sikap kolusi, yakni: pertama, adanya persekongkolan dan salah
satu yang melakukannya adalah aparat pemerintahan. Dalam pandangan al-Qur‟an
kolusi tidak dapat dibenarkan karena tindakan tersebut merupakan bentuk dari saling
tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran yang tidak dapat dibenarkan, dan
pelakunya tidak akan dapat mencapai derajat ketaqwaan karena tindakannya
tersebut.
7. Nepotisme
Nepotisme merupakan korupsi perkerabatan (Nepotistic Corruption) yakni
Korupsi yang menyangkut penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk berbagai
keuntungan bagi teman atau sanak saudara dan kroninya.
Nepotisme berasal dari istilah bahasa Inggris nepostism yang secara umum
mengandung pengertian mendahulukan atau memprioritas keluarganya, kelompok,
atau golongan untuk diangkat atau diberikan jalan untuk menjadi pejabat negara
atau sejenisnya. Nepotisme merupakan suatu perbuatan penyelenggara Negara yang
melawan hukum demi menguntungkan kepentingan pribadi, serta memprioritaskan
kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.109 Nepotisme tidak
diperbolehkan menurut al-Qur‟an, karena tindakan tersebut merupakan salah satu
bentuk ketidakadilan, baik terhadap dirinya, kerabatnya, apalagi terhadap rakyat. Hal
tersebut disebabkan karena tindakan nepotisme tersebut tidak menempatkan
seseorang secara sesuai dengan kapasitasnya.
Namun, jika memang tidak ada lagi yang pantas untuk diberi wewenang dan
kekuasaan yang menyangkut urusan publik selain kepada orang yang berasal dari
kerabatnya, maka hal itu boleh dilakukan. Pemberian kekuasaan tersebut bukan
karena faktor kerabat, tetapi lebih karena faktor kompetensi dalam mengemban
amanah tersebut, sehingga justru itulah yang lebih adil dan lebih dapat
dipertanggungjawabkan.

9.1.3 HUKUM KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM


Islam diturunkan Allah -Subhanahu wa Ta`ala- adalah untuk dijadikan
pedoman dalam menata kehidupan umat manusia, baik dalam berkeluarga,
bermasyarakat, dan bernegara. Tidak ada sisi yang terabaikan (tidak diatur)
oleh Islam. Aturan atau konsep itu bersifat ―mengikat‖ bagi setiap orang
yang mengaku muslim. Salah satu aturan Islam yang bersifat individual,
adalah mencari kehidupan dari sumber-sumber yang halal. Islam
mengajarkan kepada ummatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan,
hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam pandangan syara.
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam (fiqh) klasik, perilaku korupsi
belum memperoleh porsi pembahasan yang memadai, ketika para fuqaha
berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia secara tidak
benar (aklu amwalinas bil-bathil) seperti yang diharamkan dalam al-Qur‟an.
Walaupun dalam literatur Islam tidak secara tegas terdapat istilah
korupsi, sebagai ijtihad hukum, korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak
kriminal (pidana). Tindak pidana korupsi sangat identik dengan
penyalahgunaan jabatan yang didefinisikan sebagai perbuatan khianat
dalam perspektif Islam. Karena jabatan yang telah disandang oleh
seseorang adalah sebuah kepercayaan dari rakyat yang telah terlanjur
menaruh harapan padanya. Atau jabatan yang langsung dibebankan atas
nama negara yang tentunya bertujuan untuk menjalankan berbagai
program yang bermuara kepada kesejahteraan rakyat. Terlebih lagi jika
amanat itu menyentuh pada ranah hukum seperti pegawai pada bidang
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dll yang berbasis kepada keadilan yang
diinginkan oleh semua pihak. Amanat yang telah diemban itulah yang
tentunya wajib untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Allah swt berfirman
dalam beberapa ayat mengenai keajiban menjalankan amanat;
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui.” (QS. al-Anfal (8) : 27)
Amanat tentunya adalah sebuah kepercayaan yang wajib untuk
dipelihara dan
disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Allah swt berfirman:
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS. an-Nisa (4) : 58)

Al-Qur‘an menjelaskan mengenai keharaman melakukan suap atau


korupsi dan juga sabda Rasulullah saw mengenai pelaku suap menyuap,
yaitu:
ۡ ۡ َُّ ‫َ ۬ ً ۡ َۡأ‬ ۡ
 ‫اسبٲلثىوََأ ۡ ُتى ۡ َتع ًَهى‬‫ُكىبٲ َن ٰبـطمو ۡ ُتد ُنىْاب َهآإ َن ۡىٱن ُحڪَّاون ۡ َتأـ ُڪ ُهىْافسيقايٍ يىٳٱلن‬
ۡ ‫يىٳن ُكى َۡب َُي‬
َ ‫َََُِِّٓ ٌَ َولَ ۡ َتأ ُك ُهىْاَأ‬
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah (2) : 188)
     

      
          
฀
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.(Q.S. An-Nisa; 29)
‫نعُة هللا عهيّ انسشى وا ًنستشىـ‬
Artinya : “Allah melaknat orang yang menyuap dan memberi suap”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
Tindak pidana korupsi pun dikategorikan sebagai perbuatan
penipuan (al-gasysy) yang secara tegas disabdakan oleh Rasulullah saw
bahwa Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan
penipuan. Rasulullah saw bersabda:
“ Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata :aku mendengar Rasulullah
saw bersabda: “
seorang hamba yang dianugerahi jabatan kepemimpinan, lalu dia
menipu rakyatnya, maka
Allah menghrmakannya masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis lain juga disabdakan mengenai tindak pidana korupsi
yang termasuk dalam
kategori penipuan yaitu:
‫يٍ است ًع ُه ِا عهى عًم فسشقُ ِا زشقا ًفا اخر بعد ذنك فهى غهىل‬
Artinya : “ Barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu
pekerjaan, lalu aku beri gajinya, maka sesuatu yng diambil di luar gajinya itu
adalah penipuan (haram).”
(HR. Abu Daud, Hakim dari Buraidah (Hj. Huzaimah Tahido
Yanggo,2005:56)
Bila dilihat lebih lanjut, tindak pidana korupsi agak mirip dengan
pencurian. Hal ini jika kita melihat bahwa pelaku mengambil dan
memperkaya diri sendiri dengan harta yang bukan haknya. Namun, delik
pencurian sebagai jarimah hudud, tidak bisa dianalogikan dengan suatu
tindak pidana yang sejenis. Karena tidak ada qiyas dalam masalah hudud.
Karena hudud merupakan sebuah bentuk hukuman yang telah baku
mengenai konsepnya dalam al-Qur‘an.
Kemudian terdapat perbedaan antara delik korupsi dan pencurian.
Dalam tindak pidana pencurian, harta sebagai objek curian berada di luar
kekuasaan pelaku dan tidak ada hubungan dengan kedudukan pelaku.
Sedangkan pada delik korupsi, harta sebagai objek dari perbuatan pidana,
berada di bawah kekuasaannya dan ada kaitannya degan kedudukan
pelaku. Bahkan, mungkin saja terdapat hak miliknya dalam harta yang
dikorupsinya. Mengingat dapat dimungkinkan pelaku memiliki saham
dalam harta yang dikorupsinya.
Harta yang berada di bawah kekuasaan pelaku dan saham yang
masih dimungkinkan berada dalam harta yang dikorupsi, menjadikan delik
korupsi memiliki unsur syubhat jika disebut sebagai tindak pidana
pencurian (H.M Nurul Irfan,2011: 135).
Karena hudud identik dengan perbuatan dengan ancaman yang
besar, maka sanksi pidananya pun boleh dikatakan sangat berat. Dalam hal
pencurian hukumannya adalah potong tangan. Sehingga apabila suatu
jarimah hudud memiliki unsur syubhat, wajib untuk dibatalkan. Karena
khawatir akan terjadi kekeliruan ketika penjatuhan sanksi pidana. Salah
satu ungkapan dan sekaligus juga menjadi suatu kaidah dasar dalam
menjatuhkan sanksi pidana yaitu hukuman hudud harus dihindarkan
dengan sebab adanya unsur syubhat. Juga kaidah yang mengungkapkan
bahwa lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam
menghukum.
Maka berdasarkan dasar hukum di atas pandangan dan sikap al-
Quran terhadap korupsi sangat tegas yaitu haram, karena termasuk dalam
memakan harta sesama dengan jalan bathil. Banyak argumen mengapa
korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip
bertentangan dengan misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan
sosial dan kemaslahatan semesta (iqâmatul-’adâlah alijtimâ’iyyah wal-
mashlahatil-’âmmah), korupsi juga dinilai sebagai tindakan pengkhianatan
dari amanat yang diterima dan pengerusakan yang serius terhadap
bangunan sistem yang akuntabel.
Jadi korupsi secara doktrinner hukum Islam ditetapkan sebagai tindak
pidana, karena termasuk bentuk tindakan al-ma’siyyah, dan terbuka untuk
dikriminalisasi.

Anda mungkin juga menyukai