Anda di halaman 1dari 4

TUGAS

ANALISIS TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PRESPEKTIF FIQIH JINAYAT


Dosen Pengampu: Bapak Nilman Ghofur, M.Sos.

Nama : Alif Bagus Prasetyo


NIM : 18103070084
Matkul : Fiqih Indonesia
Prodi : Hukum Tata Negara

Pembahasan

Salah satu fenomena yang sangat memprihatinkan dalam kehidupan masyarakat dan
bangsa Indonesia pada beberapa dekade terakhir ini ialah maraknya korupsi. Korupsi, telah
menempatkan Indonesia pada jajaran negara terkorup di dunia. Kenyataan ini merupakan suatu
ironi, apabila dikaitkan dengan keberadaan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia. Bahkan, umat Islam negeri ini dikenal sebagai muslim yang paling
bersemangat dalam melaksanakan upacara ritual keagamaan (ibadah). Masjid dan mushala ada di
mana-mana. Adalah suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di atas ditimpakan kepada Islam
sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk.

Mengutip dari buku Membasmi Korupsi karya Robert Klitgaard, “Korupsi adalah tingkah
laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status
atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau
melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi”.

Adapun menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan korupsi ialah secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuntungan negara atau perekonomian negara digolongkan kejahatan tindak pidana korupsi.

Dalam khazanah hukum Islam, perilaku korupsi belum memperoleh porsi pembahasan
yang memadai, ketika para fuqaha’ berbicara tentang kejahatan memakan harta benda manusia
secara tidak benar (akl amwal al-nas bi al-batil) seperti yang diharamkan dalam al-Qur’ān, tetapi
apabila merujuk kepada kata asal dari korupsi, maka dapat berarti merusak (dalam bentuk
kecurangan) atau menyuap.

Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung
jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap
kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di
muka bumi, yang juga amat dikutuk Allah SWT.

Dalil-dalil yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum korupsi diantaranya adalah surat
Al-imran (3) ayat 161

‫ت َو ُه ْم اَل يُظْلَ ُمو َن‬ ٍ ‫ت مِب َا َغ َّل َي ْو َم ٱلْ ِقيَ َٰم ِة ۚ مُثَّ ُت َوىَّفٰ ُك ُّل َن ْف‬
ْ َ‫س َّما َك َسب‬
ِ ‫وما َكا َن لِنَىِب َأن يغُ َّل ۚ ومن ي ْغلُل يْأ‬
َ ْ َ َ َ َ ٍّ ََ

Artinya:

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.
Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi
pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak
dianiaya”.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir,
“Penipuan, perampasan, dan pencopet tidaklah dikenai hukuman potong tangan.” Secara dzahir
dari hadis ini dapat dipahami bahwa perbuatan yang meliputi penipuan, parampasan, dan
pencopetan tidak bisa dikenakan hukuman potong tangan, itu artinya perbuatan tersebut tidak
bisa disamakan dengan kejahatan pencurian. Beranjak dari fakta itu, maka korupsi yang terjadi
yang bentuknya berupa penipuan, perampasan dan pencopetan tidak bisa disamakan dengan
sirqah (pencurian), karena itu bentuk-bentuk korupsi tersebut tidak bisa dianalogikan
(diqiyaskan) kepada tindak pidana pencurian.

Dalam konsepsi hukum Islam sangat sulit untuk mengkategorikan tindak pidana korupsi
sebagai jarimah sirqah (pencurian). Hal ini disebabkan oleh beragamnya praktek korupsi itu
sendiri yang umumnya tidak masuk dalam definisi sirqah. Namun jika dalam satu kasus tindak
pidana korupsi telah sesuai dengan ketentuan sirqah, maka tidak diragukan lagi ia terkena
ketentuan had sirqah dan pelakunya dikenakan hukum potong tangan. Sayyid Sabiq dalam
kitabnya Fiqh al- Sunnah, dengan lugas mengkategorikan bahwa jika seseorang mengambil harta
yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirth mithl) maka itu
dikategorikan sebagai pencurian, jika ia mengambilnya secara paksa dan terangterangan, maka
dinamakan merampok (muharabah), jika ia mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet
(ikhtilaas), dan jika ia mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya, dinamakan khiyaanah.

Setelah menelaah dalil-dalil di atas baik dari Al-Qur’an maupun Hadits dapat
disimpulkan bahwa menurut penulis tindak pidana korupsi termasuk dalam definisi ghulul. Apa
itu ghulul? Ghulul adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu,
penyalahgunaan terhadap amanah hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan
ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak
semestinya dia terima. Ghulul juga dapat diartikan sebagai pencurian dana (harta kekayaan)
sebelum dibagikan. Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan kolutif
misalnya mengangkat orang-orang dari keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak
memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih
mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut.

Dalam pidana korupsi, sanksi yang diterapkan bervariasi sesuai dengan tingkat
kejahatannya. Mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan
hakhak tertentu sampai hukuman mati. Mengapa bervariasi? Karena tidak adanya nash qath’i
yang berkaitan dengan tindak kejahatan yang satu ini. Artinya sanksi syariat yang mengatur hal
ini bukanlah merupakan paket jadi dari Allah yang siap pakai. Sanksi dalam perkara ini termasuk
sanksi ta’zir, di mana seorang hakim (imam/pemimpin) diberi otoritas atau kewenangan penuh
untuk memilih tentunya sesuai dengan ketentuan syariat bentuk sanksi tertentu yang efektif dan
sesuai dengan kondisi ruang dan waktu, di mana kejahatan tersebut dilakukan.
Ulama fiqih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok, yaitu tindak
pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana ta’zir (jarimah). Tindak pidana
korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana ta’zir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik
jenis, bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara’ kepada hakim. Dalam menentukan hukuman
terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara' dalam menetapkan
hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi
sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa
sebagai tindakan preventif bagi orang lain.

Hukuman bagi koruptor selama ini masih tak mendatangkan efek jera. Karena itu,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan merekomendasikan agar pelaku korupsi dihukum mati.
Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar
terpidana korupsi dihukum kerja sosial. MUI mendorong majelis hakim pengadilan tipikor
menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan hukuman mati. usulan
hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis
antikorupsi. Namun persoalan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi nyatanya masih
belum menemukan titik terang dan masih menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat
Indonesia saat ini.

Anda mungkin juga menyukai